Geliat Urban
Oom senang berpakaian necis
Modis bergaya menggandeng gadis
Remaja berpantat lebah madu
Bergelayut manja demi doku
Cekikikan keluar-masuk Mall
Borong tiap barang berbandrol
Melenggang ke pelataran parkir
Melaju ke hotel pilihan terakhir
Oom senang yang tajir
Dikepung nikmat birahi sinting
Ketat bergulat seperti kepiting
Mandi keringat disusul nyengir
Oom senang gelap mata
Pulas terlelap tuntaskan kembara
Lunas nafsu gairah menggelora
Lupa umur menuju renta
Urban! Urban! Urban?! Apa ya sebenarnya URBAN?
Mencari ruang baru untuk ekspresi diri? Atau apresiasi dari masih bisa hidup sampai hari ini ?
Let’s enjoy your life while you’re looking for the real happiness.
Urban mengacu pada suatu kelompok sosial yang terdiri dari individu-individu dengan gaya hidup yang mengimbangi dinamika pusat budaya perkotaan. Urban sebuah equilibrium baru yang menganut sistem budaya humanis terkini. Pola kehidupan masyarakat urban bergerak dalam laju searah dengan sistem gerak perkonomian yang cepat dalam supply and demand. Praktis dan ekonomis dalam segala hal adalah ciri utama masyarakat urban. Namun tidak melupakan akan pemenuhan kebutuhan pribadi yang bersifat mendasar sekali. Masyarakat urban terbentuk dari penggabungan antara pendatang dan penduduk asli - yang bersepakat untuk menciptakan ruang baru dengan sistem budaya gabungan yang menghasilkan hadirnya gaya hidup tersendiri.
Karena teroganisasikan secara akulturatif, maka terbentuk pula pola sikap sosial budaya yang permissive, tolerant, dan konsumtif. Sikap permissive dalam pengertiannya yang lebih mengacu pada cara pandang pemenuhan kebutuhan pribadi - kesenangan dari menikmati hiburan, keinginan mencapai derajat sosial tertentu, bahkan seks sekalipun - boleh dicapai dengan melibatkan diri dalam kondisi apa pun yang resikonya mampu ditanggung sendiri. Unsur-unsur budaya yang mapan seperti aturan etika sosial menjadi nomor ke sekian dalam upaya pemenuhan hasrat kebutuhan tersebut. Maka jangan heran ketika kita menemukan kecenderungan persundalan yang dipandang perlu dan biasa saja. Atau bagaimana masyarakat urban memandang ‘cinta dan kesetiaan dengan pasangan’ bisa dibicarakan nanti. Masih ingat lagu ‘Cinta Satu Malam’ atau slogan ‘Selingkuh Itu Indah’ ? Budaya permissive dalam masyarakat urban adalah ciri utamanya.
Selain itu, masyarakat urban sangat menghargai tubuh dan pemenuhan kebutuhannya. Cobalah saudara lihat betapa menjamurnya pusat-pusat kebugaran, SPA, dan salon-salon kecantikan. Kecenderungan seperti apa kiranya hal ini? Ya, apalagi kalau bukan ciri khas gaya hidup masyarakat urban, kan? Tubuh bagi masyarakat urban adalah sesuatu yang mulia, layak mendapat perlakuan istimewa. Meminjam kalimat sahabat saya dari update status di Facebook-nya,
Malam minggu saatnya memanjakan diri di salon, ngelurusin jari, bersihin wudel, n ngerok bulu ketek
Lihatlah betapa pandainya dia mendeskripsikan kecenderungan masyarakat urban memuja tubuh. Walaupun saya tahu sebenarnya sahabat saya tersebut ingin menyindir tendensi yang berlebihan masyarakat urban dalam memuliakan tubuh.
Tubuh dianggap sebagai aset dan eksistensi diri . Masyarakat urban memperlakukan tubuh sebagai barang simpanan berharga yang memiliki nilai jual tinggi. Semakin menarik bentuk tubuh seseorang maka semakin mudah dirinya mendapat akses menuju derajat sosial tinggi dan tentunya dengan pekerjaan yang berpenghasilan tinggi pula. Cobalah lihat iklan lowongan kerja yang selalu menyertai,
….Pria maksimal berumur 27 tahun, Wanita maksimal berumur 25 tahun - Berpenampilan menarik
Dalam hal apa pun, tubuh memegang peranan penting bagi masyarakat urban untuk kemudahan akses ekonomi. Lihat saja bagaimana advertising media selalu mempromosikan produknya dengan model-model iklan ganteng dan cantik guna menarik konsumen membeli barangnya. Tubuh layak diperlakukan khusus karena mampu memfasilitasi masyarakat urban untuk barang kebutuhan ekonominya. Kan yang cantik dan ganteng selalu dapat ’special service’, benar tidak?
Karena sadar kecenderungan masyarakat urban dalam hal pemuliaan tubuh ini, maka para pelaku bisnis melihat peluang besar di bidang jasa pelayanan untuk merawat tubuh yang ideal. Muncullah salon-salon kecantikan, SPA dan Pusat kebugaran/Fitness Center yang melayani masyarakat urban meng-ideal-kan tubuhnya.
Berbicara tentang tubuh yang istimewa dalam pandangan masyarakat urban, kita tak bisa mengabaikan eksesnya juga. Saat seseorang merasa memiliki ‘tubuh yang ideal’, maka secara sengaja atau pun tidak ia berhasrat untuk memamerkannya dengan segala cara. Lalu terbentuklah sikap yang ‘exhibitionist’ - baik yang komersil maupun yang merupakan kompensasi identitas diri pribadi. Untuk sikap exhibitionist yang komersil, kita bisa melihat individu tertentu dari masyarakat urban berprofesi sebagai model - baik yang mengandalkan keelokan paras wajahnya, maupun yang mengandalkan lekuk-lekuk sempurna tubuhnya. Hal ini ada dalam sampul-sampul majalah, tabloid mingguan bahkan selebaran berukuran setengah kertas A4. Individu ini meng-komoditas-kan tubuh sebagai benda komersil bernilai jual pada konsumen.
Sehubungan dengan tubuh sebagai sarana eksistensi diri, kita melihat bagaimana individu-individu tertentu menampilkan diri dengan membungkus tubuhnya secara modis - mengikuti semarak trend mode. Mulai dari baju lengket ketat dengan padanan celana setengah tiang, sampai dengan bentuk celana pensil yang meruncing ke ujung kaki. Juga dengan mewarnai kuku, men-tattoo alis, mengenakan contact lens yang colourful. Semua ini agar mendapat pengakuan eksistensi diri sebagai bagian dalam urban equilibrium. Sehingga dapat menghindari dari hujatan ‘Kampungan atau ndeso’ yang merupakan ciri masyarakat agraris pedesaan. Ah, macam-macam saja orang sekarang!
Saya tadi bilang bahwa masyarakat urban menganut filosofi “Nikmati Hidup Anda Selagi Anda Mencari Kebahagiaan Sejati.” Baiklah saudara.. Saya akan coba beberkan maksud perkataan saya ini. Sebelumnya perkenankan saya bertanya pada saudara: Masih ingat tidak dengan hedonisme - yang dicetuskan oleh Epikurus dengan ucapannya ‘Marilah mengenakan mahkota mawar karena besok kita akan mati‘, masih ingat bukan? Filosofi berabad-abad yang lalu inilah yang masih dipakai masyarakat urban ketika meng-apresiasi kehidupan yang dijalaninya. Hanya paham ini digunakan untuk bidang pemuasan hasrat biologis dan psikologis dari kebutuhan dasar manusia. Contoh menu makanan yang berubah-ubah yang sebenarnya ditujukan untuk memanjakan indra pengecap. Mulai dari restoran, kafe gaul, food court center di Mall dan makanan siap saji dan banyak lagi lainnya. Dalam hal memenuhi kebutuhan dasar psikologis, masyarakat urban mendapatkannya melalui tempat-tempat hiburan, baik yang terbuka siang hari seperti bioskop, theater dan Mall, maupun yang terbuka malam hari diskotik, pub dan karaoke dengan sajian hiburan ekstranya.
Masyarakat urban memang sengaja melampiaskan semua hasrat dirinya seolah-olah besok mereka tak akan menemuinya lagi. Terburu-buru mereguk semua kesejukan dan kenikmatan hidup selagi mampu dilakukan.
Terakhir tentang sikap konsumptif masyarakat urban perkotaan. Berbicara tentang kecenderungan konsumerisme ini saya ingin mengutip kalimat Iwan Fals.
Berjalan di situ di pusat pertokoan
Melihat barang-barang yang jenisnya beraneka ragam
Cari apa di sana, tentu tersedia
Asal uang di kantong cukup, tentu tak jadi soal
“Shopping.. Shopping.. Shopping… Banyak discount lho? Yuk, buruan..”
Saya akan mulai dari proses pembentukan hasrat konsumptif dulu. Keinginan memiliki barang sebenarnya ada dua dasar pijakannya:
1. Ketika barang tersebut kita butuhkan,
2. Ketika barang tersebut kita inginkan
Pada masyrakat urban kecenderungan berbelanja disebabkan oleh gaya hidup. Pertimbangan atas barang yang dibeli tersebut dinginkan atau memang benar dibutuhkan, bukan menjadi faktor penentu keputusan untuk membeli. Apalagi kalau barang/produk yang dijajakan tersebut berulangkali telah diiklankan dalam kotak ajaib, maksud saya televisi, maka jangan ditanya lagi pasti laris manis diserbu masyarakat urban sebagai konsumen setianya. Seakan-akan kalau tidak membelinya akan luntur identitas sebagai ‘orang kota’ dengan ikon Mall-Mall yang menggoda untuk dikunjungi. Shopping Life Style merupakan watak sosial kolektif yang melekat pada diri masyarakat urban perkotaan. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh menjamurnya Mall-Mall sebagai ‘Ruang Publik Terbuka’ dengan segala fasilitasnya yang memang dengan sengaja memanjakan mereka, juga bisa disebabkan oleh pergeseran pandangan masyarakat urban atas Pusat Perbelanjaan tadi - Mall-Mall bukan hanya dianggap sebagai tempat transaksi perekonomian saja, tetapi tempat aktualisasi diri masyarakat urban perkotaan. Dampaknya adalah ‘Pemuasan Hasrat Belanja Yang Besar’ untuk semua barang yang dijajakan.
Demikian saudara pandangan saya tentang masyarakat urban. Sekiranya karena keterbatasan pengalaman, ketidaklengkapan pengetahuan ataupun lainnya yang melekat dalam diri saya - sehingga artikel yang saya tulis terkesan dangkal dan butuh pembahasan lebih lanjut, saya dengan rendah hati menyarankan sebaiknya saudara mengkaji ulang (seperti mau melepaskan tanggung-jawab, ya? Hehehe…). Saya hanya disebabkan dorongan alami untuk berbagi, yang menyemangati saya begitu rupa sehingga berani menulis subjek bahasan ini, juga berharap agar memberikan manfaat untuk saudara sekalian.