"Teman, aku jujur padamu..." ujar Bahlul pada suatu kesempatan. Mimik wajahnya tampak memprihatinkan seolah ada hal yang begitu lama telah terpendam dan menghimpit dadanya sedemikian rupa.
Ia lalu melanjutkan, "Dulu kau pernah memintaku menjaga keluargamu, bukan?"
"Iya, benar.. Aku memang mempercayakannya padamu."
"Aku tahu kau selalu percaya akan kejujuranku pada sesuatu. Tapi, maukah kau mendengar bagaimana kiranya jika kejujuranku tampak menyakitkanmu?"
"Aku menerimanya dengan lapang dada. Karena setidaknya kau telah berani untuk jujur mengungkapkannya padaku." Ucapan temannya terdengar cukup menenangkan hati Bahlul. Ia pun berani mengatakan hal sebenarnya dengan jujur pula.
Ia tampak menghembuskan asap rokoknya berkali-kali. Diam sejenak seakan tengah menenangkan diri sendiri.
"Mudah-mudahan belum terlambat.. Dan kau mau menerimanya dengan pikiran terbuka tentang kejujuran yang tak mengenal kata terlambat itu, bukan?" Ia ingin kepastian.
"Tentu saja aku menerimanya. Itulah gunanya seorang sahabat, bukan?"
"Ya.. Baiklah.. Jujur saja kukatakan padamu, temanku.. Aku telah menjaga keluargamu dengan baik. Akibatnya.. Ah... Aku tak sanggup menolak dorongan dari dalam diriku ini.."
"Ayolah... Katakan saja langsung padaku.. Jangan sungkan."
"Aku.. Aku.. Akkkk..." Ia tergagap. Memang kejujuran yang diungkapkan belakangan hari sering begitu. Wajarlah. "Aku telah mengambil istrimu. Kau tahu, bukan? Penjagaan yang maksimal mesti dilakukan dengan rasa kepemilikan yang kuat. Jadi, sekarang istrimu yang kau minta aku untuk menjaganya, kini harus kau lepaskan dan relakan menjadi milikku."
Temannya tiba-tiba merasa sesak menghimpit dadanya. Memang demikianlah adanya. Ketika kejujuran yang tak mengenal kata 'terlambat' itu diungkapkan dalam bentuk tindakan nyata, alhasil sering mengakibatkan serangan jantung mendadak.