Ketika Penyair Bertanya Pada Seorang Bocah
Udara masih lembab. Senja baru saja tenang dari gelisahnya setelah hujan yang tertumpah melimpah ruah seperti orkestra besar bulan November basah yang meriah. Seorang penyair melintas berhenti. Ia tampak tertegun ketika melihat seorang bocah perempuan yang hanya asyik dengan dunianya sendiri, bercakap-cakap dengan bonekanya dalam suasana yang sedemikian akrab di beranda rumah. Ia tak mempedulikan kehadiran sang seniman kata-kata itu. Baginya yang menarik adalah tanggapan si boneka terhadap apa yang ia sampaikan padanya. Terlintas niat untuk bertanya pada bocah itu. Penyair merasa diabaikan oleh benda yang tak mungkin bisa berkata-kata dengan akrab. Ia berpikir dirinya lebih pantas diajak berbincang-bincang oleh si bocah.
"Dik..," sapanya pula, "Mengapa dirimu menganggap boneka itu mahluk seperti manusia yang bisa bercerita?"
Bocah lugu perempuan itu hanya menoleh sebentar. Lalu tenggelam dalam dunia fantasinya kembali.
Si penyair penasaran. Ia merasa tegur sapanya yang akrab dianggap kicau burung yang terdengar seperti bisikan. Kicau yang sebenarnya merdu namun disebabkan jarak yang terlampau jauh, angin mengurangi keindahannya. Sang bocah tak mengindahkannya sama sekali. Penyair itu pun kembali menegurnya. Kali ini sembari memberi bocah perempuan itu sebutir permen. Tentunya ia berharap mendapat tanggapan layak dari si bocah yang di dalam kepalanya sedang ada cerita lain pengalih perhatian dari tegur sapanya.
"Dik.., ini permen untukmu. Kalau kau mau menjawab pertanyaan paman tadi, paman akan memberikan padamu semua permen ini. Mau kan?" bujuknya dengan lembut.
Sejenak bocah perempuan itu memandang wajah si penyair. Tatapan polos matanya seakan ingin memastikan kebenaran semua kata-kata orang yang ada di hadapannya kini.
"Bagaimana?"
Bocah itu menjawab, "Boneka ini temanku yang baik. Ia selalu mau berbincang akrab denganku, paman."
Merasa pancingannya mengena, si penyair pun lantas bertanya lagi, "Boleh paman tahu apa yang kalian bicarakan?"
"Apa yang membuat paman penasaran pada pembicaraanku dengan boneka ini?" si bocah malah balik bertanya.
Penyair itu tersenyum penuh arti. Ia merasa pertanyaan sang bocah perempuan begitu cerdas.
"Paman penasaran dengan persoalan yang kalian bicarakan tentu saja. Ceritakan pada paman apa yang membuat kalian berdua sangat asyik bercakap-cakap..."
"Kami sebenarnya membicarakan yang tidak ada. Tapi, boneka temanku ini membuatnya menjadi ada dan lebih indah dari biasa yang kulihat setiap hari."
Kepolosan ucapan bocah itu menohok dirinya. Wajah penyair pun pias. Ia seperti terbangun dari keterlenaannya yang suka menghiasi kata melebihi makna sebenarnya. Ia sadar bahwa selama ini menyampaikan surga yang sebenarnya tampak sebagai jurang neraka panas yang menyala. Ia teringat ketika mengkisahkan suasana sejuk nan permai dalam syair-syairnya hanya untuk menutupi keadaan yang porak-poranda akibat hantaman topan yang membinasakan. Bocah itu menyadarkannya pada prilaku sendiri yang selama ini gemar mengukir-ukir kata hingga melalaikan pengertian dan maksud penyampaian. Tiba-tiba ia merasa malu pada bocah perempuan lugu itu.
"Terima kasih, Dik.. Sekarang paman sudah menemukan jawaban mengapa kalian berdua begitu akrab sedari tadi. Ambillah semua permen manis ini untukmu. Paman tak akan mau mencecapnya lagi. Saat ini paman hanya membutuhkan air bening tanpa warna-warna indah yang bisa jadi meracuni si peminumnya, dan bukan melepaskan dahaganya sama sekali."
Tanpa menunda lagi, penyair itu segera berlalu meninggalkan bocah perempuan yang masih melongo, tak mengerti apa yang sedang ia alami. Beberapa saat setelah itu mereka berdua tampak berbincang-bincang kembali seperti semula sambil mengulum permen manis yang ditinggalkan.
Kata-kata tidak lain hanyalah bayangan dari kenyataan. Kata-kata merupakan cabang dari kenyataan. Apabila bayangan saja dapat menawan hati, betapa mempesona kekuatan kenyataan di balik bayangan itu! ( JALALUDDIN RUMI )