Ia sulit diuntai polanya; ia datang bukan untuk akrab bercengkerama, tak pernah terus-terang bercerita awal niat kunjungannya. Mala menghampiri tiba-tiba walaupun di hari suci peringatan kelahiran Sang Juru Selamat. Ia sosok berjubah putih, tapi bukan bermaksud lembut: menuntun ke pintu sorga.
"Kalau sudah mati tinggal dikubur saja," seorang ibu dingin berkata setelah kelar menggorok batang leher putranya yang baru mengecap hidup 10 bulan lamanya.
Pitam pun seketika naik ke ubun-ubun sang suami. Mata, hati dan benaknya jadi "bermala", kelam dan menghitam pekat. Dengan pisau yang sama digunakan oleh istrinya itu, tikaman demi tikaman dihunjamkan ke tubuh pasangan hidupnya. Tak berhenti hanya sampai di situ karena hasutan mala masih saja bertubi-tubi membisiki dirinya. Kini amarah adalah air bah deras menerabas bendungan akal-budi. Jangan heran jika cinta dan rasa iba terasa begitu memuakkan! Satu jerigen minyak solar ditumpahkan ke sekujur tubuh istrinya itu, lalu sulutan api niscaya dipercaya sebagai ganjaran setimpal.
Konon para ahli psikologi menyebut kondisi ini sebagai "pembajakan emosi". Mereka percaya bahwa ada satu sudut gelap di ruang kepala manusia: Amygdala yang berjaya mengalahkan pikiran rasional. Meskipun demikian, bukankah ini hanya sebuah cara mengurai persoalan pelik yang tak diketahui motifnya? Mala sungguh sosok berjubah putih yang bukan menuntun ke pintu sorga-tak terjangkau rasionalitas-suaranya lembut berbisik membujuk ke pintu neraka!
“Istriku sempat bilang, kalau sudah mati tinggal dikubur saja. Setelah itu, ruhnya akan diangkat menjadi nabi atau malaikat,” si suami mengulangi ucapan almarhum istrinya. Yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri ketika jasadnya gosong menghitam.
Jelas bukan? Mala itu prasangka yang menyamar. Bisa jadi ia menjelma sebagai "ilham bercahaya kebaikan". Tapi, maksud sebenarnya adalah memunculkan kembali sifat buas yang mungkin susah payah dibenamkan oleh manusia, baik melalui doa-do'a terucap menderas, maupun dengan cara menahan diri yang terlampau ketat-asketisme terencana. Namun, mala itu tetaplah predator liar; ia suka yang berdarah-darah. Ia begitu membutuhkan teman. Mungkin ia telah tahu manakala manusia lelah dengan pembantaian dan cinta damai; mala menggigil dan ketakutan dikurung sunyi. Ia pun menyaru sebagai apa pun yang agung demi mencari pengikut. Mala yang penyamar itu, aduhai, amatlah lihai! Ia suka berhandai-taulan. Ironisnya, manusia tak berusaha keras bercerai darinya.
Mungkinkah yang absurd begitu berkuasa dan terbiasa berdiam di muka bumi? Sesuatu yang tampak suci, yang suka berlumuran darah tampaknya selalu memiliki tempat istimewa dibungkus berbagai alasan; sekalipun tak tersentuh asal-mulanya sebab sulit diurai.
Agaknya mala bersembunyi di balik rencana Tuhan yang baik; ia merupa wujud sebagai kekejian-yang-tak-terjelaskan, tragedi yang menggoda sikap kontemplatif agar kelak tumbuh cinta yang ramah. Tetapi, mengapa harus dengan kekejian?