INI sebuah cerita. Cerita yang biasa. Sebiasa ketika aku duduk di pos kebun kampung. Kebun yang dikelola oleh warga kampung. Kebun yang memanfaatkan area hijau milik kampung. Kampung tempat kini aku berumah. Pada sore hari. Pada saat aku mesti merenungkan beban pekerjaan yang sudah lama aku pikul. Beban pekerjaan yang bagiku tinggal dua tahun lagi. Sebab, dua tahun lagi, umurku genap 60 tahun. Umur yang pas untuk memasuki masa pensiun. Masa yang menjadikan seseorang merasa sudah sampai batas. Batas, kata orang yang dapat memahami dunia sebelah sebagai dunia gaib. Dunia tempat seseorang membuka pintu dan kembali ke asal.
Ya, asal tanah kembali ke tanah. Dan dari tak ada pun kembali ke tak ada. Kembali ke dalam sebuah keadaan. Yang kabarnya, akan menjadikan setiap orang akan tahu, bahwa hidupnya selama di dunia itu bermakna atau malah sebaliknya. Tak berguna dan tersia-sia tiada terkira. Sampai-sampai, ada yang berteriak: “Kembalikan, kembalikan, aku ke dunia.” Atau, seperti lagu dari dunia kartun yang aku sadur: “Di dunia yang nanti aku kembali, aku berjanji mesti menanam. Menanam keladi, sebab orang bijak mesti berbudi.” Dan sret, pikiranku tentang hal-hal gaib itu hilang. Aku kembali sadar, bahwa di pos kebun kampung ini tetap seperti biasa. Kebunnya hijau, subur, dan merimbun.
Kebun yang ditumbuhi, baik oleh tanaman berumur panjang, seperti mangga, kelengkeng, dan nangka. Atau tanaman yang berumur pendek, seperti lombok, tomat, dan sawi. Tanaman yang ditanam di petak-petak yang berbeda. Yang ukurannya pun berbeda-beda. Serta beberapa kembang hias yang ditata di meja bambu. Untuk besarnya, petak lombok dan tomat sekitar 3 kali 6 meter. Sedangkan untuk besarnya petak sawi sekitar 5 kali 6 meter. Dan untuk beberapa mangga, kelengkeng, serta nangka ditanam di pinggiran kebun. Kebun yang berluas kurang-lebih 15 kali 20 meter. Sedangkan di belakang pos kebun yang ukurannya 4 kali 5 meter ditata bibit-bibit (yang entah apa namanya) dalam wadah-wadah berukuran kecil.
Lalu, mataku melirik ke satu tanaman sawi. Di situ ada bekicot yang asik mengunyah daun sawi. Aku terenyak. Rasanya, ingin mengambil bekicot itu. Terus membuangnya ke jalan. Biar nanti dilindas sepeda motor yang lewat. Pletak! Begitu bunyi cangkang bekicot ketika pecah. Dagingnya semburat. Lendirnya menempel ke aspal. Sebab, bekicot, jika tak dibegitukan, akan merusak pertumbuhan sawi. Dan membuat sawi yang ditanam oleh warga kampung ini meranggas. Tak dapat dinikmati dengan baik. Tapi, sekali lagi, tapi, inginku itu tetap menjadi ingin.
Matahari lingsir di sebelah barat. Warna oranye pelan-pelan menyerpih. Sebentar lagi magrib. Terus diganti malam. Dan di malam itu, sebagai orang yang dua tahun lagi umurnya genap 60 tahun, hanya bisa mengenang apa-apa yang telah teralami. Mulai dari masa kecil, remaja, dewasa, menikah, dan bercucu. Kenangan yang mau tak mau, membuat pikiran merasa kebat-kebit. Sekebat-kebit seseorang yang telah menyadari, bahwa apa-apa yang dipegang bukanlah yang dimiliki. Melainkan semacam titipan untuk akhirnya menghilang. “Hilang seperti embun di siang hari,” yup, itu yang pernah dikatakan seorang kawanku yang tukang keluyuran. Seorang kawanku yang punya hobi keluyuran ke mana saja. Seorang kawanku yang menjadi salah satu tetangga dekatku di kampung yang kini aku berumah.
***
“Kita ketemu lagi,” itu kata dia di suatu pertemuan. Dia, kawanku yang tukang keluyuran, dan yang juga pernah berkata: “Hidup hanyalah mampir-mampir,” menatapku tajam. Matanya merah. Mulutnya terkatup. Aku yakin, bahwa di sosoknya yang sedikit liar itu tersimpan kekerasan dan keuletan yang menyatu. Kekerasan dan keuletan yang membuat aku kerap salah tangkap. Sehingga, tak heran, jika kerap menyebutnya, sebagai si lain yang selalu menghindar dari gerombolannya. Si lain yang tak bisa diatur. Maunya begini. Ya begini. Tak begitu. Titik. Tanpa tambahan.
Dan konon, kawanku yang tukang keluyuran itu, paling suka menonton film (meski lewat Internet) dan membaca buku. Jadinya, tak heran, jika dalam berpakaian pun seperti bintang film. Perlente dan ngejreng. Padahal, saat ini, semua gedung bioskop yang ada di kotaku telah rata dengan tanah. Bahkan, ada yang diganti dengan kafe yang memikat. Kafe dengan bangku dan meja mengkilat. Tempat orang-orang ketemu dan ngopi tapi tak saling ngomong. Sibuk dengan gawai masing-masing. Cuek. Secuek suasana yang terceritakan dalam sebuah buku yang berulang-ulang dibaca oleh kawanku yang tukang keluyuran itu, yaitu: “Orang adalah lemari es bagi orang lain. Sepertinya dekat, tapi dingin tak ketulungan.”
Lalu tentang buku, ini pun ada juga pengalaman yang cukup lucu. Yang terjadi antara aku dan kawanku yang tukang keluyuran itu. Waktu itu, aku dan dia pergi berburu buku di sebuah toko buku. Mata kawanku yang tukang keluyuran itu tajam menatap sebuah buku yang bersampul warna hitam. Lalu, buku itu dimasukkan ke dalam jaketnya tanpa sepengetahuan si penjaga. Sesampai di luar, ternyata itu bukan buku pintar berdebat yang disangkanya. Melainkan buku petunjuk membuat racun tikus yang cespleng. Yang akan membuat bangkai tikus tidak berbau. Tahu-tahu mengering.
“Bajigur,” katanya.
Aku terbelalak.
“Kok, bisa keliru.”
Aku tertawa. “Lalu, kini kita mau ke mana? Apa berpisah?” selaku.
Tapi kawanku yang tukang keluyuran itu tak menjawab. Malah melengos. Terus pergi. Meninggalkan aku sendiri. Aku mengernyit. Benar-benar ganjil kawanku yang tukang keluyuran itu. Dan benar-benar semacam sekian hal yang tak terduga. Sekian hal yang nanti akan menjadi kabar, bahwa tiba-tiba, dia telah berada di Bekasi, juga di Krawang, juga di Maluku, atau malah pergi ke sebuah tempat permakaman umum. Sambil berkata: “Di sini, di sini, daerahku yang akan datang. Daerah tempat antara sunyi dan riuh datang dan pergi. Seperti datang dan perginya Pak RT.” Ya, ya, di kampungku, kawanku yang tukang keluyuran itu paling tak suka pada Pak RT. Menurutnya, Pak RT adalah orang yang mistiknya tak ketulangan. Tak masuk akal, dan yang permintaannya mesti dituruti.
***
Di kampungku yang kini aku berumah, kampung yang sebenarnya adalah sebuah RT (rukun tetangga), adalah sebuah kampung yang berada di pinggiran kota. Sebagai yang ada di pinggiran kota, kampungku, dihuni oleh warga dari berbagai lapisan dengan pekerjaan yang beragam. Ada pekerja pabrik, makelar, ojek online, guru, dosen, dan bahkan yang tidak atau belum mendapatkan pekerjaan pun ada. Sehingga, jika aku telisik lebih dalam, di RT ini (atau lebih gampangnya kita sebut kampungku), sekian napas yang berbeda bisa bekerja sama. Dan untuk melaksanakannya, pun butuh Pak RT. Seorang pemimpin kampung yang bekerja bukan atas kepintaran. Tapi berdasarkan pilihan yang memaksa.
Mengapa pilihan yang memaksa perlu diketengahkan? Ya, sebab, jabatan Pak RT adalah jabatan yang bisa dikatakan unik. Warga membutuhkan, tapi tak satu pun mau dijadikan sebagai Pak RT. Cerita yang berkembang, bahwa Pak RT adalah sosok yang selalu menjadi wadah gerutuan dan cacian adalah hal yang sudah lama terdengar. Dan Pak RT adalah sosok yang hanya mendapat honor tetap di akhirat pun diam-diam disepakati. Karenanya, jika ingin mengetahui dan memahami pilihan seorang ketua atau pemimpin, yang lebih tak masuk akal dari semua pilihan ketua atau pemimpin yang ada, datanglah pas pilihan Pak RT di kampung yang kini aku berumah.
Di pilihan itu, kita pasti ketemu, setiap orang yang akan terpilih pun berlomba-lomba untuk menolak. Alasannya, karena sibuklah, kurang sabarlah, atau karena istrinya marah. Dan untuk memuluskan penolakannya, yang akan terpilih itu pun berani membayar denda. Denda yang akan dimasukkan ke kas RT. Jadinya, jika yang menolak ada sepuluh, tak menutup kemungkinan kas RT tiba-tiba membeludak. Mungkin, ini sesuatu hal yang tak ada di dalam ilmu kepemimpinan mana pun. Sebab, tak akan pernah terlintas di pikiran orang-orang yang berambisi menjabat kepala desa, camat, bupati, dan seterusnya untuk melakukannya. Jabatan, yang jika diincarnya, malah mesti direbut dengan serius.
Tapi, seperti juga keanehan, bahwa tak semua yang cair itu mengalir ke bawah, ada juga yang malah ke atas, seperti minyak tanah di sumbu kompor, maka ada juga orang yang malah berambisi menjabat Pak RT. Dan orang itu adalah Pak RT di kampungku ini. Pak RT yang tidak disukai oleh kawanku yang tukang keluyuran itu. Sebab, di mata kawanku, Pak RT di kampungku ini, di samping mistiknya tak ketulungan, juga permintaannya mesti dituruti. Bahkan untuk menuntaskannya, pun pernah sesumbar, bahwa di kampung yang kini aku berumah, adalah sarang jin. Karenanya dibutuhkan Pak RT yang mampu menanganinya. Dan itu tak lain dan tak bukan adalah dirinya.
Tentu saja, bagi warga di kampungku yang mendengar sesumbaran itu pun ketawa di dalam hati. Pikir mereka, ini ada orang edan yang mau menyetorkan dirinya pada jabatan yang banyak ditolaki. Jabatan yang kerap membuat orang yang sabar akan terkena darah tinggi. Orang yang sehat akan terkena stroke. Lalu, berdasarkan aklamasi, orang itu pun dilantik sebagai Pak RT dengan waktu yang tak ditentukan. Meski sebelum dilantik, meminta sesuatu yang mesti dituruti oleh warga, misalnya: warga segera mengecat pagar rumahnya dengan warna baru, atau warga mesti menyapu halaman dengan sapu lidi setiap bulan agar jin-jin tak berani kelayapan.
Permintaan yang ganjil tapi enteng itu pun disetujui. Meski kemudian, warga kampung tahu, bahwa Pak RT yang baru dilantik itu pun kerap mengunci rumahnya di hari-hari tertentu. Atau, pergi entah ke mana untuk bertapa di sebuah gua rahasia. Jadinya, bagi warga yang kebetulan mengurus surat, pun mesti menunggu kedatangannya. Sampai-sampai, salah satu dari warga yang menunggu itu menggerutu: “Barangkali Pak RT tenggelam di laut tanpa ada yang peduli. Dan barangkali juga tak bisa balik lagi ke dunia yang ada.”
Nah, bagian tentang Pak RT yang tenggelam di laut dan tak bisa balik lagi ke dunia yang ada, yang paling disukai kawanku yang tukang keluyuran itu. Terutama pada kata tenggelam. Sebab, menurutnya, orang semacam Pak RT yang cuma mau permintaannya dituruti dan dituruti, lebih baik tenggelam di laut dan dimakan ikan, kepiting, atau juga si penguasa laut, yang kabarnya berwujud setengah ikan, setengah manusia. Si penguasa laut yang bernama si kalap. Si kalap yang kerap memasuki mimpi-mimpi bagi siapa saja yang mengenal laut. ***
.
(Gresik, 2023)
Mardi Luhung lahir dan tinggal di Gresik, Jawa Timur. Beberapa tulisannya tersebar di sekian media massa. Buku kumpulan cerpen terbarunya adalah Jembatan Tak Kembali (2022). Pada 2010, ia mendapatkan anugerah KLA dalam bidang puisi.
Other Links
Popular Posts
-
Sekilas Tentang Yiruma Yiruma , Pianis berkebangsaan Korea Selatan ini cukup dikenal dunia musik internasional berkat kepiawaiannya m...
-
Yudhistira A.N.M Massardi, seorang sastrawan yang terkenal dengan gaya penulisannya yang "menyentil" melalui humor-humor segar. ...
-
Jika Anda mendengar musik instrumental karya musisi Jepang ini, jangan heran ketika Anda seolah merasa berada di lain tempat yang mungki...
Categories
Anekdot
(6)
Bahasa
(5)
catatan
(23)
cermin
(20)
cerpen
(100)
download
(15)
English Poems
(2)
esei
(37)
esei kesusasteraan
(26)
Esei Psikologi
(1)
Film
(5)
kliping
(30)
musik
(30)
Opini Pribadi
(26)
puisi
(68)
Raja Ali Haji
(1)
tips
(32)
Trik
(17)
true_story
(2)
unik
(4)
wisewords
(6)
0 komentar:
Posting Komentar