(Hidup) Matinya Sebuah Kota
Oleh RAUDAL TANJUNG BANUA
Oleh RAUDAL TANJUNG BANUA
PERNAH kuceritakan padamu tentang kota-kota hikayat yang sudah tamat, sebagian mencoba bangkit, sia-sia. Ada yang berhasil tegak, meski tak sampai jaya, yang lain lenyap, hilang berita, terhapus dari peta. Bagaimana pun, puji sanjung baginya hanya sempurna dalam cerita dan kaji lama, sesekali membubung puja-puji serupa doa dari buku-buku sejarah berdebu tua, penuh ngengat, tak terbaca. Begitulah kuamsal Barus, Singkel, Demak, Kudus, Gresik, Tidore, Malifut, Tiku, Siak, Bandar Sepuluh! Itu kota-kota hikayat yang pernah kusebut, penuh takjub, kini menjadi milik sang waktu.
Dunia berubah. Berkali-kali berubah dengan jalur, peta dan kebutuhannya yang tak terduga; yang lama dibuat lindap, yang baru timbul gemerlap. Ingatlah, Jalur Sutra memintas Asia—separoh dunia—lewat darat; Jalur Keramik di samudera raya, memunculkan kota-kota kuno sarat kejayaan, sebagaimana kau hapal, Sriwijaya atau Trowulan. Lalu semuanya perlahan surut, berganti kota-kota syiar yang semarak dalam syara’ dan Kitabullah. Itulah yang kumaksud kota-kota hikayat, begitulah akhirnya ia tumbuh, dan runtuh juga.
Tanpa jubah dan salam suci, segalanya berganti di luar kendali wali dan istana. Perahu, kapal layar, kamper, damar dan rotan, berganti kapal-kapal uap berburu lada, pala, emas dan kapas. Dunia lama dilipat. Kapal-kapal uap berganti kapal baja yang bergerak lebih cepat—Granada, Kordoba jatuh bangun, Damaskus, Baghdad, Istanbul meregang hancur, Suez terbuka—maka yang dibutuhkan lebih dari pengawet, teritori atau agama, tapi segalanya. Isi perut bumi dan yang bermukim di atasnya—kukatakan, segalanya! Maka kota-kota yang bersandar pada alam, tinggal diam, meski mungkin lebih baik.
Setelah kota-kota hikayat tamat, muncul kota-kota kuartal kedua, ialah kota-kota kecil pribumi yang lahir dari rahim alam: pelabuhan ikan, tambang rakyat, atau tempat persinggahan. Mestinya, tanpa sentuhan yang berarti, ia tumbuh juga: seruas-dua ruas jalan, secabang dua cabang simpang, tanah lapang, los pasar, dan kantor sederhana untuk sejumlah urusan—cukuplah. Tapi, kapal-kapal kolonial datang, bendera maskapai dagang berkibar, terkokang senjata dan meriam ditembakkan. Segalanya mengalami pembesaran: loji-benteng, kantor wedana-gubernuran, bandar-pelabuhan, menampung hasrat para pecundang!
***
AKU mencatat beberapa kota seperti itu dengan segala ikatan kasih yang kupunya. Meski akhirnya harus kuikhlaskan ketika ada bagian yang terlepas atau dilepaskan. Kusebut untukmu, Sibolga, kota yang tumbuh dari alam dengan tepian teluknya yang cantik—o, tapian nauli! Tumbuh ia tak jauh dari sisi Barus dan Singkel, dua kota hikayat di utara, yang perlahan susut, lampus cahaya. Ya, mula-mula ia hanya tempat berlabuh kapal ikan berkat lengkung teluknya yang seperti alis kekasih, dibentengi pulau-pulau kecil sehingga aman tersembunyi. Ramailah kapal merapat dan maraklah tepian yang cantik itu. Hingga tiba masa tangan kolonial merogoh teluk sampai ke jalanan, kampung dan lorong. Gedung dan gudang didirikan. Pasar, jalan dan pemukiman diperlebar. Genderang dunia baru dipancarkan.
