Awalnya Bang Mamat dan Bujang hanya berdebat biasa di halaman musholla selepas menunaikan ibadah sholat Maghrib. Mereka saling melemparkan pendapat masing-masing mengenai prasyarat yang harus dimiliki seseorang jika ia mau jadi imam.
"Mat.. Jadi imam tuh, pelafazan ayat-ayat yang dibaca harus pas. Tahu mana yang mesti dipanjang-pendekkan. Bukan sembarangan kayak kamu tadi.." kata Bujang dengan mimik wajahnya yang cukup serius.
"Ini sudah gak bisa ngucapin huruf 'R' dengan jelas, cedal sok PD pula jadi imam sholat. Cobalah tahu diri. Kasih kesempatan sama orang yang paham macam Aldi. Walaupun dia lebih muda dari kamu, tapi kalau ilmunya lebih mapan soal agama, yah suruh dia yang jadi imam.."
Merah padam muka Bang Mamat mendengarnya. Ia tampaknya tersinggung sekali dianggap 'orang yang tak tahu diri'. Padahal ia merasa amat kenal dengan dirinya sendiri. Emosi negatif membajak rasionalitasnya. Serta merta ia membalas perkataan Bujang yang baginya terkesan 'meremehkan' kemampuan dirinya untuk jadi imam itu.
"Ah, kamu sok tahu.. Baru juga kemarin ngerasain udara segar. Selama ini kan kamu di penjara.. Lha, kok sekarang sok hebat pula nasehatin orang. Urus dulu dirimu sendiri. Baru nyeramahin orang.."
"Oh, itu soal lain.. Gak ada hubungannya dengan ini. Aku memang bekas napi, Mat.. Aku sudah dapat imbalan pantas dari kesalahanku dulu. Tapi, soal yang kita omongin ini lain. Setahuku memang gak boleh orang yang kurang fasih membaca ayat-ayat dan belum paham bener jadi imam sholat.."
Belum selesai Bujang memaparkan pendapatnya, Bang Mamat memotong dengan kata-katanya yang cukup tajam menusuk:
"Sudahlah jangan sok nasehati orang. Urus dirimu sendiri. Gajah di depan mata gak kelihatan denganmu, kuman di seberang lautan nampak aja. Kekurangan orang sibuk kamu beberkan, dirimu sendiri berantakan. Mantan napi pake acara nyeramahin orang!" katanya ketus. Alhasil, kini Bujang tampaknya juga telah dibakar api emosinya.
"Sekarang mau kamu apa, Mat!?" tantangnya dengan nada membentak karena merasa dihina. Martabatnya seolah diinjak-injak. Harga dirinya tercabik.
"Terserah kamu!" balas Bang Mamat sengit yang perasaannya telah terluka dari tadi, dan mendorong dada seterunya itu.
Akibatnya, perkelahian tak dapat dihindarkan. Seketika mereka berdua menjadi sangat murah hati. Hati keduanya tergerak untuk saling berbagi bogem mentah di wajah, kepala dan badan satu sama lain. Postur tubuh Bang Mamat yang kurus tinggi dan bertungkai lengan panjang itu membuatnya merasa difasilitasi. Ia cukup menuai sukses menganugerahi Bujang sejumlah 'straight-jab' cepat bertubi-tubi. Tentu saja ia dengan mudah menyarangkan sejumlah pukulan karena ia 'bertangan - panjang'. Sayangnya ia tak 'berpikiran - panjang. Maka, salah satu pukulannya melesat telak mendarat di pelipis lawan yang tak lain orang yang lama dikenalnya. Darah segar pun mengucur.
Merasa strategi pertarungan jarak jauhnya tak mendukung karena badannya yang pendek gempal menjadi bulan-bulanan pukulan, Bujang pun serta merta mengubahnya. Setelah ia menghadiahi Bang Mamat dengan "hook" kanan kuat mendarat di rahang, Bujang tampak menyeruduk lawannya serupa banteng mengamuk. Kiranya strategi barunya ini cukup baik. Tubuh jangkung lawannya yang melambai mirip sebatang bambu itu kini oleng dan jatuh.
Apa yang terjadi selanjutnya? Ternyata sebuah pertandingan gulat amatir tengah digelar. Betapa cepat satu jenis cabang olahraga keras berganti dengan jenis lainnya lagi. Ah, seandainya mereka berdua menyadari bakat terpendamnya masing-masing, dan menemukan tempat berlatih kemampuannya yang tepat, niscaya mereka akan menjadi petinju professional atau bisa jadi pegulat yang hebat.
Kini mereka tampak asyik sekali memiting bak kepiting kawin. Berguling-gulingan mencari celah untuk menyarangkan pukulan telak jarak pendek. Mereka sudah tak peduli lagi sedang disaksikan orang banyak yang berada di depan musholla. Suasana kian memanas saja. Dua orang yang tadinya sebagai imam dan makmum itu kini ingin pula saling mencekik. Pemandangan tampak begitu seru dan menarik. Ya, sebab keduanya begitu bersemangat menuntaskan pertandingan dan memperoleh kemenangan. Kemenangan untuk siapa? Inilah yang mesti dipertanyakan nanti bagi mereka berdua.
Kini mereka tampak asyik sekali memiting bak kepiting kawin. Berguling-gulingan mencari celah untuk menyarangkan pukulan telak jarak pendek. Mereka sudah tak peduli lagi sedang disaksikan orang banyak yang berada di depan musholla. Suasana kian memanas saja. Dua orang yang tadinya sebagai imam dan makmum itu kini ingin pula saling mencekik. Pemandangan tampak begitu seru dan menarik. Ya, sebab keduanya begitu bersemangat menuntaskan pertandingan dan memperoleh kemenangan. Kemenangan untuk siapa? Inilah yang mesti dipertanyakan nanti bagi mereka berdua.
Debu-debu membumbung menyemarakkan seumpama arena pertempuran yang menjadi ajang adu dua kekuatan besar. Ya, debu-debu yang berasal dari perasaan terluka itu rupanya telah juga menutupi penglihatan jernih pikiran rasional mereka. Jika tidak dipisahkan jamaah lainnya, tentu saja peristiwa ini akan menimbulkan kerepotan tersendiri, butuh biaya pengobatan pelipis Bujang yang mengucur darah, membeli satu gigi seri Bang Mamat yang lepas dan trofi atas kemenangan emosi negatif (amarah) yang membajak. Sungguh ironi yang dramatis.
Begitulah pembajakan yang dilakukan oleh "amarah". Orang akan mudah sekali tersulut melakukan tindakan destruktif sesaat tanpa sempat ia mempertimbangkan akibatnya. Bahkan untuk hal-hal yang sepele sekalipun jika diri dikuasai amarah; alhasil soal untung-rugi dari melampiaskan nafsu jahat itu jarang sekali dipikirkan. Yang penting tersalurkan walaupun nanti dengan pikiran reflektif pasca peristiwa dramatis mengkompensasikan amarah, rasa sesal yang biasanya datang terlambat itu cukup berhasil menyesakkan dada.
Benarlah yang dikatakan seorang filsuf Yunani klasik, Aristoteles. Melihat adanya potensi merusak dari melampiaskan amarah pada diri tiap individu, sang filsuf pun menjelaskan,
Benarlah yang dikatakan seorang filsuf Yunani klasik, Aristoteles. Melihat adanya potensi merusak dari melampiaskan amarah pada diri tiap individu, sang filsuf pun menjelaskan,
”Siapa pun bisa marah-marah, itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik-bukanlah hal mudah.”