Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus
Oleh SUNGGING RAGA
“SABARLAH, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.”
Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar sungai? O Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat senja itu dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang sebelum stasiun Kebasen?
Sepanjang angin akan berembus, selalu ada cerita tentang wanita kesepian, senja yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar, lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya gemuruh kereta ketika melintasi jembatan itu bisa terdengar hingga ke batas langit, atau ke dasar sungai.
“Aku melihat senja, lalu memikirkanmu.” Ucap seorang wanita pada kekasihnya. Di sore yang cerah, di tepi jembatan kereta. Keduanya duduk menjuntaikan kaki ke bawah, menikmati embusan angin dan melihat kendaraan berlalu-lalang di jalan berkelok ke arah kota Purwokerto.
Di Serayu, panggung seperti disiapkan. Lelaki itu masih menunggu senja yang dimaksud si wanita. Seakan ia tak pernah melihat bagaimana bentuk senja semenjak ia lahir, meski tentu saja senja sering melihat lelaki itu, entah di mana.
“Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali melihat senja?” tanya wanita itu.
Si lelaki tak menjawab, toh sebentar lagi pasti wanita itu menjawab pertanyaannya sendiri.
“Karena senja seperti dirimu, pendiam, tapi menyenangkan.”
Nah.
Serayu, serupa apakah kenangan dalam bungkusan senja yang konon lebih luas dari aliran sungai Gunung Slamet menuju pantai selatan itu?
“Aku tetap suka berada di sini meski kau diam saja.”
Begitukah?
Lelaki itu memang masih diam.
“Kalau tidak ada kamu, pasti senja membuatku merasa ditimbun kenangan.”
Sepanjang angin berembus, wanita itu terus berbicara. Tapi hari masih terang, burung-burung terbang rendah di atas mereka, tak beraturan. Belum waktunya pulang, beberapa burung kecil duduk di besi jembatan, kemudian terbang lagi. Senja belum datang, dan kereta juga belum datang.
“Benarkah ada kereta yang selalu datang ketika senja?” tanya lelaki itu. Mungkin ia gusar dengan keheningannya sendiri.
“Tentu saja.”
“Kereta apa? Kereta senja?”
“Ah, bukan. Jangan terlalu klise, Sayang.”
“Lalu?”
“Hanya kereta, dengan gerbong-gerbong penumpang seperti biasa. Itu saja.”
“Pasti ada namanya. Bahkan kereta barang yang mengangkut minyak pun ada namanya.”
“Ketel maksudnya?”
“Ya.”
“Kalau begitu, anggap saja ini kereta kenangan.”
Kenangan lagi. Seperti diksi yang luar biasa picisan, namun kadang sepasang kekasih bisa mengorbankan apa saja untuk sesuatu yang picisan, bahkan pembicaraan selanjutnya seperti tak akan menyelamatkan mereka. Kecuali waktu yang terus susut, jam terpojok ke angka lima. Tapi senja belum turun, belum ada kereta yang melintas di belakang mereka. Alangkah dekatnya mereka dengan rel kereta. Sehingga bisa terbayang jika kereta melintas pasti tubuh keduanya ikut bergetar karena roda besi yang bersinggungan dengan rel baja itu.
“Mungkin kita harus pindah tempat, sedikit menjauh.” ucap lelaki itu
“Tidak. Dari sini kita bisa melihat senja.”
“Tapi ini terlalu dekat.”
“Kalau kau pindah, nanti aku susah memikirkanmu dalam bentuk yang seperti ini.”
Tentu saja.
***
Serayu. Sungai besar yang teramat sabar, aliran air memanjang sampai ke penjuru ingatan, ke palung kehilangan, ke laut kasmaran. Sesungguhnya, ada banyak cerita di Serayu. Bukan hanya sepasang kekasih yang duduk di besi jembatan untuk menunggu senja, tapi juga kisah-kisah lain manusia, seorang lelaki tua yang mendayung perahu ke tengah demi mencari ikan, atau sawah-sawah di kejauhan yang tampak menghampar dan hanya terlihat topi-topi petani. Semua itu adalah cerita. Tapi pemandangan Serayu, senja, dan sepasang kekasih mungkin akan menjadi cerita yang paling dramatis. Bisa saja sepasang kekasih itu pada akhirnya akan berpisah, tapi masing-masing dari mereka tak bisa menghilangkan kenangan ketika duduk berdua di jembatan Serayu untuk melihat sesuatu yang setengah tak masuk akal. Seakan-akan mereka sedang mengabadikan cinta dalam hitungan detik terbenamnya matahari. Lalu pada suatu waktu si lelaki akan sengaja kembali ke tempat itu, duduk di sana, demi mengenang wanita itu. Meski mungkin si wanita tak kembali, sebab ia merasa tersakiti jika harus melihat senja di sungai itu lagi.
Tetapi, kereta akan tetap melintas, tepat ketika senja, ketika matahari bundar di ujung sungai yang luasnya sekitar 300 meter.
Ya, sebentar lagi, sebuah kereta penumpang akan melintasi sungai itu. Serayu. Sungguh nama yang romantis, seorang masinis yang bertugas di kereta itu sedang membayangkan kereta yang dikemudikannya sebentar lagi melintasi jembatan, lalu ia akan membunyikan peluit lokomotif keras-keras,nguooongngng, hingga ia pun teringat dengan kekasihnya di masa lalu; seorang wanita penggemar kereta dan senja.
“Aku ingin kelak kau menjadi masinis, dan membawa kereta yang melintasi Sungai Serayu tepat ketika senja.”
“Kau ingin aku jadi masinis?”
“Ya.”
“Artinya aku akan selalu pergi.”
“Aku masih bisa memikirkanmu.”
“Jadi, cinta sudah cukup sempurna jika kita masih bebas memikirkan orang lain?”
Sepanjang angin akan berembus, pertanyaan seperti itu seolah tak ada gunanya.
Kereta terus melaju, sudah jauh meninggalkan stasiun Notog, memasuki terowongan, lalu menebas hutan yang penuh dengan pepohonan pinus. Baru saja kereta melintasi jalan raya, yang artinya semakin dekat dengan Serayu. Masinis itu tak mengurangi kecepatan, sesaat ia menoleh lewat jendela, melihat ke gerbong-gerbong di belakangnya. Bukan gerbong senja, tentu saja, bukan pula kereta kenangan seperti yang dinamai kekasihnya di masa lalu. Ini hanya kereta biasa.
Jembatan sudah terlihat di kejauhan. Masinis itu perlahan menarik rem, sedikit mengurangi kecepatan di tikungan terakhir sebelum melintasi sungai Serayu. Dan beberapa saat kemudian, tampaklah hamparan hijau itu, juga perasaan yang tak ada maknanya lagi.
“Sepanjang angin berembus, akankah kau merindukanku?”
Ah, rindu memang seperti paksaan. Ketika kereta semakin dekat ke jembatan Serayu, si masinis melihat sepasang kekasih yang sedang duduk di salah satu sudut jembatan itu, mereka melambai ke arah kereta, seakan tak peduli dengan kebisingan mesin lokomotif dan suara roda yang bergesekan dengan rel serta besi jembatan. Masinis itu membalas lambaian mereka. Sementara di bagian kanan, warna merah pada langit dengan lapisan awan tipis membentuk garis-garis menggumpal yang artistik dengan warna merah saling tindih.
Masinis itu tertegun, seperti itukah senja yang dahulu pernah didambakan kekasihnya?
Akan tetapi, belum selesai kekagumannya, tiba-tiba kejadian aneh terjadi, mesin lokomotif kereta itu mendadak mati, tenaga menurun drastis, kereta pun berangsur-angsur mengurangi kecepatan, dan akhirnya berhenti tepat di tengah jembatan. Tampak dari barisan jendela, para penumpang di dalam gerbong terkejut, penasaran ada apa, mengapa berhenti di tengah jembatan. Apakah kereta tertahan sinyal masuk sebuah stasiun? Atau ada kejadian luar biasa di depan?
Namun kadang kita tak butuh jawaban untuk sebuah kenangan yang magis, bukan? Kereta itu, barangkali pernah memiliki kekasih pula, yaitu kereta lain yang selalu mengingatkannya tentang senja di mana pun ia melaju, agar berhenti sebentar untuk mengingat ucapan kekasihnya:
“Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.” (*)
(*) Sumber cerpen dari Koran Kompas, 22 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar