Lilin Merah di Belakang Meja Mahyong
Oleh GUNTUR ALAM
SEORANG perempuan tua di balik meja mahyong teringat kepada sebatang lilin merah dalam wadah emas berpuluh-puluh tahun lalu. Lilin merah itu bertuliskan nama laki-laki dan perempuan di masing-masing ujungnya. Sebatang lilin yang harus terbakar tanpa terputus. Lilin merah yang akan menyegel si perempuan dalam pengabdian sebagai istri untuk selama-lamanya, apa pun yang terjadi. Lilin yang seharusnya terbakar sampai habis, tetapi angin kecil jahat telah memadamkannya. Dan sejak itu, takdir seperti kesedihan yang tak pernah kenyang. Si perempuan terus berusaha menyalakan setengah batang lilin yang tersisa, tapi itu hanya menjadi angan-angan.
Setelah berpuluh-puluh tahun, setelah dia lebih banyak menelan air mata dan kesedihan, setengah batang lilin merah itu tak kunjung dapat dia nyalakan. Dia berharap gadis kecilnya bisa menyalakan lilin merah itu untuknya. Dan dia menunggu, dari tahun ke tahun, sampai dia merasa gadis kecilnya sudah dewasa dan bisa menjentikkan api dari pemantik.
Saat itu usiaku baru menginjak enam tahun ketika Popo pertama kali menceritakan tentang seorang perempuan tua di belakang meja mahyong dan lilin merahnya. Jari-jemarinya yang keriput terus menusukkan jarum perak ke dalam kain sulaman, membujuk daun, bunga lotus dan tangkai-tangkainya mekar, sambil bercerita.
“Apa dia begitu mencintai suaminya?”
Popo menghentikan gerakan tangannya, dia memandangku, lekat. Lalu menatap jauh, keluar jendela. Ke rimbun kembang sepatu dan mungkin saja menembus tembok pagar rumah, menerobos batas waktu dan masa lalu.
“Aku tak tahu.” Popo menggeleng. “Aku tak tahu.” Matanya menjadi sangat gelisah.
“Lalu kenapa dia begitu ingin menyalakan lilin merahnya kembali?”
Popo menghirup napas. Tercenung. Lalu dia berbisik, pelan. “Mungkin karena dia ingin menjadi anak yang berbakti. Anak yang memenuhi janji pada kedua orangtuanya.”
***
Selain cerita tentang perempuan di belakang meja mahyong dan lilin merahnya, Popo sering bercerita tentang anak perempuan yang tidak patuh, keras kepala dan suka membangkang. Aku tahu sebenarnya Popo tengah membicarakan ibuku.
“Anak perempuan itu sudah dibawa pergi oleh hantu. Dia pun sudah menjelma hantu.”
Bila Popo bercerita tentang anak perempuan yang kabur bersama hantu, aku hanya akan diam. Tak membantah. Tak bertanya.
“Ying-ying, dengarkan baik-baik.” Aku mengangguk. “Kau jangan jadi gadis pembangkang dan keras kepala. Jika tidak, kau akan menjadi hantu. Lalu, cayma akan membelah perutmu. Kau tahu apa yang akan keluar dari perut hantu perempuan yang keras kepala?”
Aku menggeleng. Popo menghirup napas dengan sangat kuat, seolah oksigen hendak dia habiskan. Aku dapat melihat urat-urat dan tulang hastanya bergerak.
“Sebutir telur naga yang besar. Telur naga yang tak diinginkan oleh siapa pun. Bahkan tak ada orang yang mau memakannya bersama bubur beras.”
Awalnya aku tak tahu bila telur naga yang Popo maksud adalah aku. Bibi Mei yang bercerita tentang ibu. Bagi Popo, sejak ibu menolak pertunangan dengan anak laki-laki keluarga Huan, kemudian ibu hamil oleh laki-laki pujaan hatinya, seseorang yang tak pantas dan patut dijadikan menantu bagi keluarga Jong, ibuku telah menjadi hantu. Dia benar-benar menjadi hantu setelah melahirkanku, lalu pergi tak tentu rimba hingga detik ini.
Hantu bagi kami adalah apa-apa yang tak boleh disebut lagi. Jadi ibuku telah menjelma hantu. Dia belum mati, tetapi sudah dianggap mati.
Setiap selesai mengisahkan cerita gadis pembangkang dan keras kepala ini, Popo akan mengambil tanganku, lalu mata kelabunya akan berlabuh di manik-manik mataku.
“Ying-ying, berjanjilah. Bila aku sudah mati nanti, jangan sekali-sekali kamu menyebut nama hantu perempuan itu di rumah ini.”
Lewat manik mata yang basah, aku bertanya, “Kenapa, Po?”
“Mengucapkan namanya berarti kamu mengencingi makamku.”
Aku menelan ludah dan mengangguk.
***
DI rumah kami, Popo memiliki meja mahyong yang sangat indah. Warnanya merah dan berbau harum. Dia menyebutnya kayu meja mahyong ini hong wu. Aku belum pernah mendengar nama itu. Kupikir rosewood tapi kata Popo bukan. Meja ini warisan dari ibunya.
Popo sering mengajariku bermain mahyong, tapi aku tak terlalu berminat. Sebab aku, Bibi dan Nenek Yu—tetangga kami—tak pernah menang melawan Popo. Dia seperti punya mata lain yang dapat mengetahui semua biji kartu kami. Dia juga seakan mampu membaca pikiran lawan-lawannya. Bagian yang kusuka dari permainan mahyong hanyalah saat Popo mengucapkan kata Pung! dan Chr! Saat itu binar matanya begitu benderang, seakan dia menemukan kebahagiaan yang bertahun-tahun telah dia cari.
Popo selalu duduk di meja mahyong sudut timur. Aku pernah bertanya padanya, “Kenapa harus di timur?”
Dia tersenyum dan menjawab dengan suara penuh kehampaan. “Timur adalah awal segala sesuatu, kata ibuku. Timur tempat matahari terbit, juga arah datangnya angin.”
Tangannya sibuk memutar biji mahyong dalam gerakan melingkar. Kata Popo gerakan ini dinamakan mencuci kartu. Biji-biji mahyong mengeluarkan bunyi mendesis yang dingin saat mereka bersentuhan. Aku sering merinding bila mendengar gesekan biji-biji mahyong ini, tak tahu kenapa, aku seperti mendengarkan alunan pilu seorang hantu perempuan yang kesepian. Mungkin dia gadis pembangkang yang menjelma hantu dalam cerita Popo.
Bila aku menolak ajakan Popo bermain mahyong, dia akan cemberut dan berkata, “Bagaimana bisa kami main bertiga? Sebuah meja tak akan berdiri dengan tiga kaki. Harus ada masing-masing kaki di setiap sudutnya.”
Permainan mahyong sangat rumit menurutku. Aku harus mampu memperhatikan kartu apa yang dibuang lawan dan mengingatnya dalam kepalaku.
“Permainan ini mengajarimu strategi. Bagaimana harus bersikap saat terpuruk. Bagaimana memanfaatkan kesempatan untuk menyerang. Bagaimana caramu untuk bertahan. Bermain mahyong sama seperti kamu menghadapi hidupmu.”
Mata Popo berubah semakin hampa. Lalu sekejap kemudian berkaca-kaca. Dan aku seketika menyadari sesuatu, Popo memerangkap kesedihan abadi di sudut timur meja mahyongnya. Kesedihan dan kehampaan yang bergesekan dengan biji-biji mahyong, mengeluarkan desis pilu yang menyayat kalbu.
***
”Bagaimana bisa lilin merah itu padam, Po?”
Aku memberanikan diri bertanya ini ketika usiaku sudah menginjak lima belas tahun dan Popo masih sering mengulang cerita tentang perempuan tua di belakang meja mahyong yang berharap dapat menyalakan kembali lilin merah pernikahannya.
Popo mendongak. Dia menghela napas, usianya sudah tujuh puluh tahun. Semakin bergelambir wajah Popo, aku semakin jelas melihat kesedihan yang terperangkap di sana. Duka yang terus bertumbuh seiring usianya.
“Tokoh cerita kita dinikahkan saat berusia enam tahun,” dari balik meja mahyong merahnya yang harum, Popo menatapku dengan kaca-kaca yang mekar di manik matanya. “Awalnya dia tak pernah tahu bila takdirnya sudah berhenti saat itu. Jalan hidupnya sudah ditentukan dan akan berakhir menjadi menantu keluarga Jong.”
Aku tercekat, tapi Popo tersenyum, walau hambar.
Perempuan itu tak punya pilihan. Dia harus menjalani takdir yang sudah dipilihkan untuknya. Saat usianya tiga belas tahun, dia pindah ke rumah calon suaminya. Di sana dia belajar menjadi menantu dan istri yang baik. Dia harus bisa memasak segala macam makanan. Dia harus mahir menyulam, menjahit, membereskan rumah. Dia bahkan tak bisa membedakan lagi, apakah dia sedang belajar menjadi istri yang baik atau justru menjadi pembantu yang baik di rumah itu? Saat usianya tujuh belas tahun, dia dinikahkan dengan suaminya.
Dulu, saat dia mengetahui bila dia sudah dijodohkan dengan anak laki-laki keluarga Jong, dia menangis sejadi-jadinya. Dia meratap-ratap pada ibunya, berharap wajahnya menjadi jelek dan ibunya akan iba. Namun pada akhirnya dia menyadari sesuatu, tak ada yang bisa dia lakukan lagi. Takdirnya sudah disegel. Dia tak punya pilihan. Bila dia mundur, dia akan membuat keluarganya malu. Dia tak ingin menjadi gadis pembangkang yang menjelma hantu.
“Percuma,” Popo mendesis. “Kontrak sudah dibuat. Perempuan itu harus menikah dengan anak laki-laki keluarga Jong. Walau pun dia mencintai laki-laki lain. Anak tetangga yang membuat dadanya berdebar saat berusia dua belas tahun.”
Aku benar-benar menemukan kehampaan yang abadi di mata dan wajah Popo. Kehampaan yang tersembunyi di balik meja mahyong merahnya.
“Lalu kenapa lilin merahnya bisa padam?” aku mengulang pertanyaan yang sama.
Perlahan air mata mengalir di landai pipi Popo yang keriput.
“Lilin merah itu merupakan ikatan perkawinan. Lilin itu berarti dia tak boleh bercerai apa pun yang terjadi. Dia tak boleh menikah lagi walaupun suaminya meninggal dunia. Lilin merah itu menyegelnya untuk mengabdi kepada suami dan keluarganya untuk selama-lamanya, tanpa kompromi.”
Aku terdiam dan kulihat air mata semakin deras meluncur di landai pipi Popo yang keriput. Tak ada isak di sana.
“Tapi dia tak dapat menahan gejolak hatinya. Dia terlalu muda, jadi dia dibutakan pada cinta pertamanya. Anak laki-laki tetangga yang telah membuat dadanya lebam karena perpisahan. Dia..” suara Popo bergetar, aku menunggu. “Dia meniup ujung lilin yang bertuliskan nama suaminya, saat pesuruh mak comblang tertidur ketika menunggu lilin itu. Dia berharap, matinya lilin sama artinya matinya pernikahan mereka. Sayangnya, dia lupa ucapan ibunya. Apa pun yang terjadi, tak akan mengubah takdirnya. Sejak itu dia menelan kesedihan sepanjang hidupnya.”
Popo berusaha tersenyum, aku terdiam dan tak tahu harus berkata apa. Popo mengambil tanganku dan menggenggamnya erat.
“Ying-ying, bisakah kamu menyalakan lilin merah itu untukku? Sebab ibumu tak pernah mau melakukannya.”
Angin kesunyian berembus dari sudut timur meja mahyong Popo, menggelitik mataku sampai basah dan menampar dadaku hingga lebam. Dari sudut itu segala sesuatunya berawal, termasuk takdir. Dan aku tak tahu harus menjawab apa. (*)
Tentang Penulis : Guntur Alam, buku kumpulan cerpennya, “Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang”, Gramedia Pustaka Utama, 2015. Beberapa kali karyanya masuk dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas. Aktif di Twitter mem-“posting” cerpen-cerpen yang dimuat di seluruh media di Indonesia.
Sumber : Kompas, 03 April 2016