Tahilalat
Pada usia lima tahun ia menemukan
tahilalat di alis ibunya,
terlindung bulu-bulu hitam lembut,
seperti cinta yang betah berjaga
di tempat yang tak diketahui mata.
Kadang tahilalat itu memancarkan cahaya
selagi si ibu lelap tidurnya.
Dengan girang ia mengecupnya:
“Selamat malam, kunang-kunangku.”
Ketika ia beranjak remaja
dan beban hidup bertambah berat saja,
tahilalat itu hijrah ke tengkuk ibunya,
tertutup rambut yang mulai layu,
seperti doa yang merapalkan diri
di tempat yang hanya diketahui hati.
Disingkapnya rambut si ibu,
diciumnya tahilalat itu: “Maaf,
sering lupa kuucapkan amin untukmu.”
Akhirnya ia benar-benar sudah dewasa,
sudah siap meninggalkan rumah ibunya,
dan ia tak tahu tahilalat itu pindah ke mana.
“Jika kau menemukannya,
masihkah kau akan mengecupnya,
akankah kau menciumnya?” si ibu bertanya.
Ah, tahilalat itu telah hinggap
dan melekat di puting susu ibunya.
(2011)
Asu
Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit
saya berpapasan dengan anjing besar
yang melaju dari arah yang saya tuju.
Matanya merah; tatapannya yang kidal
membuat saya mundur beberapa jengkal.
Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang
menjadi korban gigit anjing gila.
Mereka diserang demam berkepanjangan,
bahkan ada yang sampai kesurupan.
Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul
mesin ketiknya dan mengumpat, "Asu!"
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, "Asu!"
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.
Pernah saya bertanya, "Asu itu apa, Yah?"
"Asu itu anjing yang baik hati," jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
"Coba, menurut kamu, asu itu apa?"
"Asu itu anjing yang suka minum susu," jawab saya.
Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, "Selamat sore, asu."
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, "Selamat sore, su!"
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
"Tolong, tolong...! Anjing, anjing...!"
(2011)
Kedai Minum
Hatimu yang terlalu penuh
jatuh ke lantai, pyaaarrr....
Dua orang sepi,
dengan seragam hitam putih,
memunguti pecahan beling.
"Ini gelas ketiga yang hancur
malam ini," pelayan yang satu berkata.
Yang satu lagi menyelamatkan botol
yang hampir terguling.
Busa bir tersisa di sudut bibir.
Musik baru saja berakhir.
Tanganmu masih memegang buku puisi.
Kau terkapar
di kedai minum milikmu sendiri.
(2011)
Baju Baru
Hari ini bapak gajian.
Gaji bapak naik sedikit,
harga-harga naik banyak.
Bapak belikan aku baju,
hadiah naik kelas.
Bajuku bagus, bagus bajuku,
bergambar presiden naik becak,
tukang becaknya mirip bapak.
Presidennya tertawa,
bang becaknya pura-pura tertawa.
Presidennya berteriak "Merdeka!",
tukang becaknya berteriak "Meldeka!"
Seminggu dipakai terus,
bajuku dicuci ibu.
Ibu bingung, habis dicuci
bajuku rusak gambarnya.
Becaknya masih,
tukang becaknya masih,
tapi presidennya entah ke mana.
(2011)
Piano
: Ananda Sukarlan
Telah kuserahkan hatiku yang lelah
ke dalam tanganmu, piano.
Cepat, cepat mainkan lagu terbaikmu.
Di padang hening aku terbaring.
Jari-jarimu yang merdu
menari-nari di atas rusukku,
menggetarkan bilah-bilah igaku.
Tubuhku menggelepar saat kausentuh liar
sepasang not yang sedang mekar.
Kudengar gemuruh malam di bukit yang jauh
dan jeritan rendah di lembah yang resah.
Telah kuserahkan cintaku yang basah
ke dalam tanganmu, piano.
Cepat, cepat letupkan nada terakhirmu.
(2011)
Kunang-kunang
Ketika kecil ia sering diajak ayahnya bergadang
di bawah pohon cemara di atas bukit.
Ayahnya senang sekali menggendongnya
menyeberangi sungai, menyusuri jalan setapak
yang berkelok-kelok dan menanjak.
Sampai di puncak, mereka membuat unggun api,
berdiang, menemani malam, menjaring sepi.
Ia sangat girang melihat kunang-kunang berpendaran.
"Kunang-kunang itu artinya apa, Yah?"
"Kunang-kunang itu artinya kenang-kenang."
Ia terbengong, tidak paham bahwa ayahnya
sedang mengajarinya bermain kata.
Bila ia sudah terkantuk-kantuk, si ayah segera
mengajaknya pulang, dan sebelum sampai di rumah,
ia sudah terlelap di gendongan.
Ayahnya menelentangkannya di atas amben tua,
lalu menaruh seekor kunang-kunang di atas keningnya.
Saat ia pamit pergi ngembara, ayahnya membekalinya
dengan sebutir kenang-kenang dalam botol.
"Pandanglah dengan mesra kenang-kenang ini
saat kau sedang gelap atau mati kata;
maka kunang-kunang akan datang memberimu cahaya."
Kini ayahnya sudah ringkih dan renta.
"Aku ingin ke bukit melihat kunang-kunang.
Bisakah kau mengantarku ke sana?"
Malam-malam ia menggendong ayahnya
menyusuri jalan setapak menuju bukit.
"Apakah pohon cemara itu masih ada, Yah?"
tanyanya sambil terengah-engah.
"Masih. Kadang ia menanyakan kau
dan kubilang saja: Oh, dia sudah jadi pemain kata."
"Nah, kita sudah sampai, Yah. Mari kita bikin unggun."
Si ayah tidak menyahut. Pelukannya semakin erat.
"Tunggu, Yah, kunang-kunang sebentar lagi datang."
Si ayah tidak membalas. Tubuhnya tiba-tiba memberat.
Ia pun mengerti, si ayah tak akan bisa berkata-kata lagi.
Pelan-pelan ia lepaskan ayahnya dari gendongan.
Ketika ia baringkan jasadnya di bawah pohon cemara,
seribu kunang-kunang datang mengerubunginya,
seribu kenang-kenang bertaburan di atas tubuhnya.
"Selamat jalan, Yah. In paradisum deducant te angeli."
(2010)
Cenala
(1)
Saya sedang tamasya di sebuah halaman buku puisi.
Buku puisi itu sedang dibaca seorang penyendiri
di bawah pohon beringin di alun-alun kota.
Saat duduk-duduk di bawah judul puisi, saya terpikat
pada kata celana. Saya penasaran dan segera mendekatinya.
Ternyata itu sebuah tabir besar berbentuk celana.
Saya buka tabir itu dan tahu-tahu saya sudah berdiri
di depan jurang yang merah menganga.
Saat itu juga saya berteriak, "Tolong! Tolong!"
Karena panik, saya tak sempat menutup kembali tabir itu
dengan sempurna seperti semula.
Si penyendiri yang sedang suntuk membaca itu kaget
mendengar jeritan tolong, tolong. Lebih kaget lagi
melihat kata celana telah berubah menjadi cenala.
Ia menoleh ke kanan ke kiri, lalu buru-buru pergi,
persis saat senja sedang terjun ke jurang cakrawala.
(2)
“Bu, mengapa saya diberi nama Cenala?”
“Waktu itu bapakmu sedang di kamar mandi,
sementara aku sedang berjuang melahirkanmu,
ditemani dukun bayi. Bapakmu terlalu gembira
mendengar tangis pertamamu dan ingin segera melihatmu.
Ia tergesa-gesa mengenakan celana sampai-sampai
celananya terbalik. Itulah sebabnya, kau dinamai Cenala.”
“Tapi cenala itu artinya apa, Bu?”
“Jangankan aku, kamus pun tak tahu artinya.
Bapakmu juga tak pernah menjelaskannya.”
“Lalu bagaimana saya dapat mengetahuinya?”
“Almarhum bapakmu punya teman baik,
seorang pengumpul barang-barang antik,
yang pandai membaca tanda. Dia tinggal di Yogya.
Tapi dia sulit ditemui dan belum tentu mau ditemui
secara orangnya tak kalah antiknya. Sebelum wafat,
bapakmu sempat menitipkan sejumlah rahasia padanya.”
(3)
Saya berada kembali di sebuah halaman buku puisi.
Buku puisi itu sedang dibaca seorang penyendiri
di bawah pohon mangga di belakang rumahnya.
Saya lihat kata cenala telah kembali menjadi celana.
Saya masih penasaran dan ingin membuka lagi tabirnya.
Tabir terbuka dan tahu-tahu saya sudah terdampar
di sebuah trotoar di satu sudut kota Yogya.
Saya lihat seorang lelaki tua sedang berbincang
dengan temannya di warung angkringan di remang cahaya.
Saya segera memanggilnya, "Ayah! Ayah!"
Si penyendiri yang sedang suntuk membaca itu terkejut
mendengar teriakan ayah, ayah. Lebih terkejut lagi
melihat kata cenala telah berubah menjadi celana.
Saya buru-buru kabur supaya tidak ditangkap
dan disekap oleh pembaca yang mulai gelisah itu.
(2010)
Pengamen Kecil
Ke belantara Jakarta ia pergi ngembara.
Di tembok-tembok kota mimpinya menggema.
Senar gitarnya terbuat dari rambut ibunya.
Keringatnya terbuat dari peluh bapaknya.
Bila ia berdendang dan memetik gitarnya,
ibunya yang jauh di kampung berdesir-desir hatinya.
(2010)
Bulan
Bulan yang kedinginan
berbisik padamu:
“Bolehkah aku mandi sesaat saja
di hangat matamu?”
Malam sepenuhnya milikmu
ketika bulan tercebur
ke dingin matamu.
Bulan itu bulatan hatimu,
bertengger di dahan waktu.
(2010)
Orang Gila Baru
Sesungguhnya saya malas membaca sajak-sajak saya sendiri.
Setiap saya membaca sajak yang saya tulis, dari balik
gerumbul kata-kata tiba-tiba muncul orang gila baru
yang dengan setengah waras berkata,
“Numpang tanya, apakah anda tahu alamat rumah saya?”
Kuantar ia ke rumah sakit jiwa dan dengan lembut kukatakan,
“Ini rumahmu. Beristirahatlah dalam damai.”
Gila, ia malah mencengkeram leher baju saya dan meradang,
“Ini rumahmu, bukan rumahku.”
Pernah saya mendapatkannya sedang berlari-lari kecil
di jalanan panas, lalu mendadak berhenti, mendongak ke langit,
menghormat matahari. Kali lain saya menemukannya
sedang tercenung di pinggir jalan sambil tersenyum terus,
seperti orang malang sedang menertawakan nasibnya sendiri.
Saya hanya bisa berdoa dalam hati, semoga ia tidak pulang
ke dalam sajak-sajak saya.
Mungkin cara terbaik untuk mencegah kemunculannya
dan terhindar dari gangguannya adalah berhenti menulis.
Tapi kawan saya bilang, “Tanpa dia, sudah lama kamu mati.”
(2010)
Kamar Nomor 1105
Pada akhir pekan saya menyepi di sebuah hotel tua
di pinggiran kota. Petugas hotel mengantar saya
ke kamar nomor 1105. “Sudah lama kamar ini tidak dihuni.
Tak ada tamu yang berani menginap di sini.”
Kamar itu lumayan besar, dilengkapi empat meja bundar.
Saya bersiap lembur, menunaikan kerja menggambar.
Di meja-1 jokpin-1 menyulut sebatang rokok,
melamun sebentar, kemudian mulai menggambar
mobil jenazah. Supaya tidak tampak seram,
mobil jenazah itu diberi warna biru langit
dan dikasih tulisan Mati untuk Hidup Abadi.
Di meja-2 jokpin-2 sibuk menggambar sopir mobil jenazah
sambil dengan khidmat menyedot rokok.
Sopir mobil jenazah itu berusia sekitar 55 tahun,
kulitnya hitam manis, memakai kopiah, bersepatu sendal,
mengenakan baju batik, kepalanya berhiaskan uban.
Ia sopir yang lugu dan sopan. Ia punya cara khas
untuk menghormat jenazah yang diantar masuk
ke dalam mobilnya: membungkuk, terpejam,
sambil menempelkan telapak tangan kanan ke dada.
Di meja-3 jokpin-3 suntuk menggambar peti jenazah
sambil sesekali mempermainkan asap rokok.
Peti jenazah bikinannya sederhana saja, tanpa ukiran dan hiasan.
Ia tidak ingin peti jenazah itu tampak lebih mewah
dari jenazah yang akan ditidurkan di dalamnya.
Di meja-4 jokpin-4 bertugas menggambar jenazah.
Ia tampak sangat gelisah sampai-sampai tanpa sadar
dimatikannya rokok yang baru separuh dihisapnya.
Berkali-kali ia membuat sketsa, tak ada satu pun yang jadi.
Ia ingin jenazah buatannya terlihat tenang dan riang,
seperti orang habis mandi. Lebih bagus lagi jika jenazah itu
terbaring damai sambil mendekap sebuah buku puisi.
Menjelang dinihari saya dikagetkan suara kecipak air
di kamar mandi. Dengan waspada saya buka pintu kamar mandi:
ah, kulihat jokpin kecil sedang mandiri (mandi sendiri)
sambil bermain telepon genggam. Telepon genggam mainan.
Jokpin-1, jokpin-2, dan jokpin-3 tertidur di kursi masing-masing,
sementara jokpin-4 masih terlihat bingung dan pusing.
Jidatnya seperti puisi setengah jadi.
Pagi-pagi sekali petugas hotel mengetuk pintu,
memberitahukan ada seorang tamu berkopiah, berbaju batik,
bersepatu sendal, beruban menunggu saya di lobi.
“Dia bilang mobil jenazahnya sudah siap.”
Jokpin-4 bangkit berdiri: “Katakan kepada sopir mobil jenazah itu
bahwa jenazahnya belum jadi. Tolong persilakan beliau pergi.”
Suatu malam saya diundang pesta puisi di balai kota.
Di halaman gedung pertunjukan saya melihat mobil jenazah
berwarna biru langit terparkir di antara mobil-mobil lainnya
yang tentu saja bukan mobil jenazah namun bila diamati
dengan mata ketiga sebenarnya mirip mobil jenazah juga.
Sopir mobil jenazah tahu-tahu sudah berdiri
di hadapan saya. Dengan hormat ia membungkuk, terpejam,
sambil menempelkan telapak tangan kanan ke dada.
Saya tarik lengannya: “Hai, aku masih hidup, tahu?”
Ia cuma tersenyum dan berkata, “Maaf Tuan, maaf Tuan.”
Di lorong remang menuju kamar mandi saya dihadang
seorang wartawan: “Seperti apa rasanya menulis puisi?”
Saya jawab sekenanya, “Mungkin seperti menggambar jenazah
tak jadi-jadi.” Ia hendak bertanya lagi, tapi tidak jadi.
Saat saya menunggu taksi untuk pulang, sopir mobil jenazah
mendekati saya lagi. “Taksinya mogok. Mari ikut mobil saya saja.”
Dengan halus saya menolak tawarannya dan mempersilakannya
segera pergi. Saya tak ingin melihat mobilnya lagi.
Biarlah saya dengar deru suaranya saja dalam sunyi.
Puisi ini belum jadi tapi mesti diakhiri sebab saya harus segera
menerima telepon dari sopir mobil jenazah itu.
Ia mengabarkan dirinya baru saja dapat lotere. Nomornya tembus.
“Memang kamu pasang nomor berapa?” tanya saya.
Dari seberang sana ia menjawab riang: “Nomor 1105.”
(2010)
Durrahman
Mengenakan kemeja dan celana pendek putih,
Durrahman berdiri sendirian di beranda istana.
Dua ekor burung gereja hinggap di atas bahunya,
bercericit dan menari riang.
Senja melangkah tegap, memberinya salam hormat,
kemudian berderap ke dalam matanya yang hangat dan terang.
Di depan mikrofon Durrahman mengucapkan pidato singkatnya:
“Hai umatku tercinta, dalam diriku ada seorang presiden
yang telah kuperintahkan untuk turun tahta
sebab tubuhku terlalu lapang baginya.
Hal-hal yang menyangkut pemberhentiannya
akan kubereskan sekarang juga.”
Dua ekor burung gereja menjerit nyaring di atas bahunya.
Durrahman berjalan mundur ke dalam istana.
Dikecupnya telapak tangannya, lalu dilambai-lambaikannya
ke arah ribuan orang yang mengelu-elukannya dari seberang.
Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur.
Dalam dirimu ada seorang pujangga yang tak binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yang ingin membangun kembali
puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yang teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden,
baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan.
(2010)
Doa Seorang Pesolek
Tuhan yang cantik,
temani aku yang sedang menyepi
di rimba kosmetik.
Nyalakan lanskap
pada alisku yang gelap.
Ceburkan bulan
ke lubuk mataku yang dalam.
Taburkan hitam
pada rambutku yang suram.
Hangatkan merah
pada bibirku yang resah.
Semoga kecantikanku tak lekas usai
dan cepat luntur seperti pupur.
Semoga masih bisa kunikmati hasrat
yang merambat pelan
menghangatkan susuku
sebelum jari-jari waktu
yang lembut dan nakal
merobek-robek kutangku.
Sebelum Kausenyapkan warna.
Sebelum Kauoleskan lipstik terbaik
di bibirku yang mati kata.
(2009)
Jalan Sunyi
Ada jalan kecil menuju kebunmu:
ada hujan mungil merayap pelan
ke liang sajakku.
(2007)
Celana Ibu
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.
“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
(2004)
Celana Tidur
Walau punya bermacam-macam celana tidur,
ia lebih suka tidur tanpa celana.
Supaya celana bisa tidur di luar tubuhnya.
Supaya tidurnya tidak rusak oleh celana.
(2003)
Ojek
Di pertigaan jalan yang selalu ramai itu terdapat pangkalan ojek yang dikuasai oleh kira-kira dua puluh laki-laki berseragam hitam. Mereka siap mengantar siapa saja ke tempat terpencil yang tak terjangkau kendaraan umum. Untuk menunjukkan kekompakan, mereka memakai helm berwarna jingga, warna yang sangat mudah dikenali oleh pengguna jasa mereka. Bagi saya yang baru pertama kali akan naik ojek dari sana, tidak mudah membedakan mana tukang ojek yang ramah dan mana yang suka marah sebab wajah mereka sama dinginnya.
Karena sudah larut petang, kendaraan yang menuju ke tempat yang akan saya datangi sudah tidak jalan. Tidak ada cara lain, harus naik ojek. Begitu turun dari bus, saya langsung disergap oleh seorang tukang ojek bermata garang. Semula ia tampak asing dengan alamat yang saya sebutkan. Baru setelah saya bujuk-bujuk dengan ongkos yang jauh lebih tinggi, dengan senang hati ia bersedia mengantar saya. “Kita cari saja, pasti ketemu,” ujarnya.
Diam-diam saya merasa was-was mendapat tukang ojek yang sangat mencurigakan. Sepanjang perjalanan saya berdebar-debar seraya tak henti-hentinya berdoa memohon keselamatan. Apalagi jalanan gelap dan sepi, naik-turun penuh tikungan. Saya jadi teringat berita di koran tentang tukang ojek gadungan yang merampok dan kemudian menghabisi penumpangnya sendiri. Ketakutan saya makin berlipat ganda karena sepanjang perjalanan si tukang ojek diam saja, menjalankan sepeda motornya juga seenaknya, tidak mau tahu bahwa penumpang adalah raja.
“Syukur alhamdulillah, selamat juga akhirnya!” Itulah yang segera diucapkan si tukang ojek begitu sampai di tempat tujuan. Lho, seharusnya kan saya yang mengucapkan itu? Tidak saya duga, tukang ojek itu pun berdebar-debar sepanjang perjalanan karena ia teringat temannya sesama tukang ojek yang tewas mengenaskan setelah dirampok dan dianiaya oleh penumpangnya sendiri. Wah, draw kalau begitu. Tapi saya tetap merasa rugi karena diam-diam saya dicurigai sebagai pencoleng berlagak penumpang.
Indah sekali kompleks perumahan yang saya kunjungi ini. Terletak di atas sebuah bukit, dari ketinggiannya yang hening dan asri saya bisa menyaksikan gugusan cahaya warna-warni di bawah sana. “Itu kota saya,” kata saya. Kemudian saya masuk gerbang, mencari-cari rumah mungil tempat sahabat saya yang baik hati sedang beristirahat. Ia mati dengan sederhana dalam perjalanan naik ojek menuju desa kelahirannya setelah sekian lama hidup makmur dan sejahtera di kota, tapi konon gagal total dalam petualangan cinta. Tukang ojek yang mengantarnya pulang terkena serangan jantung mendadak; sepeda motornya terkejut, kehilangan keseimbangan, kemudian meluncur ke dalam jurang bersama penumpangnya.
“Tunggu sebentar ya, saya mau bicara dengan teman saya,” pinta saya kepada tukang ojek. Tanpa berpikir panjang, tukang ojek yang penakut itu cepat-cepat ngacir setelah sebelumnya berkata, “Kalau tahu mau ke kuburan, saya tidak akan sudi mengantarkan!” Wah, tukang ojek itu tidak tahu bahwa jika suatu saat nanti saya tiba di surga, hal pertama yang akan saya lakukan adalah naik ojek keliling kota, bersenang-senang menikmati tabungan.
(2003)
Kecantikan Belum Selesai
Sudah selesai. Sudah kucoba semua warna.
Sekarang bersiaplah kau di ruang ganti busana.
Belum. Belum selesai. Beri aku sentuhan terakhir
pada rambut, mata dan bibir agar melihatku
adalah melihat kecantikan yang belum selesai.
Perlukah, manis, kuoleskan darah pada bibirmu
yang skeptis agar semua yang mendamba kau
sangsai: apakah kecantikan sudah/belum selesai?
Ditemani dua orang perias wajah, penyanyi itu
tercenung lama di depan kaca, memandang senja
di ufuk mata: melihat elang mengitari mambang.
Ia berjalan pelan ke arah panggung.
Petugas kecantikan segera mengatur tubuhnya
sebagaimana mereka mengatur ruang dan cahaya.
Konser dimulai. Hadirin bersorak-sorai.
Selamat malam. Dua jam bersama kecantikan.
Menjelang lagu terakhir penyanyi itu terkulai.
Ambruk sebelum usai. Sudah selesai, ia menangis.
Belum! mereka histeris. Kecantikan belum selesai!
(2003)
Mendengar Bunyi Kentut Tengah Malam
Sepi meletus. Suaranya yang lucu
mengagetkan tato macan
yang sedang mengaum di tubuhmu.
(2007)
Doa Sebelum Mandi
Tuhan, saya takut mandi.
Saya takut dilucuti.
Saya takut pada tubuh saya sendiri.
Kalau saya buka tubuh saya nanti,
mayat yang saya sembunyikan
akan bangun dan berkeliaran.
Saya ini orang miskin yang celaka.
Hidup saya sehari-hari sudah telanjang.
Kerja saya mencari pekerjaan.
Tubuh saya sering dipinjam orang
untuk menculik dan membinasakan korban.
Mereka bisa dengan mudah dihilangkan
tapi di tubuh saya mereka tak dapat dilenyapkan.
Tuhan, mandikanlah saya
agar saudara kembar saya
bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya.
(2000)
Dokter Mata
Belakangan ini saya banyak mendapat gangguan mata.
Apa dan siapa yang saya lihat sering tampak bergoyang.
Bahkan mata saya kadang salah sangka.
Saat bercermin, misalnya, saya merasa bahwa tuan
yang sedang mengagumi saya adalah kenalan lama saya.
Ternyata ia lupa dan mengajak kenalan ulang.
Selain salah lihat, mata saya sering dianggap salah baca.
Saya baca buku, buku bilang salah, baca lagi, salah lagi.
Tak terkecuali buku-buku yang saya tulis sendiri.
Malam ini sakit mata saya makin akut: nyeri, pusing,
berdenyut-denyut. Maka datanglah seorang dokter mata:
“Selamat malam, pasien.” Tanpa bicara ia periksa mata saya.
“Dokter, apakah saya harus pakai kacamata?”
“Tidak perlu kacamata. Hanya perlu dicungkil.”
Dicungkil? Saya tidak dapat membayangkan mata saya
harus diganti dengan mata buatan atau bekas mata
orang lain. Saya diminta berdoa dan tidur tenang
sementara ia akan menggarap mata saya.
Subuh hari saya terbangun. Dokter mata sudah pergi.
Aneh, semua terasa nyaman dan normal kembali.
Saya segera mendatangi cermin langganan saya
dan saya terkejut tiba-tiba bertemu dengan dokter mata itu.
“Dokter, apakah Anda telah mengganti mata saya?”
“Ah enggak. Aku cuma membersihkan dan merendam
matamu dalam airmataku, kemudian mengembalikannya
seperti semula. Kau pangling dengan matamu?”
“Terima kasih, Dokter.” Dan dokter mataku tampak
ingin menangis, tapi ia tidak ingin aku melihat airmatanya.
(2003)
Aku Tidur Berselimutkan Uang
Aku tidur berselimutkan uang.
Ketika bangun, tahu-tahu tubuhku sudah telanjang.
(2002)
Kurcaci
Kata-kata adalah kurcaci yang muncul tengah malam
dan ia bukan pertapa suci yang kebal terhadap godaan.
Kurcaci merubung tubuhnya yang berlumuran darah
sementara pena yang dihunusnya belum mau patah.
(1998)
Layang-layang
Dulu pernah kaubelikan aku sebuah layang-layang
pada hari ulang tahun.
Aku pun bersorak sebagai kanak-kanak
tapi hanya sejenak.
Sebab layang-layang itu kemudian hilang,
entah ke mana ia terbang.
Seperti aku pun tak pernah tahu kapan kau hilang
dan kembali kutemu.
Lehermu masih hangat meskipun selalu dikikis waktu.
Sekarang umur pun tak pernah lagi dirayakan
selain dibasahkuyupkan di bawah hujan.
Tapi kutemukan juga layang-layang itu di sebuah dahan
meskipun tanpa benang dan tinggal robekan.
Aku ingin berteduh di bawah pohon yang rindang.
(1980)
Penyair Tardji
Tardji minta bir buat pesta di malam buta.
“Sampai tuntas pahit-asamnya.
Sampai pecah ini botolnya.”
Dalam mabuk ia minta tuak dari jantungMu.
“Mana kapak? Biar kutetak leher panjangMu.”
Sampai huruf habislah sudah.
Sampai nganga luka dibelah.
“Ya Allah, sajak terindah kutemu dalam Kau darah.”
(1986)
Tengah Malam
Badai menggemuruh di ruang tidurmu.
Hujan menderas, lalu kilat, petir
dan ledakan-ledakan waktu dari balik dadamu.
Sesudah itu semuanya reda.
Musim mengendap di kaca jendela.
Tinggal ranting dan dedaunan kering
berserakan di atas ranjang. Hening.
Waktu itu tengah malam. Kau menangis.
Tapi ranjang mendengarkan suaramu sebagai nyanyian.
(1989)
Tukang Cukur
Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur
di kepalaku. Ia membabat rasa damai
yang merimbun sepanjang waktu.
“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel,
dan restoran. Tentunya juga sekolah,
rumah bordil, dan tempat ibadah.
Ia menyayat-nyayat kepalaku.
Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.
“Aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu.
Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”
Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku.
(1989)
Hutan Karet
in memoriam: Sukabumi
Daun-daun karet berserakan.
Berserakan di hamparan waktu.
Suara monyet di dahan-dahan.
Suara kalong menghalau petang.
Di pucuk-pucuk ilalang belalang berloncatan.
Berloncatan di semak-semak rindu.
Dan sebuah jalan melingkar-lingkar.
Membelit kenangan terjal.
Sesaat sebelum surya berlalu
masih kudengar suara bedug bertalu-talu.
(1990)
Pohon Bungur
: anno 1968 - 1973
Pohon bungur di puncak bukit
dalam naungan senja.
Bunga-bunganya berceceran
dihirup angin selatan.
Pohon bungur di puncak bukit
dalam belaian usia.
Kuingat selalu bunga merahnya yang ranum
diguyur hujan menjelang malam turun.
(1990)
Pada Lukisan Monalisa
Di rambutmu burung-burung membuat sarang.
Burung-burung yang terbang dari khasanah senja;
yang sudah berapa lama terkurung dalam himpian Hawa.
Burung-burung yang memintal benang-benang cahaya
dengan kepak lembut sayap-sayapnya yang luka.
Burung-burung yang menggurat padang langit hijau
dengan cakar-cakar perih dan kicau-kicaunya yang parau.
Dan engkau adalah pohon yang dahan-dahannya
menjulur lentur karena adalah kenangan.
Yang akar-akarnya menjuntai ke wilayah malam.
Yang ranting-rantingnya lembut karena adalah igauan.
Yang daunnya rimbun menghalau kobaran jaman.
Yang pucuk-pucuknya menjulang karena adalah jeritan.
(1990)
Senandung Becak
Ada becak melenggang sendirian di sebuah gang.
Pemiliknya, katanya, telah mati di tiang gantungan.
Ada becak hanyut di sungai.
Sungainya keruh, mengalir ke laut yang jauh.
Orang-orang berkumpul di atas jembatan,
mengira si pemiliknya telah mati tenggelam.
Tapi ada yang berbisik kepada saya:
“Akulah yang menghanyutkannya
dan ternyata kalian amat suka menontonnya.”
Ada juga yang berkata:
“Sesampainya di laut, becak itu akan menjelma
menjadi sebuah perahu yang harus bertarung
sendirian melawan badai, ombak dan malam.”
(1990)
Di Kulkas: Namamu
Di kulkas masih ada
gumpalan-gumpalan batukmu
mengendap pada kaleng-kaleng susu.
Di kulkas masih ada
engahan-engahan nafasmu
meresap dalam anggur-anggur beku.
Di kulkas masih ada
sisa-sisa sakitmu
membekas pada daging-daging layu.
Di kulkas masih ada
bisikan-bisikan rahasiamu
tersimpan dalam botol-botol waktu.
(1991)
Ranjang Kematian
Ranjang kami telah dipenuhi semak-semak berduri.
Mereka menyebutnya firdaus yang dicipta kembali
oleh keturunan orang-orang mati.
Tapi kami sendiri lebih suka menyebutnya dunia fantasi.
Jasad yang kami baringkan beribu tahun telah membatu.
Bantal, guling telah menjadi gundukan fosil yang dingin beku.
Dan selimut telah melumut. Telah melumut pula
mimpi-mimpi yang dulu kami bayangkan bakal abadi.
Para arwah telah menciptakan sendang dan pancuran
tempat peri-peri membersihkan diri dari prasangka manusia.
Semalaman mereka telanjang, meniup seruling,
hingga terbitlah purnama. Dan manusia terpana, tergoda.
(1991)
Perjalanan Pulang
Kadang ingin sangat aku pulang ke rumahmu.
Setidaknya kubayangkan suatu senja aku datang
ke ambang jendelamu, melongok wajah seseorang
yang sedang melukis matahari di telapak tangan.
Halte. Aku terdampar di sebuah halte.
Menunggu bus yang sebenarnya telah lama lewat.
Mengulur-ulur waktu agar tidak cepat sampai
ke arah jantung atau erangan bisu.
Lihatlah, setiap orang memasang halte
di tempat persinggahan.
Menunggu dan menanti tak henti-henti.
Mengangankan masih ada bus yang bakal datang
membawanya pulang atau mungkin pergi jauh sekali.
Demikianlah musafir: kita takut menjadi tua
namun juga tak pernah bisa kembali menjadi bayi,
menjadi kanak-kanak
kecuali bila kita ciptakan lagi kelahiran
di saat halte mau membimbing kita ke peristirahatan.
Rindu. Aku ini memang selalu rindu untuk pulang
tapi saban kali juga tak betah.
Petualang sekaligus pencinta rumah.
Di saat lelap sering kulihat bayangan tubuhmu
berjalan terbungkuk-bungkuk dengan gaun putih,
menyibak dan menutup kembali kelambu mimpi.
Halte. Aku ingat sebuah halte di ujung kota yang entah.
Perhentian tempat penantian dikekalkan
dan sekaligus diakhiri.
Alamat kepada siapa kaukirimkan aduhan bernama surat.
Rendezvous yang kepadanya kautujukan persediaan waktu.
Tak bosan-bosan. Jendela selalu membukakan dirinya
untuk dimasuki dan ditinggalkan.
Seakan seseorang selalu siap di atas ampunan,
menerima dan melepaskan salam.
Seperti juga telapak tanganmu: selalu terbuka
untuk dilayari dan disinggahi.
Mengapa kita takut pada ketakutan?
Mengira tak ada yang bisa diabadikan?
Tengah malam kita sering terbangun
lalu berdiri di depan cermin.
Merapikan rambut yang kusut.
Membelai wajah yang membangkai.
Memugar mata yang nanar.
Andaipun langit memperpendek batas,
tak berarti jangkauan begitu saja lepas.
Siapa tahu tatapan malah meluas,
memburu sinyal-sinyal baru
yang memberitakan atau menyembunyikan pesanmu.
Tergambar jelas di potret lama:
wajah yang dingin dihangati usia.
Burung-burung pipit mengurung senja,
matahari beringsut pada lingkaran biru.
Kemudian malam terlipat di pelupukmu
dan sebuah himne menggema di lintasan alismu.
Berapa lama kata-kata berbincang tentang artian?
Uban-uban tak mau bicara tentang ketuaan.
Almanak tak menyiratkan tanggal dan bulan.
Garis-garis tangan tak menuliskan suratan.
Dinding-dinding tak membatasi ruang.
Berapa lama ucapan tak mau bungkam?
Ah padang pasir.
Panasmu ingin menghanguskan perkemahan.
Kau pikir para pengungsi mau dilumat kelaparan?
Lihatlah, sungai itu tetap saja hijau.
Kematian dienyahkan ke bukit-bukit karang,
kanak-kanak bermain terompet di lubang persembunyian.
Katakan pada ibu, si buyung mau lebih lama merantau.
Rumah itu mungkin akan selalu menanyakan kepulangan,
pintu-pintu minta kiriman kisah petualangan.
Aduh sayang, jarak itu sebenarnya tak pernah ada.
Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan.
Hari itu jam bergerak lambat.
Malam mengingsut seperti siput mengusut kabut.
Di jauhan anjing-anjing bertengkar berebut kucing.
Kalender menangis melengking-lengking.
Apakah waktu sudah sangat bosan menghuni jam dinding?
Aduh sayang, detik-detik berjatuhan ke lantai dingin,
diserbu semut-semut hitam untuk pesta persembahan.
Lalu kau merapat ke kaca almari:
mengganti baju, menyempurnakan kecantikan.
Matamu menyala serupa lilin.
Keningmu berkobar dibantai sinar.
Apakah kau sedang berkemas ke kuburan?
Alamak, beri aku sedikit waktu.
Nyawaku tertinggal di rumah sakit.
Baju usang yang kusayang tergantung riang di tali jemuran.
Sudah rapuh, sudah kumal, sudah pula penuh jahitan.
Seperti kujahit leher yang retak, leher yang koyak
dirobek-robek kemiskinan.
Salam bagimu peziarah muda.
Hatimu telah mencatat peristiwa-peristiwa kecil
yang dilupakan dunia.
Ke mana nyerimu melangkah, ke sana jantungmu mencari.
Lonceng gereja mengepung rindumu di malam buta,
membangunkan si sakit dari ranjang beku
di kamar-kamar mati. Salam bagimu pasien abadi.
Suatu hari aku ingin mengajak si mayat berburu singa
di hutan purba. Melacak jejak sejarah nenek moyang
yang melahirkan nama-nama. Merunut silsilah gelap
dari mana aku datang ke mana aku pulang.
Senja hampir layu. Burung-burung berarak pulang
menuju lingkaran biru. Gaun siapa tertinggal
di bangku taman, dibawa kupu-kupu ke pucuk cemara?
Musim bunga tergesa-gesa pergi diburu musim
yang kehilangan cuaca.
Jika benar air mancur itu tak ingin tidur,
barangkali bisa kutitipkan kebosanan padanya.
Angin dan angan menyurutkan malam,
menyibakkan tirai pagi sebelum surya ungu
berayun di ambang pintu:
mengabarkan saat kematian dunia waktu.
Halte. Aku terdampar kembali di sebuah halte.
Melupakan bus yang tak akan lewat atau sudah lama lewat.
Memilih saat terbaik untuk pulang ke rumah, ke dunia entah.
Untuk datang ke ambang jendelamu, melongok wajah
seseorang yang sedang melukis matahari di telapak tangan.
Seperti pada saat keberangkatan.
(1991)
Penyanyi yang Pulang Dinihari
Ia melewati jalan yang sudah bosan
menghitung langkahnya.
Rambutnya menyimpan kunang-kunang.
Matanya ingin menggapai bintang-bintang.
Tak ada yang benar-benar mengenalinya
selain angin yang masih menyebutnya perempuan.
Perempuan itu tak mau menangis.
Air matanya sudah hanyut di sungai.
Dan meskipun sungai berulangkali meriuhkan keperihan,
arus air tak mau kembali mengulang detak jam.
Malam sekarat di balik gaun transparan
dan sisa waktu dilumatkan di ujung lengan.
Letupkan penyanyi, letupkan nada terakhir
yang belum sempat dihunjamkan.
Siapa tahu dada montok itu masih merindukan jeritan.
Tersaruk-saruk ia menyeret bayangan tubuhnya.
Gerimis hitam mengguyur wajahnya yang beku
sehingga bedak dan lipstik luntur
melumuri gaunnya yang putih.
Rambut coklatnya meleleh pekat.
Tapi singa luka itu tak mau pedih.
Mungkin hatinya merintih.
Maka kunang-kunang menggeremang di rambutnya,
bintang-bintang berkerlapan di matanya.
Ia menyanyi dan menari dan pinggulnya yang hijau
mengibaskan bayangan hitam orang-orang mati.
Tersuruk ia di sebuah tikungan
dan para peronda mau membawanya ke gardu.
Tapi singa luka itu menggeram nyalang
dan para lelaki dihardiknya pergi.
Hai perempuan, rumah mana bakal kautuju?
Awas hati-hati, di ujung jalan banyak polisi.
Ah sialan, dasar pemberani, sudah luka
masih juga menggoda. Tampaknya ia percaya
sebuah rumah setia menanti.
Seperti tamu asing, ia berhenti di depan pintu besi.
Plat nomor telah rusak, tak lagi mencantumkan angka.
Ia ragu apakah benar itu rumahnya.
Tapi ia masih ingat beha usang yang tergantung
di atas pintu, tanda sebuah dunia
atau sepenggal kehidupan masih menunggu.
Pintu besi telah mengunci diri,
menutup hati bagi tamu yang ingin singgah.
Daripada kaku dibalut embun pagi,
dipanjatnya pagar halaman berduri.
Seekor anjing menyalak nyaring
menggonggongi bau keringatnya yang asin.
Kembali ia termangu.
Ia ragu membuka pintu.
Ia takut pada pintu.
Baru setelah diketuk tujuh kali,
pintu hitam membukakan diri.
“Bukankah ini rumahmu?
Apakah engkau takut atau lupa samasekali?”
“Ya, ini memang rumahku.
Saban kali aku meninggalkannya,
saban kali pula harus mengenalinya kembali.”
Ia tertegun. Dadanya mengkerut
disepak dentang lonceng jam tiga pagi.
“Ah pintu, engkau lebih mengenal rumahku
ketimbang aku sendiri yang saban waktu merindukannya
dan kemudian meninggalkannya.
Barangkali studio-studio suara
dan panggung-panggung hiburan
telah membuatku jadi pelupa, jadi serba alpa.”
Perlahan ia melangkah ke ambang pintu.
Angin jahat menyingkap ujung gaunnya yang tipis.
Kakinya yang lembab melekat di lantai dingin.
Terasa dunia jadi lain, terasa dunia jadi lain.
Di dinding hitam sebuah topeng terkekeh-kekeh,
menyeringai menertawakan tamu asing
yang bertandang ke rumahnya sendiri.
Apakah ada malaikat yang selalu membawa anak kunci?
Kamar sudah menganga sebelum ia buka pintunya.
Dan di atas meja rias yang porak poranda
sebuah boneka masih menari-nari.
Astaga, ranjang hitam menggoyang-goyangkan diri.
Kelambu telah habis dibakar mimpi.
Sebuah radio tertidur pulas di bantal biru,
tak henti-hentinya mengigau dan meracau.
Wah, tampaknya ia tengah bercumbu dengan orang mati
yang menciptakan gelombang siaran dinihari.
Ah perempuan, yang merindukan kebangkitan musim semi,
kini tubuhmu tegak di hadapan cermin retak.
Bibirmu hangus dan mengelupas. Berdarah.
Berdarah-darahlah leher hijau yang diterkam musim panas.
Kau mengaduh. Aduh. Kepada siapa kau mengaduh?
Kepada tatapan yang hancur luluh?
Kepada cermin yang tak lagi utuh?
Wah, jidatmu yang legam dilayari kupu-kupu hitam,
diarungi cicak-cicak hitam. Serba hitam.
Perempuan itu samasekali tidak gila.
Tidak lupa pada jagad kata yang dihuninya seorang diri
tanpa cinta. Tidak sangsi dan benci pada janji-janji baik
yang diucapkan para kekasih yang mengurungnya
dalam lingkaran ilusi. Ia tidak gila.
Hanya sepi berkepanjangan, barangkali.
Dan ia benar-benar perempuan. Terbukti ia tabah,
tidak mudah menyerah pada keinginan murahan
untuk mencekik leher, memotong urat nadi.
Memang ia mengambil pisau dari laci almari,
tapi bukan untuk bunuh diri.
Ia cuma ingin menyembelih bayangan-bayangan hitam
yang berbondong-bondong di dinding legam.
Sebuah kamar bisa menjadi salon kecantikan.
Di sana ia bersolek, mengganti model rambut, alis
dan bulu mata agar setiap orang tergoda untuk pura-pura
tak mengenalnya sehingga ia bisa mendapatkan cinta baru
di atas kecantikan lama.
Demikian pula para lelaki
akan mendapatkan kejantanan kembali
pada tatapan yang sesilau kerlip api
setelah sekian lama dunia mereka miliki sendiri.
Ah lelaki, wajahmu tersipu malu disambar rayuan baru.
Lalu ia menyanyi di depan kaca almari.
Lagu-lagu lama disenandungkan kembali.
Kadang lebih merdu dari yang dinyanyikan di masa lalu,
lebih baru dari lagu-lagu terbaru.
Perempuan, kau memang hanya berlomba dengan waktu.
Tak usah ditunda lebih lama.
Bibir pedas sudah siap menerima lumatan.
Dan jika dada kenyal itu menggembung mengempiskan
hasrat-hasrat terpendam, kamar sempit siap menampung
gemuruh topan dan lalu badai kehampaan.
Tapi tak ada saat untuk menangis menggigit-gigit tangan.
Penyanyi, jangan meraung memukul-mukul dinding.
Ranjang hitam sudah menggeliat minta dekapan.
Cermin retak sudah kembali berdandan.
Tanggalkan gaun usang, cobalah menggelinjang.
Dentang lonceng jam tiga pagi tergelak-gelak
menyaksikan tubuhmu, sakitmu, yang telanjang.
(1991)
Kisah Seorang Nyumin
Demonstrasi telah bubar. Kata-kata telah bubar.
Juga gerak, teriak, gegap, gejolak.
Tak ada lagi karnaval.
Bahkan pawai dan gelombang massa telah menggiring diri
ke dataran lengang, tempat ilusi-ilusi ringan
masih bisa bertahan dari serbuan beragam ancaman.
Siapa masih bicara? Bendera, spanduk, pamflet
telah melucuti diri sebelum dilucuti para pengunjuknya.
Tak ada lagi karnaval.
Di pelataran yang mosak-masik yang tinggal hanya
koran-koran bekas, berserakan, kedinginan
diinjak-injak sepi.
Tapi di atas mimbar, di pusat arena unjuk rasa
Nyumin masih setia bertahan, sendirian.
Lima peleton pasukan mengepungnya.
“Sebutkan nama partaimu.”
“Saya tak punya partai dan tak butuh partai.”
“Lalu apa yang masih ingin kaulakukan?
Mengamuk, mengancam, menggebrak, melawan?”
“Diam, itu yang saya inginkan.”
“Lakukan, lakukan dengan tertib dan sopan.
Kami akan pulang, mengemasi senjata,
mengemasi kata-kata. Pulang ke rumah
yang teduh tenang.”
Sayang Nyumin tak bisa diam. Nyumin terus bicara,
menghardik, menghentak, meronta, meninju-ninju udara.
Dan para demonstran bersorak: “Hidup Nyumin!”
Suasana serasa senyap, sesungguhnya.
(1992)
Kisah Senja
Telah sekian lama mengembara, lelaki itu akhirnya pulang
ke rumah. Ia membuka pintu, melemparkan ransel, jaket,
dan sepatu. “Aku mau kopi,” katanya
sambil dilepasnya pakaian kotor yang kecut baunya.
Isterinya masih asyik di depan cermin, bersolek
menghabiskan bedak dan lipstik, menghabiskan sepi
dan rindu. “Aku mau piknik sebentar ke kuburan.
Tolong jaga rumah ini baik-baik. Kemarin ada pencuri
masuk mengambil buku harian dan surat-suratmu."
Tahu senja sudah menunggu, lelaki itu bergegas masuk
ke kamar mandi, gebyar-gebyur, bersiul-siul, sendirian.
Sedang isterinya berlenggak-lenggok di cermin,
mematut-matut diri, senyum-senyum, sendirian.
“Kok belum cantik juga ya?”
Lelaki itu pun berdandan, mencukur jenggot dan kumis,
mencukur nyeri dan ngilu, mengenakan busana baru.
Lalu merokok, minum kopi, ongkang-ongkang, baca koran.
“Aku minggat dulu mencari hidup. Tolong siapkan
ransel, jaket, dan sepatu.” Si isteri belum juga rampung
memugar kecantikan di sekitar mata, bibir, dan pipi.
Ia masih mojok di depan cermin, di depan halusinasi.
(1994)
Bayi di Dalam Kulkas
Bayi di dalam kulkas lebih bisa mendengarkan
pasang-surutnya angin, bisu-kelunya malam
dan kuncup-layunya bunga-bunga di dalam taman.
Dan setiap orang yang mendengar tangisnya
mengatakan: “Akulah ibumu. Aku ingin menggigil
dan membeku bersamamu.”
“Bayi, nyenyakkah tidurmu?”
“Nyenyak sekali, Ibu. Aku terbang ke langit
ke bintang-bintang ke cakrawala ke detik penciptaan
bersama angin dan awan dan hujan dan kenangan.”
“Aku ikut. Jemputlah aku, Bayi.
Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.”
Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah
di matanya, ketika Ibu menjamah tubuhnya
yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati
yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan.
“Biarkan aku tumbuh dan besar di sini, Ibu.
Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu.”
Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri
di hadapan mulut yang mengucapkannya.
(1995)
Di Salon Kecantikan
Ia duduk seharian di salon kecantikan.
Melancong ke negeri-negeri jauh di balik cermin.
Menyusuri langit putih biru jingga
dan selalu pada akhirnya: terjebak di cakrawala.
“Sekali ini aku tak mau diganggu.
Waktu seluruhnya untuk kesendirianku.”
Senja semakin senja.
Jarinya meraba kerut di pelupuk mata.
Tahu bahwa kecantikan hanya perjalanan sekejap
yang ingin diulur-ulur terus
namun toh luput juga.
Karena itu ia ingin mengatakan:
“Mata, kau bukan lagi bulan binal
yang menyimpan birahi dan misteri.”
Ia pejamkan matanya sedetik
dan cukuplah ia mengerti
bahwa gairah dan gelora
harus ia serahkan kepada usia.
Toh ia ingin tegar bertahan
dari ancaman memori dan melankoli.
Ia seorang pemberani
di tengah kecamuk sepi.
Angin itu sayup.
Gerimis itu lembut.
Ia memandang dan dipandang
wajah di balik kaca.
Ia dijaring dan menjaring
dunia di seberang sana.
Hatinya tertawan di simpang jalan
menuju fantasi atau realita.
Mengapa harus menyesal?
Mengapa takut tak kekal?
Apa beda selamat jalan dan selamat tinggal?
Kecantikan dan kematian bagai saudara kembar
yang pura-pura tak saling mengenal.
“Aku cantik.
Aku ingin tetap mempesona.
Bahkan jika ia yang di dalam cermin
merasa tua dan sia-sia.”
Yang di dalam kaca tersenyum simpul
dan menunduk malu
melihat wajah yang diobrak-abrik tatawarna.
Alisnya ia tebalkan dengan impian.
Rambutnya ia hitamkan dengan kenangan.
Dan ia ingin mengatakan:
“Rambut, kau bukan lagi padang rumput
yang dikagumi para pemburu.”
Kini ia sampai di negeri yang paling ia kangeni.
“Aku mau singgah di rumah yang terang benderang.
Yang dindingnya adalah kaki langit.
Yang terpencil terkucil di seberang ingatan.
Aku mau menengok bunga merah
yang menjulur liar
di sudut kamar.”
Ada saatnya ia waswas
kalau yang di dalam cermin memalingkan muka
karena bosan, karena tak betah lagi berlama-lama
menjadi bayangannya
lalu melengos ke arah tiada.
Lagu itu lirih.
Suara itu letih.
Di ujung kecantikan jarum jam
mulai mengukur irama jantungnya.
“Aku minta sedikit waktu lagi
buat tamasya ke dalam cemas.
Malam sudah hendak menjemputku
di depan pintu.”
Keningnya ia rapatkan pada kaca.
Pandangnya ia lekatkan pada cahaya.
Ia menatap. Ia melihat pada bola matanya
segerombolan pemburu beriringan pulang
membawa bangkai singa.
Senja semakin senja.
Kupu-kupu putih hinggap di pucuk payudara.
Tangannya meremas kenyal yang surut
dari sintal dada.
Dan ia ingin mengatakan:
“Dada, kau bukan lagi pegunungan indah
yang dijelajahi para pendaki.”
Ia mulai tabah kini
justru di saat cermin hendak merebut
dan mengurung tubuhnya.
“Serahkan. Kau akan kurangkum,
kukuasai seluruhnya.”
Ia ingin masih cantik
di saat langit di dalam cermin berangsur luruh.
Hatinya semakin dekat
kepada yang jauh.
(1995)
Malam Pembredelan
Segerombolan pembunuh telah mengepung rumahnya.
Mereka menggigil di bawah hujan yang sejak sore
bersiap menyaksikan kematiannya.
Malam sangat ngelangut, seperti masa muda
yang harus bergegas ke pelabuhan,
meninggalkan saat-saat indah penuh kenangan.
Ia sendiri tetap tenang, ingin santai dan damai
menghadapi detik-detik akhir kehancuran.
Ia mengenakan pakaian serba putih
dengan rambut disisir rapih dan wajah amat bersih.
Bahkan ia masih sempat menghabiskan sisa kopi
di cangkir ungu sambil bersiul dan sesekali berlagu.
“Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua
yang akan Saudara rampas dan musnahkan: kata-kata,
suara-suara, atau apa saja yang Saudara takuti
tetapi sebenarnya tidak saya miliki.”
Ia berdiri di ambang pintu.
Ditatapnya wajah pembunuh itu satu satu.
Mereka gemetar dan memandang ragu.
“Maaf, kami agak gugup.
Anda ternyata lebih berani dari yang kami kira.
Kami melihat kata-kata berbaris gagah
di sekitar bola mata Anda.”
“Terima kasih, Saudara masih juga berkelakar
dan pura-pura menghibur saya.
Cepat laksanakan tugas Saudara atau kata-kata
akan balik menyerang Saudara.”
“Baiklah, perkenankan kami sita dan kami bawa
kata-kata yang bahkan telah Anda siapkan dengan rela.
Sedapat mungkin kami akan membinasakannya.”
“Ah, itu kan hanya kata-kata.
Saya punya yang lebih dahsyat dari kata-kata.”
Tanpa kata-kata, gerombolan pembunuh itu berderap pulang.
Tubuh mereka yang seram, wajah mereka yang nyalang
lenyap ditelan malam dan hujan.
Sementara di atas seratus halaman majalah
yang seluruhnya kosong dan lengang
kata-kata bergerak riang seperti di keheningan sebuah taman.
Sebab, demikian ditulisnya dengan tinta merah:
"Kata-kata adalah kupu-kupu yang berebut bunga,
adalah bunga-bunga yang berebut warna,
adalah warna-warna yang berebut cahaya,
adalah cahaya yang berebut cakrawala,
adalah cakrawala yang berebut saya."
Lalu ia tidur pulas.
Segerombolan pembunuh lain telah mengepung rumahnya.
(1995)
Kisah Semalam
Yang ditunggu belum juga datang. Tapi masih digenggamnya
surat terakhir yang sudah dibaca berulang. “Aku pasti pulang
pada suatu akhir petang. Tentu dengan bunga plastik
yang kauberikan saat kau mengusirku sambil menggebrak pintu:
‘Minggat saja kau, bajingan. Aku akan selamanya di sini,
di rumah yang terpencil di sudut kenangan.’”
Belum sudah ia bereskan resahnya. Tapi malam buru-buru
mengingatkan: “Kau sudah telanjang, kok belum juga mandi
dan berdandan.” Maka ia pun lekas berdiri dan dengan berani
melangkah ke kamar mandi. “Aku mau bersih-bersih dulu.
Aku mau berendam semalaman, menyingkirkan segala
yang berantakan dan berdebu di molek tubuhku.”
Dan suntuklah ia bekerja, membangun kembali keindahan
yang dikira bakal cepat sirna:
kota tua yang porak poranda pada wajah
yang mulai kumal dan kusam;
langit kusut pada mata yang memancarkan
cahaya redup kunang-kunang;
hutan pinus yang meranggas pada rambut
yang mulai pudar hitamnya;
padang rumput kering pada ketiak
yang kacau baunya;
bukit-bukit keriput pada payudara yang sedang
susut kenyalnya;
pegunungan tandus pada pinggul dan pantat
yang mulai lunglai goyangnya;
dan lembah duka yang menganga antara perut dan paha.
Benar-benar pemberani. Tak gentar ia pada sepi
dan gerombolannya yang mengancam lewat lolong anjing
di bawah hujan. Ada suara memanggil pelan.
Ada cermin besar hendak merebut sisa-sisa kecantikan.
Ada juga yang mengintip diam-diam sambil terkagum-kagum:
“Wow, gadisku yang rupawan tambah montok dan menawan.
Aku ingin mengajaknya lelap dalam hangat pertemuan.”
“Ah, dasar bajingan. Kau cuma ingin mencuri kecantikanku.
Kau memang selalu datang dan pergi tanpa setahuku.
Masuklah kalau berani. Pintunya sengaja tak aku kunci.”
Tak ada sahutan. Cuma ada yang cekikikan
dan terbirit-birit pergi seperti takut segera ketahuan.
“Baiklah, kalau begitu, permisi. Permisi cermin.
Permisi kamar mandi. Permisi gunting, sisir, bedak, lipstik,
minyak wangi dan kawan-kawan. Aku sekarang mau tidur, ngorok.
Aku mau terbang tinggi, menggelepar, dalam jaring melankoli.”
Sesudah itu ia sering mangkal di kuburan,
menunggu kekasihnya datang. Tentu dengan setangkai
kembang plastik yang dulu ia berikan.
(1996)
Gadis Malam di Tembok Kota
untuk Ahmad Syubannuddin Alwy
Tubuhnya kuyup diguyur hujan.
Rambutnya awut-awutan dijarah angin malam.
Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang
seperti ingin memamerkan kecantikan:
wajah ranum yang merahasiakan derita dunia;
leher langsat yang menyimpan beribu jeritan;
dada montok yang mengentalkan darah dan nanah;
dan lubang sunyi, di bawah pusar,
yang dirimbuni semak berduri.
Dan malam itu datang seorang pangeran
dengan celana komprang, baju kedodoran, rambut
acak-acakan. Datang menemui gadisnya yang lagi kasmaran.
“Aku rindu Mas Alwy yang tahan meracau seharian,
yang tawanya ngakak membikin ranjang reyot
bergoyang-goyang, yang jalannya sedikit goyah
tapi gagah juga. Selamat malam, Alwy.”
“Selamat malam, Kitty. Aku datang membawa puisi.
Datang sebagai pasien rumah sakit jiwa dari negeri
yang penuh pekik dan basa-basi.”
Ini musim birahi. Kupu-kupu berhamburan liar
mencecar bunga-bunga layu yang bersolek di bawah
cahaya merkuri. Dan bila situasi politik memungkinkan,
tentu akan semakin banyak yang gencar bercinta
tanpa merasa waswas akan ditahan dan diamankan.
“Merapatlah ke gigil tubuhku, penyairku.
Ledakkan puisimu di nyeri dadaku.”
“Tapi aku ini bukan binatang jalang, Kitty.
Aku tak pandai meradang, menerjang.”
Sesaat ada juga keabadian. Diusapnya pipi muda,
leher hangat, dan bibir lezat yang terancam kelu.
Dan dengan cinta yang agak berangasan diterkamnya
dada yang beku, pinggang yang ngilu, seperti luka
yang menyerahkan diri kepada sembilu.
“Aku sayang Mas Alwy yang matanya beringas
tapi ada teduhnya. Yang cintanya ganas tapi ada lembutnya.
Yang jidatnya licin dan luas, tempat segala kelakar
dan kesakitan begadang semalaman.
Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat,
mesti kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar
di puncak risau. Maaf, aku tak punya banyak waktu
buat bercinta. Aku mesti lebih jauh lagi mengembara
di papan-papan iklan. Tragis bukan, jauh-jauh datang
dari Amerika cuma untuk jadi penghibur
di negeri orang-orang kesepian?”
“Terima kasih, gadisku.”
“Peduli amat, penyairku.”
(1996)
Jauh
Jauh nian perjalanan di atas ranjang
padahal resah cuma berkisar
dalam pusaran arus gelombang.
Kaudaki puncak risau dalam galau malam
namun selalu kandas dihadang
konspirasi kecemasan.
Memang harus sabar dan tawakal
meniti birokrasi kematian.
Lantas laut mencampakkan kau ke pelabuhan.
Kauseret bangkai kapal yang terbakar
ke pantai gersang.
Kau terhempas kembali ke dataran lengang,
menyusuri rute panjang kelahiran.
Kau mengambang, melayang
seperti bayi terlelap
dalam ayunan ranjang.
(1996)
Ranjang Putih
Ranjang telah dibersihkan.
Kain serba putih telah dirapihkan.
Laut telah dihamparkan.
Kayuhlah perahu ke teluk persinggahan.
Sampai di seberang
tubuhmu tinggal tulang-belulang
dan perahumu tertatih-tatih sendirian
pulang ke haribaan ranjang.
Ranjang telah dibersihkan.
Laut telah disenyapkan.
Ombak telah diredakan.
Tapi kau tak kunjung pulang.
Mungkin tubuhmu enggan dikubur
di kesunyian ranjang.
(1996)
Pulang Malam
Kami tiba larut malam.
Ranjang telah terbakar
dan api yang menjalar ke seluruh kamar
belum habis berkobar.
Di atas puing-puing mimpi
dan reruntuhan waktu
tubuh kami hangus dan membangkai
dan api siap melumatnya
menjadi asap dan abu.
Kami sepasang mayat
ingin kekal berpelukan dan tidur damai
dalam dekapan ranjang.
(1996)
Keranda
Ranjang meminta kembali tubuh
yang pernah dilahirkan dan diasuhnya
dengan sepenuh cinta.
“Semoga anakku yang pemberani,
yang jauh merantau ke negeri-negeri igauan,
menemukan jalan untuk pulang;
pun jika aku sudah lapuk dan karatan.”
Tapi tubuh sudah begitu jauh mengembara.
Kalaupun sesekali datang, ia datang
hanya untuk menabung luka.
Dan ketika akhirnya pulang
ia sudah mayat tinggal rangka.
Bagai si buta yang renta dan terbata-bata
ia mengetuk-ngetuk pintu: “Ibu!”
Ranjang yang demikian tegar lagi penyabar
memeluknya erat: “Aku rela jadi keranda untukmu.”
(1996)
Korban
Darah berceceran di atas ranjang.
Jejak-jejak kaki pemburu membawa kami
tersesat di tengah hutan.
Siapakah korban yang telah terbantai
di malam yang begini tenang dan damai?
Terdengar jerit lengking perempuan yang terluka
dan gagak-gagak datang menjemput ajalnya.
Tapi perempuan anggun itu tiba-tiba muncul
dari balik kegelapan
dan dengan angkuh dilemparkannya
bangkai pemburu yang malang.
“Beginilah jika ada yang lancang mengusik
jagad mimpiku yang tenteram.
Hanya aku penguasa di wilayah ranjang.”
(1996)
Elegi
Bantal, guling, selimut berpamitan kepada ranjang.
“Ibu yang penyayang, sudah sekian lama
kami membantu Ibu mengasuh anak-anak terlantar
dan sebatang kara, memberi mereka tempat terindah
buat bercinta, dan merawat mereka ketika sudah pikun
dan tak berdaya. Kini saatnya kami harus pergi
meninggalkan kisah yang penuh misteri.”
“Memang sekali waktu kita perlu istirah.
Aku sendiri pun sangat lelah.
Aku akan pergi juga, ziarah ke asal-muasal kisah cinta
yang melahirkan dongengan panjang penuh rahasia.”
Demikianlah di subuh yang hening itu kami pergi
ke pelabuhan, melepas ranjang kami yang tua berangkat
berlayar ke laut yang luas dan terang.
Waktu dan usia seperti perjalanan sebuah doa
ketika ranjang kami yang reyot dan renta
bergoyang-goyang bagai tongkang, bagai keranda.
Terhuyung-huyung dan terbata-bata
mencari tanah pusaka yang jauh di seberang sana.
(1996)
Celana, 1
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.
“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan:
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
(1996)
Celana, 2
Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana
yang bagus dan sopan, tapi tak pernah diajar melukis
seluk-beluk yang di dalam celana, sehingga kami pun tumbuh
menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut,
bahkan terhadap nasib kami sendiri.
Karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi
membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi
sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang
yang suka cabul terhadap diri sendiri.
Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi
tentang hal-ihwal yang di dalam celana:
ada raja kecil yang galak dan suka memberontak;
ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi
rahasia alam semesta;
ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma;
ada juga gua garba yang diziarahi para pendosa
dan pendoa.
Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun
akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana
dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.
(1996)
Celana, 3
Ia telah mendapatkan celana idaman
yang lama didambakan, meskipun untuk itu
ia harus berkeliling kota
dan masuk ke setiap toko busana.
Ia memantas-mantas celananya di cermin
sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya
pantat tepos yang sok perkasa.
“Ini asli buatan Amerika,” katanya
kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca.
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.”
Tapi perempuan itu lebih tertarik
pada yang bertengger di dalam celana.
Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!”
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,
yang gagah dan canggih modelnya,
dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya
sudah kabur entah ke mana.
(1996)
Boneka, 1
Setelah terusir dan terlunta-lunta di negerinya sendiri,
pelarian itu akhirnya diterima oleh sebuah keluarga boneka.
“Kami keluarga besar yang berasal dari berbagai suku bangsa.
Kami telah menciptakan adat istiadat menurut cara kami
masing-masing, hidup damai dan merdeka
tanpa menghiraukan lagi asal-usul kami.
Anda sendiri, Tuan, datang dari negeri mana?”
“Saya datang dari negeri yang pemimpin dan rakyatnya
telah menyerupai boneka. Saya tidak betah lagi tinggal
di sana karena saya ingin tetap menjadi manusia.”
Keluarga boneka itu tampak bahagia. Mereka berbicara
dan saling mencintai dengan bahasa mereka masing-masing
tanpa ada yang merasa dihina dan disakiti.
Lama-lama si pembuat boneka itu merasa asing
dan tak tahan menjadi bahan cemoohan makhluk-makhluk
ciptaannya sendiri. Ia terpaksa pulang ke negeri asalnya
dan mencoba bertahan hidup di dunia nyata.
(1996)
Boneka, 2
Rumah itu sudah lama ditinggalkan pemiliknya.
Ia minggat begitu saja tanpa meninggalkan pesan apa pun
kepada boneka-boneka kesayangannya.
“Mungkin ia sudah bosan dengan kita,” gajah berkata.
“Mungkin sudah hijrah ke lain kota,” anjing berkata.
“Mungkin pulang ke kampung asalnya,” celeng berkata.
“Jangan-jangan sudah mampus,” singa berkata.
“Ah, ia sedang nonton dangdut di kuburan,” monyet berkata.
“Siapa tahu ia tersesat di tanah leluhur kita,” yang lain berkata.
Mereka kemudian sepakat mengurus rumah itu
dan menjadikannya suaka margasatwa.
Pemilik rumah itu akhirnya pulang juga.
Ia masuk begitu saja, namun boneka macan yang perkasa
dan menyeramkan itu menyergahnya.
“Maaf, Anda siapa ya?”
“Lho, ini kan rumahku sendiri.”
“Bercanda ya? Rasanya kami tak mengenal Anda.
Mungkin Anda salah alamat. Sebaiknya Anda segera pergi
sebelum kami telanjangi dan kami seret ke alam mimpi.”
(1996)
Boneka, 3
Boneka monyet itu mengajakku bermain ke rumahnya.
Di sana telah menunggu siamang, orangutan, simpanse,
gorila, lutung dan bermacam-macam kera lainnya.
“Kenalkan, ini saudara-saudaramu juga,” monyet berkata.
“Kita mau bikin pesta kangen-kangenan sambil arisan.”
Aku ingin segera minggat dari rumah jahanam itu,
tapi monyet brengsek itu cepat-cepat menggamit lenganku.
“Jangan terburu-buru. Kita foto bersama dululah.”
Kami pun berpotret bersama.
Monyet menyuruhku berdiri paling tengah.
“Kau yang paling ganteng di antara kami,” siamang berkata.
“Siapa yang paling lucu di antara kita?” monyet bercanda.
“Yang di tengah,” lutung berkata.
“Ia tampak kusut dan murung karena bersikeras hidup
di alam nyata,” gorila berkata. Mereka semua tertawa.
(1996)
Boneka dalam Celana
Kau pusing
seharian keluar-masuk toko mainan
hanya untuk mendapatkan boneka lucu
yang akan kaugantung di atas ranjang.
Padahal di dalam celana
ada boneka paling jenaka
: boneka kecil yang sering tiba-tiba
menjelma raksasa.
Kau bilang
boneka mungilmu suka keluyuran
ke kebun binatang, ke suaka margasatwa,
ke hutan yang banyak hewan liarnya,
katanya untuk bermain dengan teman-temannya.
Kau sudah memanjakannya
dengan berbagai model celana
yang mahal harganya
tapi ia selalu lolos dan tak pernah
krasan tinggal di dalamnya.
“Sumpek dan penuh aturan,” katanya.
Konon raksasa kecil itu
telah menjadi seorang tiran.
Telah diproklamasikannya sebuah republik
dan kau sendiri rela dinobatkan
sebagai pengawalnya.
“Siapkan pasukan!” kata sang tiran.
“Akan kuserbu musuh-musuh
yang merongrong kekuasaan.”
“Siap Paduka,” timpal pengawal.
“Akan hamba tumpas para perusuh
yang mengancam kedaulatan.”
Di republik celana
tiran yang sangat kejam dan pendendam itu
sekarang telah menjadi raja telanjang
yang tua-renta dan sakit-sakitan.
Sehari-hari ia cuma duduk terkantuk-kantuk
di kursi goyang
sambil mulutnya komat-kamit
dan kepalanya menggeleng ke kanan ke kiri
tapi batuknya masih dianggap sakti.
Pengawal: “Kalau Paduka sudah lelah
dan hendak istirah, silakan.
Hamba bersedia menggantikan Paduka
duduk di tampuk kekuasaan.”
Di sebuah toko mainan
kaudapatkan juga boneka lucu
yang kauinginkan; kaugantungkan di atas ranjang
sehingga kau tidak lagi kesepian.
Dan boneka jenaka di dalam celanamu cemburu
karena merasa telah mendapatkan saingan.
(1997)
Terkenang Celana Pak Guru
Masih pagi sekali, Bapak Guru sudah siap di kelas.
Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk,
kemudian terkulai di atas meja.
Kami, anak-anak yang bengal dan nakal, beriringan masuk
sambil mengucapkan: “Selamat pagi, Bapak Guru.”
Bapak Guru tambah nyenyak. Dengkur dan air liurnya
seakan mau mengatakan: “Bapak sangat lelah.”
Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. Bapak Guru telah berjanji
menceritakan kisah para pahlawan yang potretnya terpampang
di seluruh ruang. Tapi kami tak tega membangunkannya.
Kami baca di papan tulis: “Baca halaman 10 dan seterusnya.
Hafalkan semua nama dan peristiwa.”
Sudah siang, Bapak Guru belum juga siuman.
Hanya rits celananya yang setengah terbuka
seakan mau mengatakan: “Bapak habis lembur semalam.”
Ada yang cekikikan. Ada yang terharu dan mengusap matanya
yang berkaca-kaca. Ada pula yang lancang membelai-belai
gundulnya sambil berkata: “Kasihan kepala
yang suka ikut penataran ini.”
Sekian tahun kemudian kami datang mengunjungi
seorang sahabat yang sedang tidur di dalam makam
di bekas lahan sekolah kami. Kami lihat seorang lelaki tua
terbungkuk-bungkuk membukakan pintu kuburan.
“Silakan,” katanya.
“Dia Pak Guru kita itu!” temanku berseru.
“Kau ingat rits celananya yang setengah terbuka?”
“Tenang. Jangan mengusik ketenteramannya,”
aku memperingatkan.
“Dia pasti damai dan bahagia di tempat yang begini bersih
dan tenang,” kata temanku sambil menunjuk nisan sahabatnya.
“Kelak aku juga ingin dikubur di sini,” sambungnya.
“Ah, jangan berpikir yang bukan-bukan,” timpalku.
Sementara si penjaga kuburan yang celananya congklang
dan rambutnya sudah memutih semua diam-diam
mengawasi kami dari balik pohon kamboja.
(1997)
Poster Setengah Telanjang
untuk AM
Si kecil yang suka makan es krim itu sudah besar
dan perawan, sudah tidak pemalu dan ingusan.
Ia gemar melucu dan pintar juga menggodamu.
“Kau penyair ya? Kutahu itu dari kepalamu
yang botak dan licin seperti semangka.”
Kau tergoda dan ingin lebih lama terpana
ketika matanya mengerjap dan bulan muncrat
di atas rambutnya yang hitam pekat.
Malam heboh sekali.
Orang-orang mulai resah menunggu kereta.
“Perempuan, kau mau ikut?”
“Emoh ah,” katanya.
Kereta sudah siap.
Para pelayat berjejal di dalam gerbong
sambil melambai-lambaikan bendera.
“Perempuan, ikutlah bersama kami.
Kita akan pergi menyambut revolusi.”
“Ah, revolusi. Revolusi telah kulipat
dan kuselipkan ke dalam beha.”
“Lancang benar ia. Berani menantang kita
dengan senyumnya yang sangat subversif.
Ia sungguh berbahaya.”
Lonceng terakhir telah selesai menyanyikan
“Sepasang Mata Bola”. Tinggallah malam
yang redam, langit yang diam.
Tinggallah airmata yang menetes pelan
ke dalam segelas bir yang menempel pada dada
yang setengah terbuka, setengah merdeka.
(1997)
Ziarah
Masih ada sebuah rumah di sana
yang tak pernah mengharap seseorang
datang mengunjunginya.
Masih ada dinding-dinding kusam,
ruang bersih terang, jendela-jendela putih
tempat senja berpendaran
dengan rambutnya yang keemasan.
Masih ada si kecil lagi asyik menggambar
pada tembok penuh coretan.
“Semalam hujan singgah sebentar,
dan setelah meninggalkan riciknya di kulkas itu
ia pun berangkat ke sebuah kota yang jauh.”
Ingin kupeluk dan kucium parasnya yang lucu,
tapi tak ingin dunia kecilnya kusintuh.
“Lihat, aku sedang melukis laut, gerimis
dan perahu oleng yang dikayuh nelayan kecil
menuju pantai yang teduh.”
Masih. Masih ada seseorang sedang duduk
membungkuk di bawah redup cahaya,
khusyuk membaca berkas-berkas tua.
“Semalam si mayat datang dengan baju baru.
Ia titipkan salam manisnya untukmu.”
Ingin kutrima batuknya dalam paru-paruku
tapi tak ingin kusintuh kantuknya, rindunya
sebab hatinya lebih tegar dari waktu.
“Maaf, aku sedang membaca surat-surat
yang telah lama kutulis, tapi tak pernah
kukirim karena tak kutahu alamatmu.”
(1997)
Januari
untuk NAF
Januari yang lusuh datang padaku
dengan wajah putih kelabu.
“Beri aku tempat perlindungan.
Musim begitu rusuh.
Bahaya mengancam dari segala jurusan.”
Hujan yang basah kuyup tubuhnya
kuungsikan ke dalam botol bersama kilat,
guruh dan ledakan-ledakan petirnya.
Angin yang menggigil kedinginan
kusembunyikan ke dalam gelas
bersama desah, desau dan desirnya.
Semoga sekalian kata dan makna
yang kuziarahi bertahun-tahun lamanya
ikhlas menerima cobaan yang tiada putusnya
sebab memang begitu jauh
jarak perjalanan di antara mereka.
Semoga sekalian luka dan sembilu
yang tak henti-henti meruyaknya
tidak saling sayat dan sakit hati
justru karena demikian dalam percintaan
di antara keduanya.
Januari yang lusuh datang padaku
seperti doa yang rela bersekutu
dengan sekalian kata dan ucapan
yang sering gagap dan gagu.
(1997)
Sumber dari SINI
Pada usia lima tahun ia menemukan
tahilalat di alis ibunya,
terlindung bulu-bulu hitam lembut,
seperti cinta yang betah berjaga
di tempat yang tak diketahui mata.
Kadang tahilalat itu memancarkan cahaya
selagi si ibu lelap tidurnya.
Dengan girang ia mengecupnya:
“Selamat malam, kunang-kunangku.”
Ketika ia beranjak remaja
dan beban hidup bertambah berat saja,
tahilalat itu hijrah ke tengkuk ibunya,
tertutup rambut yang mulai layu,
seperti doa yang merapalkan diri
di tempat yang hanya diketahui hati.
Disingkapnya rambut si ibu,
diciumnya tahilalat itu: “Maaf,
sering lupa kuucapkan amin untukmu.”
Akhirnya ia benar-benar sudah dewasa,
sudah siap meninggalkan rumah ibunya,
dan ia tak tahu tahilalat itu pindah ke mana.
“Jika kau menemukannya,
masihkah kau akan mengecupnya,
akankah kau menciumnya?” si ibu bertanya.
Ah, tahilalat itu telah hinggap
dan melekat di puting susu ibunya.
(2011)
Asu
Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit
saya berpapasan dengan anjing besar
yang melaju dari arah yang saya tuju.
Matanya merah; tatapannya yang kidal
membuat saya mundur beberapa jengkal.
Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang
menjadi korban gigit anjing gila.
Mereka diserang demam berkepanjangan,
bahkan ada yang sampai kesurupan.
Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul
mesin ketiknya dan mengumpat, "Asu!"
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, "Asu!"
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.
Pernah saya bertanya, "Asu itu apa, Yah?"
"Asu itu anjing yang baik hati," jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
"Coba, menurut kamu, asu itu apa?"
"Asu itu anjing yang suka minum susu," jawab saya.
Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, "Selamat sore, asu."
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, "Selamat sore, su!"
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
"Tolong, tolong...! Anjing, anjing...!"
(2011)
Kedai Minum
Hatimu yang terlalu penuh
jatuh ke lantai, pyaaarrr....
Dua orang sepi,
dengan seragam hitam putih,
memunguti pecahan beling.
"Ini gelas ketiga yang hancur
malam ini," pelayan yang satu berkata.
Yang satu lagi menyelamatkan botol
yang hampir terguling.
Busa bir tersisa di sudut bibir.
Musik baru saja berakhir.
Tanganmu masih memegang buku puisi.
Kau terkapar
di kedai minum milikmu sendiri.
(2011)
Baju Baru
Hari ini bapak gajian.
Gaji bapak naik sedikit,
harga-harga naik banyak.
Bapak belikan aku baju,
hadiah naik kelas.
Bajuku bagus, bagus bajuku,
bergambar presiden naik becak,
tukang becaknya mirip bapak.
Presidennya tertawa,
bang becaknya pura-pura tertawa.
Presidennya berteriak "Merdeka!",
tukang becaknya berteriak "Meldeka!"
Seminggu dipakai terus,
bajuku dicuci ibu.
Ibu bingung, habis dicuci
bajuku rusak gambarnya.
Becaknya masih,
tukang becaknya masih,
tapi presidennya entah ke mana.
(2011)
Piano
: Ananda Sukarlan
Telah kuserahkan hatiku yang lelah
ke dalam tanganmu, piano.
Cepat, cepat mainkan lagu terbaikmu.
Di padang hening aku terbaring.
Jari-jarimu yang merdu
menari-nari di atas rusukku,
menggetarkan bilah-bilah igaku.
Tubuhku menggelepar saat kausentuh liar
sepasang not yang sedang mekar.
Kudengar gemuruh malam di bukit yang jauh
dan jeritan rendah di lembah yang resah.
Telah kuserahkan cintaku yang basah
ke dalam tanganmu, piano.
Cepat, cepat letupkan nada terakhirmu.
(2011)
Kunang-kunang
Ketika kecil ia sering diajak ayahnya bergadang
di bawah pohon cemara di atas bukit.
Ayahnya senang sekali menggendongnya
menyeberangi sungai, menyusuri jalan setapak
yang berkelok-kelok dan menanjak.
Sampai di puncak, mereka membuat unggun api,
berdiang, menemani malam, menjaring sepi.
Ia sangat girang melihat kunang-kunang berpendaran.
"Kunang-kunang itu artinya apa, Yah?"
"Kunang-kunang itu artinya kenang-kenang."
Ia terbengong, tidak paham bahwa ayahnya
sedang mengajarinya bermain kata.
Bila ia sudah terkantuk-kantuk, si ayah segera
mengajaknya pulang, dan sebelum sampai di rumah,
ia sudah terlelap di gendongan.
Ayahnya menelentangkannya di atas amben tua,
lalu menaruh seekor kunang-kunang di atas keningnya.
Saat ia pamit pergi ngembara, ayahnya membekalinya
dengan sebutir kenang-kenang dalam botol.
"Pandanglah dengan mesra kenang-kenang ini
saat kau sedang gelap atau mati kata;
maka kunang-kunang akan datang memberimu cahaya."
Kini ayahnya sudah ringkih dan renta.
"Aku ingin ke bukit melihat kunang-kunang.
Bisakah kau mengantarku ke sana?"
Malam-malam ia menggendong ayahnya
menyusuri jalan setapak menuju bukit.
"Apakah pohon cemara itu masih ada, Yah?"
tanyanya sambil terengah-engah.
"Masih. Kadang ia menanyakan kau
dan kubilang saja: Oh, dia sudah jadi pemain kata."
"Nah, kita sudah sampai, Yah. Mari kita bikin unggun."
Si ayah tidak menyahut. Pelukannya semakin erat.
"Tunggu, Yah, kunang-kunang sebentar lagi datang."
Si ayah tidak membalas. Tubuhnya tiba-tiba memberat.
Ia pun mengerti, si ayah tak akan bisa berkata-kata lagi.
Pelan-pelan ia lepaskan ayahnya dari gendongan.
Ketika ia baringkan jasadnya di bawah pohon cemara,
seribu kunang-kunang datang mengerubunginya,
seribu kenang-kenang bertaburan di atas tubuhnya.
"Selamat jalan, Yah. In paradisum deducant te angeli."
(2010)
Cenala
(1)
Saya sedang tamasya di sebuah halaman buku puisi.
Buku puisi itu sedang dibaca seorang penyendiri
di bawah pohon beringin di alun-alun kota.
Saat duduk-duduk di bawah judul puisi, saya terpikat
pada kata celana. Saya penasaran dan segera mendekatinya.
Ternyata itu sebuah tabir besar berbentuk celana.
Saya buka tabir itu dan tahu-tahu saya sudah berdiri
di depan jurang yang merah menganga.
Saat itu juga saya berteriak, "Tolong! Tolong!"
Karena panik, saya tak sempat menutup kembali tabir itu
dengan sempurna seperti semula.
Si penyendiri yang sedang suntuk membaca itu kaget
mendengar jeritan tolong, tolong. Lebih kaget lagi
melihat kata celana telah berubah menjadi cenala.
Ia menoleh ke kanan ke kiri, lalu buru-buru pergi,
persis saat senja sedang terjun ke jurang cakrawala.
(2)
“Bu, mengapa saya diberi nama Cenala?”
“Waktu itu bapakmu sedang di kamar mandi,
sementara aku sedang berjuang melahirkanmu,
ditemani dukun bayi. Bapakmu terlalu gembira
mendengar tangis pertamamu dan ingin segera melihatmu.
Ia tergesa-gesa mengenakan celana sampai-sampai
celananya terbalik. Itulah sebabnya, kau dinamai Cenala.”
“Tapi cenala itu artinya apa, Bu?”
“Jangankan aku, kamus pun tak tahu artinya.
Bapakmu juga tak pernah menjelaskannya.”
“Lalu bagaimana saya dapat mengetahuinya?”
“Almarhum bapakmu punya teman baik,
seorang pengumpul barang-barang antik,
yang pandai membaca tanda. Dia tinggal di Yogya.
Tapi dia sulit ditemui dan belum tentu mau ditemui
secara orangnya tak kalah antiknya. Sebelum wafat,
bapakmu sempat menitipkan sejumlah rahasia padanya.”
(3)
Saya berada kembali di sebuah halaman buku puisi.
Buku puisi itu sedang dibaca seorang penyendiri
di bawah pohon mangga di belakang rumahnya.
Saya lihat kata cenala telah kembali menjadi celana.
Saya masih penasaran dan ingin membuka lagi tabirnya.
Tabir terbuka dan tahu-tahu saya sudah terdampar
di sebuah trotoar di satu sudut kota Yogya.
Saya lihat seorang lelaki tua sedang berbincang
dengan temannya di warung angkringan di remang cahaya.
Saya segera memanggilnya, "Ayah! Ayah!"
Si penyendiri yang sedang suntuk membaca itu terkejut
mendengar teriakan ayah, ayah. Lebih terkejut lagi
melihat kata cenala telah berubah menjadi celana.
Saya buru-buru kabur supaya tidak ditangkap
dan disekap oleh pembaca yang mulai gelisah itu.
(2010)
Pengamen Kecil
Ke belantara Jakarta ia pergi ngembara.
Di tembok-tembok kota mimpinya menggema.
Senar gitarnya terbuat dari rambut ibunya.
Keringatnya terbuat dari peluh bapaknya.
Bila ia berdendang dan memetik gitarnya,
ibunya yang jauh di kampung berdesir-desir hatinya.
(2010)
Bulan
Bulan yang kedinginan
berbisik padamu:
“Bolehkah aku mandi sesaat saja
di hangat matamu?”
Malam sepenuhnya milikmu
ketika bulan tercebur
ke dingin matamu.
Bulan itu bulatan hatimu,
bertengger di dahan waktu.
(2010)
Orang Gila Baru
Sesungguhnya saya malas membaca sajak-sajak saya sendiri.
Setiap saya membaca sajak yang saya tulis, dari balik
gerumbul kata-kata tiba-tiba muncul orang gila baru
yang dengan setengah waras berkata,
“Numpang tanya, apakah anda tahu alamat rumah saya?”
Kuantar ia ke rumah sakit jiwa dan dengan lembut kukatakan,
“Ini rumahmu. Beristirahatlah dalam damai.”
Gila, ia malah mencengkeram leher baju saya dan meradang,
“Ini rumahmu, bukan rumahku.”
Pernah saya mendapatkannya sedang berlari-lari kecil
di jalanan panas, lalu mendadak berhenti, mendongak ke langit,
menghormat matahari. Kali lain saya menemukannya
sedang tercenung di pinggir jalan sambil tersenyum terus,
seperti orang malang sedang menertawakan nasibnya sendiri.
Saya hanya bisa berdoa dalam hati, semoga ia tidak pulang
ke dalam sajak-sajak saya.
Mungkin cara terbaik untuk mencegah kemunculannya
dan terhindar dari gangguannya adalah berhenti menulis.
Tapi kawan saya bilang, “Tanpa dia, sudah lama kamu mati.”
(2010)
Kamar Nomor 1105
Pada akhir pekan saya menyepi di sebuah hotel tua
di pinggiran kota. Petugas hotel mengantar saya
ke kamar nomor 1105. “Sudah lama kamar ini tidak dihuni.
Tak ada tamu yang berani menginap di sini.”
Kamar itu lumayan besar, dilengkapi empat meja bundar.
Saya bersiap lembur, menunaikan kerja menggambar.
Di meja-1 jokpin-1 menyulut sebatang rokok,
melamun sebentar, kemudian mulai menggambar
mobil jenazah. Supaya tidak tampak seram,
mobil jenazah itu diberi warna biru langit
dan dikasih tulisan Mati untuk Hidup Abadi.
Di meja-2 jokpin-2 sibuk menggambar sopir mobil jenazah
sambil dengan khidmat menyedot rokok.
Sopir mobil jenazah itu berusia sekitar 55 tahun,
kulitnya hitam manis, memakai kopiah, bersepatu sendal,
mengenakan baju batik, kepalanya berhiaskan uban.
Ia sopir yang lugu dan sopan. Ia punya cara khas
untuk menghormat jenazah yang diantar masuk
ke dalam mobilnya: membungkuk, terpejam,
sambil menempelkan telapak tangan kanan ke dada.
Di meja-3 jokpin-3 suntuk menggambar peti jenazah
sambil sesekali mempermainkan asap rokok.
Peti jenazah bikinannya sederhana saja, tanpa ukiran dan hiasan.
Ia tidak ingin peti jenazah itu tampak lebih mewah
dari jenazah yang akan ditidurkan di dalamnya.
Di meja-4 jokpin-4 bertugas menggambar jenazah.
Ia tampak sangat gelisah sampai-sampai tanpa sadar
dimatikannya rokok yang baru separuh dihisapnya.
Berkali-kali ia membuat sketsa, tak ada satu pun yang jadi.
Ia ingin jenazah buatannya terlihat tenang dan riang,
seperti orang habis mandi. Lebih bagus lagi jika jenazah itu
terbaring damai sambil mendekap sebuah buku puisi.
Menjelang dinihari saya dikagetkan suara kecipak air
di kamar mandi. Dengan waspada saya buka pintu kamar mandi:
ah, kulihat jokpin kecil sedang mandiri (mandi sendiri)
sambil bermain telepon genggam. Telepon genggam mainan.
Jokpin-1, jokpin-2, dan jokpin-3 tertidur di kursi masing-masing,
sementara jokpin-4 masih terlihat bingung dan pusing.
Jidatnya seperti puisi setengah jadi.
Pagi-pagi sekali petugas hotel mengetuk pintu,
memberitahukan ada seorang tamu berkopiah, berbaju batik,
bersepatu sendal, beruban menunggu saya di lobi.
“Dia bilang mobil jenazahnya sudah siap.”
Jokpin-4 bangkit berdiri: “Katakan kepada sopir mobil jenazah itu
bahwa jenazahnya belum jadi. Tolong persilakan beliau pergi.”
Suatu malam saya diundang pesta puisi di balai kota.
Di halaman gedung pertunjukan saya melihat mobil jenazah
berwarna biru langit terparkir di antara mobil-mobil lainnya
yang tentu saja bukan mobil jenazah namun bila diamati
dengan mata ketiga sebenarnya mirip mobil jenazah juga.
Sopir mobil jenazah tahu-tahu sudah berdiri
di hadapan saya. Dengan hormat ia membungkuk, terpejam,
sambil menempelkan telapak tangan kanan ke dada.
Saya tarik lengannya: “Hai, aku masih hidup, tahu?”
Ia cuma tersenyum dan berkata, “Maaf Tuan, maaf Tuan.”
Di lorong remang menuju kamar mandi saya dihadang
seorang wartawan: “Seperti apa rasanya menulis puisi?”
Saya jawab sekenanya, “Mungkin seperti menggambar jenazah
tak jadi-jadi.” Ia hendak bertanya lagi, tapi tidak jadi.
Saat saya menunggu taksi untuk pulang, sopir mobil jenazah
mendekati saya lagi. “Taksinya mogok. Mari ikut mobil saya saja.”
Dengan halus saya menolak tawarannya dan mempersilakannya
segera pergi. Saya tak ingin melihat mobilnya lagi.
Biarlah saya dengar deru suaranya saja dalam sunyi.
Puisi ini belum jadi tapi mesti diakhiri sebab saya harus segera
menerima telepon dari sopir mobil jenazah itu.
Ia mengabarkan dirinya baru saja dapat lotere. Nomornya tembus.
“Memang kamu pasang nomor berapa?” tanya saya.
Dari seberang sana ia menjawab riang: “Nomor 1105.”
(2010)
Durrahman
Mengenakan kemeja dan celana pendek putih,
Durrahman berdiri sendirian di beranda istana.
Dua ekor burung gereja hinggap di atas bahunya,
bercericit dan menari riang.
Senja melangkah tegap, memberinya salam hormat,
kemudian berderap ke dalam matanya yang hangat dan terang.
Di depan mikrofon Durrahman mengucapkan pidato singkatnya:
“Hai umatku tercinta, dalam diriku ada seorang presiden
yang telah kuperintahkan untuk turun tahta
sebab tubuhku terlalu lapang baginya.
Hal-hal yang menyangkut pemberhentiannya
akan kubereskan sekarang juga.”
Dua ekor burung gereja menjerit nyaring di atas bahunya.
Durrahman berjalan mundur ke dalam istana.
Dikecupnya telapak tangannya, lalu dilambai-lambaikannya
ke arah ribuan orang yang mengelu-elukannya dari seberang.
Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur.
Dalam dirimu ada seorang pujangga yang tak binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yang ingin membangun kembali
puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yang teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden,
baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan.
(2010)
Doa Seorang Pesolek
Tuhan yang cantik,
temani aku yang sedang menyepi
di rimba kosmetik.
Nyalakan lanskap
pada alisku yang gelap.
Ceburkan bulan
ke lubuk mataku yang dalam.
Taburkan hitam
pada rambutku yang suram.
Hangatkan merah
pada bibirku yang resah.
Semoga kecantikanku tak lekas usai
dan cepat luntur seperti pupur.
Semoga masih bisa kunikmati hasrat
yang merambat pelan
menghangatkan susuku
sebelum jari-jari waktu
yang lembut dan nakal
merobek-robek kutangku.
Sebelum Kausenyapkan warna.
Sebelum Kauoleskan lipstik terbaik
di bibirku yang mati kata.
(2009)
Jalan Sunyi
Ada jalan kecil menuju kebunmu:
ada hujan mungil merayap pelan
ke liang sajakku.
(2007)
Celana Ibu
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.
“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
(2004)
Celana Tidur
Walau punya bermacam-macam celana tidur,
ia lebih suka tidur tanpa celana.
Supaya celana bisa tidur di luar tubuhnya.
Supaya tidurnya tidak rusak oleh celana.
(2003)
Ojek
Di pertigaan jalan yang selalu ramai itu terdapat pangkalan ojek yang dikuasai oleh kira-kira dua puluh laki-laki berseragam hitam. Mereka siap mengantar siapa saja ke tempat terpencil yang tak terjangkau kendaraan umum. Untuk menunjukkan kekompakan, mereka memakai helm berwarna jingga, warna yang sangat mudah dikenali oleh pengguna jasa mereka. Bagi saya yang baru pertama kali akan naik ojek dari sana, tidak mudah membedakan mana tukang ojek yang ramah dan mana yang suka marah sebab wajah mereka sama dinginnya.
Karena sudah larut petang, kendaraan yang menuju ke tempat yang akan saya datangi sudah tidak jalan. Tidak ada cara lain, harus naik ojek. Begitu turun dari bus, saya langsung disergap oleh seorang tukang ojek bermata garang. Semula ia tampak asing dengan alamat yang saya sebutkan. Baru setelah saya bujuk-bujuk dengan ongkos yang jauh lebih tinggi, dengan senang hati ia bersedia mengantar saya. “Kita cari saja, pasti ketemu,” ujarnya.
Diam-diam saya merasa was-was mendapat tukang ojek yang sangat mencurigakan. Sepanjang perjalanan saya berdebar-debar seraya tak henti-hentinya berdoa memohon keselamatan. Apalagi jalanan gelap dan sepi, naik-turun penuh tikungan. Saya jadi teringat berita di koran tentang tukang ojek gadungan yang merampok dan kemudian menghabisi penumpangnya sendiri. Ketakutan saya makin berlipat ganda karena sepanjang perjalanan si tukang ojek diam saja, menjalankan sepeda motornya juga seenaknya, tidak mau tahu bahwa penumpang adalah raja.
“Syukur alhamdulillah, selamat juga akhirnya!” Itulah yang segera diucapkan si tukang ojek begitu sampai di tempat tujuan. Lho, seharusnya kan saya yang mengucapkan itu? Tidak saya duga, tukang ojek itu pun berdebar-debar sepanjang perjalanan karena ia teringat temannya sesama tukang ojek yang tewas mengenaskan setelah dirampok dan dianiaya oleh penumpangnya sendiri. Wah, draw kalau begitu. Tapi saya tetap merasa rugi karena diam-diam saya dicurigai sebagai pencoleng berlagak penumpang.
Indah sekali kompleks perumahan yang saya kunjungi ini. Terletak di atas sebuah bukit, dari ketinggiannya yang hening dan asri saya bisa menyaksikan gugusan cahaya warna-warni di bawah sana. “Itu kota saya,” kata saya. Kemudian saya masuk gerbang, mencari-cari rumah mungil tempat sahabat saya yang baik hati sedang beristirahat. Ia mati dengan sederhana dalam perjalanan naik ojek menuju desa kelahirannya setelah sekian lama hidup makmur dan sejahtera di kota, tapi konon gagal total dalam petualangan cinta. Tukang ojek yang mengantarnya pulang terkena serangan jantung mendadak; sepeda motornya terkejut, kehilangan keseimbangan, kemudian meluncur ke dalam jurang bersama penumpangnya.
“Tunggu sebentar ya, saya mau bicara dengan teman saya,” pinta saya kepada tukang ojek. Tanpa berpikir panjang, tukang ojek yang penakut itu cepat-cepat ngacir setelah sebelumnya berkata, “Kalau tahu mau ke kuburan, saya tidak akan sudi mengantarkan!” Wah, tukang ojek itu tidak tahu bahwa jika suatu saat nanti saya tiba di surga, hal pertama yang akan saya lakukan adalah naik ojek keliling kota, bersenang-senang menikmati tabungan.
(2003)
Kecantikan Belum Selesai
Sudah selesai. Sudah kucoba semua warna.
Sekarang bersiaplah kau di ruang ganti busana.
Belum. Belum selesai. Beri aku sentuhan terakhir
pada rambut, mata dan bibir agar melihatku
adalah melihat kecantikan yang belum selesai.
Perlukah, manis, kuoleskan darah pada bibirmu
yang skeptis agar semua yang mendamba kau
sangsai: apakah kecantikan sudah/belum selesai?
Ditemani dua orang perias wajah, penyanyi itu
tercenung lama di depan kaca, memandang senja
di ufuk mata: melihat elang mengitari mambang.
Ia berjalan pelan ke arah panggung.
Petugas kecantikan segera mengatur tubuhnya
sebagaimana mereka mengatur ruang dan cahaya.
Konser dimulai. Hadirin bersorak-sorai.
Selamat malam. Dua jam bersama kecantikan.
Menjelang lagu terakhir penyanyi itu terkulai.
Ambruk sebelum usai. Sudah selesai, ia menangis.
Belum! mereka histeris. Kecantikan belum selesai!
(2003)
Mendengar Bunyi Kentut Tengah Malam
Sepi meletus. Suaranya yang lucu
mengagetkan tato macan
yang sedang mengaum di tubuhmu.
(2007)
Doa Sebelum Mandi
Tuhan, saya takut mandi.
Saya takut dilucuti.
Saya takut pada tubuh saya sendiri.
Kalau saya buka tubuh saya nanti,
mayat yang saya sembunyikan
akan bangun dan berkeliaran.
Saya ini orang miskin yang celaka.
Hidup saya sehari-hari sudah telanjang.
Kerja saya mencari pekerjaan.
Tubuh saya sering dipinjam orang
untuk menculik dan membinasakan korban.
Mereka bisa dengan mudah dihilangkan
tapi di tubuh saya mereka tak dapat dilenyapkan.
Tuhan, mandikanlah saya
agar saudara kembar saya
bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya.
(2000)
Dokter Mata
Belakangan ini saya banyak mendapat gangguan mata.
Apa dan siapa yang saya lihat sering tampak bergoyang.
Bahkan mata saya kadang salah sangka.
Saat bercermin, misalnya, saya merasa bahwa tuan
yang sedang mengagumi saya adalah kenalan lama saya.
Ternyata ia lupa dan mengajak kenalan ulang.
Selain salah lihat, mata saya sering dianggap salah baca.
Saya baca buku, buku bilang salah, baca lagi, salah lagi.
Tak terkecuali buku-buku yang saya tulis sendiri.
Malam ini sakit mata saya makin akut: nyeri, pusing,
berdenyut-denyut. Maka datanglah seorang dokter mata:
“Selamat malam, pasien.” Tanpa bicara ia periksa mata saya.
“Dokter, apakah saya harus pakai kacamata?”
“Tidak perlu kacamata. Hanya perlu dicungkil.”
Dicungkil? Saya tidak dapat membayangkan mata saya
harus diganti dengan mata buatan atau bekas mata
orang lain. Saya diminta berdoa dan tidur tenang
sementara ia akan menggarap mata saya.
Subuh hari saya terbangun. Dokter mata sudah pergi.
Aneh, semua terasa nyaman dan normal kembali.
Saya segera mendatangi cermin langganan saya
dan saya terkejut tiba-tiba bertemu dengan dokter mata itu.
“Dokter, apakah Anda telah mengganti mata saya?”
“Ah enggak. Aku cuma membersihkan dan merendam
matamu dalam airmataku, kemudian mengembalikannya
seperti semula. Kau pangling dengan matamu?”
“Terima kasih, Dokter.” Dan dokter mataku tampak
ingin menangis, tapi ia tidak ingin aku melihat airmatanya.
(2003)
Aku Tidur Berselimutkan Uang
Aku tidur berselimutkan uang.
Ketika bangun, tahu-tahu tubuhku sudah telanjang.
(2002)
Kurcaci
Kata-kata adalah kurcaci yang muncul tengah malam
dan ia bukan pertapa suci yang kebal terhadap godaan.
Kurcaci merubung tubuhnya yang berlumuran darah
sementara pena yang dihunusnya belum mau patah.
(1998)
Layang-layang
Dulu pernah kaubelikan aku sebuah layang-layang
pada hari ulang tahun.
Aku pun bersorak sebagai kanak-kanak
tapi hanya sejenak.
Sebab layang-layang itu kemudian hilang,
entah ke mana ia terbang.
Seperti aku pun tak pernah tahu kapan kau hilang
dan kembali kutemu.
Lehermu masih hangat meskipun selalu dikikis waktu.
Sekarang umur pun tak pernah lagi dirayakan
selain dibasahkuyupkan di bawah hujan.
Tapi kutemukan juga layang-layang itu di sebuah dahan
meskipun tanpa benang dan tinggal robekan.
Aku ingin berteduh di bawah pohon yang rindang.
(1980)
Penyair Tardji
Tardji minta bir buat pesta di malam buta.
“Sampai tuntas pahit-asamnya.
Sampai pecah ini botolnya.”
Dalam mabuk ia minta tuak dari jantungMu.
“Mana kapak? Biar kutetak leher panjangMu.”
Sampai huruf habislah sudah.
Sampai nganga luka dibelah.
“Ya Allah, sajak terindah kutemu dalam Kau darah.”
(1986)
Tengah Malam
Badai menggemuruh di ruang tidurmu.
Hujan menderas, lalu kilat, petir
dan ledakan-ledakan waktu dari balik dadamu.
Sesudah itu semuanya reda.
Musim mengendap di kaca jendela.
Tinggal ranting dan dedaunan kering
berserakan di atas ranjang. Hening.
Waktu itu tengah malam. Kau menangis.
Tapi ranjang mendengarkan suaramu sebagai nyanyian.
(1989)
Tukang Cukur
Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur
di kepalaku. Ia membabat rasa damai
yang merimbun sepanjang waktu.
“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel,
dan restoran. Tentunya juga sekolah,
rumah bordil, dan tempat ibadah.
Ia menyayat-nyayat kepalaku.
Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.
“Aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu.
Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”
Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku.
(1989)
Hutan Karet
in memoriam: Sukabumi
Daun-daun karet berserakan.
Berserakan di hamparan waktu.
Suara monyet di dahan-dahan.
Suara kalong menghalau petang.
Di pucuk-pucuk ilalang belalang berloncatan.
Berloncatan di semak-semak rindu.
Dan sebuah jalan melingkar-lingkar.
Membelit kenangan terjal.
Sesaat sebelum surya berlalu
masih kudengar suara bedug bertalu-talu.
(1990)
Pohon Bungur
: anno 1968 - 1973
Pohon bungur di puncak bukit
dalam naungan senja.
Bunga-bunganya berceceran
dihirup angin selatan.
Pohon bungur di puncak bukit
dalam belaian usia.
Kuingat selalu bunga merahnya yang ranum
diguyur hujan menjelang malam turun.
(1990)
Pada Lukisan Monalisa
Di rambutmu burung-burung membuat sarang.
Burung-burung yang terbang dari khasanah senja;
yang sudah berapa lama terkurung dalam himpian Hawa.
Burung-burung yang memintal benang-benang cahaya
dengan kepak lembut sayap-sayapnya yang luka.
Burung-burung yang menggurat padang langit hijau
dengan cakar-cakar perih dan kicau-kicaunya yang parau.
Dan engkau adalah pohon yang dahan-dahannya
menjulur lentur karena adalah kenangan.
Yang akar-akarnya menjuntai ke wilayah malam.
Yang ranting-rantingnya lembut karena adalah igauan.
Yang daunnya rimbun menghalau kobaran jaman.
Yang pucuk-pucuknya menjulang karena adalah jeritan.
(1990)
Senandung Becak
Ada becak melenggang sendirian di sebuah gang.
Pemiliknya, katanya, telah mati di tiang gantungan.
Ada becak hanyut di sungai.
Sungainya keruh, mengalir ke laut yang jauh.
Orang-orang berkumpul di atas jembatan,
mengira si pemiliknya telah mati tenggelam.
Tapi ada yang berbisik kepada saya:
“Akulah yang menghanyutkannya
dan ternyata kalian amat suka menontonnya.”
Ada juga yang berkata:
“Sesampainya di laut, becak itu akan menjelma
menjadi sebuah perahu yang harus bertarung
sendirian melawan badai, ombak dan malam.”
(1990)
Di Kulkas: Namamu
Di kulkas masih ada
gumpalan-gumpalan batukmu
mengendap pada kaleng-kaleng susu.
Di kulkas masih ada
engahan-engahan nafasmu
meresap dalam anggur-anggur beku.
Di kulkas masih ada
sisa-sisa sakitmu
membekas pada daging-daging layu.
Di kulkas masih ada
bisikan-bisikan rahasiamu
tersimpan dalam botol-botol waktu.
(1991)
Ranjang Kematian
Ranjang kami telah dipenuhi semak-semak berduri.
Mereka menyebutnya firdaus yang dicipta kembali
oleh keturunan orang-orang mati.
Tapi kami sendiri lebih suka menyebutnya dunia fantasi.
Jasad yang kami baringkan beribu tahun telah membatu.
Bantal, guling telah menjadi gundukan fosil yang dingin beku.
Dan selimut telah melumut. Telah melumut pula
mimpi-mimpi yang dulu kami bayangkan bakal abadi.
Para arwah telah menciptakan sendang dan pancuran
tempat peri-peri membersihkan diri dari prasangka manusia.
Semalaman mereka telanjang, meniup seruling,
hingga terbitlah purnama. Dan manusia terpana, tergoda.
(1991)
Perjalanan Pulang
Kadang ingin sangat aku pulang ke rumahmu.
Setidaknya kubayangkan suatu senja aku datang
ke ambang jendelamu, melongok wajah seseorang
yang sedang melukis matahari di telapak tangan.
Halte. Aku terdampar di sebuah halte.
Menunggu bus yang sebenarnya telah lama lewat.
Mengulur-ulur waktu agar tidak cepat sampai
ke arah jantung atau erangan bisu.
Lihatlah, setiap orang memasang halte
di tempat persinggahan.
Menunggu dan menanti tak henti-henti.
Mengangankan masih ada bus yang bakal datang
membawanya pulang atau mungkin pergi jauh sekali.
Demikianlah musafir: kita takut menjadi tua
namun juga tak pernah bisa kembali menjadi bayi,
menjadi kanak-kanak
kecuali bila kita ciptakan lagi kelahiran
di saat halte mau membimbing kita ke peristirahatan.
Rindu. Aku ini memang selalu rindu untuk pulang
tapi saban kali juga tak betah.
Petualang sekaligus pencinta rumah.
Di saat lelap sering kulihat bayangan tubuhmu
berjalan terbungkuk-bungkuk dengan gaun putih,
menyibak dan menutup kembali kelambu mimpi.
Halte. Aku ingat sebuah halte di ujung kota yang entah.
Perhentian tempat penantian dikekalkan
dan sekaligus diakhiri.
Alamat kepada siapa kaukirimkan aduhan bernama surat.
Rendezvous yang kepadanya kautujukan persediaan waktu.
Tak bosan-bosan. Jendela selalu membukakan dirinya
untuk dimasuki dan ditinggalkan.
Seakan seseorang selalu siap di atas ampunan,
menerima dan melepaskan salam.
Seperti juga telapak tanganmu: selalu terbuka
untuk dilayari dan disinggahi.
Mengapa kita takut pada ketakutan?
Mengira tak ada yang bisa diabadikan?
Tengah malam kita sering terbangun
lalu berdiri di depan cermin.
Merapikan rambut yang kusut.
Membelai wajah yang membangkai.
Memugar mata yang nanar.
Andaipun langit memperpendek batas,
tak berarti jangkauan begitu saja lepas.
Siapa tahu tatapan malah meluas,
memburu sinyal-sinyal baru
yang memberitakan atau menyembunyikan pesanmu.
Tergambar jelas di potret lama:
wajah yang dingin dihangati usia.
Burung-burung pipit mengurung senja,
matahari beringsut pada lingkaran biru.
Kemudian malam terlipat di pelupukmu
dan sebuah himne menggema di lintasan alismu.
Berapa lama kata-kata berbincang tentang artian?
Uban-uban tak mau bicara tentang ketuaan.
Almanak tak menyiratkan tanggal dan bulan.
Garis-garis tangan tak menuliskan suratan.
Dinding-dinding tak membatasi ruang.
Berapa lama ucapan tak mau bungkam?
Ah padang pasir.
Panasmu ingin menghanguskan perkemahan.
Kau pikir para pengungsi mau dilumat kelaparan?
Lihatlah, sungai itu tetap saja hijau.
Kematian dienyahkan ke bukit-bukit karang,
kanak-kanak bermain terompet di lubang persembunyian.
Katakan pada ibu, si buyung mau lebih lama merantau.
Rumah itu mungkin akan selalu menanyakan kepulangan,
pintu-pintu minta kiriman kisah petualangan.
Aduh sayang, jarak itu sebenarnya tak pernah ada.
Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan.
Hari itu jam bergerak lambat.
Malam mengingsut seperti siput mengusut kabut.
Di jauhan anjing-anjing bertengkar berebut kucing.
Kalender menangis melengking-lengking.
Apakah waktu sudah sangat bosan menghuni jam dinding?
Aduh sayang, detik-detik berjatuhan ke lantai dingin,
diserbu semut-semut hitam untuk pesta persembahan.
Lalu kau merapat ke kaca almari:
mengganti baju, menyempurnakan kecantikan.
Matamu menyala serupa lilin.
Keningmu berkobar dibantai sinar.
Apakah kau sedang berkemas ke kuburan?
Alamak, beri aku sedikit waktu.
Nyawaku tertinggal di rumah sakit.
Baju usang yang kusayang tergantung riang di tali jemuran.
Sudah rapuh, sudah kumal, sudah pula penuh jahitan.
Seperti kujahit leher yang retak, leher yang koyak
dirobek-robek kemiskinan.
Salam bagimu peziarah muda.
Hatimu telah mencatat peristiwa-peristiwa kecil
yang dilupakan dunia.
Ke mana nyerimu melangkah, ke sana jantungmu mencari.
Lonceng gereja mengepung rindumu di malam buta,
membangunkan si sakit dari ranjang beku
di kamar-kamar mati. Salam bagimu pasien abadi.
Suatu hari aku ingin mengajak si mayat berburu singa
di hutan purba. Melacak jejak sejarah nenek moyang
yang melahirkan nama-nama. Merunut silsilah gelap
dari mana aku datang ke mana aku pulang.
Senja hampir layu. Burung-burung berarak pulang
menuju lingkaran biru. Gaun siapa tertinggal
di bangku taman, dibawa kupu-kupu ke pucuk cemara?
Musim bunga tergesa-gesa pergi diburu musim
yang kehilangan cuaca.
Jika benar air mancur itu tak ingin tidur,
barangkali bisa kutitipkan kebosanan padanya.
Angin dan angan menyurutkan malam,
menyibakkan tirai pagi sebelum surya ungu
berayun di ambang pintu:
mengabarkan saat kematian dunia waktu.
Halte. Aku terdampar kembali di sebuah halte.
Melupakan bus yang tak akan lewat atau sudah lama lewat.
Memilih saat terbaik untuk pulang ke rumah, ke dunia entah.
Untuk datang ke ambang jendelamu, melongok wajah
seseorang yang sedang melukis matahari di telapak tangan.
Seperti pada saat keberangkatan.
(1991)
Penyanyi yang Pulang Dinihari
Ia melewati jalan yang sudah bosan
menghitung langkahnya.
Rambutnya menyimpan kunang-kunang.
Matanya ingin menggapai bintang-bintang.
Tak ada yang benar-benar mengenalinya
selain angin yang masih menyebutnya perempuan.
Perempuan itu tak mau menangis.
Air matanya sudah hanyut di sungai.
Dan meskipun sungai berulangkali meriuhkan keperihan,
arus air tak mau kembali mengulang detak jam.
Malam sekarat di balik gaun transparan
dan sisa waktu dilumatkan di ujung lengan.
Letupkan penyanyi, letupkan nada terakhir
yang belum sempat dihunjamkan.
Siapa tahu dada montok itu masih merindukan jeritan.
Tersaruk-saruk ia menyeret bayangan tubuhnya.
Gerimis hitam mengguyur wajahnya yang beku
sehingga bedak dan lipstik luntur
melumuri gaunnya yang putih.
Rambut coklatnya meleleh pekat.
Tapi singa luka itu tak mau pedih.
Mungkin hatinya merintih.
Maka kunang-kunang menggeremang di rambutnya,
bintang-bintang berkerlapan di matanya.
Ia menyanyi dan menari dan pinggulnya yang hijau
mengibaskan bayangan hitam orang-orang mati.
Tersuruk ia di sebuah tikungan
dan para peronda mau membawanya ke gardu.
Tapi singa luka itu menggeram nyalang
dan para lelaki dihardiknya pergi.
Hai perempuan, rumah mana bakal kautuju?
Awas hati-hati, di ujung jalan banyak polisi.
Ah sialan, dasar pemberani, sudah luka
masih juga menggoda. Tampaknya ia percaya
sebuah rumah setia menanti.
Seperti tamu asing, ia berhenti di depan pintu besi.
Plat nomor telah rusak, tak lagi mencantumkan angka.
Ia ragu apakah benar itu rumahnya.
Tapi ia masih ingat beha usang yang tergantung
di atas pintu, tanda sebuah dunia
atau sepenggal kehidupan masih menunggu.
Pintu besi telah mengunci diri,
menutup hati bagi tamu yang ingin singgah.
Daripada kaku dibalut embun pagi,
dipanjatnya pagar halaman berduri.
Seekor anjing menyalak nyaring
menggonggongi bau keringatnya yang asin.
Kembali ia termangu.
Ia ragu membuka pintu.
Ia takut pada pintu.
Baru setelah diketuk tujuh kali,
pintu hitam membukakan diri.
“Bukankah ini rumahmu?
Apakah engkau takut atau lupa samasekali?”
“Ya, ini memang rumahku.
Saban kali aku meninggalkannya,
saban kali pula harus mengenalinya kembali.”
Ia tertegun. Dadanya mengkerut
disepak dentang lonceng jam tiga pagi.
“Ah pintu, engkau lebih mengenal rumahku
ketimbang aku sendiri yang saban waktu merindukannya
dan kemudian meninggalkannya.
Barangkali studio-studio suara
dan panggung-panggung hiburan
telah membuatku jadi pelupa, jadi serba alpa.”
Perlahan ia melangkah ke ambang pintu.
Angin jahat menyingkap ujung gaunnya yang tipis.
Kakinya yang lembab melekat di lantai dingin.
Terasa dunia jadi lain, terasa dunia jadi lain.
Di dinding hitam sebuah topeng terkekeh-kekeh,
menyeringai menertawakan tamu asing
yang bertandang ke rumahnya sendiri.
Apakah ada malaikat yang selalu membawa anak kunci?
Kamar sudah menganga sebelum ia buka pintunya.
Dan di atas meja rias yang porak poranda
sebuah boneka masih menari-nari.
Astaga, ranjang hitam menggoyang-goyangkan diri.
Kelambu telah habis dibakar mimpi.
Sebuah radio tertidur pulas di bantal biru,
tak henti-hentinya mengigau dan meracau.
Wah, tampaknya ia tengah bercumbu dengan orang mati
yang menciptakan gelombang siaran dinihari.
Ah perempuan, yang merindukan kebangkitan musim semi,
kini tubuhmu tegak di hadapan cermin retak.
Bibirmu hangus dan mengelupas. Berdarah.
Berdarah-darahlah leher hijau yang diterkam musim panas.
Kau mengaduh. Aduh. Kepada siapa kau mengaduh?
Kepada tatapan yang hancur luluh?
Kepada cermin yang tak lagi utuh?
Wah, jidatmu yang legam dilayari kupu-kupu hitam,
diarungi cicak-cicak hitam. Serba hitam.
Perempuan itu samasekali tidak gila.
Tidak lupa pada jagad kata yang dihuninya seorang diri
tanpa cinta. Tidak sangsi dan benci pada janji-janji baik
yang diucapkan para kekasih yang mengurungnya
dalam lingkaran ilusi. Ia tidak gila.
Hanya sepi berkepanjangan, barangkali.
Dan ia benar-benar perempuan. Terbukti ia tabah,
tidak mudah menyerah pada keinginan murahan
untuk mencekik leher, memotong urat nadi.
Memang ia mengambil pisau dari laci almari,
tapi bukan untuk bunuh diri.
Ia cuma ingin menyembelih bayangan-bayangan hitam
yang berbondong-bondong di dinding legam.
Sebuah kamar bisa menjadi salon kecantikan.
Di sana ia bersolek, mengganti model rambut, alis
dan bulu mata agar setiap orang tergoda untuk pura-pura
tak mengenalnya sehingga ia bisa mendapatkan cinta baru
di atas kecantikan lama.
Demikian pula para lelaki
akan mendapatkan kejantanan kembali
pada tatapan yang sesilau kerlip api
setelah sekian lama dunia mereka miliki sendiri.
Ah lelaki, wajahmu tersipu malu disambar rayuan baru.
Lalu ia menyanyi di depan kaca almari.
Lagu-lagu lama disenandungkan kembali.
Kadang lebih merdu dari yang dinyanyikan di masa lalu,
lebih baru dari lagu-lagu terbaru.
Perempuan, kau memang hanya berlomba dengan waktu.
Tak usah ditunda lebih lama.
Bibir pedas sudah siap menerima lumatan.
Dan jika dada kenyal itu menggembung mengempiskan
hasrat-hasrat terpendam, kamar sempit siap menampung
gemuruh topan dan lalu badai kehampaan.
Tapi tak ada saat untuk menangis menggigit-gigit tangan.
Penyanyi, jangan meraung memukul-mukul dinding.
Ranjang hitam sudah menggeliat minta dekapan.
Cermin retak sudah kembali berdandan.
Tanggalkan gaun usang, cobalah menggelinjang.
Dentang lonceng jam tiga pagi tergelak-gelak
menyaksikan tubuhmu, sakitmu, yang telanjang.
(1991)
Kisah Seorang Nyumin
Demonstrasi telah bubar. Kata-kata telah bubar.
Juga gerak, teriak, gegap, gejolak.
Tak ada lagi karnaval.
Bahkan pawai dan gelombang massa telah menggiring diri
ke dataran lengang, tempat ilusi-ilusi ringan
masih bisa bertahan dari serbuan beragam ancaman.
Siapa masih bicara? Bendera, spanduk, pamflet
telah melucuti diri sebelum dilucuti para pengunjuknya.
Tak ada lagi karnaval.
Di pelataran yang mosak-masik yang tinggal hanya
koran-koran bekas, berserakan, kedinginan
diinjak-injak sepi.
Tapi di atas mimbar, di pusat arena unjuk rasa
Nyumin masih setia bertahan, sendirian.
Lima peleton pasukan mengepungnya.
“Sebutkan nama partaimu.”
“Saya tak punya partai dan tak butuh partai.”
“Lalu apa yang masih ingin kaulakukan?
Mengamuk, mengancam, menggebrak, melawan?”
“Diam, itu yang saya inginkan.”
“Lakukan, lakukan dengan tertib dan sopan.
Kami akan pulang, mengemasi senjata,
mengemasi kata-kata. Pulang ke rumah
yang teduh tenang.”
Sayang Nyumin tak bisa diam. Nyumin terus bicara,
menghardik, menghentak, meronta, meninju-ninju udara.
Dan para demonstran bersorak: “Hidup Nyumin!”
Suasana serasa senyap, sesungguhnya.
(1992)
Kisah Senja
Telah sekian lama mengembara, lelaki itu akhirnya pulang
ke rumah. Ia membuka pintu, melemparkan ransel, jaket,
dan sepatu. “Aku mau kopi,” katanya
sambil dilepasnya pakaian kotor yang kecut baunya.
Isterinya masih asyik di depan cermin, bersolek
menghabiskan bedak dan lipstik, menghabiskan sepi
dan rindu. “Aku mau piknik sebentar ke kuburan.
Tolong jaga rumah ini baik-baik. Kemarin ada pencuri
masuk mengambil buku harian dan surat-suratmu."
Tahu senja sudah menunggu, lelaki itu bergegas masuk
ke kamar mandi, gebyar-gebyur, bersiul-siul, sendirian.
Sedang isterinya berlenggak-lenggok di cermin,
mematut-matut diri, senyum-senyum, sendirian.
“Kok belum cantik juga ya?”
Lelaki itu pun berdandan, mencukur jenggot dan kumis,
mencukur nyeri dan ngilu, mengenakan busana baru.
Lalu merokok, minum kopi, ongkang-ongkang, baca koran.
“Aku minggat dulu mencari hidup. Tolong siapkan
ransel, jaket, dan sepatu.” Si isteri belum juga rampung
memugar kecantikan di sekitar mata, bibir, dan pipi.
Ia masih mojok di depan cermin, di depan halusinasi.
(1994)
Bayi di Dalam Kulkas
Bayi di dalam kulkas lebih bisa mendengarkan
pasang-surutnya angin, bisu-kelunya malam
dan kuncup-layunya bunga-bunga di dalam taman.
Dan setiap orang yang mendengar tangisnya
mengatakan: “Akulah ibumu. Aku ingin menggigil
dan membeku bersamamu.”
“Bayi, nyenyakkah tidurmu?”
“Nyenyak sekali, Ibu. Aku terbang ke langit
ke bintang-bintang ke cakrawala ke detik penciptaan
bersama angin dan awan dan hujan dan kenangan.”
“Aku ikut. Jemputlah aku, Bayi.
Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.”
Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah
di matanya, ketika Ibu menjamah tubuhnya
yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati
yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan.
“Biarkan aku tumbuh dan besar di sini, Ibu.
Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu.”
Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri
di hadapan mulut yang mengucapkannya.
(1995)
Di Salon Kecantikan
Ia duduk seharian di salon kecantikan.
Melancong ke negeri-negeri jauh di balik cermin.
Menyusuri langit putih biru jingga
dan selalu pada akhirnya: terjebak di cakrawala.
“Sekali ini aku tak mau diganggu.
Waktu seluruhnya untuk kesendirianku.”
Senja semakin senja.
Jarinya meraba kerut di pelupuk mata.
Tahu bahwa kecantikan hanya perjalanan sekejap
yang ingin diulur-ulur terus
namun toh luput juga.
Karena itu ia ingin mengatakan:
“Mata, kau bukan lagi bulan binal
yang menyimpan birahi dan misteri.”
Ia pejamkan matanya sedetik
dan cukuplah ia mengerti
bahwa gairah dan gelora
harus ia serahkan kepada usia.
Toh ia ingin tegar bertahan
dari ancaman memori dan melankoli.
Ia seorang pemberani
di tengah kecamuk sepi.
Angin itu sayup.
Gerimis itu lembut.
Ia memandang dan dipandang
wajah di balik kaca.
Ia dijaring dan menjaring
dunia di seberang sana.
Hatinya tertawan di simpang jalan
menuju fantasi atau realita.
Mengapa harus menyesal?
Mengapa takut tak kekal?
Apa beda selamat jalan dan selamat tinggal?
Kecantikan dan kematian bagai saudara kembar
yang pura-pura tak saling mengenal.
“Aku cantik.
Aku ingin tetap mempesona.
Bahkan jika ia yang di dalam cermin
merasa tua dan sia-sia.”
Yang di dalam kaca tersenyum simpul
dan menunduk malu
melihat wajah yang diobrak-abrik tatawarna.
Alisnya ia tebalkan dengan impian.
Rambutnya ia hitamkan dengan kenangan.
Dan ia ingin mengatakan:
“Rambut, kau bukan lagi padang rumput
yang dikagumi para pemburu.”
Kini ia sampai di negeri yang paling ia kangeni.
“Aku mau singgah di rumah yang terang benderang.
Yang dindingnya adalah kaki langit.
Yang terpencil terkucil di seberang ingatan.
Aku mau menengok bunga merah
yang menjulur liar
di sudut kamar.”
Ada saatnya ia waswas
kalau yang di dalam cermin memalingkan muka
karena bosan, karena tak betah lagi berlama-lama
menjadi bayangannya
lalu melengos ke arah tiada.
Lagu itu lirih.
Suara itu letih.
Di ujung kecantikan jarum jam
mulai mengukur irama jantungnya.
“Aku minta sedikit waktu lagi
buat tamasya ke dalam cemas.
Malam sudah hendak menjemputku
di depan pintu.”
Keningnya ia rapatkan pada kaca.
Pandangnya ia lekatkan pada cahaya.
Ia menatap. Ia melihat pada bola matanya
segerombolan pemburu beriringan pulang
membawa bangkai singa.
Senja semakin senja.
Kupu-kupu putih hinggap di pucuk payudara.
Tangannya meremas kenyal yang surut
dari sintal dada.
Dan ia ingin mengatakan:
“Dada, kau bukan lagi pegunungan indah
yang dijelajahi para pendaki.”
Ia mulai tabah kini
justru di saat cermin hendak merebut
dan mengurung tubuhnya.
“Serahkan. Kau akan kurangkum,
kukuasai seluruhnya.”
Ia ingin masih cantik
di saat langit di dalam cermin berangsur luruh.
Hatinya semakin dekat
kepada yang jauh.
(1995)
Malam Pembredelan
Segerombolan pembunuh telah mengepung rumahnya.
Mereka menggigil di bawah hujan yang sejak sore
bersiap menyaksikan kematiannya.
Malam sangat ngelangut, seperti masa muda
yang harus bergegas ke pelabuhan,
meninggalkan saat-saat indah penuh kenangan.
Ia sendiri tetap tenang, ingin santai dan damai
menghadapi detik-detik akhir kehancuran.
Ia mengenakan pakaian serba putih
dengan rambut disisir rapih dan wajah amat bersih.
Bahkan ia masih sempat menghabiskan sisa kopi
di cangkir ungu sambil bersiul dan sesekali berlagu.
“Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua
yang akan Saudara rampas dan musnahkan: kata-kata,
suara-suara, atau apa saja yang Saudara takuti
tetapi sebenarnya tidak saya miliki.”
Ia berdiri di ambang pintu.
Ditatapnya wajah pembunuh itu satu satu.
Mereka gemetar dan memandang ragu.
“Maaf, kami agak gugup.
Anda ternyata lebih berani dari yang kami kira.
Kami melihat kata-kata berbaris gagah
di sekitar bola mata Anda.”
“Terima kasih, Saudara masih juga berkelakar
dan pura-pura menghibur saya.
Cepat laksanakan tugas Saudara atau kata-kata
akan balik menyerang Saudara.”
“Baiklah, perkenankan kami sita dan kami bawa
kata-kata yang bahkan telah Anda siapkan dengan rela.
Sedapat mungkin kami akan membinasakannya.”
“Ah, itu kan hanya kata-kata.
Saya punya yang lebih dahsyat dari kata-kata.”
Tanpa kata-kata, gerombolan pembunuh itu berderap pulang.
Tubuh mereka yang seram, wajah mereka yang nyalang
lenyap ditelan malam dan hujan.
Sementara di atas seratus halaman majalah
yang seluruhnya kosong dan lengang
kata-kata bergerak riang seperti di keheningan sebuah taman.
Sebab, demikian ditulisnya dengan tinta merah:
"Kata-kata adalah kupu-kupu yang berebut bunga,
adalah bunga-bunga yang berebut warna,
adalah warna-warna yang berebut cahaya,
adalah cahaya yang berebut cakrawala,
adalah cakrawala yang berebut saya."
Lalu ia tidur pulas.
Segerombolan pembunuh lain telah mengepung rumahnya.
(1995)
Kisah Semalam
Yang ditunggu belum juga datang. Tapi masih digenggamnya
surat terakhir yang sudah dibaca berulang. “Aku pasti pulang
pada suatu akhir petang. Tentu dengan bunga plastik
yang kauberikan saat kau mengusirku sambil menggebrak pintu:
‘Minggat saja kau, bajingan. Aku akan selamanya di sini,
di rumah yang terpencil di sudut kenangan.’”
Belum sudah ia bereskan resahnya. Tapi malam buru-buru
mengingatkan: “Kau sudah telanjang, kok belum juga mandi
dan berdandan.” Maka ia pun lekas berdiri dan dengan berani
melangkah ke kamar mandi. “Aku mau bersih-bersih dulu.
Aku mau berendam semalaman, menyingkirkan segala
yang berantakan dan berdebu di molek tubuhku.”
Dan suntuklah ia bekerja, membangun kembali keindahan
yang dikira bakal cepat sirna:
kota tua yang porak poranda pada wajah
yang mulai kumal dan kusam;
langit kusut pada mata yang memancarkan
cahaya redup kunang-kunang;
hutan pinus yang meranggas pada rambut
yang mulai pudar hitamnya;
padang rumput kering pada ketiak
yang kacau baunya;
bukit-bukit keriput pada payudara yang sedang
susut kenyalnya;
pegunungan tandus pada pinggul dan pantat
yang mulai lunglai goyangnya;
dan lembah duka yang menganga antara perut dan paha.
Benar-benar pemberani. Tak gentar ia pada sepi
dan gerombolannya yang mengancam lewat lolong anjing
di bawah hujan. Ada suara memanggil pelan.
Ada cermin besar hendak merebut sisa-sisa kecantikan.
Ada juga yang mengintip diam-diam sambil terkagum-kagum:
“Wow, gadisku yang rupawan tambah montok dan menawan.
Aku ingin mengajaknya lelap dalam hangat pertemuan.”
“Ah, dasar bajingan. Kau cuma ingin mencuri kecantikanku.
Kau memang selalu datang dan pergi tanpa setahuku.
Masuklah kalau berani. Pintunya sengaja tak aku kunci.”
Tak ada sahutan. Cuma ada yang cekikikan
dan terbirit-birit pergi seperti takut segera ketahuan.
“Baiklah, kalau begitu, permisi. Permisi cermin.
Permisi kamar mandi. Permisi gunting, sisir, bedak, lipstik,
minyak wangi dan kawan-kawan. Aku sekarang mau tidur, ngorok.
Aku mau terbang tinggi, menggelepar, dalam jaring melankoli.”
Sesudah itu ia sering mangkal di kuburan,
menunggu kekasihnya datang. Tentu dengan setangkai
kembang plastik yang dulu ia berikan.
(1996)
Gadis Malam di Tembok Kota
untuk Ahmad Syubannuddin Alwy
Tubuhnya kuyup diguyur hujan.
Rambutnya awut-awutan dijarah angin malam.
Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang
seperti ingin memamerkan kecantikan:
wajah ranum yang merahasiakan derita dunia;
leher langsat yang menyimpan beribu jeritan;
dada montok yang mengentalkan darah dan nanah;
dan lubang sunyi, di bawah pusar,
yang dirimbuni semak berduri.
Dan malam itu datang seorang pangeran
dengan celana komprang, baju kedodoran, rambut
acak-acakan. Datang menemui gadisnya yang lagi kasmaran.
“Aku rindu Mas Alwy yang tahan meracau seharian,
yang tawanya ngakak membikin ranjang reyot
bergoyang-goyang, yang jalannya sedikit goyah
tapi gagah juga. Selamat malam, Alwy.”
“Selamat malam, Kitty. Aku datang membawa puisi.
Datang sebagai pasien rumah sakit jiwa dari negeri
yang penuh pekik dan basa-basi.”
Ini musim birahi. Kupu-kupu berhamburan liar
mencecar bunga-bunga layu yang bersolek di bawah
cahaya merkuri. Dan bila situasi politik memungkinkan,
tentu akan semakin banyak yang gencar bercinta
tanpa merasa waswas akan ditahan dan diamankan.
“Merapatlah ke gigil tubuhku, penyairku.
Ledakkan puisimu di nyeri dadaku.”
“Tapi aku ini bukan binatang jalang, Kitty.
Aku tak pandai meradang, menerjang.”
Sesaat ada juga keabadian. Diusapnya pipi muda,
leher hangat, dan bibir lezat yang terancam kelu.
Dan dengan cinta yang agak berangasan diterkamnya
dada yang beku, pinggang yang ngilu, seperti luka
yang menyerahkan diri kepada sembilu.
“Aku sayang Mas Alwy yang matanya beringas
tapi ada teduhnya. Yang cintanya ganas tapi ada lembutnya.
Yang jidatnya licin dan luas, tempat segala kelakar
dan kesakitan begadang semalaman.
Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat,
mesti kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar
di puncak risau. Maaf, aku tak punya banyak waktu
buat bercinta. Aku mesti lebih jauh lagi mengembara
di papan-papan iklan. Tragis bukan, jauh-jauh datang
dari Amerika cuma untuk jadi penghibur
di negeri orang-orang kesepian?”
“Terima kasih, gadisku.”
“Peduli amat, penyairku.”
(1996)
Jauh
Jauh nian perjalanan di atas ranjang
padahal resah cuma berkisar
dalam pusaran arus gelombang.
Kaudaki puncak risau dalam galau malam
namun selalu kandas dihadang
konspirasi kecemasan.
Memang harus sabar dan tawakal
meniti birokrasi kematian.
Lantas laut mencampakkan kau ke pelabuhan.
Kauseret bangkai kapal yang terbakar
ke pantai gersang.
Kau terhempas kembali ke dataran lengang,
menyusuri rute panjang kelahiran.
Kau mengambang, melayang
seperti bayi terlelap
dalam ayunan ranjang.
(1996)
Ranjang Putih
Ranjang telah dibersihkan.
Kain serba putih telah dirapihkan.
Laut telah dihamparkan.
Kayuhlah perahu ke teluk persinggahan.
Sampai di seberang
tubuhmu tinggal tulang-belulang
dan perahumu tertatih-tatih sendirian
pulang ke haribaan ranjang.
Ranjang telah dibersihkan.
Laut telah disenyapkan.
Ombak telah diredakan.
Tapi kau tak kunjung pulang.
Mungkin tubuhmu enggan dikubur
di kesunyian ranjang.
(1996)
Pulang Malam
Kami tiba larut malam.
Ranjang telah terbakar
dan api yang menjalar ke seluruh kamar
belum habis berkobar.
Di atas puing-puing mimpi
dan reruntuhan waktu
tubuh kami hangus dan membangkai
dan api siap melumatnya
menjadi asap dan abu.
Kami sepasang mayat
ingin kekal berpelukan dan tidur damai
dalam dekapan ranjang.
(1996)
Keranda
Ranjang meminta kembali tubuh
yang pernah dilahirkan dan diasuhnya
dengan sepenuh cinta.
“Semoga anakku yang pemberani,
yang jauh merantau ke negeri-negeri igauan,
menemukan jalan untuk pulang;
pun jika aku sudah lapuk dan karatan.”
Tapi tubuh sudah begitu jauh mengembara.
Kalaupun sesekali datang, ia datang
hanya untuk menabung luka.
Dan ketika akhirnya pulang
ia sudah mayat tinggal rangka.
Bagai si buta yang renta dan terbata-bata
ia mengetuk-ngetuk pintu: “Ibu!”
Ranjang yang demikian tegar lagi penyabar
memeluknya erat: “Aku rela jadi keranda untukmu.”
(1996)
Korban
Darah berceceran di atas ranjang.
Jejak-jejak kaki pemburu membawa kami
tersesat di tengah hutan.
Siapakah korban yang telah terbantai
di malam yang begini tenang dan damai?
Terdengar jerit lengking perempuan yang terluka
dan gagak-gagak datang menjemput ajalnya.
Tapi perempuan anggun itu tiba-tiba muncul
dari balik kegelapan
dan dengan angkuh dilemparkannya
bangkai pemburu yang malang.
“Beginilah jika ada yang lancang mengusik
jagad mimpiku yang tenteram.
Hanya aku penguasa di wilayah ranjang.”
(1996)
Elegi
Bantal, guling, selimut berpamitan kepada ranjang.
“Ibu yang penyayang, sudah sekian lama
kami membantu Ibu mengasuh anak-anak terlantar
dan sebatang kara, memberi mereka tempat terindah
buat bercinta, dan merawat mereka ketika sudah pikun
dan tak berdaya. Kini saatnya kami harus pergi
meninggalkan kisah yang penuh misteri.”
“Memang sekali waktu kita perlu istirah.
Aku sendiri pun sangat lelah.
Aku akan pergi juga, ziarah ke asal-muasal kisah cinta
yang melahirkan dongengan panjang penuh rahasia.”
Demikianlah di subuh yang hening itu kami pergi
ke pelabuhan, melepas ranjang kami yang tua berangkat
berlayar ke laut yang luas dan terang.
Waktu dan usia seperti perjalanan sebuah doa
ketika ranjang kami yang reyot dan renta
bergoyang-goyang bagai tongkang, bagai keranda.
Terhuyung-huyung dan terbata-bata
mencari tanah pusaka yang jauh di seberang sana.
(1996)
Celana, 1
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.
“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan:
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
(1996)
Celana, 2
Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana
yang bagus dan sopan, tapi tak pernah diajar melukis
seluk-beluk yang di dalam celana, sehingga kami pun tumbuh
menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut,
bahkan terhadap nasib kami sendiri.
Karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi
membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi
sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang
yang suka cabul terhadap diri sendiri.
Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi
tentang hal-ihwal yang di dalam celana:
ada raja kecil yang galak dan suka memberontak;
ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi
rahasia alam semesta;
ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma;
ada juga gua garba yang diziarahi para pendosa
dan pendoa.
Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun
akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana
dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.
(1996)
Celana, 3
Ia telah mendapatkan celana idaman
yang lama didambakan, meskipun untuk itu
ia harus berkeliling kota
dan masuk ke setiap toko busana.
Ia memantas-mantas celananya di cermin
sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya
pantat tepos yang sok perkasa.
“Ini asli buatan Amerika,” katanya
kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca.
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.”
Tapi perempuan itu lebih tertarik
pada yang bertengger di dalam celana.
Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!”
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,
yang gagah dan canggih modelnya,
dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya
sudah kabur entah ke mana.
(1996)
Boneka, 1
Setelah terusir dan terlunta-lunta di negerinya sendiri,
pelarian itu akhirnya diterima oleh sebuah keluarga boneka.
“Kami keluarga besar yang berasal dari berbagai suku bangsa.
Kami telah menciptakan adat istiadat menurut cara kami
masing-masing, hidup damai dan merdeka
tanpa menghiraukan lagi asal-usul kami.
Anda sendiri, Tuan, datang dari negeri mana?”
“Saya datang dari negeri yang pemimpin dan rakyatnya
telah menyerupai boneka. Saya tidak betah lagi tinggal
di sana karena saya ingin tetap menjadi manusia.”
Keluarga boneka itu tampak bahagia. Mereka berbicara
dan saling mencintai dengan bahasa mereka masing-masing
tanpa ada yang merasa dihina dan disakiti.
Lama-lama si pembuat boneka itu merasa asing
dan tak tahan menjadi bahan cemoohan makhluk-makhluk
ciptaannya sendiri. Ia terpaksa pulang ke negeri asalnya
dan mencoba bertahan hidup di dunia nyata.
(1996)
Boneka, 2
Rumah itu sudah lama ditinggalkan pemiliknya.
Ia minggat begitu saja tanpa meninggalkan pesan apa pun
kepada boneka-boneka kesayangannya.
“Mungkin ia sudah bosan dengan kita,” gajah berkata.
“Mungkin sudah hijrah ke lain kota,” anjing berkata.
“Mungkin pulang ke kampung asalnya,” celeng berkata.
“Jangan-jangan sudah mampus,” singa berkata.
“Ah, ia sedang nonton dangdut di kuburan,” monyet berkata.
“Siapa tahu ia tersesat di tanah leluhur kita,” yang lain berkata.
Mereka kemudian sepakat mengurus rumah itu
dan menjadikannya suaka margasatwa.
Pemilik rumah itu akhirnya pulang juga.
Ia masuk begitu saja, namun boneka macan yang perkasa
dan menyeramkan itu menyergahnya.
“Maaf, Anda siapa ya?”
“Lho, ini kan rumahku sendiri.”
“Bercanda ya? Rasanya kami tak mengenal Anda.
Mungkin Anda salah alamat. Sebaiknya Anda segera pergi
sebelum kami telanjangi dan kami seret ke alam mimpi.”
(1996)
Boneka, 3
Boneka monyet itu mengajakku bermain ke rumahnya.
Di sana telah menunggu siamang, orangutan, simpanse,
gorila, lutung dan bermacam-macam kera lainnya.
“Kenalkan, ini saudara-saudaramu juga,” monyet berkata.
“Kita mau bikin pesta kangen-kangenan sambil arisan.”
Aku ingin segera minggat dari rumah jahanam itu,
tapi monyet brengsek itu cepat-cepat menggamit lenganku.
“Jangan terburu-buru. Kita foto bersama dululah.”
Kami pun berpotret bersama.
Monyet menyuruhku berdiri paling tengah.
“Kau yang paling ganteng di antara kami,” siamang berkata.
“Siapa yang paling lucu di antara kita?” monyet bercanda.
“Yang di tengah,” lutung berkata.
“Ia tampak kusut dan murung karena bersikeras hidup
di alam nyata,” gorila berkata. Mereka semua tertawa.
(1996)
Boneka dalam Celana
Kau pusing
seharian keluar-masuk toko mainan
hanya untuk mendapatkan boneka lucu
yang akan kaugantung di atas ranjang.
Padahal di dalam celana
ada boneka paling jenaka
: boneka kecil yang sering tiba-tiba
menjelma raksasa.
Kau bilang
boneka mungilmu suka keluyuran
ke kebun binatang, ke suaka margasatwa,
ke hutan yang banyak hewan liarnya,
katanya untuk bermain dengan teman-temannya.
Kau sudah memanjakannya
dengan berbagai model celana
yang mahal harganya
tapi ia selalu lolos dan tak pernah
krasan tinggal di dalamnya.
“Sumpek dan penuh aturan,” katanya.
Konon raksasa kecil itu
telah menjadi seorang tiran.
Telah diproklamasikannya sebuah republik
dan kau sendiri rela dinobatkan
sebagai pengawalnya.
“Siapkan pasukan!” kata sang tiran.
“Akan kuserbu musuh-musuh
yang merongrong kekuasaan.”
“Siap Paduka,” timpal pengawal.
“Akan hamba tumpas para perusuh
yang mengancam kedaulatan.”
Di republik celana
tiran yang sangat kejam dan pendendam itu
sekarang telah menjadi raja telanjang
yang tua-renta dan sakit-sakitan.
Sehari-hari ia cuma duduk terkantuk-kantuk
di kursi goyang
sambil mulutnya komat-kamit
dan kepalanya menggeleng ke kanan ke kiri
tapi batuknya masih dianggap sakti.
Pengawal: “Kalau Paduka sudah lelah
dan hendak istirah, silakan.
Hamba bersedia menggantikan Paduka
duduk di tampuk kekuasaan.”
Di sebuah toko mainan
kaudapatkan juga boneka lucu
yang kauinginkan; kaugantungkan di atas ranjang
sehingga kau tidak lagi kesepian.
Dan boneka jenaka di dalam celanamu cemburu
karena merasa telah mendapatkan saingan.
(1997)
Terkenang Celana Pak Guru
Masih pagi sekali, Bapak Guru sudah siap di kelas.
Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk,
kemudian terkulai di atas meja.
Kami, anak-anak yang bengal dan nakal, beriringan masuk
sambil mengucapkan: “Selamat pagi, Bapak Guru.”
Bapak Guru tambah nyenyak. Dengkur dan air liurnya
seakan mau mengatakan: “Bapak sangat lelah.”
Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. Bapak Guru telah berjanji
menceritakan kisah para pahlawan yang potretnya terpampang
di seluruh ruang. Tapi kami tak tega membangunkannya.
Kami baca di papan tulis: “Baca halaman 10 dan seterusnya.
Hafalkan semua nama dan peristiwa.”
Sudah siang, Bapak Guru belum juga siuman.
Hanya rits celananya yang setengah terbuka
seakan mau mengatakan: “Bapak habis lembur semalam.”
Ada yang cekikikan. Ada yang terharu dan mengusap matanya
yang berkaca-kaca. Ada pula yang lancang membelai-belai
gundulnya sambil berkata: “Kasihan kepala
yang suka ikut penataran ini.”
Sekian tahun kemudian kami datang mengunjungi
seorang sahabat yang sedang tidur di dalam makam
di bekas lahan sekolah kami. Kami lihat seorang lelaki tua
terbungkuk-bungkuk membukakan pintu kuburan.
“Silakan,” katanya.
“Dia Pak Guru kita itu!” temanku berseru.
“Kau ingat rits celananya yang setengah terbuka?”
“Tenang. Jangan mengusik ketenteramannya,”
aku memperingatkan.
“Dia pasti damai dan bahagia di tempat yang begini bersih
dan tenang,” kata temanku sambil menunjuk nisan sahabatnya.
“Kelak aku juga ingin dikubur di sini,” sambungnya.
“Ah, jangan berpikir yang bukan-bukan,” timpalku.
Sementara si penjaga kuburan yang celananya congklang
dan rambutnya sudah memutih semua diam-diam
mengawasi kami dari balik pohon kamboja.
(1997)
Poster Setengah Telanjang
untuk AM
Si kecil yang suka makan es krim itu sudah besar
dan perawan, sudah tidak pemalu dan ingusan.
Ia gemar melucu dan pintar juga menggodamu.
“Kau penyair ya? Kutahu itu dari kepalamu
yang botak dan licin seperti semangka.”
Kau tergoda dan ingin lebih lama terpana
ketika matanya mengerjap dan bulan muncrat
di atas rambutnya yang hitam pekat.
Malam heboh sekali.
Orang-orang mulai resah menunggu kereta.
“Perempuan, kau mau ikut?”
“Emoh ah,” katanya.
Kereta sudah siap.
Para pelayat berjejal di dalam gerbong
sambil melambai-lambaikan bendera.
“Perempuan, ikutlah bersama kami.
Kita akan pergi menyambut revolusi.”
“Ah, revolusi. Revolusi telah kulipat
dan kuselipkan ke dalam beha.”
“Lancang benar ia. Berani menantang kita
dengan senyumnya yang sangat subversif.
Ia sungguh berbahaya.”
Lonceng terakhir telah selesai menyanyikan
“Sepasang Mata Bola”. Tinggallah malam
yang redam, langit yang diam.
Tinggallah airmata yang menetes pelan
ke dalam segelas bir yang menempel pada dada
yang setengah terbuka, setengah merdeka.
(1997)
Ziarah
Masih ada sebuah rumah di sana
yang tak pernah mengharap seseorang
datang mengunjunginya.
Masih ada dinding-dinding kusam,
ruang bersih terang, jendela-jendela putih
tempat senja berpendaran
dengan rambutnya yang keemasan.
Masih ada si kecil lagi asyik menggambar
pada tembok penuh coretan.
“Semalam hujan singgah sebentar,
dan setelah meninggalkan riciknya di kulkas itu
ia pun berangkat ke sebuah kota yang jauh.”
Ingin kupeluk dan kucium parasnya yang lucu,
tapi tak ingin dunia kecilnya kusintuh.
“Lihat, aku sedang melukis laut, gerimis
dan perahu oleng yang dikayuh nelayan kecil
menuju pantai yang teduh.”
Masih. Masih ada seseorang sedang duduk
membungkuk di bawah redup cahaya,
khusyuk membaca berkas-berkas tua.
“Semalam si mayat datang dengan baju baru.
Ia titipkan salam manisnya untukmu.”
Ingin kutrima batuknya dalam paru-paruku
tapi tak ingin kusintuh kantuknya, rindunya
sebab hatinya lebih tegar dari waktu.
“Maaf, aku sedang membaca surat-surat
yang telah lama kutulis, tapi tak pernah
kukirim karena tak kutahu alamatmu.”
(1997)
Januari
untuk NAF
Januari yang lusuh datang padaku
dengan wajah putih kelabu.
“Beri aku tempat perlindungan.
Musim begitu rusuh.
Bahaya mengancam dari segala jurusan.”
Hujan yang basah kuyup tubuhnya
kuungsikan ke dalam botol bersama kilat,
guruh dan ledakan-ledakan petirnya.
Angin yang menggigil kedinginan
kusembunyikan ke dalam gelas
bersama desah, desau dan desirnya.
Semoga sekalian kata dan makna
yang kuziarahi bertahun-tahun lamanya
ikhlas menerima cobaan yang tiada putusnya
sebab memang begitu jauh
jarak perjalanan di antara mereka.
Semoga sekalian luka dan sembilu
yang tak henti-henti meruyaknya
tidak saling sayat dan sakit hati
justru karena demikian dalam percintaan
di antara keduanya.
Januari yang lusuh datang padaku
seperti doa yang rela bersekutu
dengan sekalian kata dan ucapan
yang sering gagap dan gagu.
(1997)
Sumber dari SINI