Manisnya Kejahatan
Oleh INDRA TRANGGONO
Kejahatan, terutama korupsi, itu manis. Tidak percaya? Tanyailah para gembong koruptor. Pasti mereka tersipu malu, tetapi tidak bisa menyembunyikan rasa gembira dan bangga atas ”prestasi” kejahatan yang menjadikannya kaya dan ”terhormat”.
Pada level kaum elite, kejahatan selalu dekat dengan sikap hipokrit. Ini terkait dengan jiwa terbelah. Di satu sisi orang perlu merawat watak jahat untuk meraih kamukten (kejayaan material yang berimbas pada kehormatan sosial), di sisi lain orang masih membutuhkan nama baik atau citra kemuliaan diri. Ruang nilai gelap-terang atau remang-remang pun menjadi persembunyian yang nyaman.
Rakyat kecil jauh lebih jujur dalam soal kejahatan. Mereka jauh lebih gagah mengakui dirinya sebagai penjambret, pengutil, atau pencuri. Dalam humor kartun di majalah yang terbit tahun 1980-an, ada sentilan sosial yang menarik. Seorang hakim bertanya kepada pencuri kelas recehan, ”Apa sih enaknya jadi pencuri?” Pencuri menjawab, ”Wah, kalau tahu enaknya mencuri, bapak tak mau lagi jadi hakim.”
Kartun ini tak hanya menghadirkan humor segar, tetapi juga olok-olok terkait praktik-praktik sesat penegakan hukum dan sangat tipisnya batas antara pencuri dan pengadil.
Dengan getir pula, kartun itu menyoal semakin tipisnya moralitas, dimana kejahatan dipahami secara kuantitatif dan teknis, bukan moral dan etis. Ini tak jauh berbeda dengan pembelaan seorang pembina sebuah partai politik yang memaknai korupsi secara kuantitatif (berdasar persentase korupsi), bukan penyimpangan etis dan moral.
Rakyat pesimistis
Di negeri liberalisme tak hanya menyapu ideologi yang tidak sejalan dengannya, misalnya Pancasila, tetapi juga mengguncang moralitas. Tindakan yang semula dianggap tabu, tak pantas, dan hina bisa berubah menjadi tindakan yang dianggap biasa, umum dan wajar. Begitu pula kejahatan (korupsi).
Orang yang berkuasa merasa sah korupsi asal tidak ketahuan. Korupsi bukannya dikutuk dan dihindari, melainkan justru ”dibenarkan” dengan berbagai argumentasi agar menjadi sah.
Bagi rakyat yang tidak melek hukum pun, kenyataan pahit itu telah jadi olok-olok. Mereka pesimistis dan sinis terhadap segala upaya pemberantasan korupsi yang cenderung menjadi kosmetik politik.
Iklan layanan sosial antikorupsi, ”Katakan tidak pada korupsi” yang menampilkan penguasa, oleh rakyat dipelesetkan menjadi, ”Katakan tidak pada korupsi jika uangnya kecil.”
Aktor-aktor kejahatan bisa leluasa mereguk dan menghisap ”gizi” yang semestinya menjadi hak publik. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar apapun akan menipis dan mengering di tangan “tukang sulap” kekuasaan yang kemampuannya melampaui sang ilusionis sejati David Copperfield.
Jika Mas David ”hanya” mampu ”melenyapkan” Tembok China dan kemudian mengembalikannya lagi, maka ”tukang-tukang sulap” anggaran dan wadya balanya itu mampu menghilangkan uang triliunan APBN dan APBD dalam waktu sekejap. Hebatnya uang itu hilang sungguhan.
Krisis etos dan etik
Sastrawan Pramudya Ananta Toer bilang, korupsi merupakan ciri manusia tidak produktif yang selalu mengadakan atau mengada-adakan proyek demi membuka peluang untuk mencuri. Ucapan ini menegaskan lemahnya etos dan etik bangsa, terutama para penyelenggara negara, menjadi faktor determinan atas merebaknya korupsi.
Kejahatan memang lebih dekat dengan para penguasa manja, malas, rakus, sombong, hipokrit, hedonistis, dan melecehkan etika-moral daripada penguasa yang sederhana, asketis, rendah hati, jujur dan mendukung kepantasan dan kemuliaan.
Menjadi sangat berbahaya jika kejahatan menjadi roh kekuasaan dan dijalankan secara sistemik. Lebih berbahaya lagi jika kejahatan mengalami perubahan semantis menjadi ”kreativitas” untuk menyiasati keadaan. Dari sana akan lahir banyak eufisme atas kejahatan, misalnya penyesuaian tindakan ”praprosedur”. Kita khawatir ke depan korupsi bukan lagi dimaknai sebagai tindakan mencuri, melainkan kreativitas menyiasati anggaran.” Kiamat moral bangsa kita bermula dari penghancuran makna bahasa!
Sumber : Koran KOMPAS, SELASA, 26 JUNI 2012 ── Rubrik OPINI, Hal : 6
Pada level kaum elite, kejahatan selalu dekat dengan sikap hipokrit. Ini terkait dengan jiwa terbelah. Di satu sisi orang perlu merawat watak jahat untuk meraih kamukten (kejayaan material yang berimbas pada kehormatan sosial), di sisi lain orang masih membutuhkan nama baik atau citra kemuliaan diri. Ruang nilai gelap-terang atau remang-remang pun menjadi persembunyian yang nyaman.
Rakyat kecil jauh lebih jujur dalam soal kejahatan. Mereka jauh lebih gagah mengakui dirinya sebagai penjambret, pengutil, atau pencuri. Dalam humor kartun di majalah yang terbit tahun 1980-an, ada sentilan sosial yang menarik. Seorang hakim bertanya kepada pencuri kelas recehan, ”Apa sih enaknya jadi pencuri?” Pencuri menjawab, ”Wah, kalau tahu enaknya mencuri, bapak tak mau lagi jadi hakim.”
Kartun ini tak hanya menghadirkan humor segar, tetapi juga olok-olok terkait praktik-praktik sesat penegakan hukum dan sangat tipisnya batas antara pencuri dan pengadil.
Dengan getir pula, kartun itu menyoal semakin tipisnya moralitas, dimana kejahatan dipahami secara kuantitatif dan teknis, bukan moral dan etis. Ini tak jauh berbeda dengan pembelaan seorang pembina sebuah partai politik yang memaknai korupsi secara kuantitatif (berdasar persentase korupsi), bukan penyimpangan etis dan moral.
Rakyat pesimistis
Di negeri liberalisme tak hanya menyapu ideologi yang tidak sejalan dengannya, misalnya Pancasila, tetapi juga mengguncang moralitas. Tindakan yang semula dianggap tabu, tak pantas, dan hina bisa berubah menjadi tindakan yang dianggap biasa, umum dan wajar. Begitu pula kejahatan (korupsi).
Jebolnya moralitas membuat berbagai ukuran dan nilai semakin longgar, bias, kabur, dan relatif. Nilai baik dan buruk yang semestinya merupakan kepastian diseret ke wilayah kemungkinan. Logika tentang kebaikan dan kebenaran dipelintir demi menabiri kejahatan.
Orang yang berkuasa merasa sah korupsi asal tidak ketahuan. Korupsi bukannya dikutuk dan dihindari, melainkan justru ”dibenarkan” dengan berbagai argumentasi agar menjadi sah.
Bagi rakyat yang tidak melek hukum pun, kenyataan pahit itu telah jadi olok-olok. Mereka pesimistis dan sinis terhadap segala upaya pemberantasan korupsi yang cenderung menjadi kosmetik politik.
Iklan layanan sosial antikorupsi, ”Katakan tidak pada korupsi” yang menampilkan penguasa, oleh rakyat dipelesetkan menjadi, ”Katakan tidak pada korupsi jika uangnya kecil.”
Untuk melegalkan korupsi dibutuhkan syarat: kekuasaan. Maka berlaku prinsip kriminal: orang jahat harus kuat (berkuasa). Kejahatan terasa manis selama kekuasaan melindunginya.
Aktor-aktor kejahatan bisa leluasa mereguk dan menghisap ”gizi” yang semestinya menjadi hak publik. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar apapun akan menipis dan mengering di tangan “tukang sulap” kekuasaan yang kemampuannya melampaui sang ilusionis sejati David Copperfield.
Jika Mas David ”hanya” mampu ”melenyapkan” Tembok China dan kemudian mengembalikannya lagi, maka ”tukang-tukang sulap” anggaran dan wadya balanya itu mampu menghilangkan uang triliunan APBN dan APBD dalam waktu sekejap. Hebatnya uang itu hilang sungguhan.
Krisis etos dan etik
Sastrawan Pramudya Ananta Toer bilang, korupsi merupakan ciri manusia tidak produktif yang selalu mengadakan atau mengada-adakan proyek demi membuka peluang untuk mencuri. Ucapan ini menegaskan lemahnya etos dan etik bangsa, terutama para penyelenggara negara, menjadi faktor determinan atas merebaknya korupsi.
Kejahatan memang lebih dekat dengan para penguasa manja, malas, rakus, sombong, hipokrit, hedonistis, dan melecehkan etika-moral daripada penguasa yang sederhana, asketis, rendah hati, jujur dan mendukung kepantasan dan kemuliaan.
Menjadi sangat berbahaya jika kejahatan menjadi roh kekuasaan dan dijalankan secara sistemik. Lebih berbahaya lagi jika kejahatan mengalami perubahan semantis menjadi ”kreativitas” untuk menyiasati keadaan. Dari sana akan lahir banyak eufisme atas kejahatan, misalnya penyesuaian tindakan ”praprosedur”. Kita khawatir ke depan korupsi bukan lagi dimaknai sebagai tindakan mencuri, melainkan kreativitas menyiasati anggaran.” Kiamat moral bangsa kita bermula dari penghancuran makna bahasa!
INDRA TRANGGONO
Pemerhati Kebudayaan
Sumber : Koran KOMPAS, SELASA, 26 JUNI 2012 ── Rubrik OPINI, Hal : 6