Tapi ketika Jakarta atas nama kedaulatan memegang tampuk kekuasaan, pandangan diarahkan ke pantai timur, ke tepi Selat Melaka, jalur laut paling sibuk di dunia. Medan, kota perkebunan dengan pelabuhan Belawannya berada persis di tengah kesibukan itu. Tinggallah Sibolga dengan wajah canggung disurukkan; gedung-gedung setengah jangkung, pasar dan kampung kembang tak jadi, gudang-gudang dialihkan. Peran Sibolga sepenuhnya diambil Medan yang tumbuh bagai raksasa gemuk penuh beban. Sampai kini, kita tahu, harapan Sibolga untuk jadi ibukota propinsi baru—Tapanuli—kian sayup dan tidak kedengaran lagi.
Nasib Sibolga tak ubahnya Sabang, kota di ujung barat tanah air yang sempat terlantar ketika pemerintah sibuk dengan kota impian di perbatasan Johor-Singapur. Status pelabuhan bebas Sabang dicabut, dialihkan ke Batam, demi mimpi kejayaan dalam satu malam. Meski statusnya kini dikembalikan—dan Batam tak kunjung besar—Sabang tetap gugup seakan menyaksikan air raya sehabis surut. Pun Cilacap di selatan Jawa yang dalam sejarahnya pernah mencecap masa jaya, kini mati suri setelah untuk terakhir kalinya sukses menjadi emergency exit orang Belanda saat Jepang mengumandangkan Asia Timur Raya. Cirebon dengan “jalur rotan”-nya lantas menggantikan peran Cilacap, tapi tak lama kemudian, ketika rotan hilang di pasaran, Semarang dengan “jalur peti kemas”-nya tak lagi tergantikan.
Kota senasib lainnya adalah Padang, dengan muaranya terlindung Bukit Barisan yang tercelup langsung ke lautan. Orang Minang, Nias, Jawa, Cina, Arab, Keling, India hidup sebagai nelayan dan pedagang tanpa hasrat menundukkan. Barulah pada tahun 1620 orang Aceh merebut Padang, dan tahun 1664 VOC mengusir Aceh, maka dimulailah intrik kekuasaan. Kapal kulit putih ganti lego jangkar di Muara, dari mana kota berkembang ke utara dengan Pasar Gadang, Jalan Belantung dan Menara Jam di perempatan, melebar terus ke barat, ke bukit kapur Indarung. Batubara di Ombilin—pedalaman Minangkabau—pun mulai ditambang, dan Padang termasuk kota pertama di Hindia yang mengenakan sabuk besi di pinggang; terbelintang dari celah gunung sampai ke tepi lambung kapal di Emma Haven, yang bertahun-tahun kemudian kau kenal sebagai Teluk Bayur dalam sebuah lagu selamat tinggal. Maka sempurnalah Padang menggantikan Tiku-Air Bangis di utara, Indrapura-Bandar Sepuluh di selatan, juga Siak-Senapelan di timur kawasan.
Ketika Jakarta mengambil-alih kekuasaan, sedikit berbeda dengan Sibolga, Padang tidak serta-merta ditinggalkan. Pandangan tak langsung diputar ke lain kota, katakanlah ke Pekanbaru di pantai timur atau Bukittinggi di pedalaman. Padahal kota yang terakhir pernah jadi ibukota Sumatera bahkan pusat pemerintahan darurat republik, dan kota yang pertama santer beraroma minyak dunia. Tapi, pamor Padang justru digosok tangan segar Orde Baru, seolah membayar rasa bersalah atas kekuasaan terdahulu yang membombardir kota ini dari udara. Ya, Padang digenjot seakan dengan cara itu ranah bunda memanggil bekas pejuang PRRI kembali ke pangkuannya. Terminal Lintas Andalas, Pasar Raya, Jalan Permindo yang sibuk, Duta Mall dengan kaca-kacanya yang lebar, Stadion Agus Salim, Taman Budaya dan proyek Banda Bakali, itu beberapa hal yang kuingat benar. Gilang-gemilang. Kantor gubernur dengan atap seruncing tanduk kerbau, dan kantor walikota yang sebersih seekor angsa, tampak seperti sepasang pengantin di jalur utama. Monumen Adipura terpancang di pertigaan, seiring maraknya semboyan adat dan agama sebagai watak kota, meski kadang kurasakan bagai kepalan tangan pada Tugu Tinju di sebuah simpang—mengacung ke udara, kosong-hampa. Sebab setidaknya kuketahui, diam-diam, perempuan malam bergincu tebal mulai berkeliaran di Taman Melati dan pantainya yang panjang.
Apa pun, Padang lantas jadi tujuan utama di Sumatera Tengah dan betapa penuh gairahnya ia. Kampus (swasta atau negeri) memperkokoh diri. Lembaga kursus (yang resmi dan tak resmi) tumbuh subur, terpacak di ruko-ruko sepanjang jalan kota tercinta, memakai istilah Akademi, Institut, College atau Lembaga. Bidang terbanyak adalah keperawatan, akuntansi dan computer, anehnya jarang kutemui bidang pertanian dan kelautan! Mahasiswa berdatangan dari Bukittinggi, Kerinci, Jambi, Pekanbaru, Bengkulu, Lubuklinggau, Tanjungpinang, Sidempuan, bahkan Aceh dan Medan. Lulusan universitas di sini jadi trendsetter di daerahnya masing-masing. Sementara lembaga-lembaga kursus sukses menghasilkan anak-anak muda “siap pakai” yang demi Dewa Zombie, cocok benar dengan azaz masyarakat tinggal landas dalam kamus pembangunan Orde Baru. Maka sebagaimana kau ingat, mereka berlomba menawarkan ijazah ke kota-kota industri yang sedang tergerek—Batam, Serang, Tangerang, Surabaya—meski soal nasib, entahlah.
Gairah Padang juga tercermin dari sejumlah surat kabarnya yang terbit meyakinkan: menyebar di Sumatera Tengah bahkan Jakarta, dengan kepala biro di kota-kota tetangga yang tidak punya media, atau yang jatuh bangun merintis media. Kantor perwakilan wilayah mulai PLN, Pos, Telkom, Armada Laut dan entah apa lagi ada di sini. Sementara Pekanbaru, kau tahu, benar-benar hanya berupa pasar yang diramaikan tiap hari pekan seperti pada zaman Senapelan. Kadang muncul rasa simpati kami—aku dan beberapa kawan koresponden koran lokal—bahwa Padang punya terminal bis yang hidup, berdampingan dengan Pasar Raya; sedang Pekanbaru yang kaya minyak hanya punya terminal kecil kusam, Mayang Terurai, di tepi seruas jalan. Nangka atau Tambusai. O, sangsai!
***
KINI, tanpa aba-aba muncullah kota-kota kuartal ketiga, ialah kota-kota yang berpacu dengan hiruk-pikuk isu dunia. Demokrasi. Otonomi. Desentralisasi. Apa yang terjadi? Banyak hal yang terjadi. Tangan sentral kekuasaan telah dipelintir, dipatahkan, berganti tangan-tangan lokal yang merumuskan masa depan. Membagi wilayah dan kekuasaan, membuat surat-surat, melayangkan proposal. Pemekaran. Lahirlah kota-kota transisi. Anggota parlemen dan raja-raja kecilnya aman terlindung dalam kitab undang-undang demokrasi. Rapat terkunci.
Maka kota-kota hilang, kota-kota datang… Padang yang dulu terkembang jadi guru, jadi titik tuju, kini buntu tak berdaya. Menyusurinya pada suatu hari, kutemukan simpang-simpang semati tugu, pasar raya yang terancam ditinggalkan, terminal bis berganti mall. Kota tanpa terminal? Betapa! Terasa hatiku dicakar kucing liar, dan dengan gemetar kupunggungi mall yang merampas ingatanku—ingatan semua orang. Kususuri Jalan Pancasila yang terbentang ke tepi laut, membawaku menjauh dari kenangan. Betapa larut. O, bis-bis dengan klakson melengking, terasa bergema lagi. Tapi tidak. Itu debur ombak melimbur rumah-rumah yang gelisah dalam tidur. Maklum, gempa dan ancaman tsunami datang menghoyak tak kenal waktu membuat penghuni Padang seakan perang mental dengan alam. Banyak yang bertahan, karena bukankah seorang pemimpin kita yang bijak-bestari telah mengutip pepatah lama: kalau takut gelombang jangan berumah di tepi pantai? Tapi hidup tak sesederhana kutipan Marzuki Alie, lihatlah, sebagian orang terpental, pindah ke pegunungan, terutama ke Payakumbuh, negeri yang airnya jernih ikannya jinak. Terpisah hanya oleh Kelok Sembilan dengan Riau, mau tak mau Payakumbuh melirik Pekanbaru, ibukota orang Melayu yang terus tumbuh dan kini benar-benar seperti pasar baru—jauh dari zaman Senapelan.
Tinggallah Padang yang stagnan, buntu, menyesakkan. Terlebih selama ini ia telah melupakan pintu belakangnya ke selatan; jalan ke bekas Bandar Sepuluh, Indrapura dan Tapan, nyaris bagai jalan ke jamban. Padahal, jalan itu menghubungkannya dengan dunia luar, kota-kota perbatasan, Bengkulu, Jambi, terus ke Lampung atau Palembang. Tapi Padang lebih tergoda pantai timur sehingga jalan ke situ jadi pintu depan yang selalu terbuka. Jalan lempang yang terus diperbesar menuju kota-kota dicelah gunung—Padangpanjang, Bukittinggi, Payakumbuh—terus ke Pekanbaru, Duri dan Dumai. Bahkan kini akan dibuat jalan tol; kuamsal klakson kematian bagi sebuah kota di pantai barat Sumatera.
Tanpa tedeng aling-aling, tanpa instruksi (ini zaman demokrasi, Bung!) Pekanbaru segera mengambil-alih peran kawasan; kota transisi yang terus tumbuh, terus tumbuh, jadi titik tuju segala jurusan. Lihatlah, bis-bis dari Jawa selalu mencantumkan Pekanbaru sebagai trayek utama, sementara bis-bis ke Padang yang dulu merajai jalan Lintas Sumatera tinggal cerita. Begitu pula pesawat terbang. Jika hendak mengirim barang ke Pekanbaru, anda perlu mem-booking pihak cargo satu atau dua hari sebelumnya, sebab muatan selalu penuh. Tapi coba iseng bertanya tujuan ke Padang, barang anda bisa berangkat saat itu juga!
Begitulah, Pekanbaru dengan enteng menyandang banyak tugas nasional—meski kadang tak signifikan—mulai Festival Film yang ramai gosip selebritis, Kongres PSSI yang kisruh habis, dan kini PON yang jadi bancakan segar petualang. Toh berbagai fasilitas terus dibangun, meski isinya tak cukup meyakinkan: galery seni, perpustakaan megah, kantor gubernur bertingkat-tingkat, terminal besar di luar kota, dan tak lupa mall dan hypermarket di mana-mana. Ada jaminan dana untuk itu semua. Sebab bukankah otonomi memberi banyak jatah minyak, gas, sawit dan sisa kayu hutan, meski yang tercecer juga tak kalah banyak?
Seorang kawan lama, mantan kepala biro koran terbitan Padang, berkata padaku dengan alis terangkat,”Dulu, kami tak punya koran dan aku bangga bisa bergabung dengan koran urang awak. Tapi sekarang koran yang terbit di kotamu, induknya ada di Pekanbaru. Terminal bis? Paling besar di Sumatera, bahkan ada tempat menginap segala. Dan Padang, dengar-dengar tak punya terminal. Lintas Andalas tergusur, Aie Pacah terlantar, begitu tak?”
Apa pun, bersimpati atau mengejek, aku paham: Ya, itulah yang terjadi…Tapi tak urung kubalas juga ia, setengah bercanda,”Terminal Padang justru kian besar, Kawan, sebab setiap sudut kota adalah terminal. O, tidak. Terminalnya dialihkan jadi bandara internasional, sehingga Padang punya dua bandara: Tabing dan Minangkabau. Sementara Bandara Syarif Kasim Riau kalah bersaing dengan terminal bisnya yang kelewat besar sehingga bis-bis takut masuk ke dalamnya….” Kaget juga ia, tapi lantas kubawa tertawa.
***
KIRANYA banyak kota pasang-surut, bahkan hidup-mati, dalam siklus yang kusebutkan. Penyebabnya beragam. Mulai tangan panjang kekuasaan yang menyentuh semua hal, atau kekuasaan bertangan panjang yang mencomot setiap jengkal, apakah bedanya? Habisnya sumber alam, berubahnya peta dan jalur utama sampai keroposnya kebijakan lokal, mungkin juga bencana yang membuat karam. Secara sederhana siklus itu bisa direka: sebuah kota tumbuh dari alam, diolah tangan kasih orang lokal, lalu direbut kolonial yang menyingkirkan peran pribumi. Kemudian, atas kehendak zaman, kota berpindah ke kekuasaan nasional yang dengan emosional (juga serampangan) menuding-nuding langit dan bumi dikuasai oleh negara—menyingkirkan kemungkinan langit dan bumi sahabat kami.
Begitulah, sebelum kolonial mengendus timah Pulau Bangka, orang-orang tempatan terbiasa mengayun cangkul di ladang-ladang bertanam lada atau sahang. Lewat cara ini Mentok di barat tetap tumbuh alamiah, seolah kau bertemu kubangan dan dangau pengembala di balik semak-semak yang tak sengaja dikuakkan. Tapi, orang kulit putih yang semula mabuk kepayang akan lada atau sahang, mulai menguak takdir, tak sekedar semak-semak. Mereka kerahkan tenaga perantau Cina dari Tumasik dan Malaya memulai pesta bertahun-tahun suntuk menggali dan mengolah: timah, timah, timah! Maka muncullah Belinyu di utara yang petak-petak tokonya tetap bisa kau hitung sambil jalan, tapi secara “ruh” ia pusat tambang kolonial. Selamat tinggal lada-sahang, cempedak-durian hutan!
Sampai akhirnya pesta itu dilerai pekik sorak kemerdekaan dari sebuah bangsa yang sudah pandai mencium isi perut bumi. Mereka usir si asing pergi. Proklamasi, Merdeka atau Mati. Maka kekuasaan pribumi menyusun rencana atas kota-kotanya sendiri. Nasionalisasi. Merah putih. Investasi. Tapi kekuasaan nasional kadang tak masuk akal dibanding kolonial. Bukannya membuat ruang kota lebih nyaman, tangan itu malah mengobrak-abrik taman, kanal, jalan dan lorong-lorong sisa kolonial. Jadi bancakan. Selagi ada hasil untuk dikeruk, sepanjang itu pula semuanya ditarik masuk: investor, pihak ketiga, tentara dan senjata. Ketika bahan galian habis, hutan-rawa tinggal cerita, tangan itu tak mampu melakukan apa pun, kecuali meninggalkannya tanpa dosa—kolong menganga, lorong tambang tak berguna, bukit-bukit krowak, tata ruang tanpa arah dan bangunan tua rusak binasa.
Lewat cara ini Sungailiat dan Koba digali, meski pada awalnya Belinyu di utara tampak bakal hidup selamanya. Tapi ketika timah akhirnya susut, Belinyulah yang lebih dulu tutup seakan sudah malam. Kau harus bersiap dengan lilin atau senter di tangan, menuruni tangga rumah-rumah tua, sebab sebagaimana layaknya usaha gulung tikar, listrik mendadak tercerabut dari saklar. Sungailiat pun surut, Koba mencoba bertahan, Jakarta dan Palembang sudah lebih dulu kenyang! Kini giliran laut ditambang, tak sebatas pasir kuarsa—toh masih ada sisa timah yang bisa disedot kapal-kapal baja. Tak mau jadi penonton, orang-orang yang tak lagi punya sahang di ladang-ladang, membuat ponton-ponton kayu meniru cara menyedot kapal keruk—meski mereka dicap “orang TI”, tambang ilegal. Apa boleh buat. Mereka perlu hidup, selayaknya kota mereka yang nyaris hilang, Pangkalpinang, kini bangkit jadi ibukota propinsi baru—yang terlambat! Tapi tak ada kata terlambat bagi sebuah kota yang secantik dan sejinak gadis Bangka; selalu ada saat ia tumbuh dipinang!
Proses peralihan yang lebih kurang sama terasa pula di sebuah kota ujung pulau: Baubau di Buton. Kota yang ranum berkat pelabuhannya ini, diincar kolonial karena betapa terbukanya ia di tengah lintasan rempah-rempah. Sementara kapal-kapal kecil seperti biduk kora-kora bisa berlayar dalam jarak yang singkat ke Maluku, “kapal induk” tinggal menunggu dalam jarak aman di Pelabuhan Baubau. Sampai lambungnya penuh, siap bertolak ke Melaka, Caliccut, dan terus ke Eropa. Lagi pula kota ini punya istana dan benteng di atas Bukit Palagimata, bukti bahwa tangan kasih orang lokal telah menjaga dan membesarkannya.
Strategi VOC: jika kota direbut salak meriam, isyarat tak bakal aman sepanjang masa sebab, kau tahu, Baubau bukan kota yang tumbuh dalam semalam. Lihatlah, istananya terlindung benteng batu di ketinggian bukit karang, tak mungkin ditundukkan dengan sikap keras kepala. Maka ditawarkan cara lama: kerjasama. Ya, lewat kerjasama saling untung berdagang rempah-rempah, VOC dan Buton membangun apa yang disebut “persekutuan abadi”. Namun dalam perjalanannya, seperti dapat diduga, persekutuan berbuah penaklukan, sebab tiada benteng yang tak bercelah. VOC, kemudian Gowa di barat daya—dalam misi memburu Arung Palakka—sama-sama memanfaatkan celah itu, membuat kota jatuh-bangun, setengah hancur. Untunglah sejarah tampil jadi penengah. Kulit putih hengkang, Arung Palakka pulang, dan tibalah giliran kekuasaan nasional menggantikan tahta pulau karang.
Tapi anehnya, kekuasaan Jakarta via Ujungpandang malah berpaling (atau berhitung?) atas Buton. Tanpa proses berarti, mereka boyong semua hal yang berkaitan dengan status kekotaan keluar dari Baubau, dipindahkan ke tempat yang belum siap benar di kaki tenggara Celebes, di tepi teluk agak pedalaman. Dengan cara ini, kekuasaan nasional tampaknya ingin tempat yang steril untuk dikendalikan, yakni Kendari, alih-alih Baubau yang dianggap terkontaminasi oleh “persekutuan abadi”, kehadiran Arung Palakka, isu basis PKI, dan entah apalagi. Aih, tangan kekuasaan mana yang mau repot-repot membersihkan piring kotor sisa makannya sendiri? Maka Kendari dipaksa menanggung beban sebagai ibukota propinsi Sulawesi Tenggara, yang kemudian terbukti, alangkah beratnya! Tidaklah aneh bahwa yang kini terjadi sebaliknya: Kendari terus-menerus didera beban sepi, sementara Baubau semarak dan bangkit lagi—kota ini memang petarung sejati, selayaknya hidup di lautan!
***
BEGITULAH, ada banyak kota yang dulu jaya, kini surut, hilang gema. Seperti laut surut hilang berita. Cuaca berubah. Kota-kota transisi berebut tumbuh, mengambil-alih kejayaan yang bersisa, meski tak mudah. Dan kota lama pun tak hendak menyerah, susah-payah menjaga apa yang pantas dijaga. Sebut saja Sawahlunto, kota tambang di pedalaman Minangkabau itu, dulu penghasil batubara nomor satu, kini harus bekerja keras mengolah bekas lorong tambang dan gudang-gudang tuanya, lori dan kereta uapnya untuk memikat orang datang berwisata. Sementara perusahaan tambang yang bercokol sejak zaman kolonial, pergi bergegas seolah “urang sumando” meninggalkan rumah anak-kemenakan kami yang merana. Pun Bukittinggi yang lebih dulu berjuluk kota wisata, setelah masa sebagai ibukota Sumatera pada tahun 50-an lewat, kini lesu darah. Tak ada lagi kabar baru yang terdengar kecuali kabar lama yang berulang: kebakaran pasar, sangketa wilayah, pertengkaran, sesekali pesona Jam Gadang dan Ngarai Sianok yang perlahan pudar.
Demikian halnya di Kalimantan: diam-diam, Balikpapan mengambil alih peran Samarinda karena dataran rendah Mahakam itu kian sesak dan terendam banjir. Sementara Balikpapan tumbuh teratur dengan jalan-jalan membujur lapang, trotoar tanpa pedagang, lengkap dengan zebracross bertulisan,”Menyeberang di sini Anda dilindungi undang-undang.” Sebuah koran menurunkan headline,”Balikpapan ibukota Kalimantan”. Itulah kenyataannya. Kecuali kantor gubernur, bukankah semua kantor penting ada di Balikpapan? Ini tak beda dengan Banjarbaru yang mengambil peran Banjarmasin di tepian Barito yang kian penuh, berdebu. Bandar udara dan sebagian Universitas Lambung Mangkurat, kantor-kantor tambang dan jasa, bahkan kantor gubernur Kalsel kini bergeser dari kuala ke hulu.
Di Lombok, nama Ampenan terasa sayup di bawah gema nama Mataram. Meski bersama Cakranegara, Ampenan dan Mataram masih satu kawasan, tapi kita tak akan pernah mendengar lagi nama Ampenan diucapkan seperti bertahun-tahun lalu ketika seseorang menyebut Lombok, Gogoh Rancah atau Nusa Tenggara. Ampenan telah menjadi kota tua yang termangu bisu di sudut pelabuhan lama. Begitu juga Singaraja Anglurah Sakti, dulu ibukota Sunda Kecil, pelabuhan ramai di utara, kini tinggal jalan-jalan kecil seolah tak ada apa pun yang pernah terjadi di sana. Denpasar bersama Kuta, Gianyar dan Tabanan di kaki Pulau Dewata telah merenggut perannya dalam metropolis Sarbagita yang terus menggurita!
Di kaki barat Sulawesi, kudapati Majene, kota afdeling Belanda, kini seperti gadis Mandar yang ditinggal kekasihnya berlayar. Upaya merawat dan mendirikan universitas lewat slogan “Kota Pendidikan”, tak kunjung mendatangkan kekasih yang dinanti. Orang lebih suka mendapati gadis Mandar yang lain di timur, Polewali, kota transit, dagang dan jasa. Atau ke barat, Mamuju, yang mendadak penuh pesona sejak didapuk jadi ibukota propinsi baru, seolah gadis pingitan yang keluar dari balik alat tenunnya. Atau lebih ke barat lagi, Pasangkayu, yang berpacu membuka ruang baru, penuh kemungkinan dan godaan!
Inilah masa kota-kota otonomi tumbuh, jadi kota transisi yang siap menggantikan peran kota-kota lama, yang buntu, stagnan dan sarat beban. Meski sesungguhnya tak ada yang benar-benar bisa tergantikan. Bagaimanapun kota lama telah menjadi cerita, legenda atau kenangan, menggenangi ruang-ruang ingatan, susah-payah bertahan dari peta, sejarah dan roda zaman. Sebaliknya, siapa menjamin masa depan kota-kota transisi secerah langit tanpa awan? Tanpa mengabaikan harapan besar, lihatlah betapa hampa kenyataan. Dalam kota yang berlari, terus berlari, kusaksikan orang-orang lokal, orang-orang gusuran, pemilik kota yang sejati, malah terabaikan, seperti bagian kota tua dibiarkan terlantar, menunggu ambruk atau runtuh, mungkin akan menimpa kepalamu. O, betapa sedih dan mengancam! (*)
Parigi Moutong-Yogyakarta, 2011-2012
(*) Dimuat di Koran Jawa Pos, 15 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar