Lolongan Tengah Malam
Lolongan Tengah Malam
Oleh ADI ZAMZAM
Namun jangan kira bahwa hidupku sesederhana itu. Tidak. Sama sekali tidak. Nasib tak pernah membeda-bedakan siapa pun. Semua diajaknya bermain. Semua mendapatkan jatah.
Jadilah diriku. Cobalah masuk ke dalam tubuhku yang sering kalian hina ini. Siang yang memanggang ketika itu. Hidungku menemukan bau yang amat menggoda. Lapar menyeretku untuk terus mengikuti bau itu. Masuk ke sebuah gang sempit, menemukan sebuah pagar, lalu sebuah pintu yang terbuka lebar, dan bau itu semakin kuat menarik langkahku. Kupikir nasib akan berbaik hati. Namun sungguh tak kusangka bahwa ia akan menghadiahiku sebuah pukulan telak yang tiba-tiba.
Rembulan mengapung, rembulan tenggelam. Dan bau sedap yang masih meninggalkan bekasnya dalam hidungku itu pun sampai meresap ke dalam mimpi-mimpi yang kelam. Kuhitung, hingga tujuh kali rembulan melakukan itu, hingga kaki kiri depanku yang patah akhirnya pulih dan nyaman kembali untuk melangkah.
Apa ada yang peduli denganku? Tidak. Sebab tidak ada yang sesekali waktu mau menjadi diriku. Sepertinya aku memang sengaja dilahirkan untuk menjadi yang tersingkir dan tak layak untuk diperhatikan.
STASIUN. Lagi-lagi aku membeku di stasiun ini. Tak tahu kenapa aku begitu menyukai tempat ini. Setiap kali malam datang menyelimuti tempat ini, kalian pasti bisa menemukanku di tempat ini. Lalu ketika malam terusir cahaya pagi, aku akan tertegun seperti embun di sini. Mengamati orang-orang yang saling berebut masuk ke dalam perut kereta. Membayangkan seandainya aku adalah kereta itu, yang setidaknya punya tujuan ke mana harus pergi setiap hari.
“Mau pergi ke mana?”
Sikapnya ramah sekali ketika itu.
“Mencari siapa?”
Kupikir dia akan menjadi penolongku untuk tahu ke mana aku harus pergi.
“Sudah makan?”
Mula-mula dia membuatku betah.
Kupikir stasiun itu akan menjadi tempat yang nyaman untukku singgah sebentar dan lalu berpikir ke mana harus pergi nanti. Tapi ternyata tak. Dia seperti malam yang membekap terang dengan gelap. Hari diperkosanya paksa hingga semuanya menjadi sepi dan hening sekali. Dan stasiun itu kini telah berumur tiga tahun dalam kepalaku. Namun masih saja membuatku bingung ke mana harus pergi saban hari.
“Kampung asalmu di mana?”
Mereka pun tahu bahwa aku tak punya tujuan.
“Ikut aku saja ya?”
Jeli sekali mata mereka.
Samar-samar aku masih ingat, bahwa dulu, dulu sekali, aku pernah punya tujuan. Sebuah tempat nyaman dengan kehidupan sebagaimana layaknya para perempuan. Masa gadis yang kemanja-manjaan, menikah, merindukan buah hati, mengurus rumah, mengurus segala. Di tempat itu banyak sekali keinginan yang berjuntaian dalam kepalaku. Namun, entah apa itu yang menimbun hingga semuanya menjadi samar-samar. Bahkan sekarang hampir hilang. Membuatku kadang kebingungan setengah mati hendak melakukan apa saat cahaya membuka hari.
Para lelaki yang suka tertawa nakal. Riuh sekali tangan mereka. Seperti gelap yang suka menyelinap ke dalam bilik-bilik kumuh. Tanpa memedulikan rasaku.
Dan aku pun menjadi semakin limbung kemudian.
AKU sering melihatnya mematung di bangku peron itu. Memandangi kereta yang pergi seolah jiwanya juga ikut terbawa pergi olehnya. Sesiangan ia akan di situ, sejak cahaya memaksaku membuka mata hingga peron semakin padat dan ia kelihatan tak nyaman. Di malam hari, ia sering dijemput oleh ganti-ganti lelaki.
Mungkin kalian sering melihat bibirnya tersenyum dengan balutan merah menyala. Mungkin kalian sering melihatnya tampak bahagia. Tapi tidak di mataku. Entahlah. Apakah karena aku tahu segalanya tentang dia, bahkan sejak pertama kali ia menetap di peron ini?
Aku pernah melihatnya tersedu di sudut gelap tempat ini. Aku pernah mencium bau amis darah dari tubuhnya setelah keluar dari kamar mandi stasiun ini. Aku pernah melihatnya menggigil sendirian seperti sekarang.
Di sebuah bangku kayu tak jauh dari stasiun, ia tampak menggigil dalam rahim gelap. Aku tak yakin bahwa ia sedang menunggu—lelaki entah—seperti biasanya, sebab sejak beberapa hari lalu aku sudah melihat gelagatnya yang terlihat enggan bersua dengan mereka.
Sudah lama aku ingin mendekati dan sekadar menyapanya dengan suara lembut. Ingin sekali kukatakan bahwa ia tak sendiri dalam balutan nasib yang begini. Tanpa kunyana tiba-tiba saja ia melemparkan sepotong roti untukku.
Sebenarnya hidungku menolak makanan itu. Namun perutku tak mau berbohong. Liur jadi semakin menetes-netes setelah hasrat yang telah empat hari menyiksaku ia pancing lagi keluar. Aku tahu ia sebenarnya baik. Aku bisa mencium bau hatinya. Tak seperti kebanyakan orang lain yang selalu terlihat nyinyir karena memandang rupaku.
Tak cuma sekali dua aku terleceh semacam ini. Terleceh dengan comberan, batu, pentungan, letusan yang memekakkan telinga, bahkan aku juga pernah selamat dari maut setelah mengunyah daging ayam yang sepertinya telah dibubuhi racun. Entah apa salahku. Padahal tak pernah sekalipun aku menyalahi mereka.
Pastilah tersebab wajahku ini. Pastilah tersebab tubuh yang membungkusku ini, sehingga mudah bagi mereka melempar olok-olok, mudah bagi mereka mengataiku kotor. Maka, betapa bersyukurnya aku kepada perempuan ini, yang tak terkecoh dengan rupaku. Pastilah hatinya dipenuhi cahaya cinta yang begitu hangat.
MALAM menjumpaiku lagi. Seperti kemarin-kemarin, ia mengajak serta sepi yang selalu ingin membuatku tersungkur. Alangkah beruntungnya ia diciptakan dengan memiliki tujuan pasti seperti itu. Tak seperti aku yang kadang linglung tak tahu arah saat sepi berhasil menyekap.
Tujuan itu, sebenarnya siapa yang menentukan? Kita sendiri, ataukah sudah ditentukan sejak lahir? Jikalau kita sendiri, kenapa siang dan malam terus saja berputar seperti itu? Jikalau sudah ditentukan semenjak lahir, kenapa aku bisa kehilangan arah seperti ini?
Ataukah ini karena ada yang salah denganku?
Bahkan semuanya memiliki tujuan. Aku telah memerhatikannya setiap hari. Kereta, orang-orang, pohon mangga di belakang stasiun, kucing betina yang baru saja melahirkan dalam gudang stasiun…, sepertinya hanya aku yang kehilangan tujuan. Meskipun tiap malam telah kuserahkan segala yang kupunya kepada gelap demi dapat terus bertahan memeluk hidup. Tetap saja hidup tak mau berbaik hati menunjukkan arah kepadaku. Mereka bahkan semakin merendahkanku ketika kotoran semakin tebal memenuhi tubuhku. Maka salahkah jika ingin kuakhiri saja hidupku yang tak memiliki tujuan ini? Toh hidup mati sama saja tak ada guna.
AKU melolong panjang ketika kulihat dirinya tiba-tiba menggelosor dan lalu tergolek lemah. Kupanggil siapa saja agar cepat-cepat datang ke sini untuk menolong.
Anjing bodoh. Anjing bodoh. Mau apa dia menyeret-nyeret tubuhku yang sudah sekarat ini? Seharusnya pergi saja dia setelah mendapatkan roti itu. Jangan urusi urusanku. Sakit dan luka ini adalah milikku sendiri. Takkan pernah ada siapa pun yang bisa ikut merasakannya. Juga ketika seorang dokter bilang bahwa aku harus bersabar dengan penyakit kelamin yang mungkin tak akan tersembuhkan lagi.
Dia harus hidup. Dia harus hidup. Hanya dia yang ternyata peduli kepadaku, tanpa memandang apa rupaku. Jika dia mati, di mana lagi aku bisa menemukan yang seperti dirinya?
Maka aku pun semakin melolong panjang memanggil siapa saja. Apakah kalian mendengar lolonganku? Tolong, tolonglah kami! (*)
Catatan :
1. Tentang Pengarang : Adi Zamzam tinggal di Desa Banyuputih, Kalinyamatan, Jepara.
2. Sumber cerpen dari : Koran Tempo, Minggu, 22 Juli 2012