Senin, 14 Maret 2016

 

Cerpen Sori Siregar: Senjata

Cerpen Sori Siregar, Cerpen Kompas 13 Maret 2016


SENJATA

Oleh SORI SIREGAR


"Pada saat tertentu ia merasa perlu memiliki senjata api itu untuk melindungi diri, jika dihadang mara bahaya. Pada ketika lain ia berpikir akan menggunakan senjata genggam itu untuk melukai seseorang yang tidak disukainya dan dibenci orang lain."


Gerson berkali-kali memperingatkan Iros. Duduk di samping jendela dengan wajah yang kelihatan dari luar adalah mengundang bahaya fatal. Jendela double glazing tidak berarti tidak tembus peluru. Jendela berkaca gandaini hanya untuk mengusir suara bising dan udara dingin.

Iros paham akan peringatan Gerson. Di negeri ini, orang dapat membunuh siapa saja tanpa alasan. Para pembunuh itu bukan mantan GI yang bertaruh nyawa dalam perang Vietnam. Tapi orang-orang sakit yang ingin menyembuhkan penyakitnya dengan membunuh. Korban yang tumbang telah terlalu banyak. Tidak berkurang dari tahun ke tahun.

Sasarannya bisa siapa saja. Anak-anak sekolah yang sedang belajar di dalam kelas, para guru yang sedang mengajar, pengunjung restoran, orang yang menunggu kedatangan kereta api di stasiun, pengunjung plaza, supermarket atau mall bahkan orang yang lalu lalang di jalan raya. Siapa saja. Peringatan Gerson itu dilontarkan pada suatu masa lampau yang jauh. Di sana bukan di sini.

Peringatan itu mengendap dalam diri Iros. Dan ia takluk. Hingga saat ini pun ia takut duduk di samping jendela, berbelanja di supermarket atau berjalan kaki di sekitar lapangan sepak bola di dekat rumahnya. Kini suasana di sana dan di sini tidak berbeda. Setiap hari ada saja orang yang pindah ke dunia sana di luar keinginannya. Iros tidak ingin menyusul dan menjadi salah seorang di antara mereka. Ia senantiasa memelihara kewaspadaan bahkan sesekali meningkatkannya.

Hari ini ledakan terjadi di sebuah pasar tradisional. Lima belas orang tewas, hampir semua identitas mereka sukar dikenal karena luka bakar. Petugas keamanan menarik kesimpulan sementara, ledakan yang memorak-porandakan pasar tradisional itu dilakukan teroris. Kesimpulan sementara ini dapat menjadi kesimpulan tetap karena petugas keamanan tidak dapat mengungkapkan siapa para pelakunya. Bom bunuh diri. Kalimat ini sering menjadi jawaban jika para jurnalis bertanya kepada petugas keamanan.

Iros percaya saja, karena ia terkagum-kagum dengan upaya yang pernah dilakukan petugas keamanan dalam menyelamatkan sejumlah sandera di dalam sebuah pesawat terbang. Bagi Iros tidak ada bedanya petugas keamanan yang menjaga keamanan di dalam negeri dan mereka yang yang bertugas menjaga keamanan negara dari serangan luar. Yang penting tugas mereka adalah membebaskan dan menyelamatkanorang dari potensi bencana, seperti pembajakan pesawat terbang itu.

Kekaguman yang tak pernah sirna itu semata-mata karena petugas keamanan dapat melakukan tugasnya dengan sangat baik. Hanya dalam waktu tiga menit. Perhitungan yang cermat membuat mereka dapat membebaskan sandera tiga puluh detik lebih cepat dari yang direncanakan.

Luar biasa. Itulah yang tertanam dalam batok kepala Iros. Sandera dapat dibebaskan dan di pihak petugas keamanan hanya satu orang yang tewas.

Seseorang memberondongkan senjatanya ke sebuah toko mainan anak. Dua orang anak tewas dan tiga orang ibu luka parah. Senjata kembali merenggut nyawa orang. Setelah itu muncul peristiwa serupa di mana-mana. Senjata telah menjadi mesin pencabut nyawa yang menakutkan. Karena itu setiap kali terjadi pembunuhan dengan tembakan, Iros senantiasa terpanggil kembali untuk mendengar saran Gerson. “Jangan pamerkan tubuh melalui jendela kaca. Bahaya mengintai setiap saat”.

Tapi peringatan itu pula yang mengantarkan Iros kembali ke sebuah peristiwa heroik yang dilakukannya beberapa dekade lalu. Ketika berjalan kaki di jalan raya sebuah kota bernama New York, ia mendengar jeritan seorang perempuan. Tanpa ada yang memerintah ia berlari ke arah suara itu. Seorang laki-laki berlari meninggalkan perempuan yang menjerit tersebut. Ia baru saja merampok perempuan tak berdaya itu.

Pada saat semua orang di sekitar terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa-apa, Iros terus mengejar perampok yang kecepatan langkahnya kalah dengan kecepatan langkah Iros. Begitu mendekat Iros segera melemparkan sebuah pukulan ke tubuh lelaki itu. Pukulan telak karate yang membuat sang perampok tak berkutik. Iros yang merasa tugasnya belum selesai segera membawa penjahat itu ke kantor polisi terdekat.

Perampok, pembegal atau mugger kata orang di sana segera ditahan polisi. Sebelum polisi mengetahui siapa Iros ia langsung meninggalkan kantor polisi. Tidak ada catatan sebaris pun catatan tentang dirinya. Polisi ternyata tidak diam. Mereka terus melacak siapa Iros. Lacakan itu berhasildua dasawarsa kemudian, setelah polisi memperoleh data-data tentang Iros. Namanya dicari dari semua mahasiswa asing yang pernah kuliah di kota itu. Polisi juga mencari semua data orang-orang asing, khususnya orang kulit berwarna yang bekerja di kota itu. Upaya tidak mengenal lelah yang akhirnya membuahkan hasil yang diinginkan. Iros mendapat penghargaan dari walikota kota metropolitan itu dan namanya disebutkan dalam berita setelah upacara pemberian penghargaan itu.

Mugger itu bersenjata dan Iros berhasil melumpuhkannya. Mengapa ketika itu ia tidak sedikit pun merasa takut kepada senjata yang setiap saat dapat merenggut nyawanya? Itu di luar perhitungan Iros. Iros tersenyum. Ia merasa peringatan Gerson yang disusul peringatan yang sama dari Suprapto dan Ali Lubis tidak harus dipertahankan dan menjadi miliknya seumur hidup.

Ketika membaca berita bahwa seorang petugas keamanan ditembak mati oleh rombongan perampok yang ingin menjarah sebuah mesin ATM, Iros tertegun. Lalu, ketika seorang hakim juga tewas karena berondongan senjata otomatis, Iros merasa tidak dapat membebaskan diri dari kegelisahan yang memuncak. Aku harus berbuat sesuatu. Begitu ia berjanji kepada dirinya. Ketika sahabatnya sendiri, Utoyo, seorang pelukis surealis, tertembak ia tidak tahan lagi.

Dari temannya yang hanya luka itu ia mendapat informasi bahwa penembak pelukis surealis itu adalah seorang berpakaian sipil, necis dan berdasi. Setelah menembak dengan tenang dan tepat sasaran ia naik ke mobilnya dan meneruskan perjalanan. Ia memang hanya menembak kaki teman Iros sebagai peringatan. Tidak tahu peringatan apa.

Seorang pelukis yang separuh hidupnya diabdikannya untuk seni rupa menjadi korban keganasan orang berdasi. Ini bukan penembak gelap atau penembak misterius, tetapi penembak terang benderang karena dilakukan pada siang hari. Utoyo yang lembut hati itu, sangat terpukul karena ada orang berbuat jahat terhadap dirinya. Karena itu Iros menjadi tumpuan pengaduannya. Iros dengan sabar menampung pengaduan itu.

Iros yang selama ini menggunakan tangannya sebagai senjata kini merasa perlu memiliki senjata api yang terlalu sering digunakan untuk membunuh orang itu. Bukan perlu tapi harus. Kejahatan penembakan tidak dapat ditoleransi lagi. Bagi Iros, tembakan untuk membunuh atau melukai tidak ada bedanya dengan ledakan bom bunuh diri yang beberapa kali terjadi. Ini tidak dapat dibiarkan apalagi kalau dilakukan oleh orang-orang yang merasa dirinya tidak dapat ditembus hukum.

Senjata yang menghancurkan ketenangan dan kedamaian. Senjata yang selalu memuntahkan timah panas kepada sasaran yang dijadikan korban. Bisa saja suatu ketika nanti aku yang akan menjadi korban, pikir Iros. Peringatan Gerson, Suprapto dan Ali Lubis agar jangan memperlihatkan diri di balik jendela kaca, kini lebih mengerikan daripada itu. Kini bukan hanya di balik jendela, tetapi di segala tempat baik terbuka maupun tertutup. Mengerikan.

Iros merasa perlu waspada agar tidak menjadi korban tembakan. Tidak ada pilihan lain kecuali menjaga diri dengan memiliki senjata api. Ternyata tidak susah untuk memiliki senjata apalagi senjata api genggam rakitan seperti yang dipunyai Iros. Keinginan waspada dan menjaga diri ini belakangan berkembang menjadi hasrat untuk menjaga keamanan dan keselamatan orang lain, misalnya orang-orang yang disandera di suatu tempat.

Karena keinginan itu ia diantar kembali kepada situasi mencekam yang disaksikannya dalam film Dog Day Afternoon. Sang penyandera yang diperankan Al Pacino yang menjadi idolanya itu tampak sangat hati-hati, cermat dan tidak gentar menghadapi para petugas yang akan membebaskan sanderanya. Bagaimana jika nanti ia akan berhadapan dengan penyandera seperti yang diperankan Al Pacino itu? Dapatkah ia membebaskan sandera hanya dalam waktu 3 menit seperti yang pernah dialami pasukan keamanan di masa lampau itu?

Penyanderaan di dalam pesawat terbang atau di dalam bank sama saja. Menakutkan dan merampas habis semangat dan keberanian para sandera. Iros ingin tampil dan maju ke depan untuk menjadi juru selamat seandainya penyanderaan terjadi di sekitarnya. Ia menunggu dan terus menunggu. Selama penantian, penembakan terus berlangsung walaupun itu dilakukan secara resmi untuk membunuh penjahat atau karena salah paham. Ia tidak punya alasan untuk menjadi juru selamat. Penyanderaan tak pernah terdengar.

Iros menimang-nimang senjata api di tangannya. Pada saat tertentu ia merasa perlu memiliki senjata api itu untuk melindungi diri, jika dihadang mara bahaya. Pada ketika lain ia berpikir akan menggunakan senjata genggam itu untuk melukai seseorang yang tidak disukainya dan dibenci orang lain.

Pilihan dijatuhkannya kepada yang kedua. Ia pun menetapkan sasaran dan tinggal melaksanakan rencananya. Ia menunggu calon korban tidak jauh dari rumahnya. Begitu yang ditunggu pulang dan berjalan keluar dari mobilnya sebelum supir mematikan mesin Iros melepaskan tembakan dua kali di dada sang korban. Orang yang dijadikannya korban adalah seorang pemegang kekuasaan yang sering melukai hati masyarakat dan menipu rakyat. Orang itu adalah adik kandungnya sendiri.



* Sumber Koran Kompas Minggu, 13 Maret 2016
** Ilustrasi dari SINI


Share: