Rabu, 23 Mei 2012

 

Cerpen Beni Setia : Paruntungan

PARUNTUNGAN pasti terlahir di bulan Mei. Tidak jelas tanggal berapa karena kami tidak mengetahui siapa orang tuanya dan kapan proses persalinannya. Mungkin ketika demostrasi anti-pemerintahan Orba dari mahasiswa dan semua orang memuncak di Jakarta, dan berserentakan—dengan intensitas yang sama—diikuti oleh demonstrasi di daerah. Kemudian ada penembakan mahasiswa oleh sniper tak pernah teridentifikasi, dan puncaknya—pada momentum terjadi kekerasan terhadap orang dan aset China di Jakarta oleh si pihak tak pernah teridentifikasi—: Paruntungan digeletakkan di muka gerbang panti asuhan. Di hari ketika semua orang disihir siaran langsung kekerasan itu.

Saat diketemukan di pagi hari: bayi lelaki itu belum bernama. Kemudian semua penghuni panti, dua ibu asuh, tiga lelaki penjaga dengan yang satu suami dari si ibu pengasuh, dan delapan belas anak asuh—delapan perempuan serta sepuluh laki-laki—bersepakat memberi nama. Ada yang mengajukan nama standar: Isa, Adam, John, Aa, Mandra, Asmuni, dan Legawa; dan ada yang memberi nama setengah berlelucon serta berdoa: Baruntung—maksudnya: Beruntung, sebab kata dasarnya Untung. Tapi Absah, wong Pekalongan bilang, itu menafikan keberuntungan, karena kata “bar” dalam bahasa Jawa bermakna: setelah, sesudah. Sementara Tetet, orang Sunda, bilang, “baruntung” di dalam bahasa Sunda bermakna: banyak yang buntung—karena merupakan penjamakan dari kata dasar “buntung”. Tapi apa salah memilih identitas bemakna awal pengharapan, yang terangkum dalam kata dasar “untung”?

Perdebatan itu membuat kami semakin tertarik pada identitas nama yang berkata dasar: untung, dan kemudian kami mencari varian nama dengan partikel yang kuasa membuat anak terbuang itu punya nasib baik. Lahirlah nama Paruntungan, dari acuan Peruntungan, yang kami pikir itu varian dari dan/atau dalam bahasa Batak. Mungkin—karena bagi kami, hal itu tak penting, sebab pada dasarnya anak itu tak punya marga, sekaligus tidak mempunyai orang tua. Ia anak kami semua—sepasang suami istri, satu ibu asuh, dua lelaki bujangan yang berperan sebagai penjaga dan merangkap si tukang kebun, dan delapan belas anak yang terdiri atas sepuluh lelaki dan delapan perempuan. Dan sengaja hal itu kami tekankan, kalau si Paruntungan itu anak kami semua, karena itu semua orang yang terlibat aktif atau pasif di dalam diskusi mencari identitas nama bayi yang dibuang itu—sesuai dengan tradisi panti—harus ikut bertangungjawab: aktif membesarkannya secara normal.



KENAPA? Karena di masa pertumbuhannya, ia tak lagi mendapat subsidi dana dari Negara, sehingga Tetet pun memilih ke luar dari panti, untuk menjadi juru masak di restoran yang lumayan sukses hingga sering mengirim makanan sisa, dan terutama bahan layak masak tidak terpakai ke panti. Sementara itu Absah memilih jadi penarik becak, makelar trayek angkot, lalu (katanya) preman—yang sesekali mampir ke panti dan menjenguk Paruntungan sambil memberi sedikit dana. Sementara Kilme, penjaga serta tukang kebun lainnya, bekerja sebagai si pembuat taman yang lumayan sukses—sekali diminta kerja tapi dua atau tiga bulanan menganggur—dan karenanya menjadi pengojek dengan sistem setoran, sehingga ia lebih sering berada di luar panti. Itu juga membuat panti jadi kurang penilikan karena kekurangan orang dewasa, yang 24 jam ada di tempat dan mengawasi sambil mengayomi. Ada krisis identitas di panti, tetapi kami mencoba mengabaikannya dengan bersiulang-ulang mengatakan, bahwa panti sedang dilanda krisis pendanaan. Krisis likuidasi karena tak punya cadangan modal.

Sementara itu, dari sepuluh anak lelaki panti, tiga bisa menyelesaikan SMK dan bekerja sebagai mekanik di luar kota—terkadang mereka, secara bergilir, mengirimkan sedikit dana di tengah hidup prihatiniah mengiritnya—, dua diadopsi dan berada di luar pulau, satu ikut Absah, dan sisanya masih bersekolah—semuanya masih di SMK. Dari kedelapan anak perempuan, tiga jadi SPG, yang sesekali mampir untuk menjenguk Paruntungan dan yang lainnya, meski sangat jarang memberi subsidi—mereka megap-megap seperti ikan gurame yang terdampar di kolam berlumpur yang sedang dikuras. Tiga diadopsi, dan katanya mereka sedang menempuh PT—sering (mereka) mengirim pakaian bekas, buku pelajaran, majalah dan buku bacaan ke panti—tetapi si dua lagi masih menunggu yang mengadopsi meski (kini) mereka kini sudah duduk di SMK—dengan kata lain, mereka hanya akan menjadi SPG, buruh pabrik, dan (mungkin) yang lebih buruk lagi dalam menanti ada lelaki yang akan menyunting mereka.

