ORANG-ORANG BERPAYUNG HITAM
Oleh IYUT FITRA
SELAIN angin yang bertiup terasa aneh, udara kecut, dan kesepian yang bungkam, hanya terlihat orang-orang berpayung hitam. Wajah mereka muram, menunduk dan gelisah. Sebentar-sebentar mereka mengusap wajah seolah-olah sedang mengusap air mata. Sebentar-sebentar mereka berjalan lagi, bergegas, berputaran di antara tumpukan dan runtuhan.
Tak banyak di antara mereka yang bicara selain menikmati udara yang berbau perkabungan. Mereka adalah orang-orang yang datang mencari saudaranya setelah gempa membumiratakan bangunan-bangunan dan nyawa-nyawa di kota kecil itu. Ada yang menggali-gali runtuhan mencari-cari sesuatu, mungkin istri atau anak-anaknya. Ada yang menjerit-jerit histeris di depan sebuah gundukan berbentuk kuburan. Ada yang tersenyum-senyum kecil memperhatikan bekas rumah yang sudah hancur. Dan ada seseorang termangu di depan sebuah ayunan yang berbuai-buai lemah. Ayunan?
* * *
Suluh menjerit, dan kadang seolah tertawa, ketika ayunan itu kubuai begitu tinggi. Matanya berbinar-binar bercampur cemas. Tangannya berpegangan kuat pada dua tali ayunan. Setelah puas melihat ekspresi Suluh yang memesona itu, aku mulai memperlambat ayunan. Lalu ayunan pun berhenti. Kini giliran Suluh yang membuaikan ayunan. Begitu kami bergantian bermain. Dan terkadang kami naiki ayunan itu berdua. Tiang kayu yang diberi tali untuk menyangkutkan selembar papan berukuran 60 sentimeter kali 30 sentimeter, tidaklah terlalu sempit untuk ukuran bocah seperti kami. Kanak-kanak desa yang sedang riang dan girang.
Rumahku dan rumah Suluh bersebelahan. Tetangga. Aku bocah laki-laki, dan Suluh seorang gadis kecil. Setiap pulang sekolah, atau setiap waktu bermain tiba, kami tiba-tiba begitu saja telah berada di bawah ayunan tersebut. Ayunan yang dibuat ayah Suluh dan terletak di halaman rumahnya yang cukup luas dan asri. Ayunan yang sangat mengasyikkan bagi bocah kelas tiga SD seperti kami.
Kami tidak pernah berjanji. Tapi entah kenapa, setiap aku ingin bermain ayunan, Suluh seolah-olah sudah menunggu di sana. Selalu begitu.
"Kamu kok datangnya telat?" tanya Suluh agak cemberut ketika kulihat ia berusaha membuai ayunan sendiri dengan kesulitan. Kakinya yang tak sampai menggapai-gapai tanah agar bisa mendorong ayunan dan berbuai.
"Aku disuruh mama ke warung dulu. Beli kopi buat bapak," jawabku menjelaskan. "Kamu jelek kalau lagi sedih," gurauku menggoda kecemberutannya seraya berdiri di belakang Suluh dan mulai membuai ayunan.
Tiang ayunan itu bergoyang-goyang. Talinya berderit-derit. Wajah Suluh yang tadi cemberut tiba-tiba berubah riang. Ceria. Gembira. Ia pun menjerit-jerit bercampur tawa. Melihat paras wajah Suluh yang seperti itu, aku semakin bersemangat pula untuk membuainya. Sampai lelah. Sampai ayunan itu memelan. Dan kami bergantian lagi. Terus. Sampai senja jatuh menimpa.
Dan waktu pun berpulun-pulunan tak terasa. Hingga kami kelas enam SD, kami masih tetap bermain. Saling membuaikan ayunan seraya bercerita dan bercanda.
"Suluh, sampai kapan kita akan bermain ayunan seperti ini. Bukankah tidak lama lagi kita akan menjadi siswa SMP?" tanyaku sambil menghentikan ayunan. Suluh pun turun. Kami duduk berdampingan di masing-masing tiang ayunan tersebut. Melihat ke luar perkarangan rumah Suluh. Pemandangan pohon-pohon rimbun. Sketsa alam desa di sebuah kota kecil. Ada barisan bukit-bukit dan gunung di ujung tatapan kami.
"Sampai kapan saja!" jawab Suluh tegas. Seolah-olah ia sama sekali tidak menginginkan pertanyaanku. Sore itu kota kecil kami terasa cerah. Angin bertiup damai. Burung-burung saling mengejar ranting. Suaranya mempertegas keindahan alam yang betapa menggoda. Itu juga salah satu bagian yang aku dan Suluh suka.
"Kamu kok diam?" tanya Suluh tiba-tiba menyentak keheningan. "Kamu sudah bosan ya bermain ayunan?" lanjutnya lagi.
Aku hanya menggeleng. Terlalu sulit untuk membiarkan Suluh kecewa. Seperti sangat sulit membayangkan paras Suluh yang ceria, yang selama ini sangat kusukai, tiba-tiba berubah menjadi sedih. Aku tidak ingin kehilangan semua itu. Tidak!
"Aku takut menjadi dewasa!" jawabku kemudian seadanya.
"Maksud kamu?" Suluh bertanya bingung.
"Orang dewasa tidak boleh lagi main ayunan."
"Kalau seandainya kita tidak peduli dengan hal itu?"
"Kita akan ditertawakan orang-orang."
"Lo kok ditertawakan?"
Sebelum aku sempat menjawab, ayah dan ibu Suluh sudah berdiri di depan pintu, dan tidak lama kemudian suara mamaku juga terdengar memanggil-manggil. Percakapan kami pun terhenti. Aku harus pulang. Suluh harus pulang. Kami berpisah. Mungkin dalam hati sama-sama berjanji, besok akan bertemu lagi, di ayunan itu, bergantian saling membuaikan.
Dan kami menepati janji yang tumbuh dalam hati itu. Kami kembali bermain berdua, bertemu di ayunan, saling membuaikan, bercerita, menjelang hari senja. Adakah ayunan memang sebuah permainan yang mengasyikkan atau pertemuan-pertemuanlah yang kini menjadi kebutuhan bagi kami?
Ya, kebutuhanlah yang menuntut kami sampai ke bangku SMP. Meski kami tidak sesering dulu lagi bertemu di ayunan itu, ada waktu-waktu tertentu yang kami sepakati untuk bisa bersama. Kadang kami tetap bermain ayunan. Kadang hanya sekedar bercerita.
"Bapak menyuruhku sekolah di Jakarta. Tinggal bersama tante, adik bapak yang paling kecil," ucapku perlahan. Kuperhatikan wajah Suluh yang beranjak remaja. Sebuah garis kecantikan yang mulai tumbuh. Meresap. Pelan-pelan seolah memancarkan cahaya yang tak mampu kuberi makna. Tapi mendengar ucapanku, tiba-tiba cahaya itu seakan memudar seketika. Mendadak murung. Apakah ucapanku tadi yang sudah merampasnya?
"Kamu mau meninggalkanku?" Suluh bertanya setengah bergumam. Ada lenguh giris dari nada suaranya. Dan tatapannya tiba-tiba seakan menghujamku.
"Ini kehendak bapak," jawabku berusaha mengelak.
"Tapi kamu setuju kan?" balas Suluh terus mendesak.
Aku tak bisa menjawab. Satu sisi aku tidak ingin berpisah dengan Suluh. Di sisi yang lain bapak menggambarkan tentang masa depan yang indah buatku bila bersekolah di Jakarta. Sebuah persimpangan yang rawan. Pilihan atas dua yang sama menggoda. Aku ada di antaranya. Berdiam bagai sebuah tonggak rapuh yang tak sanggup berbuat apa-apa. Rapuh karena usiaku yang belum matang untuk menentukan pilihan.
"Mungkin itu yang dulu pernah kamu katakan, kamu takut menjadi dewasa. Dan sekarang saat itu telah tiba," ucap Suluh dalam suara yang bergetar, barangkali karena rasa haru yang coba ditahannya. ?Aku tidak mungkin menghalangi kepergianmu. Tidak mungkin! Hanya aku berharap, suatu saat nanti kita akan kembali bertemu di ayunan ini. Bertemu lagi. Tapi tak perlu berjanji!? lanjut Suluh mengulang-ulang kalimatnya.
Lalu Suluh berlari meninggalkanku. Masuk ke rumahnya. Dan aku sempat melihat air matanya menetes. Kutatap ayunan kayu itu. Dua tiang yang selalu menyatukan kami. Selembar papan tempat kami membagi kegembiraan. Diam-diam ada catatan panjang tentang kehidupan kami yang telah disimpannya. Masa kanak-kanak. Sebuah masa di mana hidup terasa sangat indah. Kami menabur keindahan tersebut di atas ayunan. Kini aku sendiri di depan ayunan itu. Dan Suluh telah berlari ke dalam rumah sambil menangis. Tapi aku harus pergi. Karena kata bapak hidup perlu masa depan.
* * *
Gegas Jakarta ternyata tak membuatku lupa pada Suluh begitu saja. Demikian juga kesibukanku sebagai seorang siswa SMA yang kemudian kuliah di fakultas teknik. Tak ada yang mampu menahan. Kami tetap menjalin komunikasi. Bahkan terasa makin dekat, akrab, dalam rindu yang coba melawan jarak di depan kami.
Seperti di atas ayunan dulu, kami bergantian untuk memulai komunikasi. Bila Suluh tak meneleponku, akulah yang mengambil inisiatif untuk memulai. Kami masih saja seolah-olah terus digerakkan sesuatu yang tak pernah kami janjikan. Itu berlangsung selama tujuh tahun.
Dalam tujuh tahun tersebut hanya dua kali aku pulang berlibur. Menuntaskan sesuatu yang tiba-tiba tak kumengerti. Berdegup. Mengguncang dadaku di saat-saat sendiri. Dan semua itu kuungkapkan pada Suluh. Lepas sejujurnya.
"Mungkin yang kurasa lebih kuat daripada apa yang kamu rasa," kata Suluh di sebuah taman kota tempat kami bertemu menanggapi apa yang kuungkapkan. "Hanya saja, entah kenapa, aku begitu yakin bahwa kita akan kembali bertemu di ayunan itu. Kita memang tak pernah berjanji. Tapi siapakah di antara kita yang mampu mendustai diri?"
Suluh sudah menjadi gadis yang sempurna kini. Cahaya yang dulu menggetarkan di parasnya semakin menguat dan seakan-akan menyedotku untuk tidak pernah berpisah lagi dengannya. Rambut panjangnya. Bibir rekahnya. Mata bulatnya. Dan alisnya. Ah, Suluh. Aku akan pulang menjemputmu bila waktunya tiba.
"Ketika berangkat dulu, aku belum tahu apa makna pilihan. Kini waktu membuatku mengerti. Suluh, bersediakah kamu kupilih menjadi teman hidupku?"
Suluh tertunduk.
"Tahun ini kuliahku selesai. Sebuah perusahaan telah memberikan gambaran untuk menampungku bekerja di sana. Aku akan segera menjemputmu, Suluh. Kita menikah. Tinggal di Jakarta. Di halaman rumah akan kita buat sebuah ayunan tempat bermain setiap senja. Kamu bersedia, Suluh?"
Suluh mengangguk.
* * *
Selain angin yang bertiup terasa aneh, udara kecut, dan kesepian yang bungkam, hanya terlihat orang-orang berpayung hitam. Wajah mereka muram, menunduk dan gelisah. Sebentar-sebentar mereka mengusap wajah seolah-olah sedang mengusap air mata. Sebentar-sebentar mereka berjalan lagi, bergegas, berputaran di antara tumpukan dan runtuhan.
Tak banyak di antara mereka yang bicara selain menikmati udara yang berbau perkabungan. Mereka adalah orang-orang yang datang mencari saudaranya setelah gempa membumiratakan bangunan-bangunan dan nyawa-nyawa di kota kecil itu. Ada yang menggali-gali runtuhan mencari-cari sesuatu, mungkin istri atau anak-anaknya. Ada yang menjerit-jerit histeris di depan sebuah gundukan berbentuk kuburan. Ada yang tersenyum-senyum kecil memperhatikan bekas rumah yang sudah hancur. Dan ada seseorang termangu di depan sebuah ayunan yang berbuai-buai lemah.
"Di mana kamu , Suluh?" gumamnya, lalu membaur bersama orang-orang berpayung hitam yang terus saja mengitari runtuhan demi runtuhan di desa itu.***
Payakumbuh, Maret 2007
Sumber Cerpen : Media Indonesia Minggu, 03 Juni 2007