Seperti biasa selepas Isya,
ia berkumpul bersama anak-anaknya.
Berbagi cerita, berbagi canda
sepertinya suka begitu meruah,
penuh berlimpah di sana.
Kebahagian tampak indah merona.
Ia juga sering berpetuah:
”Kalian nanti hidup yang lurus saja,
ikuti dan jangan lupakan pesan ibu ini.”
Anak-anaknya patuh mendengar.
Mungkin suara sang bunda
bisa membuat dada berdebar.
Tapi satu di antara anak-anaknya,
malah merasa gusar dan terlalu banyak tanya.
”Bagaimana bila keadaan memaksaku
berjalan memutar ke arah belokan, Bu?”
Sang bunda sabar menasehati,
”Apa itu sesuai dengan keinginan suara hati?
Kau putuskan untuk menuju arah kiri,
pastinya kau tahan dera sakit derita abadi yang berduri.”
Si bungsu yang banyak tanya itu
hanya diam membisu.
Sang bunda pun tak ingin buah hatinya pilu:
”Setiap pilihan yang kau tetapkan, anakku,
ada harga yang kau bayar untuk dirimu.
Jalan lurus yang kuanjurkan padamu,
imbalannya adalah kedamaian hatimu.”
Si bungsu mulai menyadari,
pilihan ke arah jalan kiri
terlalu banyak onak dan duri.
“Aku akan turuti petuahmu, Ibu.
Walau pun jalan lurus yang kau tunjukkan itu,
mungkin terlalu banyak lubang dan batu.”
“Percayalah, Nak, “sang bunda meneguhkan si bungsu,
bila kau ikuti petuahku,
jalan lurusmu akan benderang dengan kasihku.”
Anak-anaknya yang lain diam terpaku.
Lain yang terjadi dengan si bungsu,
tiba-tiba ada harapan baru
bertengger di tangkai kalbu.
Dua puluh tahun berlalu.
Kini selepas Isya,
hanya si bungsu yang masih bersama ibunya.
Rindu akan tulus cinta dan kasih sang bunda,
masih ingin petuah yang menyuluhi jalannya,
meneguhkan hatinya.
Di sini hanya tinggal mereka berdua,
bertiga bersama uzur usia bunda,
berempat bersama lemah tubuhnya yang renta,
berlima bersama kegetiran
diabaikan anak-anaknya yang lain,
berenam bersama harapan sang bunda yang
ingin memberikan kasih sayang terakhir:
untuk si bungsu yang dulunya banyak tanya,
tapi begitu patuh dan ikhlas merawatnya.
Tuhan tersenyum,
menatap penuh cinta
dari kejauhan nun di atas sana,
ada surga yang Dia sediakan:
bagi si bungsu yang sesunggukan,
sendiri nelangsa memeluk tubuh dingin,
ibunya terbang menuju alamnya yang lain.
Berlinang air mata,
Menguat-nguatkan diri, si bungsu berkata:
”Selamat jalan, Bu.
Petuah dan kasih sayangmu telah menjadi bunga kalbu.”
“In paradisum deducant te Angeli
Semoga para malaikat membimbingmu masuk ke dalam surga.”
ia berkumpul bersama anak-anaknya.
Berbagi cerita, berbagi canda
sepertinya suka begitu meruah,
penuh berlimpah di sana.
Kebahagian tampak indah merona.
Ia juga sering berpetuah:
”Kalian nanti hidup yang lurus saja,
ikuti dan jangan lupakan pesan ibu ini.”
Anak-anaknya patuh mendengar.
Mungkin suara sang bunda
bisa membuat dada berdebar.
Tapi satu di antara anak-anaknya,
malah merasa gusar dan terlalu banyak tanya.
”Bagaimana bila keadaan memaksaku
berjalan memutar ke arah belokan, Bu?”
Sang bunda sabar menasehati,
”Apa itu sesuai dengan keinginan suara hati?
Kau putuskan untuk menuju arah kiri,
pastinya kau tahan dera sakit derita abadi yang berduri.”
Si bungsu yang banyak tanya itu
hanya diam membisu.
Sang bunda pun tak ingin buah hatinya pilu:
”Setiap pilihan yang kau tetapkan, anakku,
ada harga yang kau bayar untuk dirimu.
Jalan lurus yang kuanjurkan padamu,
imbalannya adalah kedamaian hatimu.”
Si bungsu mulai menyadari,
pilihan ke arah jalan kiri
terlalu banyak onak dan duri.
“Aku akan turuti petuahmu, Ibu.
Walau pun jalan lurus yang kau tunjukkan itu,
mungkin terlalu banyak lubang dan batu.”
“Percayalah, Nak, “sang bunda meneguhkan si bungsu,
bila kau ikuti petuahku,
jalan lurusmu akan benderang dengan kasihku.”
Anak-anaknya yang lain diam terpaku.
Lain yang terjadi dengan si bungsu,
tiba-tiba ada harapan baru
bertengger di tangkai kalbu.
Dua puluh tahun berlalu.
Kini selepas Isya,
hanya si bungsu yang masih bersama ibunya.
Rindu akan tulus cinta dan kasih sang bunda,
masih ingin petuah yang menyuluhi jalannya,
meneguhkan hatinya.
Di sini hanya tinggal mereka berdua,
bertiga bersama uzur usia bunda,
berempat bersama lemah tubuhnya yang renta,
berlima bersama kegetiran
diabaikan anak-anaknya yang lain,
berenam bersama harapan sang bunda yang
ingin memberikan kasih sayang terakhir:
untuk si bungsu yang dulunya banyak tanya,
tapi begitu patuh dan ikhlas merawatnya.
Tuhan tersenyum,
menatap penuh cinta
dari kejauhan nun di atas sana,
ada surga yang Dia sediakan:
bagi si bungsu yang sesunggukan,
sendiri nelangsa memeluk tubuh dingin,
ibunya terbang menuju alamnya yang lain.
Berlinang air mata,
Menguat-nguatkan diri, si bungsu berkata:
”Selamat jalan, Bu.
Petuah dan kasih sayangmu telah menjadi bunga kalbu.”
“In paradisum deducant te Angeli
Semoga para malaikat membimbingmu masuk ke dalam surga.”