Beberapa tahun yang lalu, seorang pria yang kaya raya berpesan kepada pembantunya, "Aku akan pergi ke luar negeri selama setahun untuk urusan bisnis. Selama kepergianku aku minta kau membangun sebuah rumah. Pilihlah bentuk dan desainnya sesuai kehendakmu. Besar atau kecilnya terserah kau. Ini aku kasih uang untuk membeli bahan bangunan, ongkos tukang, serta gajimu selama membangun rumah itu."
Seminggu kemudian, berangkatlah sang majikan ke luar negeri. Alangkah senangnya pembantu mendapat proyek basah. Seumur-umur ia belum pernah mengelola uang sebesar ini. Otak liciknya segera berputar. Selama mengerjakan tugas, si pembantu menggelapkan nilai proyek. Caranya, mark-up sana, sunat sini. Ia memakai material yag sepintas tampak bagus padahal kualitasnya jelek. Toh, nantinya pada saat rumah ini mulai rusak, ia pasti tak lagi bekerja di sini. Begitu pikirnya.
Setahun kemudian sang majikan pulang. Ia menanyakan rumah baru tersebut.
"Beres Tuan! Segala sesuatunya berjalan sesuai rencana. Rumah sudah siap dihuni," kata si pembantu bangga.
"Baik. Nah, apakah kamu sendiri merasa puas dengan hasil karyamu?" giliran sang majikan bertanya.
"Oh, ya tentu saja Tuan."
"Baik, kalau begitu," jawab sang majikan, "Ketahuilah, aku menyuruh kau membangun rumah ini untuk kenang-kenangan sekaligus penghargaan atas pengabdianmu bekerja di sini bertahun-tahun."
Mendengar ucapan sang majikan, terperanjatlah si pembantu. Perasaannya campur aduk. Ia merasa amat malu, dan cemas. Betapa tidak? Ia telah menghambur-hamburkan uang hasil korupsinya. Kini justru ia harus bertanggung jawab atas rumah yang selamanya akan mengingatkannya pada tindak korupsi yang mencoreng integritas dan pribadinya.
Sumber : Majalah Intisari No. 489, April 2004