Kakak dan Adik
Oleh MAXIM GORKY
PANCARAN emas cahaya matahari menerobos tirai hijau gelap pohon anggur di teras hotel membuat garis emas yang menjuntai ke udara. Bayangan pola. aneh terbujur di atas lantai kelabu dan taplak meja, dan jelas jika kau menatap kepadanya cukup lama kau mungkin bisa beiajar membaca sebuah puisi. Tandan buah anggur berpijar di dalam cahaya mentari seperti mutiara atau sesuatu yang asing, batuan yang tak bercahaya, seperti buah zaitun, dan di kebeningan air ada intan biru. Sehelai sapu tangan berenda yang sangat kecil tergeletak di atas lantai di antara meja-meja. Seorang nona menjatuhkannya, tentu saja, dan tanpa keraguan ia seorang yang cantik.
Bagaimana mungkin sebaliknya, bagaimana mungkin seseorang berpikir sebaliknya di hari yang cerah ini di panas yang penuh ketenangan, suatu hari ketika segala sesuatu tampak biasa dan hilang pudar di depan keagungan matahari seolah bersembunyi karena malu.
Seluruhnya hening. Satu-satunya suara adalah kicau burung-burung di kebun, dengungan lebah di atas bunga-bunga dan desahan redup sebuah lagu yang datang dari kebun anggur di suatu tempat di bebukitan. Ada dua orang penyanyi seorang laki-laki dan seorang wanita, dan masing-masing syair dipisahkan oleh suatu menit kesunyian yang mana memberi suatu lagu yang sekualitas seperti sebuah doa.
Dan sekarang seorang nona muncul, perlahan-lahan mendaki lantai marmer yang menukik dari arah kebun, alis yang tersambung dan bibir tipis terus-menerus ditekan seolah ia baru saja berkata:"Tidak!". Pada tulang bahunya ia mengenakan mantel sutera berwarna emas yang panjang, lebar seperti rompi dengan ujung-ujungnya berenda, sebuah selendang hitam berenda menutupi kepala kecilnya yang kelabu, di satu tangan ia membawa sebuah payung merah dengan sebuah gagang panjang, dan di tangan lainnya, sebuah tas beludru hitam yang dijahit dengan benang perak. Ia berjalan melalui jaringan tipis sinar matahari dengan langkah kukuh seorang prajurit dan payungnya berketuk-ketuk kencang pada hamparan batu di teras. Pada sosok wajahnya bahkan tampak keras; hidungnya bengkok, dagu dengan sebuah kutil abu-abu di ujungnya, dahi yang menonjol menggantungkan kelopak gelap di mana matanya tersembunyi di sekitar jaringan kerut-merut, terletak begitu dalam seolah si wanita tua seperti buta.
Di belakangnya, terguncang dari sisi ke sisi seperti seekor bebek, tampak sebuah sosok bejongkok seorang bongkok dengan sebuah topi abu-abu lembut di kepala lebarnya.Tangannya tersembunyi di dalam saku mantel sepinggang, dan hal ini membuat ia bahkan tampak lebih lebar dan lebih kurus daripada dirinya. Ia mengenakan sebuah setelan dan sepatu boot putih bertapak sepatu lembut. Mulutnya setengah terbuka menampilkan gigi kuning, tak rata, beberapa rambut meremang menonjol tak enak di atas bibir atasnya, ia bernapas dengan cepat dan penuh penderitaan, hidungnya bergetar tetapi kumisnya tidak bergerak. Kakinya yang pendek berputar-putar mengerikan ketika ia berjalan, dan matanya yang sangat besar menatap tumpul ke bawah. Tubuhnya yang kecil dibebani begitu banyak benda: ia mengenakan cincin batu emas besar di jari telunjuk tangan kirinya, sebuah medali emas menggantung dari ujung pita hitam yang berfungsi sebagai sebuah rantai arloji, dan di dasi birunya ada sebuah baiduri besar sekali, batu yang malang.
Tenang sesosok yang lain muncul di teras, juga seorang wanita tua, kecil dan bulat dengan sebuah wajah ramah kemerahan dan mata bersinar, tak ada keraguan sebuah tubuh yang gembira, cerewet.
Mereka menyeberangi teras ke pintu hotel seperti sosok-sosok dari sebuah lukisan Hogarth; tak enak dipandang, sedih, seperti komik dan begitu asing untuk segala sesuatu di bawah matahari yang berseri-seri ini di mana dunia tampak menjadi suram dan pucat pada pemandangan mereka.
Mereka orang-orang Belanda, sepasang kakak-beradik, anak-anak saudagar berlian dan pengusaha bank, dan kisah mereka adalah sebuah sejarah aneh, jika seseorang mempercayai cerita yang dikisahkan mereka.
Sebagai seorang anak, si bongkok orang yang pendiam, pemalu dan bijaksana, tak memperoleh benda-benda permainan. Tak ada seorang pun membalas perhatian banyak atas ini kecuali kakaknya; ayahnya dan ibunya percaya bahwa perilaku demikian adalah alami untuk seorang makhluk malang, tetapi si gadis kecil, yang berbeda umur empat tahun, terganggu oleh keadaan adiknya yang aneh.
Ia selalu berada di dekatnya sepanjang waktu. Mencoba menghiburnya, membuatnya tertawa. Ia berikan kepadanya mainan untuk dimainkan dan ia menumpuknya satu di atas yang lain, berbentuk piramida. Sangatlah jarang si gadis melihatnya tersenyum; biasanya ia memandang dirinya dengan ekspresi tumpul, kosong di matanya yang lebar dengan tatapan kepada segala sesuatu di sekitarnya. Pandangan itu menjengkelkan si gadis.
.....
Sungguh saya yakin Anda ingin lebih memahami apa persoalan yang tengah dikemukakan oleh Maxim Gorky melalui cerpen realisnya yang sampai 13 halaman ini. Saya juga mengerti Anda mesti mencari informasi lainnya pula saat Anda merambah internet. Namun, saya tahu Anda tetap penasaran bagaimana Gorky merangkai sebuah kisah dengan begitu hidupnya di dalam cerpen ini. Jadi, kenapa Anda tidak mengunduhnya saja langsung? Supaya bisa membaca selengkapnya di lain waktu kapan saja Anda suka.
Untuk itu silakan Anda mengunduhnya di SINI.