Kalau kita bertanya pada banyak orang: “Pernahkah kalian membaca puisi?” Ragam jawaban mungkin akan kita dengar secara spontan. Ada yang menjawab belum pernah dengan alasan puisi terlalu sulit dan butuh waktu untuk memahaminya; sekalipun dapat sedikit gambaran umum tema yang diartikulasikan, puisi masih saja jauh dari maksud yang hendak disampaikan penyairnya bahkan membingungkan. Itulah yang menimbulkan orang tersebut menghindar dari menikmati keindahan dan kedalaman karya puisi; sebab puisi terlalu pribadi. Baiklah mari luangkan waktu menemukan jawaban atas pertanyaan mengapa puisi tampaknya rumit dan bersifat sangat personal.
Saya berpendapat puisi terlalu intim dengan penyairnya sejak awal proses penciptaan. Memang sih setiap upaya untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya, orang cenderung bergulat memilah-milah kata yang tepat sebagai wakil langsung dunia dalam dirinya itu. Tetapi, sehubungan dengan mengungkapkan perasaan dan pikiran melalui puisi, tentu saja sangat membutuhkan keahlian khusus. Untuk apa? Tak lain untuk mencapai derajat ungkapan yang maksimal. Selanjutnya, tiba pada proses ini si penyair mau tak mau mesti menyediakan waktu tersendiri (momen kesenyapan) agar bisa langsung beramah-tamah dengan metafor, citraan dan kedalaman makna kata-katanya demi mengintisarikan peristiwa khusus sebagai ide pengungkapan yang ingin digubah menjadi karya.
Kita ambil contoh satu bait pertama puisi karya Emily Dickinson. Pada baris pertamanya yang sekaligus menjadi judul puisi, penyair langsung membuat suatu penjelasan tersendiri dalam artian pengertian definitif mengenai tema yang mendasari keseluruhan isi puisinya.
“Hope” is the thing with feathers—That perches in the soul—And sings the tune without the words—And never stops—at all—
Harapan itu sesuatu yang bersayap
Pada baris kedua dilanjutkan dengan penjelasan tambahan:
Yang bertengger di dalam jiwa
Baris ketiga dan keempat bait pertamanya berperan menguatkan makna melalui citra auditoris.
Dan yang melantunkan senandung tanpa kata-kata
Serta sama sekali tak kunjung henti
Apa gerangan si penyair mengubah hal yang abstrak (harapan) menjadi wujud nyata (benda dengan bulu-bulu sayap yang bertengger dalam jiwa) melalui ungkapan khususnya ini?
Kita bisa menduga-duga bahwa si penyair sedang bermaksud menceritakan pengalaman pribadinya yang tersendiri, terutama berkaitan dengan kekuatan harapan yang ingin menyemangati dirinya saat mengalami kesulitan hidup.
And sweetest—in the Gale—is heard—And sore must be the storm—That could abash the little BirdThat kept so many warm—
Dan (manakala) yang paling indah itu (senyap tertelan) di dalam gemuruh angin yang terdengar
Dan (tentunya telah berganti dengan) rasa sakit yang pastilah itu (serupa) badai
Yang dapat membuat malu si burung kecil
Yang masih menyimpan begitu banyak kehangatan (dengan susah-payah melalui kicau merdunya).
Ampun, hahahahahaha… diksinya gile bener, bukan? Ayo kita lanjut lagi.
I’ve heard it in the chillest land—And on the strangest Sea—Yet, never, in Extremity,It asked a crumb—of Me.
Pernah aku mendengarnya di suatu wilayah yang paling dingin
Dan di atas laut yang paling asing
Namun, tak pernah begini rupa - sedemikian ekstrim
(hingga sampai) meminta remah-remah (yang tersisa dari) diriku.
Secara umum, puisi ini berkisah tentang betapa derita hidup mampu menggerogoti jiwa seseorang. Hanya melalui harapan saja ia menyandarkan diri. Namun, ironisnya lagi harapan yang tersisa itu sama sekali tak mampu membangkitkan dirinya dari keterpurukan dalam duka nestapa.
Emily Dickinson sebagai penyair sangat pribadi mengungkapkan apa yang dirasakannya. Metaforanya pun ia pilih melalui perwakilan unsur-unsur alam di sekitar. Harapan diwakilkan oleh burung kecil yang berkicau riang di dalam tangkai jiwanya. Derita yang menggerogoti kediriannya diwakilkan oleh suara gemuruh badai yang lengkap menimbulkan keputusaan (It asked a crumb─of Me.)
Nampak jelas bukan? Betapa sangat personal dan intim sekali sebuah puisi dengan penyairnya. Jika orang ingin mengetahui lebih dalam isi sebuah puisi, mau tak mau ia harus bersedia mengeksplorasi berbagai kemungkinan daya gugah bahasa yang dipersonalisasikan si penyair. Tapi, permasalahannya adalah kesediaan dirinya melakukan hal tersebut.
Puisi yang begitu intim tersebut memang sebuah media ekspresi diri, alat kesenian yang memfasilitasi tujuan mengungkapkan pengalaman pribadi si penyair. Inilah yang menarik dari puisi yang tidak hanya mencoba menyajikan keindahan bahasanya, tetapi juga berupaya membagikan intisari dan faedah yang didapat si penyair setelah menyelidiki apa gerangan di balik peristiwa khusus yang mengesankan dirinya. Memang demikianlah suatu karya sastra yang berkualitas: berisi intisari pengalaman hidup dari awalnya bersifat personal lalu digubah menjadi tuntunan bagi pembacanya karena mengandun nilai universal kehidupan.
Berbicara mengenai keintiman penyair dengan buah karyanya, hubungan ini terjadi karena ada peran serta “Aku Lirik” yang menjadi wakil dunia dalamnya. Melalui “Aku lirik” puisi yang menyuarakan buah pikiran cermerlang si penyair hasil perenungannya tersebut, ia mengajak pembaca karya puisinya agar ikut mencermati, merasakan dan mendulang hikmah dari kehidupan langsung (Aku lirik puisi yang menjadi “Aku publik”).
Emiliy Dickinson dengan puisinya ini berhasil mengkomunikasikan apa yang dirasakan dan dipikirkannya mengenai “harapan” kepada pembaca (publik). Sehingga, pendapatnya mengenai bagaimana “wujud hidup” dari harapan di dalam dirinya yang masih dalam kerangka sudut pandang subyektif, kini telah menjadi suatu pengertian tentang “harapan” yang dapat diterima khalayak secara khusus.
Demikian yang bisa saya ungkapkan mengenai daya tarik puisi. Saya tahu bahwa tulisan sederhana ini tentunya banyak kekurangannya. Entah itu berhubungan dengan pengembangan gagasan, atau pun berkaitan dengan analisa dan argumennya. Maka dari itu, terus terang saja saya harapkan kesediaan Anda menambahi sehingga akan mampu menutupi ketidaklengkapannya. Semoga bisa memberikan manfaat.