Perantau
Warno dan Sul adalah dua orang sahabat karib. Sekitar sebelas tahun lamanya mereka berpisah. Hari ini tanpa diduga sama sekali mereka bertemu.
”Warno..!! Kau, Warno kan? Kawanku dulu?” seru Sul dengan rasa tak percaya.
“Iya.. Aku Warno. Kalau tak salah kau Sul, bukan?”
”Betul, No.. Aku Sul,” jawab Sul, ”Alangkah bahagia hatiku bertemu lagi dengan kau, Warno.”
”Kemana saja kau selama ini, No?” tanya Sul pada sobat karibnya itu.
”Aku berkelana hampir ke seluruh dunia, Sul. Di Mesir Aku menetap sekitar dua tahun karena aku bekerja sebagai tukang bangunan,” ujar Warno mengawali cerita petualangannya.
”Wah..Wah..Wah.., Kau hebat, Warno, sudah mengunjungi Mesir,” cuping hidung Warno kembang kempis mendapat pujian dari Sul. Senyumnya begitu lebar seakan ingin menelan semua yang ada di tempat itu.
”Ah, kau bisa saja, Sul. Aku di Mesir hanya untuk membantu Pemerintahnya merenovasi bangunan Piramida. Aku dipercaya sebagai seorang yang mampu memplester bagian yang rusak dari bangunan Piramida. Itu perkara mudah bagiku,” terang Warno panjang lebar.
“Lalu yang sembilan tahunnya lagi, kau kemana, No?” tanya Sul terkagum-kagum.
“Aku berada di Italia selama 1 tahun. Di sana aku dipercaya memimpin para pekerja professional. Kami membenahi posisi Menara Pisa agar tegak lurus,” bual Warno menjadi-jadi.
“Luar biasa, kau, Warno..” puji Sul lagi.
“Kemudian setelah berada Italia, aku melawat ke Benua Afrika.”
”Apa yang kau kerjakan di Afrika, No?” tanya Sul tertarik.
”Di Benua Afrika, tepatnya di Afrika Selatan..” air liur Warno muncrat ke wajah Sul. Ia begitu bersemangat karena bualannya ditanggapi.
“Kau kan tahu Sul.. Orang-orang Afrika Selatan berkulit gelap dan berambut keriting tembakau halus. Di sana aku bersama para Ahli Kulit dan Ilmuwan lainnya berupaya keras meluruskan rambut dan memutihkan kulit mereka.”
”Apa kalian berhasil, No?” mulut Sul menganga lebar. Ia semakin penasaran saja.
“Ah.. kami sedikit lagi berhasil melakukannya.. Namun, disebabkan oleh pemberontakan dan gejolak politik yang memanas, orang-orang Afrika Selatan pada menghilang menyelamatkan diri.”
”Wah... pengalamanmu sangat hebat!” lagi cuping hidung Warno kembang kempis. Bulu-bulu hidungnya yang panjang liar keluar ikut menari-nari.
”Lalu kemana lagi kau, No?”
”Aku...” belum sempat Warno melanjutkan, tiba-tiba...
”Itu dia.. Ayo, jangan sampai lepas lagi. Cepat tangkap!” tiga orang berseragam putih mengejar dan sigap menerbab Warno.
Sebuah mobil minibus van putih bertuliskan ‘Rumah Sakit Jiwa Sungai Bahar’ mendekat cepat. Turun tiga orang lagi berseragam sama dengan rekannya dan langsung menggiring Warno masuk mobil.
Sul yang menyaksikan kejadian ini maklum. Ternyata Warno, sahabat karibnya itu menghilang lama karena menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa. Bukan merantau berkeliling dunia.
Warno dan Sul adalah dua orang sahabat karib. Sekitar sebelas tahun lamanya mereka berpisah. Hari ini tanpa diduga sama sekali mereka bertemu.
”Warno..!! Kau, Warno kan? Kawanku dulu?” seru Sul dengan rasa tak percaya.
“Iya.. Aku Warno. Kalau tak salah kau Sul, bukan?”
”Betul, No.. Aku Sul,” jawab Sul, ”Alangkah bahagia hatiku bertemu lagi dengan kau, Warno.”
