Sempurna
Oleh AVIANTI ARMAND
SEPERTI seorang peneliti mengamati preparat di bawah mikroskop, aku mengamatinya baik-baik. Buatku, yang tiap keluar rumah hanya sempat cuci muka, apa yang dilakukannya dengan penampilannya membuatku terkagum-kagum.
Enam lima belas. Rambutku cuma kuikat dengan karet pembungkus mie rebus. Rambutnya rapi dengan ikal yang menggantung di bahu. Mataku berair mengantuk. Bulu matanya lentik dengan eye shadow dua warna yang mirip kaos kesebelasan Barcelona. Bibirku kering. Bibirnya merekah. Dengan pulasan khusus, ia mampu membuat bibirnya seperti milik Angelina Jolie. Aku memakai jaket korduroi lusuh. Ia mengenakan sweat shirt indigo berleher kura-kura yang melekat rapi di tubuh. Sobekan jinsku membuatnya tak layak disebut celana. Slack hitamnya lurus kaku dengan garis lipat yang membagi kakinya secara simetris. Di telapaknya, fantofelnya runcing mengkilap. Aku masih berbau ludah kering. Dia wangi. Dari radius lima meter, aku bisa mengendus Angel, Thierry Mugler.
Secara keseluruhan, Lara mewakili apa yang disebut oleh lembaga-lembaga pengembangan kepribadian sebagai “sempurna”. Berdiri berhadapan di ruang tunggu keberangkatan pesawat, kami seperti Cinderella sebelum dan sesudah disihir ibu peri. Tak sulit menebak siapa yang mana.
“Kamu bangun jam tiga,” tuduhku. “Kok tahu?” ia heran. “Cenayang,” sahutku ngawur. Aku sudah berhitung. Dikurangi jarak tempuh dari bandara ke rumahnya, dikurangi waktu yang dibutuhkan untuk berdandan, dia pasti bangun jam tiga. Di jam yang sama aku masih mimpi berburu babi.
Lalu kami duduk bersebelahan. Tidak tepat begitu. Satu kursi diluangkannya di antara kami. Largecabat-nya bertengger anggun di situ. Tanpa kutanya dia mengatakan tujuannya pergi ke negeri singa. “Aku mau ketemu pacarku,” ujarnya malu-malu, bak gadis kecil yang tertangkap basah sedang jatuh cinta. “Aku mau…,” kata-katanya terhenti. “Pacarku akan menjemput nanti,” potongnya lekas. Jelas dia tak berminat pada alasanku pergi ke tempat yang sama. Maka aku diam. Tanpa bisa kubendung, ceritanya menderas.
Lelaki itu bernama Thomson, asal Inggris. Lengkapnya, Gregory Chabris Thomson. Lara memanggilnya Greg. Mereka bertemu di festival sastra di Belanda tahun lalu dan langsung saling jatuh cinta. Dia menunjukkan wallpaper telepon genggamnya. Foto sang kekasih. Ia memang ganteng, dengan muka keras dan mata cerdas. Kulitnya sedikit gelap untuk kaukasian. Di foto itu ia mengenakan kemeja khaki lengan pendek dan celana pendek coklat tua. Mirip seragam pramuka.
Sejak itu, mereka seperti awak maskapai penerbangan rute Trans-Atlantik. Dua bulan sekali Greg akan mengunjunginya di Jakarta atau dia mengunjungi Greg di London. Dalam waktu satu tahun, sudah enam kali Greg terbang ke Indonesia dan enam kali dia ke Inggris. Aku menggeleng tak percaya. Benar-benar cinta yang berat di ongkos. “Cinta tak berhitung, Restu,” katanya. Aku tak yakin. Cinta di zaman ini justru harus penuh perhitungan. Jangan sampai rugi saat mogok di tengah jalan. Atau mungkin aku belum pernah jatuh cinta.
