Tampaknya mustahil hidup tanpa cinta walau hanya sedetik saja. Ada kesunyian yang begitu menyiksa diri, merajam kejam dengan kesenduan nan lirih. Demikian kesan pertama yang tertangkap ketika Anda mencermati puisi Don’t Go Far Off karya penyair Pablo Neruda. Apa sebabnya demikian? Mari kita simak bersama secara lengkap.
Don’t Go Far Off
By Pablo Neruda
Don't go far off, not even for a day, because -
Because - I don't know how to say it: a day is long
and I will be waiting for you, as in an empty station
when the trains are parked off somewhere else, asleep.
Janganlah pergi menjauh (dari sisiku), walaupun hanya sehari (saja), karena
Karena – Ku tak tahu bagaimana harus mengatakannya: (tanpamu) hari (penantian yang kulewati menjadi) panjang. Dan (ini berarti) aku akan (terpaku) menunggumu (dalam siksa sepi sendiri bagaikan) berada di sebuah stasiun yang lengang manakala kereta-keretanya terparkir terpisah (berjarak) di suatu tempat yang lain, (bersamaku yang membeku di sini) tertidur.
Don't leave me, even for an hour, because
Then the little drops of anguish will all run together,
The smoke that roams looking for a home will drift
Into me, choking my lost heart.
Then the little drops of anguish will all run together,
The smoke that roams looking for a home will drift
Into me, choking my lost heart.
Janganlah (kau) tinggalkan aku walaupun satu jam saja, karena
dengan begitu bulir kecil (air mata dari) kesedihanku yang mendalam (ini) akan menyatu
(bersama) kabut (duka) yang mengembara mencari rumah (persinggahan), menyelinap masuk ke dalam diriku, (lalu menyesak ke dalam untuk) mencengkeram hatiku yang lara.
dengan begitu bulir kecil (air mata dari) kesedihanku yang mendalam (ini) akan menyatu
(bersama) kabut (duka) yang mengembara mencari rumah (persinggahan), menyelinap masuk ke dalam diriku, (lalu menyesak ke dalam untuk) mencengkeram hatiku yang lara.
Oh, may your silhouette never dissolve on the beach;
May your eyelids never flutter into the empty distance.
Don't leave me for a second, my dearest,
Oh, mungkinkah bayanganmu (masih membekas dalam anganku bagaikan) tak pernah lenyap (dibawa lalu ombak) di pantai;
mungkinkah (masih dapat kuharapkan) kelopak matamu tak pernah (berisyarat) tergetar (menuju pada) kehampaan di sana
Janganlah tinggalkan aku walaupun sedetik saja, sayangku,
mungkinkah (masih dapat kuharapkan) kelopak matamu tak pernah (berisyarat) tergetar (menuju pada) kehampaan di sana
Janganlah tinggalkan aku walaupun sedetik saja, sayangku,
Because in that moment you’ll have gone so far
I’ll wander mazily over all the earth, asking,
Will you come back? Will you leave me here, dying?
I’ll wander mazily over all the earth, asking,
Will you come back? Will you leave me here, dying?
Sebab di saat kau (bersama kepergianmu) telah begitu menjauh (dariku)
Aku berkelana tak menentu (ke seluruh penjuru) di bumi (ini), (dalam kedukaan aku) bertanya,
Akankah kau kembali (padaku)? Akankah kau (tega) tinggalkan diriku (sendiri) di sini, (meregang) sekarat?
Aku berkelana tak menentu (ke seluruh penjuru) di bumi (ini), (dalam kedukaan aku) bertanya,
Akankah kau kembali (padaku)? Akankah kau (tega) tinggalkan diriku (sendiri) di sini, (meregang) sekarat?
***
Dalam puisi ini, Neruda agaknya ingin mengungkapkan betapa besarnya daya cinta merengkuh diri si aku-lirik. Cinta telah menjadi napas kehidupan, daya utama yang menggerakkan segala laku perbuatan persona ”I” yang ditunjuk oleh penyair. Tanpa cinta tiada gairah yang tersisa untuk menjalani hidup. Sehingga, akibatnya secara simultan muncul perasaan cemas, harap dan takut akan kehilangan ’seseorang’ yang menjadi tumpuan segenap curahan perasaan mencintai. Ada ketergantungan yang teramat kuat pada diri aku-lirik dengan orang yang dicintainya itu. Di sini tampak digambarkan sebagai keadaan sepi menekan bila sedetik saja berpisah jauh dengan sang kekasih. Penggunaan metafora ’stasiun yang lengang’ disandingkan dengan durasi penantiannya yang penuh duka lara seakan sedang mengungkapkan betapa tersiksanya batin aku-lirik bila ia sendirian tanpa kehadiran sang kekasih – tiada gairah diri membeku.
Dalam stanza kedua, masih mendeskripsikan tekanan perasaan sedih aku-lirik melalui beberapa penekanan suasana mencekam. Bayangan perpisahan dengan kekasih yang amat dicintai kian menakutkan dengan digambarkan sebagai hunjaman nestapa yang menyelinap masuk, menyesaki dan menggerogoti jiwa.
Stanza ketiga mengungkapkan kekhawatiran si aku-lirik kehilangan kekasihnya yang makin menjadi-jadi. Ia membayangkan dirinya yang lara, hidup hampa tanpa arti dan mulai berprasangka bahwa dirinya sudah terabaikan. Sekalipun demikian, di baris terakhir masih tersirat suatu permohonan yang diungkapkan oleh aku-lirik agar dirinya jangan dibiarkan dalam keadaan demikian – sendiri ditinggal pergi.
Permohonan yang sangat mengharap belas-kasihan ini kian jelas pada stanza keempat. Tetapi, diekspresikan dengan memberikan gambaran keadaan ’tanpa daya, kebingungan tanpa tujuan hidup’ yang mungkin akan dialami si aku-lirik bila kekasihnya memutuskan untuk tetap berpisah dengannya, dan perpisahan telah menjadi keniscayaan untuk dirinya.
Astaga! Kenapa bisa sampai segitunya? Dilanda keputus-asaan yang mengambangkan jiwa.
Will you come back? Will you leave me here, dying?
Haruskah begini jadinya? Akankah orang meregang sekarat akibat kuku runcing cinta yang melumat tubuh jiwa? Benarkah perpisahan terasa amat berat, sedangkan kehidupan itu sendiri tak pernah berada dalam kondisi tetap sebagaimana adanya karena sifat dinamis perubahan? Pertemuan berjalan mantap ke ujung perpisahan, bukan?
Tetapi, hal paling penting yang dapat diambil sebagai pelajaran dari puisi sendu ini adalah cinta memang sebuah kekuatan misterius, bisa menguatkan jiwa ataupun melemahkannya tanpa daya sama sekali. Aduhai! [M.I]
Dalam stanza kedua, masih mendeskripsikan tekanan perasaan sedih aku-lirik melalui beberapa penekanan suasana mencekam. Bayangan perpisahan dengan kekasih yang amat dicintai kian menakutkan dengan digambarkan sebagai hunjaman nestapa yang menyelinap masuk, menyesaki dan menggerogoti jiwa.
Stanza ketiga mengungkapkan kekhawatiran si aku-lirik kehilangan kekasihnya yang makin menjadi-jadi. Ia membayangkan dirinya yang lara, hidup hampa tanpa arti dan mulai berprasangka bahwa dirinya sudah terabaikan. Sekalipun demikian, di baris terakhir masih tersirat suatu permohonan yang diungkapkan oleh aku-lirik agar dirinya jangan dibiarkan dalam keadaan demikian – sendiri ditinggal pergi.
Permohonan yang sangat mengharap belas-kasihan ini kian jelas pada stanza keempat. Tetapi, diekspresikan dengan memberikan gambaran keadaan ’tanpa daya, kebingungan tanpa tujuan hidup’ yang mungkin akan dialami si aku-lirik bila kekasihnya memutuskan untuk tetap berpisah dengannya, dan perpisahan telah menjadi keniscayaan untuk dirinya.
Astaga! Kenapa bisa sampai segitunya? Dilanda keputus-asaan yang mengambangkan jiwa.
Will you come back? Will you leave me here, dying?
Haruskah begini jadinya? Akankah orang meregang sekarat akibat kuku runcing cinta yang melumat tubuh jiwa? Benarkah perpisahan terasa amat berat, sedangkan kehidupan itu sendiri tak pernah berada dalam kondisi tetap sebagaimana adanya karena sifat dinamis perubahan? Pertemuan berjalan mantap ke ujung perpisahan, bukan?
Tetapi, hal paling penting yang dapat diambil sebagai pelajaran dari puisi sendu ini adalah cinta memang sebuah kekuatan misterius, bisa menguatkan jiwa ataupun melemahkannya tanpa daya sama sekali. Aduhai! [M.I]