”Kemana saja kau selama ini, No?” tanya Sul pada sobat karibnya itu.
”Aku berkelana hampir ke seluruh dunia, Sul. Di Mesir Aku menetap sekitar dua tahun karena aku bekerja sebagai tukang bangunan,” ujar Warno mengawali cerita petualangannya.
”Wah..Wah..Wah.., Kau hebat, Warno, sudah mengunjungi Mesir,” cuping hidung Warno kembang kempis mendapat pujian dari Sul. Senyumnya begitu lebar seakan ingin menelan semua yang ada di tempat itu.
”Ah, kau bisa saja, Sul. Aku di Mesir hanya untuk membantu Pemerintahnya merenovasi bangunan Piramida. Aku dipercaya sebagai seorang yang mampu memplester bagian yang rusak dari bangunan Piramida. Itu perkara mudah bagiku,” terang Warno panjang lebar.
“Lalu yang sembilan tahunnya lagi, kau kemana, No?” tanya Sul terkagum-kagum.
“Aku berada di Italia selama 1 tahun. Di sana aku dipercaya memimpin para pekerja professional. Kami membenahi posisi Menara Pisa agar tegak lurus,” bual Warno menjadi-jadi.
“Luar biasa, kau, Warno..” puji Sul lagi.
“Kemudian setelah berada Italia, aku melawat ke Benua Afrika.”
”Apa yang kau kerjakan di Afrika, No?” tanya Sul tertarik.
”Di Benua Afrika, tepatnya di Afrika Selatan..” air liur Warno muncrat ke wajah Sul. Ia begitu bersemangat karena bualannya ditanggapi.
“Kau kan tahu Sul.. Orang-orang Afrika Selatan berkulit gelap dan berambut keriting tembakau halus. Di sana aku bersama para Ahli Kulit dan Ilmuwan lainnya berupaya keras meluruskan rambut dan memutihkan kulit mereka.”
”Apa kalian berhasil, No?” mulut Sul menganga lebar. Ia semakin penasaran saja.
“Ah.. kami sedikit lagi berhasil melakukannya.. Namun, disebabkan oleh pemberontakan dan gejolak politik yang memanas, orang-orang Afrika Selatan pada menghilang menyelamatkan diri.”
”Wah... pengalamanmu sangat hebat!” lagi cuping hidung Warno kembang kempis. Bulu-bulu hidungnya yang panjang liar keluar ikut menari-nari.
”Lalu kemana lagi kau, No?”
”Aku...” belum sempat Warno melanjutkan, tiba-tiba...
”Itu dia.. Ayo, jangan sampai lepas lagi. Cepat tangkap!” tiga orang berseragam putih mengejar dan sigap menerbab Warno.
Sebuah mobil minibus van putih bertuliskan ‘Rumah Sakit Jiwa Sungai Bahar’ mendekat cepat. Turun tiga orang lagi berseragam sama dengan rekannya dan langsung menggiring Warno masuk mobil.
Sul yang menyaksikan kejadian ini maklum. Ternyata Warno, sahabat karibnya itu menghilang lama karena menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa. Bukan merantau berkeliling dunia.
Kita Tak Bisa Memenjarakannya!
Dalani seorang penjahat kambuhan, pagi hari besok harus menghadiri sidang perkaranya di Pengadilan. Pengacara yang ia sewa untuk memberikan pembelaan terhadap dirinya datang berkunjung ke Rutan.
”Aku benar-benar takkan mampu membela kau besok, Dalani,” dengan suara berat pengacaranya berkata, ”Kau sudah sering berperkara. Semua bukti akan memberatkan vonis yang dijatuhkan pengadilan untukmu.”
”Lalu, untuk apa kau datang kemari?” raut wajah Dalani penuh kecewa.
”Aku hanya ingin memberitahukan satu-satunya jalan untukmu. Agar kau mendapat hukuman ringan, bahkan bisa jadi divonis bebas,” berbisik-bisik suara pengacaranya kepada Dalani saat itu.
”Bagaimana caranya?” tanya Dalani penasaran.
