Fundamentalisme Puisi
Tanggapan untuk Hasan Aspahani
Ada yang ideologis setiap kali orang menanggapi dan menilai puisi. Ideologi di sini adalah sesuatu yang menghubungkan dan memberi kita orientasi dalam memandang dunia. Dari sudut pandang ideologi pula akan bertolak dan berlandas penilaian ihwal ada atau tidaknya serta bagaimana reka-baru (innovation) puisi yang semestinya.
Ajaran-ajaran kaum penelaah puisi yang berpengaruh telah menularkan formula-formula reka-baru puisi modern kita. HB Jassin membaiat Chairil Anwar sebagai pelopor angkatan ’45 abad kemarin. Ada pengaruh situasi historis dan biografis yang turut menginfiltrasi opini Jassin, misalnya latar pendudukan fasisme Jepang dan kecamuk Perang Dunia II. Faktor historis inilah yang membuat larik puisi “aku ini binatang jalang” bergema pada masa itu ketimbang “duka maha tuan bertahta”.
Nirwan Dewanto pada abad berikutnya menampik opini Jassin itu dengan kontra-opini bahwa Chairil adalah penganut tradisi perpuisian sebelumnya-bukan pelopor. Lebih ekstrim Nirwan menilai bahwa bentuk klasik, misalnya kuatrin, menjadi bentuk puisi Chairil yang terbaik. Nirwan meminggirkan tetek bengek latar sejarah atau ruang hayat yang mengitari dan membentuk Chairil kecuali urusan literatur khazanah puisi dunia yang dibaca Chairil – seolah Chairil mahluk yang kedap sejarah dalam berkarya. Konteks reka-baru puisi masa ini berbeda dalam banyak hal dengan konteks masa lain misalnya zaman Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Puisi sebagai karya manusia tak akan lolos dari pengaruh zamannya. Bagaimana cara memandang puisi akan berubah pula dari zaman ke zaman. Apakah sama pandangan puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Sutardji Calzoum Bachri meski masa berkarya mereka dalam lingkup abad yang tak berbeda? Reka-baru puisi dipandang ada sejauh ada pihak legimatornya yang berpengaruh kuat. Tanpa legitimasi Jassin, sejarah perpuisian Amir Hamzah dan Chairil Anwar tak akan seperti yang kita pahami saat ini, yang menempatkan mereka sebagai ikon-ikon puisi besar abad lampau. Ada keberuntungan sejarah yang terlibat dalam kehadiran kepenyairan mereka, yaitu peran legitimator “Sang Paus Sastra” HB Jassin.
Lalu apa sebenarnya reka-baru puisi itu? Mudahnya adalah sesuatu yang signifikan dalam penulisan puisi yang belum ada sebelumnya. Apa yang dimaksud signifikan itu tergantung sudut pandang atau ideologi yang memandang dan pada akhirnya ditentukan oleh sejarah pertarungan wacana tentang reka-baru puisi.
Puisi yang baru ditulis tentu tak niscaya menjadi puisi berkadar reka-baru. Para penelaah yang bersuaralah yang akan “merilis” reka-baru pusi sehingga eksis dalam ruang pengetahuan publik atau membatalkannya. Ada kerja “goreng menggoreng” di sini dan gejala ini biasa disebut sebagai “politik sastra”.
Fundamentalisme puisi adalah hal-hal yang diyakini sebagai dasar bagi puisi sehingga bisa dinilai bagus atau unggul, menjadi acuan yang paradoks. Dan melalui inilah reka-baru lazim ditimbang kadarnya. Reka-baru akan dihadap-hadapkan dengan konvensi, dengan hal-hal yang diyakini fundamental dalam puisi.
Reka-baru pada mulanya adalah eksperimen, upaya menempuh langkah signifikan yang belum ada sebelumnya, yang bisa berhasil atau sebaliknya. Reka-baru adalah menempuh sejenis risiko atau beradu “peruntungan”. Jika penelaah puisi antusias menyambutnya, akan beruntunglah reka-baru itu. Kalau penelaah puisi diam, bersiaplah dalam kesenyapan.
Gejala puisi Joko Pinurbo yang karikatural, penuh satire yang cerdas, kenapa diapresiasi dengan sangat antusias oleh penelaah dan publik puisi? Apakah karikatural merupakan hal yang fundamental dalam puisi? Apakah karikatural merupakan faktor yang membuat puisi bisa disebut punya kadar reka-baru? Lalu, “puisi video” – bukan video puisi – karya Afrizal Malna masih bisa ataukah mesti dinilai melalui acuan-acuan yang dianggap fundamental dalam puisi? Kenapa penelaah melewatkan “puisi video” Afrizal Malna hingga saat ini? Apakah karya Afrizal kali kurang beruntung atau dipandang tak punya kadar reka-baru?
Apakah buku-buku puisi yang diganjar penghargaan atau menang sayembara dalam dua dekade terakhir tak memberikan kadar reka-baru? Jika tidak, kenapa karya-karya itu menerima penghargaan dan memenangi sayembara?
***
Bertubi-tubi pertanyaan di atas ada asal usul kehadirannya. Limpahan karya sastra, khususnya puisi, tak diimbangi kehadiran kritik sastra sehingga tak ada penilaian yang presentatif dan situasi ini dijadikan dasar bahwa karya sastra dipandang tanpa reka-baru. Apakah tiadanya kritik sastra berarti indikator tidak adanya reka-baru dari ruahan karya sastra saat ini?
Seruan Hasan Aspahani di koran ini (8/8/2021) yang menyoal krisis “inovator sastra”, ketiadaan reka-baru sastra, yang dikaitkan dengan dokumen “rujukan puisi” terdahulu yang sukar diperoleh secara memadai dan kenyamanan para sastrawan menempuh konvensi persajakan umum sebagai biang keladinya, sebenarnya kurang bisa dipertanggungjawabkan obyektivitasnya.
Semestinya yang perlu ditinjau minimnya kiprah kritik sastra di tengah melimpahnya karya-karya sastra saat ini. Jika belum ada telaah atau kritik terhadap karya-karya sastra saat ini yang cukup memadai, bahan apa yang dijadikan pijakan tuduhan adanya krisis reka-baru sastra saat ini? Jangan-jangan seruan Hasan itu berasal dari anutan fundamentalisme puisi yang dipaksakan ditempuh oleh para sastrawan saat ini?
BINHAD NURROHMAT
Penyair; mukim di Rejoso,Jombang
Catatan: Esai Sastra ini pernah dimuat di Koran Kompas, Minggu 22 Agustus 2021
0 komentar:
Posting Komentar