Setiap orang memiliki tafsir tersendiri mengenai musik. Ada yang memaknai kehadirannya sebagai penyemangat diri yang lelah, dan berharap setelah mendengarkan musik semangat akan muncul kembali, sehingga berbagai tekanan hidup yang membebani akan ringan saja terasa. Kehadiran musik di sini dipandang sebagai tamasya jiwa yang menyenangkan, menghibur bagi diri yang membutuhkan rehat barang sejenak.
Ada juga yang menafsirkan musik sebagai media penampung beragam kenangan yang sulit terlupakan. Di sini orang lalu mulai berupaya membuat simbolisasi akan tiap peristiwa berkesan yang telah lewat itu melalui baris demi baris kata terpilih yang menjadi lirik lagu, mengaransemennya sedemikian rupa sehingga layak diungkapkan kembali seindah mungkin dengan sentuhan bercita rasa tertentu. Dan, jadilah memori yang amat lekat di dinding jiwanya itu sebaris puisi yang didendangkan dengan alunan melodius atas nama ‘memanggil kembali’ masa lalu yang masih enggan melampau – betapapun pedihnya.
Dalam konteks ini, Love in Vain adalah sebuah lagu lawas yang diaransemen ulang oleh The Rolling Stones (pertama kali ditulis oleh seorang musisi blues kenamaan Robert Johnson pada 1937) agaknya ingin menyuarakan kembali kenangan tentang betapa getirnya kehilangan kekasih yang dicintai, namun kenangan bersamanya tetap rapi tersimpan di dalam hati: “Well I followed her to the station with a suitcase in my hand.”
Apa yang dicecap lidah jiwa ketika seseorang mengalami keadaan getir begini rupa? Tentu sangat sukar mengungkapkannya. Mungkin sepertinya tak ada satu kata pun yang dapat mewakili lirih erang kesakitan saat mengalami nestapa cinta sia-sia yang menyakitkan itu: “Whoa, it's hard to tell. It's hard to tell when all your love's in vain.”
Akan tetapi, di dalam kondisi yang demikian, sungguh cinta merupakan ujian tentang daya tahan, kegigihan yang mungkin dipaksakan hingga di ujung perpisahan. Tegar melihat bayangan dambaan hati yang hendak melintas pergi: “When the train come in the station, I looked her in the eye.” Selain itu, cinta yang memerihkan begini rupa sepertinya juga ingin memberi pelajaran dalam suasana kesepian yang amat menekan – walaupun ini berarti bukan pelajaran yang menyenangkan karena hanya menghasilkan kesedihan yang memilukan dengan linangan air mata: “Whoa, I felt so sad, so lonesome that I could not help but cry.”
Sesal. Itulah akhirnya yang tersisa ketika mengalami keadaan dalam kesia-siaan mencintai. Sesal itu mengendap dalam hati dan benak. Kehadirannya adalah wakil dari cahaya pengharapan cinta yang pupus, bagaikan sinar lampu di belakang kereta berlalu menjauh yang perlahan redup.
“When the train left the station, It had two lights on behind. Whoa, the blue light was my baby. And the red light was my mind. All my love was in vain.”
Sekalipun demikian, haruskah orang memelihara lirih kesakitan nestapa cinta yang lampau? Bisa ya, bisa tidak. Sebab ini tergantung pada pandangan pribadi seseorang dalam memaknai pengalaman pahit dalam mencintai, yang mungkin akan dijadikan panduan berguna supaya kelak tidak mengalami hal demikian lagi. Ya, semacam "standard operational procedure for loving in the future," hehehe… Dan pelajaran yang terpenting dari senandung indah erangan lirih tembang Love in Vain ini adalah pilihlah bersikap kreatif meskipun hati terasa pilu karena hal yang menyakitkan, tentu ekspresi yang disuarakan lebih menyentuh daripada sekadar meraung-raung dengan air mata yang membanjiri ruang hidup, yang mengakibatkan memudarnya semangat dalam diri. Sungguh sepahit apapun peristiwa yang terjadi di masa lampau, ia bukanlah rantai yang membelenggu jiwa. Sebaliknya, dengan melalui renungan yang penuh kesadaran, ia bisa menjadi guru nan bijaksana menuntun langkah manusia menuju kebahagiaan.[M.I]