“Kau harus bisa memakan kotoranmu sendiri supaya dianggap gila.”
”Inilah jalan keluar yang tepat untukmu,” saran pengacaranya sembari meninggalkan Dalani yang duduk terpaku di bangku kayu Rutan.
Di dalam selnya, Dalani termenung memikirkan saran tadi. Ia tampak begitu khusyuk memeras otak. Akhirnya, usahanya tak sia-sia. Ia menemukan ide yang pas sekali dengan anjuran pengacaranya itu.
Di plafon selnya, Dalani masih menyimpan sebungkus mentega dan enam butir telur dari besukan istrinya tiga hari yang lalu. Ia ambil dan mulai membuat adonan berwarna kuning pekat lengket.
”Aku takkan mau makan kotoranku sendiri,” batinnya mengatur strategi, ”Aku hanya mau makan mentega dan kuning telur ini.”
Keesokan harinya petugas Rutan membawa Dalani ke Pengadilan untuk dimeja-hijaukan. Namun, Dalani tampak tenang-tenang saja digiring para petugas Rutan. Ia tahu kalau vonis yang akan diterimanya sedemikian berat. Dan tentu saja ia telah menemukan solusi yang tepat mengantisipasi hal ini.
Beberapa jam kemudian...
”Terdakwa Dalani.. Setelah melihat bukti-bukti yang ada... Kami memutuskan..,” belum lagi selesai Hakim Ketua berkata, tiba-tiba..
”Broooottttt....trotooootttot... Broooooooooootttt.....”
Dalani mulai beraksi diawali bunyi balon roket meletus dibokongnya. Tak hanya itu , ia lalu berdiri dan memasukkan tangannya ke dalam celana bagian belakang. Ia keluarkan kembali dan diacungkan ke muka Pak Hakim Ketua.
”Silakan Pak Hakim mencicipi bubur kuningku ini,” Dalani maju ke depan. ”Hmmm... lezat sekali rasanya!” dijilati satu persatu jari tangannya.
Kontan saja persidangan saat itu berhenti mendadak. Para Hakim dan Jaksa Penuntut pun seketika terhenyak. Melihat keadaan ini, pengacara Dalani yang sangat terdidik dan lulus dari padepokan silat lidah berkata:
”Pak Hakim Ketua, para Hakim Anggota, Jaksa dan Panitera Pengadilan yang sangat mulia... Perkenankan saya berbicara sedikit tentang keadaan klien saya ini...”
”Saudara Dalani telah terganggu jiwanya. Ini disebabkan rasa penyesalannya yang sangat dalam atas semua kejahatan yang pernah dilakukannya. Sehingga seperti yang kita lihat ia tak bisa membedakan antara makanan dan kotorannya sendiri,” dengan penuh daya tarik diplomatis sang pengacara merdu berkicau.”
“Terdakwa telah gila, Pak Hakim Yang Mulia. Dan berpedoman pada Kitab Utang Habis Perkara, semua kejahatan Dalani adalah hutangnya, ia lunasi dengan jiwanya yang terganggu saat ini. Maka habis lah perkara tuntutannya, Pak Hakim. Sebab kita tak bisa menghukum orang gila, tapi kita bisa mengirimkannya ke Rumah Sehat Jiwa agar bisa dirawat lebih baik di sana.”
Setelah pengacara Dalani selesai berkata, Para Hakim berembuk. Dan akhirnya..
“Pengadilan memutuskan.. Terdakwa Dalani harus dirawat intensif di Rumah Sehat Jiwa Yang Ramah Di Segala Cuaca, dan terbebas dari semua tuntutan yang dibebankan padanya...” vonis Pak Hakim Ketua sambil mengetuk tiga kali palunya.
Dalani seorang penjahat kambuhan, pagi hari besok harus menghadiri sidang perkaranya di Pengadilan. Pengacara yang ia sewa untuk memberikan pembelaan terhadap dirinya datang berkunjung ke Rutan.
”Aku benar-benar takkan mampu membela kau besok, Dalani,” dengan suara berat pengacaranya berkata, ”Kau sudah sering berperkara. Semua bukti akan memberatkan vonis yang dijatuhkan pengadilan untukmu.”
”Lalu, untuk apa kau datang kemari?” raut wajah Dalani penuh kecewa.
”Aku hanya ingin memberitahukan satu-satunya jalan untukmu. Agar kau mendapat hukuman ringan, bahkan bisa jadi divonis bebas,” berbisik-bisik suara pengacaranya kepada Dalani saat itu.
”Bagaimana caranya?” tanya Dalani penasaran.
“Kau harus bisa memakan kotoranmu sendiri supaya dianggap gila.”
”Inilah jalan keluar yang tepat untukmu,” saran pengacaranya sembari meninggalkan Dalani yang duduk terpaku di bangku kayu Rutan.
Di dalam selnya, Dalani termenung memikirkan saran tadi. Ia tampak begitu khusyuk memeras otak. Akhirnya, usahanya tak sia-sia. Ia menemukan ide yang pas sekali dengan anjuran pengacaranya itu.
Di plafon selnya, Dalani masih menyimpan sebungkus mentega dan enam butir telur dari besukan istrinya tiga hari yang lalu. Ia ambil dan mulai membuat adonan berwarna kuning pekat lengket.
”Aku takkan mau makan kotoranku sendiri,” batinnya mengatur strategi, ”Aku hanya mau makan mentega dan kuning telur ini.”
Keesokan harinya petugas Rutan membawa Dalani ke Pengadilan untuk dimeja-hijaukan. Namun, Dalani tampak tenang-tenang saja digiring para petugas Rutan. Ia tahu kalau vonis yang akan diterimanya sedemikian berat. Dan tentu saja ia telah menemukan solusi yang tepat mengantisipasi hal ini.
Beberapa jam kemudian...
”Terdakwa Dalani.. Setelah melihat bukti-bukti yang ada... Kami memutuskan..,” belum lagi selesai Hakim Ketua berkata, tiba-tiba..
”Broooottttt....trotooootttot... Broooooooooootttt.....”
Dalani mulai beraksi diawali bunyi balon roket meletus dibokongnya. Tak hanya itu , ia lalu berdiri dan memasukkan tangannya ke dalam celana bagian belakang. Ia keluarkan kembali dan diacungkan ke muka Pak Hakim Ketua.
”Silakan Pak Hakim mencicipi bubur kuningku ini,” Dalani maju ke depan. ”Hmmm... lezat sekali rasanya!” dijilati satu persatu jari tangannya.
Kontan saja persidangan saat itu berhenti mendadak. Para Hakim dan Jaksa Penuntut pun seketika terhenyak. Melihat keadaan ini, pengacara Dalani yang sangat terdidik dan lulus dari padepokan silat lidah berkata:
”Pak Hakim Ketua, para Hakim Anggota, Jaksa dan Panitera Pengadilan yang sangat mulia... Perkenankan saya berbicara sedikit tentang keadaan klien saya ini...”
”Saudara Dalani telah terganggu jiwanya. Ini disebabkan rasa penyesalannya yang sangat dalam atas semua kejahatan yang pernah dilakukannya. Sehingga seperti yang kita lihat ia tak bisa membedakan antara makanan dan kotorannya sendiri,” dengan penuh daya tarik diplomatis sang pengacara merdu berkicau.”
“Terdakwa telah gila, Pak Hakim Yang Mulia. Dan berpedoman pada Kitab Utang Habis Perkara, semua kejahatan Dalani adalah hutangnya, ia lunasi dengan jiwanya yang terganggu saat ini. Maka habis lah perkara tuntutannya, Pak Hakim. Sebab kita tak bisa menghukum orang gila, tapi kita bisa mengirimkannya ke Rumah Sehat Jiwa agar bisa dirawat lebih baik di sana.”
Setelah pengacara Dalani selesai berkata, Para Hakim berembuk. Dan akhirnya..
“Pengadilan memutuskan.. Terdakwa Dalani harus dirawat intensif di Rumah Sehat Jiwa Yang Ramah Di Segala Cuaca, dan terbebas dari semua tuntutan yang dibebankan padanya...” vonis Pak Hakim Ketua sambil mengetuk tiga kali palunya.