1. Berbagai pengalaman traumatis yang dialami seseorang memberikan pengaruh pada pola prilaku. Kecemasan dan ketakutan ketika menemukan kenyataan hampir mirip dengan pengalaman tertentu di masa silam biasanya datang menghampiri dan menguasai diri seorang individu. Ini terjadi karena sewaktu ia mengalami kenyataan pahit dalam suatu pengalaman traumatis sebelumnya telah terjadi kesalahan pilihan tanggapan dan reaksi sehingga resiko yang dihadapi tak sebanding dengan kemampuan menanggung beban. Lain hal bila ia saat melewati pengalaman tersebut mampu menyelesaikannya dengan baik, dalam artian menemukan jalan keluar masalah yang disajikan ke hadapannya, maka dirinya akan menjadi lebih percaya diri bila mendapati persoalan serupa.
2. Pada dasarnya, sudut pandang pemikiran seseorang dipengaruhi bidang tertentu dimana ia total melibatkan diri di dalamnya. Ambillah contoh, seorang yang kesehariannya berkutat dengan bisnis dan segala tindakannya bermotif ekonomis, ia biasanya melihat sesuatu hal sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan praktis.
3. Meremehkan apa yang sedang dikerjakan adalah bentuk cara pandang negatif yang merugikan diri sendiri. Misal, seseorang yang merasa apa yang dilakukannya hanya sekedar untuk "membunuh waktu dan terjebak dalam irama monoton rutinitas semata", niscaya akan bersikap pesimistis dan dibelenggu kebosanan yang tak tertanggungkan.
4. Perencanaan diperlukan untuk menghindari kecerobohan tahap-tahap realisasi ide, tapi yang paling penting adalah persiapan mental menghadapi resiko kegagalan.
5. Mengetahui kelemahan diri melalui sikap terbuka menerima saran dan kritikan, ini dapat memimpin diri sendiri untuk melangkah secara sistematis pada perbaikan. Menerima pujian yang belum layak diterima sama halnya dengan menutup mata untuk melihat kelemahan diri yang potensial menghancurkan.
6. Akhirnya, kekuasaan hanya menjadi sebuah simbol yang menandai status sosial. Maka pada tataran ini, kekuasaan akan memainkan peranannya untuk mendominasi dinamika kehidupan antar individu dalam sebuah equilibrium sosial semata. Kekuasaan bertindak sebagai alat pemisah antara yang diperintah dan mengabdi. Inilah yang ada di balik ilusi kekuasaan yang mengaburkan pandangan seseorang sehingga ia cenderung ingin mendominasi orang lain.
7. Albert Camus menyatakan: "Untuk mengoreksi kemasabodohan alami, aku ditempatkan di tengah jarak antara kesengsaraan dan matahari. Kesengsaraan menghalangiku untuk percaya bahwa segalanya betul-betul ada di bawah matahari dan di dalam sejarah. Matahari mengajariku bahwa sejarah bukanlah segalanya. Ya, sejarah memang mengubah kehidupan, tetapi tidak untuk mengubah dunia yang kuangkat menjadi Tuhanku."
Intisari dari ucapan bijak filsuf eksistensialis ini adalah kepasrahan terhadap nasib yang mengukung diri hanya menghasilkan sikap "menyerah kalah." Sungguh, potensi seorang individu untuk memanusiawikan dirinya tak bisa hanya dengan berpasrah diri semata. Nasib bukanlah hal yang menentukan keadaan terakhir (takdir) yang mesti diterima dengan sikap "Ya, sudahlah... Inilah yang mesti kuterima.."
8. Kita cenderung membandingkan diri sendiri pada keadaan yang dialami orang lain ketika ada suatu kondisi yang tak diinginkan sedang terjadi pada diri kita. Ya, rumput di halaman rumah tetangga selalu tampak lebih hijau. Mungkin tanahnya gembur, atau bisa jadi cahaya matahari bersinar lebih ramah di sana! Namun rumah sendiri sebenarnya terasa lebih nyaman. Nah, untuk menciptakan rasa nyaman ada baiknya, kita sejukkan dulu keadaan rumah pribadi sendiri daripada menghabiskan waktu memandangi rerumputan tetangga samping rumah!
9. Sebaliknya, saat kita menemukan diri sendiri yang sedang mengalami kesempurnaan dalam segala bentuk sikap dan prilaku, kita memproyeksikan sudut pandang dengan kaca mata positif untuk melihat diri sendiri. Tetapi, hati-hati! Semua keadaan selalu berubah, tidak ada yang tetap! Juga semilir angin berhembus dari lereng bukit bisa membuat diri terbang ke alam mimpi! Lalu, bagaimana bila tiba-tiba datang angin puting beliung? Masihkah kita mau membiarkan diri terlelap?
10. Beberapa hal mungkin telah mampu kita capai. Beberapa hal lainnya bisa jadi luput dari perhatian sehingga lepas dari target pencapaian. Ah, lagi-lagi bicara tentang fokus perhatian dan skala prioritas. Namun yang utamanya bicara tentang intensitas niat awal yang memotivasi diri. Apapun ditentukan oleh niat awal untuk memulai pelaksanaannya.
11. Dalam suatu momen yang tepat apapun mampu diselesaikan. Namun, apakah mesti selalu menunggu momen-momen yang tepat itu datang menghampiri? Ah, lagi-lagi bicara tentang hubungan waktu dan keinginan kuat untuk segera bertindak.
12. Rasa malas itu nikmat! Saat pesonanya datang bertandang dalam ruang jiwa, dijamin kita pasrah seperti seekor puyuh yang terpikat jerat. Ah, lagi-lagi bicara tentang semangat dan motivasi personal yang sangat mempengaruhi kreativitas!
13. "Huhh! Coba dari kemarin mulai dikerjakan!" gerutu diri saat sesuatu yang dilaksanakan terdesak oleh waktu. Menunda sebenarnya setengah dari kegagalan karena dengan menunda sesuatu yang mesti dikerjakan, kita tak mampu menyelesaikan suatu pekerjaan dengan sempurna. Mana ada sebuah hasil yang baik bisa dicapai dengan ketergesaan!
14. "Kalau Murai baru belajar berkicau, berkicaulah yang merdu!" demikian ungkapan Melayu lama mengatakan. Ada suatu pendapat maupun gagasan pikiran yang layak dikonsumsi diri sendiri. Ada pula yang layak disebar-luaskan. Ingat! Setiap apa yang kita katakan sebenarnya pencerminan diri kita sendiri. Apalagi saat kita baru mulai belajar memahami realitas, jangan mengeluarkan opini yang hanya menerbitkan kepanikan pada keadaan yang ada! Mudahnya jangan asal bunyi, karena kentut pun juga sebuah bunyi, tapi bunyi yang tidak teratur tinggi rendah frekuensinya. Tentu bukan sebuah nada! Akhirnya hanya sebagai desah dari angin dalam perut yang membuncah dan hanya menimbulkan gelisah!
15. Kalau mengkritisi suatu hal, tanyakan pada diri sendiri dulu: "Sudahkah kita mencerna persoalan sebenarnya?" Kritik itu bersifat konstruktif dan menghasilkan perubahan ke arah yang baik, bila di dalam kritik yang disampaikan berisi hikmah dan koreksi perbaikan. Namun suatu kritik yang kita lemparkan berasal dari 'kepala kita yang kosong' dan hanya didorong oleh emosi negatif, akan menimbulkan kejengahan pada orang yang dikritik dan mem-proyeksi-kan diri kita sendiri sebagai pribadi yang baru saja keluar dari sebuah gua lembab yang dingin.
16. Seperti karang yang menantang diterjang ombak laut, kita harus bisa sangat keras demi mempertahankan hal yang benar! Tetapi ada saatnya kita mesti seperti tanah lempung yang mudah dibentuk menjadi wujud apapun, bila memang ada hal yang sangat negatif dan salah ditemukan dalam diri kita.
17. Jadilah api saat udara begitu ingin menguliti kulit tubuh! Namun jadilah air saat cuaca kemarau memanggang begitu ingin merajam diri. Pimpinlah diri agar menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain dan pribadi yang baik bagi diri sendiri tentunya.
18. Sekarang mari kita bicara tentang keinginan.
"Keinginan adalah sumber penderitaan, tempatnya ada di dalam pikiran," demikianlah Iwan Fals berpendapat. Bagaimana bisa? Bukankah keinginan juga merupakan suatu indikator bahwa seseorang itu hidup? Kalau tidak demikian, kita mungkin tak pernah mendengar pribahasa yang mengatakan: "Hidup segan, mati tak mau!" Pribahasa ini menggambarkan bagaimana orang yang lemah semangat hidup, tak mau mewujudkan apa yang diinginkannya, pasrah dalam keadaan terkondisi apa adanya, tak menunjukkan gairah ingin membuat perubahan berarti dalam kehidupan yang dijalaninya, total berserah diri seakan memiliki suatu prinsip dogmatis: "....segala sesuatu sudah tersedia di bawah matahari, maka tak perlu lagi dicari."
Bagaimana ini? Apa karena dunia telah dijelaskan dengan gambar? Lalu, menganggap menganggap keinginan adalah gambar-gambar refleksi kembali hasil aktivitas imajiner yang artistik, difigura dan digantung di dinding dalam ruangan berdesain interior yang mendukung tata letaknya sebagai barang seni. Kemudian, membiarkan mata memandang dalam tatapan terpukau barang beberapa saat. Setelah itu, kesadaran yang terbang tiba-tiba membumi lagi, maka jiwa yang sadar selanjutnya menampar-nampar dan berteriak:
"......hei, masih banyak yang harus dikerjakan! lekaslah beranjak dan mulai bergerak!"
Kesadaran yang terbentuk pun mulai menyuguhkan secawan anggur. Minuman manis yang melekat, perlahan mempersembahkan kemabukan diri. Kalap mulai bertindak sekehendak hati untuk meraih apa yang diimpikan. Wah, kalau begitu sama saja! Keinginan yang besar dengan disadari penuh itu rupanya juga siksaan bagi diri sendiri maupun orang lain yang dipandang potensial akan menghalangi.
Albert Camus berkata:
"......berkeinginan berarti menimbulkan hal-hal yang paradoksal. semua telah diatur agar lahirlah kedamaian beracun yang diberikan oleh ketidakpedulian, hati yang setengah tidur, atau langkah surut yang membawa maut."
Oleh karena itu, sahabatku semua, berhati-hatilah dengan keinginan yang cenderung bersifat menjadikan diri sendiri sebagai "hambanya".
19. Ada damai ketika risau berhasil dihalau; maka adalah lebih baik tak pernah merasakan kerisauan supaya jiwa dihangati peluk mesra kedamaian. Untuk apa? Tentu untuk bisa hidup di dalam diri kehidupan itu sendiri. Tidakkah ini sebuah pertimbangan nilai? ketika orang tak ingin risau dan ingin utuh merasakan apa itu kehidupan.
Kembali Albert Camus berkata: ".......aku hidup tanpa kerisauan akan hari esok ── maka punya privilese ── aku tetap tidak pandai memiliki. apa yang kupunya dan selalu tersedia tanpa kucari, sama sekali tidak bisa kujaga."
Hal ini tampaknya menjelaskan bahwa risau itu adalah serbuan kecemasan akan kehilangan. Bisa jadi kehilangan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Bukankah apa yang kita miliki selalu saja menjadi fana ketika kita ingin ia selamanya ada? Bukankah sebenarnya kita seperti memegang barang titipan yang pasti akan diambil kembali pemiliknya? Lalu, mengapa kita menjadi risau? Sangat mengkhawatirkan hal yang bukan pasti milik kita yang akan senantiasa menemani kita selamanya?
20. Sahabatku.. Kita semua tahu bahwa apa yang dikerjakan akan terasa nikmatnya ketika kita mencintai apa yang sedang kita laksanakan itu. Pekerjaan yang dilandasi cinta akan menghasilkan ketulusan melewati segala macam cobaan dan tegar dalam keadaan ikhlas merasakan kegetiran ketika kuku runcing milik mahluk yang bernama "hambatan" mencabik-cabik tubuh-jiwa semangat.
Ada niat tulus yang dilahirkan kecintaan sehingga kita berupaya apa pun yang dikerjakan hanya bertujuan untuk memperbesar kadar cinta kita pada profesi yang dilakoni dan tentu saja kesempurnaan hasil datang secara simultan.
Seorang ulama dan sastrawan besar telah menasehati kita semua akan hal ini: ".......sendi niat yang tulus ialah cinta, mahabbah. barangsiapa yang cinta, tuluslah taatnya dan sucilah niatnya, sehingga apa saja pekerjaan yang dikerjakannya ialah guna pengambil perhatian senang daripada yang dicintainya." ( Buya Hamka dalam Falsafah Hidup, halaman : 129 )
Oleh karena itu, sahabatku semua, berikan cinta sebagai landasan semangat pada apa pun yang akan dikerjakan.
2. Pada dasarnya, sudut pandang pemikiran seseorang dipengaruhi bidang tertentu dimana ia total melibatkan diri di dalamnya. Ambillah contoh, seorang yang kesehariannya berkutat dengan bisnis dan segala tindakannya bermotif ekonomis, ia biasanya melihat sesuatu hal sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan praktis.
3. Meremehkan apa yang sedang dikerjakan adalah bentuk cara pandang negatif yang merugikan diri sendiri. Misal, seseorang yang merasa apa yang dilakukannya hanya sekedar untuk "membunuh waktu dan terjebak dalam irama monoton rutinitas semata", niscaya akan bersikap pesimistis dan dibelenggu kebosanan yang tak tertanggungkan.
4. Perencanaan diperlukan untuk menghindari kecerobohan tahap-tahap realisasi ide, tapi yang paling penting adalah persiapan mental menghadapi resiko kegagalan.
5. Mengetahui kelemahan diri melalui sikap terbuka menerima saran dan kritikan, ini dapat memimpin diri sendiri untuk melangkah secara sistematis pada perbaikan. Menerima pujian yang belum layak diterima sama halnya dengan menutup mata untuk melihat kelemahan diri yang potensial menghancurkan.
6. Akhirnya, kekuasaan hanya menjadi sebuah simbol yang menandai status sosial. Maka pada tataran ini, kekuasaan akan memainkan peranannya untuk mendominasi dinamika kehidupan antar individu dalam sebuah equilibrium sosial semata. Kekuasaan bertindak sebagai alat pemisah antara yang diperintah dan mengabdi. Inilah yang ada di balik ilusi kekuasaan yang mengaburkan pandangan seseorang sehingga ia cenderung ingin mendominasi orang lain.
7. Albert Camus menyatakan: "Untuk mengoreksi kemasabodohan alami, aku ditempatkan di tengah jarak antara kesengsaraan dan matahari. Kesengsaraan menghalangiku untuk percaya bahwa segalanya betul-betul ada di bawah matahari dan di dalam sejarah. Matahari mengajariku bahwa sejarah bukanlah segalanya. Ya, sejarah memang mengubah kehidupan, tetapi tidak untuk mengubah dunia yang kuangkat menjadi Tuhanku."
Intisari dari ucapan bijak filsuf eksistensialis ini adalah kepasrahan terhadap nasib yang mengukung diri hanya menghasilkan sikap "menyerah kalah." Sungguh, potensi seorang individu untuk memanusiawikan dirinya tak bisa hanya dengan berpasrah diri semata. Nasib bukanlah hal yang menentukan keadaan terakhir (takdir) yang mesti diterima dengan sikap "Ya, sudahlah... Inilah yang mesti kuterima.."
8. Kita cenderung membandingkan diri sendiri pada keadaan yang dialami orang lain ketika ada suatu kondisi yang tak diinginkan sedang terjadi pada diri kita. Ya, rumput di halaman rumah tetangga selalu tampak lebih hijau. Mungkin tanahnya gembur, atau bisa jadi cahaya matahari bersinar lebih ramah di sana! Namun rumah sendiri sebenarnya terasa lebih nyaman. Nah, untuk menciptakan rasa nyaman ada baiknya, kita sejukkan dulu keadaan rumah pribadi sendiri daripada menghabiskan waktu memandangi rerumputan tetangga samping rumah!
9. Sebaliknya, saat kita menemukan diri sendiri yang sedang mengalami kesempurnaan dalam segala bentuk sikap dan prilaku, kita memproyeksikan sudut pandang dengan kaca mata positif untuk melihat diri sendiri. Tetapi, hati-hati! Semua keadaan selalu berubah, tidak ada yang tetap! Juga semilir angin berhembus dari lereng bukit bisa membuat diri terbang ke alam mimpi! Lalu, bagaimana bila tiba-tiba datang angin puting beliung? Masihkah kita mau membiarkan diri terlelap?
10. Beberapa hal mungkin telah mampu kita capai. Beberapa hal lainnya bisa jadi luput dari perhatian sehingga lepas dari target pencapaian. Ah, lagi-lagi bicara tentang fokus perhatian dan skala prioritas. Namun yang utamanya bicara tentang intensitas niat awal yang memotivasi diri. Apapun ditentukan oleh niat awal untuk memulai pelaksanaannya.
11. Dalam suatu momen yang tepat apapun mampu diselesaikan. Namun, apakah mesti selalu menunggu momen-momen yang tepat itu datang menghampiri? Ah, lagi-lagi bicara tentang hubungan waktu dan keinginan kuat untuk segera bertindak.
12. Rasa malas itu nikmat! Saat pesonanya datang bertandang dalam ruang jiwa, dijamin kita pasrah seperti seekor puyuh yang terpikat jerat. Ah, lagi-lagi bicara tentang semangat dan motivasi personal yang sangat mempengaruhi kreativitas!
13. "Huhh! Coba dari kemarin mulai dikerjakan!" gerutu diri saat sesuatu yang dilaksanakan terdesak oleh waktu. Menunda sebenarnya setengah dari kegagalan karena dengan menunda sesuatu yang mesti dikerjakan, kita tak mampu menyelesaikan suatu pekerjaan dengan sempurna. Mana ada sebuah hasil yang baik bisa dicapai dengan ketergesaan!
14. "Kalau Murai baru belajar berkicau, berkicaulah yang merdu!" demikian ungkapan Melayu lama mengatakan. Ada suatu pendapat maupun gagasan pikiran yang layak dikonsumsi diri sendiri. Ada pula yang layak disebar-luaskan. Ingat! Setiap apa yang kita katakan sebenarnya pencerminan diri kita sendiri. Apalagi saat kita baru mulai belajar memahami realitas, jangan mengeluarkan opini yang hanya menerbitkan kepanikan pada keadaan yang ada! Mudahnya jangan asal bunyi, karena kentut pun juga sebuah bunyi, tapi bunyi yang tidak teratur tinggi rendah frekuensinya. Tentu bukan sebuah nada! Akhirnya hanya sebagai desah dari angin dalam perut yang membuncah dan hanya menimbulkan gelisah!
15. Kalau mengkritisi suatu hal, tanyakan pada diri sendiri dulu: "Sudahkah kita mencerna persoalan sebenarnya?" Kritik itu bersifat konstruktif dan menghasilkan perubahan ke arah yang baik, bila di dalam kritik yang disampaikan berisi hikmah dan koreksi perbaikan. Namun suatu kritik yang kita lemparkan berasal dari 'kepala kita yang kosong' dan hanya didorong oleh emosi negatif, akan menimbulkan kejengahan pada orang yang dikritik dan mem-proyeksi-kan diri kita sendiri sebagai pribadi yang baru saja keluar dari sebuah gua lembab yang dingin.
16. Seperti karang yang menantang diterjang ombak laut, kita harus bisa sangat keras demi mempertahankan hal yang benar! Tetapi ada saatnya kita mesti seperti tanah lempung yang mudah dibentuk menjadi wujud apapun, bila memang ada hal yang sangat negatif dan salah ditemukan dalam diri kita.
17. Jadilah api saat udara begitu ingin menguliti kulit tubuh! Namun jadilah air saat cuaca kemarau memanggang begitu ingin merajam diri. Pimpinlah diri agar menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain dan pribadi yang baik bagi diri sendiri tentunya.
18. Sekarang mari kita bicara tentang keinginan.
"Keinginan adalah sumber penderitaan, tempatnya ada di dalam pikiran," demikianlah Iwan Fals berpendapat. Bagaimana bisa? Bukankah keinginan juga merupakan suatu indikator bahwa seseorang itu hidup? Kalau tidak demikian, kita mungkin tak pernah mendengar pribahasa yang mengatakan: "Hidup segan, mati tak mau!" Pribahasa ini menggambarkan bagaimana orang yang lemah semangat hidup, tak mau mewujudkan apa yang diinginkannya, pasrah dalam keadaan terkondisi apa adanya, tak menunjukkan gairah ingin membuat perubahan berarti dalam kehidupan yang dijalaninya, total berserah diri seakan memiliki suatu prinsip dogmatis: "....segala sesuatu sudah tersedia di bawah matahari, maka tak perlu lagi dicari."
Bagaimana ini? Apa karena dunia telah dijelaskan dengan gambar? Lalu, menganggap menganggap keinginan adalah gambar-gambar refleksi kembali hasil aktivitas imajiner yang artistik, difigura dan digantung di dinding dalam ruangan berdesain interior yang mendukung tata letaknya sebagai barang seni. Kemudian, membiarkan mata memandang dalam tatapan terpukau barang beberapa saat. Setelah itu, kesadaran yang terbang tiba-tiba membumi lagi, maka jiwa yang sadar selanjutnya menampar-nampar dan berteriak:
"......hei, masih banyak yang harus dikerjakan! lekaslah beranjak dan mulai bergerak!"
Kesadaran yang terbentuk pun mulai menyuguhkan secawan anggur. Minuman manis yang melekat, perlahan mempersembahkan kemabukan diri. Kalap mulai bertindak sekehendak hati untuk meraih apa yang diimpikan. Wah, kalau begitu sama saja! Keinginan yang besar dengan disadari penuh itu rupanya juga siksaan bagi diri sendiri maupun orang lain yang dipandang potensial akan menghalangi.
Albert Camus berkata:
"......berkeinginan berarti menimbulkan hal-hal yang paradoksal. semua telah diatur agar lahirlah kedamaian beracun yang diberikan oleh ketidakpedulian, hati yang setengah tidur, atau langkah surut yang membawa maut."
Oleh karena itu, sahabatku semua, berhati-hatilah dengan keinginan yang cenderung bersifat menjadikan diri sendiri sebagai "hambanya".
19. Ada damai ketika risau berhasil dihalau; maka adalah lebih baik tak pernah merasakan kerisauan supaya jiwa dihangati peluk mesra kedamaian. Untuk apa? Tentu untuk bisa hidup di dalam diri kehidupan itu sendiri. Tidakkah ini sebuah pertimbangan nilai? ketika orang tak ingin risau dan ingin utuh merasakan apa itu kehidupan.
Kembali Albert Camus berkata: ".......aku hidup tanpa kerisauan akan hari esok ── maka punya privilese ── aku tetap tidak pandai memiliki. apa yang kupunya dan selalu tersedia tanpa kucari, sama sekali tidak bisa kujaga."
Hal ini tampaknya menjelaskan bahwa risau itu adalah serbuan kecemasan akan kehilangan. Bisa jadi kehilangan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Bukankah apa yang kita miliki selalu saja menjadi fana ketika kita ingin ia selamanya ada? Bukankah sebenarnya kita seperti memegang barang titipan yang pasti akan diambil kembali pemiliknya? Lalu, mengapa kita menjadi risau? Sangat mengkhawatirkan hal yang bukan pasti milik kita yang akan senantiasa menemani kita selamanya?
20. Sahabatku.. Kita semua tahu bahwa apa yang dikerjakan akan terasa nikmatnya ketika kita mencintai apa yang sedang kita laksanakan itu. Pekerjaan yang dilandasi cinta akan menghasilkan ketulusan melewati segala macam cobaan dan tegar dalam keadaan ikhlas merasakan kegetiran ketika kuku runcing milik mahluk yang bernama "hambatan" mencabik-cabik tubuh-jiwa semangat.
Ada niat tulus yang dilahirkan kecintaan sehingga kita berupaya apa pun yang dikerjakan hanya bertujuan untuk memperbesar kadar cinta kita pada profesi yang dilakoni dan tentu saja kesempurnaan hasil datang secara simultan.
Seorang ulama dan sastrawan besar telah menasehati kita semua akan hal ini: ".......sendi niat yang tulus ialah cinta, mahabbah. barangsiapa yang cinta, tuluslah taatnya dan sucilah niatnya, sehingga apa saja pekerjaan yang dikerjakannya ialah guna pengambil perhatian senang daripada yang dicintainya." ( Buya Hamka dalam Falsafah Hidup, halaman : 129 )
Oleh karena itu, sahabatku semua, berikan cinta sebagai landasan semangat pada apa pun yang akan dikerjakan.