Meski sulit memperoleh dana negara—tapi masih ada donator yang prihatin dan terutama dari yang eksistensimya terlibat dengan panti—kami terus tumbuh: ada bayi terlantar yang dititipkan paksa, atau diserahkan orang lain yang tak kuasa memelihara bayi yang sengaja diletakkan di depan pintu rumahnya atau malah di tempat sampah. Kami pun terus menerima dan membesarkannya, meski dengan fasilitas yang semakin menyedihkan. Bangunan kian merapuh dan siap rubuh, dan karenanya aku bermimpi: pemda menggusur panti kumuh ini, lalu menggantinya dengan gedung panti modern, yang bertingkat dan dilengkapi AC, seperti mal. Tapi apa mungkin pemda bikin panti seperti itu bila sekolah pun dibiarkan hampir rubuh, agar bisa di-ruislag, dan pemodal bikin mal setelah sekolah pindah. Maksudku: sudah ada makelar yang melobi dengan iming-iming ada gedung pengganti jempolan. Kami tidak mau Absah mengancam si yang mengancam dengan kenekadan yang bertendens.

Tapi mungkin tak lama lagi kami akan menyerah. Paruntungan kini sudah SMP, pada sekitar dua atau tiga bulan lagi akan naik ke kelas tiga, dan ikut ujian. Setelah lulus kami tak tahu dari mana mencari dana untuk menyekolahkannya, karena kami tak ada punya donator yang menyokong biaya pendidikannya—semua donasi hanya kuasa di tahapan mencukupi makan, yang sering tak memenuhi standar kesempurnaan gizi. Memang ada beberapa anak panti yang akan lepas dari SMK—sejak awal mereka telah punya penyokong dana, ibu atau ayah asuh sesuai program Diknas—tetapi setelah itu, dengan penanda Paruntungan, tak ada donatur pendidikan, karena semua percaya bila pendidikan di Indonesia telah digratiskan. Memang gratis sampai di tahap pendidikan dasar, level SMP. Setelah itu? Panti tak bisa membayangkan punya uang lebih untuk kemewahan seperti itu, karena semua dana (yang ciut) hanya cukup buat biaya makan. Cuma mengejar keberlimpahan karbohidrat tanpa asupan protein seimbang. Terlebih buah—sayuran diusahakan, macam kangkung atau bayam. Terlebih vitamin dan susu.

Karenanya kami selalu mengumpulkan si enam anak panti yang siap lulus SMK itu, bahwa mereka harus secepatnya mandiri, mampu mencukupi kebutuhan makan mereka sendiri agar jatah mereka itu bisa diberikan kepada adik panti. Mereka sudah sangat mengerti. Tahu semua kebijaksanaan itu telah diaplikasikan dalam sunyi saat subsidi Negara diputus dan banyak pengasuh ke luar panti untuk bekerja, juga kakak Panti lainnya. Tapi bagaimana mengatakan hal menyakitkan itu kepada Paruntungan, yang sebenarnya anak kami bersama itu anak para ibu dan bapak pengasuh, dan adik dari semua kakak lelaki dan wanita Panti? Kami tak tahu. Terkadang kami bersama Tetet, Absah dan Kilme—membicarakannya. Terkadang bertekad untuk menyisihkan uang agar Paruntungan bisa menyelesaikan SMK-nya. Tapi terpikir juga, apakah adil mengistimewakan Paruntungan, sedang adik-adik Paruntungan membutuhkan sedikit tambahan protein—tidak dari daging tapi dari tempe atau tahu, setelah mencarinya dari ampas tulang gratis yang digodog sebagai kuah kangkung atau bayem?



LARUT malam terkadang aku menyelinap, membuka pintu kamar dan termangu mengawasi keterlelapan Paruntungan—yang masa depannya sudah dipastikan berakhir setahun lagi, setelah lulus SMP—, dan teringat pada malam kisruh penuh kekerasan di Jakarta, yang membawanya memasuki panti. Dan di tengah banyak harapan tentang era kebangkitan Indonesia, tentang ide Reformasi yang makin terengah penuh dengan pengkhianatan korupsi memperkaya diri sendiri ini: Paruntungan tumbuh jadi si anak pintar di jenjang sekolah yang bebas biaya di SD dan SMP. Setelah itu hanya ada aura jurang yang memisahkan daerah kanak di sebelah sini dan daerah utopi orang berduit di sebelah sana, dengan wilayah degradasi jurang bagi Paruntungan serta semua anak yang tidak punya duit untuk biaya menempuh pendidikan SMA, SMK atau MA dan terutama PT. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi?

Kenapa si kakak-kakak panti Paruntungan yang semasa masih kuasa menempuh pendidikan SLTA—dulu malah ada yang sampai di PT, dari mana sebagian dari donasi rutin panti mengalir, terutama si yang beruntung ada diadopsi orang tua mampu yang peduli pendidikan anaknya? Apa aku harus menyurat kepada mereka semua, seakan-akan mempersoalkan jasa dari panti dalam tahap keberuntungan mereka kini? Aku memejam. Mungkin seharusnya Panti di-ruislag saja, kami meminggir ke luar kota, agar mempunyai bangunan representatif dengan halaman luas yang bisa dipakai untuk bertani dan beternak. Semua pengurus—Tetet, Absah, serta Kilme itu masih terdaftar sebagai pengurus legal—sepakat. Tetapi bagaimana mengurusnya secara legal? Tanah dan bangunan panti itu sesuatu yang dihibahkan, diwakafkan, dan karenanya kami tak ada punya kuasa memutuskannya. Harus sepengetahuan si ahli waris pemilik—dan itu, kata si pengacara yang sering diajak berkonsultasi, jadi bibit persengketaan perdata, dengan si ahli waris tak tahu malu meminta bagian.

Apa harus mengembalikan semuanya kepada negara, padahal negara itu nyaris sepuluh tahunan tidak mau peduli pada keberadaan kami? Atau menyerahkannya pada oknum birokrat bila mereka tak bersifat menyayomi dan cenderung jadi makelar yang mengejar fee dari kami dan dari si pembeli? Apa cuma berserah diri pada Allah SWT, agar semuanya diluluhlantakkan-Nya sehingga tak ada yang tersisa dari ujud panti ini, selain ingatan akan azab-Nya, yang kemudian dikekalkan sebagai contoh terkini dari amsal yang telah dikekalkan-Nya dalam Kitab Suci-Nya? Terkadang aku menangis—dan memang hanya bisa mengaduh dan menangis dalam bisu—, dan berdoa sambil menyerahkan semua persoalan bea pendidikan dan biaya makan keseharian anak-anak panti kepada Allah SWT. Berharap agar apa yang seharusnya terjadi bisa secepatnya terjadi, agar anak-anak panti ini tak terlalu lama menderita. Agar si Paruntungan yang ada diberi identitas nama Paruntungan setelah (ia) dibuang di malam huru-hara Mei di Jakarta itu dibebaskan dari derita tak punya biaya untuk bersekolah di SMK.

Atau aku harus membunuh semua anak panti agar mereka terbebas dari kutukan nasib seperti Paruntungan—yang lahir bulan Mei saat demo anti-pemerintah menggila dan dibuang saat kekerasan Mei memuncak di Jakarta—sehingga mereka terbebas dari derita kemakmuran terdegradasi dan (bahkan) tereliminasi dari Indonesia oleh ulah si durjana koruptor? Tapi bila memang aku, atau Absah—yang sering dalam keadaan setengah mabuk mengajukan ide itu—membunuh semua anak panti, itu pun tak akan mulus bermakna kuasa membebaskan anak panti dari ketiadaan dana dari donatur—hingga mereka, dari level setengah telantar menuju ke sangat telantar. Malahan bermakna akan membuat si birokrat durjana koruptor itu amat senang bisa me-ruislag panti, yang jadi yang tak bertuan? Untuk itu kami mencoba bersitahan, dan mungkin dengan mengurangi jatah makan dan menumbuhkan bibit dendam dari ketelantaran mereka, dari kesengajaan menelantarkan mereka, sehingga jadi sang radikal yang menginginkan perubahan.



TAPI berubah ke arah mana? Apa ke arah negara utopia bermodel panti, yang bermakna kebersamaan, dengan kewajiban buat melindungi dan memberi kesempatan tumbuh lebih baik pada si adik panti, penghuni panti yang lebih kecil serta kemudian? Dan kenapa si Paruntungan yang dibuang ke Panti pada momentum kerusuhan Mei itu memuncak di Jakarta tak pernah disokong oleh negara agar terdidik sebagai si lulusan SMK—meski aku berharap menjadi lulusan PT—, ketika si birokrat dan sang legislatif berusaha tampil di puncak kuasa serta mengeruk uang dari kesempatan berkuasa yang sesaat? Aku menarik napas dan menyandar ke bingkai pintu, lelah memikirkan makan dan pendidikan anak panti—sementara negara diurus oleh yang saling bersisengkelit mencari uang rakyat yang bisa dilipat. Capai. Aku capai—tapi tak tega milih bunuh diri meninggalkan semua anak panti, yang setengah telantar itu menjadi sangat telantar.

Meski dengan tak bunuh diri juga aku tidak siap untuk menyaksikan level kehidupan setengah telantar si anak panti perlahan menjadi sangat telantar. Pembantaian serta pembunuhan sengaja yang dilakukan diam-diam—dan tanpa rasa malu.

Edan—semuanya sangat absurd dan irasional. (*)
crb, 5/5/2012


Tentang Pengarang : Beni Setia, pengarang, tinggal di Caruban, Madiun.

Sumber : Suara Merdeka, 13 Mei 2012


Share: