Saya kira membaca memang sangat baik untuk membuka cakrawala pemikiran. Namun, ketika membaca sebuah gagasan, ada baiknya diri sendiri memiliki filter yang menyaring agar hanya gagasan bermanfaat saja yang layak disimpan dalam benak.
Demikianlah kebiasaan saya ketika membaca sebuah buku. Tak jarang hanya untuk menyaring dan menolak indoktrinasi gagasan pemikiran yang dipaparkan penulisnya secara mentah-mentah (taken for granted), saya suka mengarang-ngarang ilustrasi versi saya sendiri.
Sore ini saya membaca buku karangan Les Giblin : "Kunci Sukses Meyakinkan dan Mempengaruhi Orang Lain dalam Berbagai Urusan." Pada bagian yang membahas tentang membuka percakapan dengan orang lain, supaya orang tersebut larut dengan "topik" yang semula kita ajukan sehingga dia lupa diri dan rela menghabiskan waktunya hanya untuk kita saja, penulis menganjurkan pembacanya supaya berbicara tanpa "rem" alias "yang penting banyak omong." Berikut kutipannya:
"Kehidupan bermasyarakat akan semarak karena setiap kali orang melepaskan rem dari hatinya dan membiarkan lidah mereka bergerak secara otomatis, mengatakan apa saja sesuka hati mereka." (Bagian IV, BAB 8, Halaman 125)
Anda bisa bayangkan kalau gagasan ini ditelan mentah-mentah oleh pembacanya? Simak ilustrasi saya mengenai ini:
1. Jamur Kuping
Beni tak bisa menahan diri sewaktu dia melihat apa pun yang menurut matanya "aneh". Maklum saja reaksinya sedemikian cepat mengalahkan pertimbangan yang digerakkan pikirannya. Alhasil, dimana ada Beni, di sana dijamin pasti ada kehebohan.
Di taman kota, sore ini dia berjumpa dengan seorang lelaki berkepala botak di tengah, tapi dikelilingi rambut keriting ikal ala hakim Inggris yang membingkainya. Seketika Beni dikejutkan oleh lesatan ide yang menerobos masuk ke dalam benaknya.
"Maaf, bapak.." tegurnya sopan sekali. "Boleh nanya dikit, Pak?"
Si bapak terpesona dengan sikap terpelajar Beni.
"Ya, ada apa, nak?" katanya ramah pula, dengan niat bersih mau menolong.
"Apa bapak tahu nama kuliner yang berkuah di depan sana?" tunjuknya pada sebuah gerobak jualan.
"Oh, itu tekwan namanya, nak.. Jajanan kuliner dari daerah Palembang katanya.."
Sebenarnya Beni sudah paham sebelumnya. Soalnya tekwan termasuk jajanan yang paling dia gemari.
"Pastinya lezat sekali, ya, pak?"
"Tentu.." jawabnya pendek. Si bapak membayangkan betapa nikmat tekwan tersebut apabila dimakan hangat-hangat dan sedikit pedas.
Tapi, lain yang terbayang dalam benak Beni. Dia menahan rasa geli karena melihat ada kemiripan antara kepala si bapak dengan jamur kuping hitam, yang biasanya menjadi pelengkap kuliner itu.
"Saya yakin.. Kalau makannya sama bapak, pasti lebih nikmat.."
"Apa kamu mau traktir saya, ya?"
"Beribu-ribu maaf, ya, pak.. Bukan itu maksud saya."
"Jadi?"
"Tekwan pasti enak kalau ada jamur kupingnya. Tapi, bapak berada di samping saya. Jadinya, tekwan itu tidak enak lagi dimakan, kan?"
"Apa hubungannya dengan diri saya?" heran si bapak.
"Kan bapak jamur kupingnya. Kepala bapak kan sama persis dengan jamur kuping. Plontos di tengah tapi bergelombang dengan rambut ikal bapak di bagian sisinya."
"@&!*&%#$!?"
2. Kaki Pisang Goreng
Menerapkan positivisme ala motivator yang lagi beken saat ini, Beni membunuh rasa bosannya dengan lirak-lirik pada suatu sore di tempat dokter praktek.
Matanya yang jeli menangkap objek teramat unik. Seorang lelaki yang sama-sama menunggu giliran dipanggil duduk menyilangkan kaki kirinya dengan elegan dan sengaja dilepas sandal.
Kebetulan orang itu duduk di sampingnya pula. Hal ini, tak pelak lagi, membuat Beni semakin memasati tatapannya ke bawah.
Tiba-tiba Beni tak bisa menahan ide yang berkelebat masuk ke dalam benaknya.
"Nunggu giliran, Mas?"
"Iya, Mas juga, ya?"
"Ibu saya yang mau diperiksa. Beliau yang nunggu giliran. Kalau saya cuma menemaninya."
Mata Beni masih melihat ke bawah.
"Ada apa, Mas?"
"Nggak apa-apa, Mas.." Beni buang sela. Kepergok meneliti kaki orang di sampingnya.
"Wah, hujan deras bener di luar, ya?"
Orang itu hanya tersenyum setelah menoleh ke luar sana.
"Sudah masuk musim hujan barangkali.."
"Udaranya juga sekarang dingin menggigit gitu ya? Kalau lagi hujan gini, enaknya ngopi yang ada temannya, ya Mas.."
"Oh, mantap tuh.. Teman ngopinya sama makan pisang atau tempe goreng panas. Stel musik dangdut, lagu Iwak Peyek. Kayak di kedai kopi.." cerocos orang itu.
"Saya gak mau lah, Mas.. Ngopinya sambil makan pisang goreng, saya gak doyan.."
"Lho, emangnya kenapa?"
"Kebayang ngopi sambil ngegigit telapak kakimu, Mas.. Tuh, coba lihat.." tunjuknya memandu pandangan orang itu, "Telapak kakimu itu, lho, Mas.. Mekar di bagian jari-jari persis pisang goreng, kan?
"?%(&{!@*#?!"
Begitulah cara saya menolak pencucian otak dari gagasan kontroversial yang didapat dari membaca buku. Saya membuat coretan ilustratif, seandainya gagasan tersebut diterapkan langsung tanpa penyaringan yang perlu, apa akan menimbulkan konflik atau sebaliknya.
3. Catatan Harian : Beberapa Pertanyaan
dulu pernah kutanyakan :
benarkah rasa sakit membuatku kuat?
sekarang kudapati bahwa rasa sakit
menimbulkan pengetahuan dari kesadaran yang menggigit
lalu kusimpulkan dari sekolah militer kehidupan
yang tak dapat membunuhku, kini menguatkan diriku dengan gigitan ketegaran
apa keinginan selalu bertolak belakang dengan kebutuhan?
sekarang kupahami bahwa keinginan
berjalan membelakangi eksistensi kesabaran
sekalipun mungkin telah sesuai kebutuhan
keinginan tetap menerjang diri sendiri
tersungkur dan terjungkal dari tebing curam
salto dan jungkir balik dengan ditarik gravitasi penasaran
menuju bebatuan runcing terjal siap mengoyak tubuh
sekarat dengan pencapaian ── kepuasan
mengapa kemarahan selalu gagal melompati dinding tinggi ketertinggalan?
sekarang kudapati bahwa kemarahan itu panglima perang
ia bisa bijaksana dan mampu bersikap tenang
ketika pasukan yang dipimpin meraih kemenangan gemilang
namun jika yang terjadi adalah nista kekalahan
akibat kelalaian, salah strategi dan perhitungan
maka kemarahan lebih menganjurkan ketergesaan
menebus rasa malu yang tak tertanggungkan dengan resiko kematian
── bukan tindakan bijak penuh pertimbangan
mengapa tak seorang pun mampu memahami siapa aku?
sekarang kudapati bahwa pengistimewaan diri
paradoksal suatu keadaan tentram damai yang ironis
sebab tragis bagi seorang yang gila perang
mengakibatkan ia berjalan sendirian dan kesepian
setelah benturan kepentingan antar orang perorang
tak lagi diperdebatkan dengan hati terpanggang
kini pertanyaan bodoh ini masih tetap kukenang
tetapi dengan dada lapang dan jiwaku yang tenang
kemudian aku tertawa terbahak-bahak
karena pertanyaan ini masih terekam dalam diary
ketika kutulis satu demi satu, aku pernah diliputi keraguan menatap hari
ah, ada-ada saja!