AKU melihatnya. Bukan hanya serupa bayangan. Melainkan, ini sungguh-sungguh realita. Bukan mimpi yang kukubur lama di lubuk hati. Di sini, di negeri yang jauh dari Indonesia. Jauh dari Solo, kota kelahiran kami. Turki.
Aku hampir tak percaya akan bertemu dengannya di sini setelah bertahun-tahun masa SMA itu pergi. Hampir sepuluh tahun kami tak pernah bertemu. Dan, aku masih saja tak bisa melupakan bayangannya dari retina mataku.
Safina Salsabila. Sebuah nama kueja dalam hati. Meyakinkan diri bahwa memang sosok itulah yang kini ada di sini. Hagia Shopia. Sebuah museum terkenal di Turki. Yang harus kutempuh dengan perjalanan waktu berjam-jam dari Wina, Austria, tempatku bermukim selama mengambil S2 dengan pesawat Sun Express menuju Bandara Sabiha Gocken. Dari bandara, naik bus Havas sampai ke jantung Kota Istanbul, kemudian naik kereta gantung hingga ke Camberlitas, kompleks situs sejarah Turki yang memangku tiga bangunan bersejarah terbesar: Hagia Shopia, Blue Mosque, dan Topkapi Museum.
Aku memimpikan datang ke tempat ini sejak masa itu. Masa remaja kami. Ketika kami sedang membicarakan Mas Rizal, kakak kelas kami sang ketua OSIS, yang akan mengikuti pertukaran pelajar ke Australia.
“Kalian ingin ke mana jika bisa ke luar negeri?” tanya Mas Danang, sang humas OSIS kepada kami anggota OSIS yang sedang berkumpul di perpustakaan selepas pulang sekolah. Kami ingin mengikuti jejak Mas Rizal yang memang cerdas untuk bisa kuliah di luar negeri.
“Turki!” aku tak menyangka gadis itu secara spontan dan hampir bersamaan menyebutkan negara yang sama denganku. Membuat semua orang yang ada di ruangan itu memandang kami bergantian.
“Kenapa kalian tertarik pada Turki?” tanya Mas Danang heran. Sebab, mungkin di benak banyak orang akan menyebutkan negara-negara terkenal semacam Amerika, Jepang, Inggris, atau Prancis jika ditanya hal yang sama.
“Aku ingin melihat Hagia Sophia!” Duer! Bahkan, ternyata kami ingin melihat tempat yang sama tanpa pernah kami rencanakan bersama. Ah, bagaimana mungkin aku merencanakannya dengan gadis itu, selain kami tak terlalu akrab, kami juga berasal dari golongan yang tak sama. Kami berada di spektrum yang berbeda. Gadis berjilbab itu seorang Muslim yang taat sementara aku meski tak begitu taat, tapi aku adalah anggota paduan suara gereja yang aktif.
“Memangnya ada apa di sana?” tanya Dina yang mungkin baru pertama kali mendengar nama itu.
Aku dan Safina bertatapan sekilas, mencari tahu siapakah yang harus menjawab pertanyaan itu. Tentu kami punya alasan yang berbeda meski ingin mengunjungi tempat yang sama. Bagiku Hagia Sophia mempunyai nilai sejarah tersendiri. Itulah gereja paling megah pada masa kejayaan Romawi, ketika negara itu masih bernama Konstantinopel. Dan, bagi Safina mungkin itu adalah simbol kemenangan umat Islam atas Romawi. Ketika gereja itu diubah menjadi sebuah masjid dengan tetap menggunakan nama yang sama. Meski kini tempat itu mungkin adalah simbol kekalahan kami berdua. Karena, pemerintah sekuler Turki telah mengubahnya menjadi sebuah museum.
“Sebuah tempat yang indah.” Hanya itu yang keluar dari bibir Safina ketika aku membiarkan dirinya yang memberi jawaban atas pertanyaan Dina, sahabatnya. Kurasa itu jawaban yang cukup bijaksana bagi kami.
Kemudian, putaran nasib membawa kami ke tempat kami masing-masing harus menjalani kehidupan. Aku memilih ITB sebagai tempat kuliah. Dan, kudengar dia kuliah di UI. Setelah lulus, aku membenamkan diriku di sebuah perusahaan multinasional sampai kemudian aku memutuskan untuk mengambil beasiswa S2 di Wina, Austria, hampir dua tahun lalu. Aku juga berusaha mewujudkan mimpi sebelas tahun lalu untuk mengunjungi Hagia Sophia demi tujuan yang berbeda dengan masa kelas dua SMA itu di sela-sela kuliahku yang pada bulan ini tak cukup padat.
“Safina!” aku memanggil nama itu. Seorang perempuan bermantel tebal menoleh dari kesibukannya mengamati mozaik dan fresco warna-warni di dinding Hagia Sophia. Ia mencari arah suaraku yang berada tiga meter di belakangnya.
Aku mendekatinya setelah aku benar-benar yakin dia adalah wanita sepuluh tahun yang lalu itu.
“Masih ingat aku?” tentu dia terkejut ada orang yang menyapanya dengan bahasa Indonesia di tempat yang amat jauh dari negara tropis kami.
“Dimas?” aku mengangguk dan tersenyum.
Bersyukur sekali ia masih mengenali namaku.
“Ignatius Dimas Prasetya?” tanyanya meyakinkan. Ia bahkan masih ingat dengan sempurna nama yang disematkan orang tuaku itu. Lagi-lagi aku mengangguk.
“Apa kabar?”
“Alhamdulillah, baik. Tidak menyangka bakal ketemu kamu di sini, Dim…,” aku bahkan lebih tidak menyangka, kami pernah mengucapkan mimpi kami datang kemari sebelas tahun lalu bersama dan kini pun mewujudkannnya secara bersamaan.
“Masih ingat mimpi kita waktu itu?”
Safina tertawa kecil.
“Kau juga sedang mewujudkannya sekarang?”
Aku mengangguk.
Sunyi sejenak menyapa hati kami, mengenang kejadian di ruang perpustakaan itu. Mengingat bagaimana Safina berusaha memperlihatkan sesuatu yang indah akan tujuan kami ke Hagia Sophia kepada teman-teman kami meskipun dengan pemaknaan yang berbeda bagi kami berdua waktu itu.
“Sendirian saja?” tanyaku memecah sunyi.
Ia menggeleng.
“Aku bersama rombongan dari Prancis. Tapi, mereka lebih suka melihat tempat-tempat lain daripada museum. Jadi, kami hanya datang dan pergi bersama-sama, tapi tujuannya berbeda.”
Gadis itu masih saja seperti masa SMA kami dulu, teguh hati jika mempunyai keinginan yang kuat. Bahkan, rela berpisah dengan rombongannya agar bisa ke tempat ini.
“Kau sendiri? Dari Indonesia atau Austria?”
“Kau tahu aku di Austria?” aku tidak menyangka bahwa dia tahu kabarku, sedang aku malah tidak tahu bagaimana kabarnya setelah lulus kuliah dari Sastra Prancis UI.
“Biasalah Dina, diakan Miss Update, tahu semua kabar teman-teman di mana pun. Dia ngasih kabar jika kamu ambil S2 di Austria waktu aku mau ambil S2 di Prancis. Dia bilang suruh nyari kamu kalau aku tersesat di Prancis. Dia pikir Prancis tetanggaan kali kayak Solo Sukoharjo.”
Aku tertawa mendengar ceritanya. Ingat dengan Miss Cempreng yang selalu heboh itu.
“Aku masih di Austria sampai beberapa bulan ke depan.”
Lagi-lagi sunyi menyergap kami. Apa yang harus diobrolkan dua orang yang sepuluh tahun lalu saja tidak begitu akrab? Mengenang masa lalu kami? Bahkan, kami berada di dua komunitas yang berbeda waktu itu. Yang tidak bisa disinkronkan menjadi satu cerita.
“Kamu menyesal Hagia Sophia men jadi museum?” tanyaku ketika melihatnya memandang langit-langit yang menggantungkan medalion bertuliskan Allah dan Muhammad yang mengapit gambar Bunda Maria yang tengah memangku Yesus.
Ia tersenyum dan menggeleng.
“Tidak, lebih baik memang begitu. Agar kita mudah memaafkan sejarah, menghilangkan krisis identitas yang selama ini menghampiri bangunan ini. Biarlah bangunan ini menjadi saksi sejarah bahwa Islam pernah berjaya, tetapi tetap menghormati keberadaan agama lain. Dengan menjadi museum, semua perasaan terjajah atau menjajah akan menjadi lebur.”
Ya, bangunan megah ini memang seperti mengalami krisis identitas. Sultan Mehmed sang penakluk Byzantium Romawi memang tidak menghancurkan ikon Kristen ketika mengubahnya menjadi masjid. Masih ada lukisan bergambar Yesus, Bunda Maria, Malaikat Jibril, John the Baptist, dan gambar sang Konstantin yang utuh seperti aslinya di dinding-dinding Hagia Sophia. Sang sultan hanya menambahkan empat medalion raksasa yang menggantung di empat sudut ruangan ini serta menambahkan motif kaligrafi dan ukiran bunga di rel atap dan pucuk pilar Hagia Sophia. Akan lebih menyakitkan memang jika bangunan ini tetap menjadi masjid atau menjadi gereja seperti pada awalnya. Untuk kedamaian dunia, Kemal Attaturk mungkin telah membuat pilihan tepat, meski bagi kami itu amat menyedihkan.
“Apa yang ingin kau lihat dari Hagia Sophia hingga memimpikannya sebelas tahun yang lalu?”
“Aku pernah membacanya dalam sebuah buku, aku hanya ingin melihat kebijaksanaan Sultan Mehmed ketika dia memutuskan untuk tidak menghancurkan ornamen-ornamen di dalam ruangan ini. Padahal, sebagai penguasa baru Konstantinopel, ia bisa saja melakukannya.”
Ya, satu lagi tempat yang tetap dibiarkan berdiri tegak di tempat ini ketika penaklukan Romawi adalah Gereja Hagia Irene yang kini berada di kompleks Istana Topkapi. Sultan itu sungguh mencerminkan seorang Muslim yang baik.
Aku tidak menyangka gadis itu sudah memikirkan hal ini sebelas tahun yang lalu ketika aku sendiri ingin melihat Hagia Sophia hanya sebagai simbol kemegahan gereja pada masa jayanya.
Suara azan Ashar berkumandang menembus dinding-dinding Hagia Sophia yang menjulang dua lantai dari sebuah masjid yang tepat berhadapan dengan Hagia Sophia. Blue Mosque.
“Sudah Ashar, kita bisa ke Blue Mosque untuk shalat,” kataku merespons suara muazin itu.
Safina memandangku dengan tatapan tak percaya mendengar ucapanku tadi. Kita. Oh, aku melupakan sesuatu….
Aku hanya tersenyum menyambut keheranannya.
“Ayolah, nanti keburu ikamah….”
Sepanjang jalan menuju Blue Mosque, angin dingin menemani kami yang berjalan di depan dan di belakang. Sambil memandang Hagia Sophia sekali lagi, aku berjanji dalam hati untuk mendapatkan hati perempuan itu setelah lima tahun masa pengembaraan sebagai seorang mualaf kulalui. Senandung rindu sejak sebelas tahun lalu akan dimulai hari ini menjadi nyanyian merdu dalam jiwa kami. (*)
Catatan : Diilhami oleh 99 Cahaya di Langit Eropa. Penulis yang memiliki nama pena Shafa Azzahra lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, pada 17 Mei 1982. Selain menulis, ia juga hobi membaca, travelling, dan belajar di “universitas kehidupan”. Hasil karya tulisnya pernah tampil di Solo Pos dan Suara Merdeka. Selain menulis, ia menjadi pengelola TKIT Al Huda, Wonogiri.
Sumber : Republika, 13 Mei 2012
Unduh cerpen ini