Matanya membelalak heran. Aku tergoda untuk menjelaskan pemahamanku tentang cinta, tapi batal. Tak ada gunanya membahas itu dengan perempuan yang sedang mabuk. Ia memang mabuk. Tubuhnya doyong ke kiri ke kanan. Senyum terkembang terus di wajahnya, seolah ada cantolan di belakang kuping yang menarik ujung bibirnya ke atas, mencegahnya berubah. Matanya tak penuh terbuka. Dengan suara labil ia berkata, “Akhirnya aku menemukan orang yang benar-benar kucintai dan mencintaiku. Ini sempurna!”
Seingatku, ini kali keempat aku mendengarnya mengucapkan kalimat serupa. Mungkin dia pelupa. Pelukan di atas London’s Eye bisa saja membutakan matanya terhadap masa lalu. Ciuman di bawah London Bridge barangkali cukup untuk meruntuhkan nostalgia.
Tapi mengapa di Singapura? Tidak di London atau Jakarta? “Entah. Greg mau begitu. Tapi firasatku berkata, ini akan jadi sesuatu yang spesial.” Aku tidak percaya pada firasat dan yang spesial menurutku cuma nasi goreng. “Ada yang sangat penting yang ingin Greg katakan padaku.” Dengan kemajuan teknologi yang ada di dunia ini, Greg memilih untuk terbang dari London ke Singapura hanya untuk mengatakan sesuatu. Tentu ini tidak kuucapkan. Lara terlihat berpikir sejenak. Duduknya jadi gelisah. Suaranya tiba-tiba berbisik, “Kurasa Greg akan melamarku.” Aku mengernyit. “Kamu yakin?” Lara menggeleng. “Dia memang bersikap sedikit aneh tentang pertemuan kali ini. Tapi kalau itu terjadi,” dia menatapku, bibirnya bergetar, “aku akan jadi perempuan paling bahagia di dunia.”
Drama queen. Tapi aku telah mengenalnya sejak lama, jadi tak lagi heran. Aku menggenggam tangannya dan berkata semoga itu terjadi. Panggilan untuk boarding menghentikan percakapan dan memisah kan kami. Ratu dramaku di kelas bisnis. Kelas ekonomi hanya untuk perempuan biasa yang tak pernah bermimpi dijatuhi cinta oleh pangeran tampan. Hanya berburu babi….
SINGAPURA kota yang sempit. Aku tak heran menemukan Lara dan seorang lelaki sedang duduk minum bir di Holland Village. Matahari sudah miring, tapi udara masih panas. Meski begitu, Lara berdandan lengkap. Wajahnya seperti sekendil gudeg komplit yang tak boleh ketinggalan satu condiment pun. Entah itu telur bacem atau sambel goreng krecek. Entah itu maskara hitam atau lipstik penebal bibir. Kali ini rambutnya dijepit ke atas. Ikalnya jatuh rapi di tengkuk.
Tak banyak orang berlalu lalang hingga aku segera terlihat. Lara melambai penuh semangat. Meski enggan, aku mendekat. Dia menyambutku hangat dan mengenalkan lelaki di sebelahnya sebagai pacar. “Greg,” ujarnya menjabat tanganku. Sudah kuduga. “Senang bertemu denganmu.” Greg kelihatan tegang. Lara mendesakku bergabung. Aku menolak halus dengan alasan belum haus dan ingin berjalan dua kilometer lagi. Kupencet-pencet perutku yang agak buncit untuk menunjukkan kelebihan lemak yang harus dibakar. Dengan ekspresi menyesal, kutinggalkan mereka. Tentu aku tak berjalan sejauh itu. Aku belok di blok berikut, memilih bar paling remang dan kursi paling tersembunyi untuk duduk. Aku memesan sepiring calamari dan sebotol bir dingin. Setelah dua teguk, aku merasa bersalah telah membohongi Lara. Tapi dari dulu aku memang tak pernah nyaman berada di dekatnya.
Lara adalah anak perempuan idaman semua orang tua. Ibunya dan ibuku bersaudara jauh hingga bisa kukatakan aku dan dia bersaudara sangat jauh. Tapi arisan-arisan keluarga membuat kami selalu bertemu sebulan sekali. Di pertemuan tersebut, ibu-ibu selalu saling membandingkan anak-anak mereka begitu rupa, hingga aku merasa seperti sapi di pasar hewan yang ditakar harganya dari kondisi gigi. Ibu Lara selalu menguasai pembicaraan. Mungkin karena ia punya banyak hal untuk dibanggakan. “Kebetulan Lara juara umum lagi…. Kebetulan puisi Lara dimuat di koran minggu…. Kebetulan Lara terpilih mewakili sekolahnya untuk lomba nyanyi…. Kebetulan minggu depan Lara resital piano di Gedung Kesenian….” Dengan segala kebetulan itu, mereka pasti keluarga yang sangat beruntung.
Lara tak pernah bermain bersama kami, anak-anak sebayanya. Ia selalu duduk tenang di sebelah ibunya, menerima pujian dengan senyum semanis kolak. Ia akan tetap cantik hingga arisan selesai, sementara kami––sesudah memanjat pohon, menyusuri got, main tap lari, dan berkelahi––akan pulang dalam kondisi compang-camping. Aku tak pernah keberatan dengan arisan keluarga, tapi selalu gerah sesudahnya. Perjalanan pulang akan diisi dengan petuah dari ibu berjudul “Bagaimana Menjadi Anak Perempuan yang Baik”. Contohnya tak pernah berubah: Lara. Aku tidak ingin jadi Lara. Buatku, ia adalah boneka ibunya. Aku sebal dan tak mengerti kenapa ibu ingin aku jadi boneka.
Suatu ketika, aku begitu kesal, sampai mengusulkan pada ibu untuk menukarku dengan Lara. Ibu bilang, keluarga tak bisa ditukar. Aku bilang, sayang sekali. Soalnya, kalau bisa, aku ingin menukar ibu. Ibuku terkejut. Dengan siapa, tanyanya marah. Dengan Nyai Roro Kidul, jawabku mantap. Gara-gara itu aku dihukum berat. Setiap hari sepulang sekolah, selama sebulan sesudahnya, aku harus pergi ke rumah Lara. Aku memprotes. Tapi ibu telah membuat satu konspirasi dengan ibu Lara untuk mengubahku. Aku tak berdaya melawan. Setiap hari, ia akan menjemputku di sekolah, mengantarku ke rumah Lara dan baru akan menjemputku jam 8 malam.
Tapi Lara senang sekali. Meski sama-sama anak tunggal, rumahku selalu ramai dengan anak tetangga. Rumah Lara selalu sepi. Cuma ada pembantu dan seekor kucing bernama Princess. Lara punya banyak sekali buku, tapi hampir tak punya mainan. “Aku punya satu boneka,” katanya. Dari dalam laci lemari ia mengeluarkan sebuah boneka kain. “Aku Aral,” ujarnya dengan suara yang dikecilkan. Aku terkesiap. Itu boneka paling mengerikan yang pernah kulihat.
Aral tak lagi punya jari. “Aku menghukumnya. Dia tak bisa memainkan Traumerei. Payah, ya?” Traumerei. Robert Schumann. Opus lima belas nomer tujuh. Dia menghukum bonekanya karena tak bisa bermain piano. Aku tak tega melihat kepala Aral yang tak berambut. “Aku mencabutinya. Dengan kepala botak, Aral bisa mengerjakan matematika dengan lebih baik.” Aku tak berani bertanya tentang jarum yang menghunjam sebelah mata Aral. Belakangan aku baru sadar, Aral adalah Lara yang dieja terbalik.
Umur kami 12 saat itu. Sebulan di rumah Lara membuatku tak lagi sebal padanya, melainkan kasihan. Ia hampir tak pernah bermain. Harinya habis untuk berbagai les dan belajar, dan mengumpulkan piala dan penghargaan yang terpajang di lemari besar ruang tamu. Hampir penuh. Dia terlihat senang dengan semua prestasinya. Cuma beberapa kali kudapati dia menangis di balik bantal. “Kenapa?” tanyaku. “Capek,” jawabnya singkat.
Sesudah itu, aku hampir tak pernah bertemu dia. Arisan keluarga sudah tak jadi tren dan Lara dikirim bersekolah di Singapura. Lalu Australia. Lalu Amerika. Tapi dia sering menulis surat. Curhat. Tentang segala sesuatu. Sekolah, prestasi, dan lelaki-lelaki yang memujanya. Aku tak heran. Dia memang cantik. Dia punya banyak cerita cinta yang selalu mulai dengan drama. Pertemuan dalam hujan. Percakapan mesra dalam kereta senja. Pangeran-pangeran tampan yang menyelamatkannya dari naga. Yang aku tak mengerti, cintanya selalu gagal.
Pernah dia bercerita bagaimana dia putus dengan salah seorang pacarnya. Satu hari Valentine dan pacarnya terlambat datang. Padahal dia sudah menyiapkan kejutan makan malam yang sempurna. Dia memasak dari pagi hingga sore, membeli champagne yang mahal, dan mengenakan gaun malam yang dibeli dengan seluruh tabungannya. Pemuda itu datang lewat tengah malam, meminta maaf atas keterlambatannya karena harus mengantar ayahnya yang terserang stroke ke rumah sakit. Lara hanya menutup pintu di depan hidung lelaki malang itu. Keesokan harinya dia pergi ke rumah sang pacar dan melempari jendela kamarnya dengan tahi anjing yang didapat dari pet shop dekat apartemennya.
Terakhir, aku ketemu dia di sebuah pesta perkawinan. Dia masih tetap cantik, sudah pernah menikah, sudah bercerai, dan sedang menjalin hubungan dengan seorang penyair terkenal. “Ia betul-betul menginspirasi aku,” ujarnya dengan binar di mata. “Akhirnya aku menemukan orang yang benar-benar kucintai dan mencintaiku. Ini sempurna!” Mereka hidup bersama selama tujuh tahun, kemudian putus.
Calamary-ku sudah dingin dan birku jadi hangat. Aku tiba-tiba kehilangan selera. Kubayar semuanya dan kembali ke hotel.
HAMPIR jam sembilan. Huruf-huruf di buku itu pelahan tapi pasti tak lagi berarti. Cuma deretan alfabet yang makin lama makin buram. Aku tahu, mataku sudah harus menyerah. Pesawat tivi masih menyala tanpa suara. Aku hampir saja memencet tombol power ketika monitor menayangkan sebuah berita aneh.
Seorang laki-laki bertelanjang bulat di balkon sebuah kamar hotel di lantai dua belas. Pintu di belakangnya tertutup. Laki-laki itu jelas terkunci di luar. Kamera mencoba mengambil gambar yang lebih jelas dari wajahnya, tapi ia terus menerus berusaha menutupinya. Kamera berpindah menyoroti kondisi di sekitar hotel tersebut. Di bawah, orang ramai bergerombol. Sebuah mobil pemadam kebakaran terlihat mendekati lokasi, menguak kerumunan orang-orang yang menikmati sensasi ini.
Kamera kembali menembak lelaki tadi. Kali ini ia lupa menutupi mukanya. Atau ia mulai kedinginan, karena tangannya kini erat memeluk tubuhnya. Dengan pasrah, ia berjongkok di sudut balkon, menghindari angin yang bertiup kencang. Kamera makin mendekat. Aku tercekat. Lelaki itu adalah Greg. Kantukku langsung lenyap. Mataku tak mungkin salah. Meski tanpa baju, aku bisa mengenali dia.
Mobil pemadam kebakaran mulai mengulurkan tangga yang ternyata tak cukup panjang. Para petugas kelihatan bingung. Mereka berkumpul di samping mobil. Sesekali menunjuk-nunjuk ke atas. Kamera berpindah ke seorang reporter berwajah cemas. Aku meraih remote control dan mengeraskan suara. Reporter itu melaporkan bahwa pihak hotel sedang berunding dengan perempuan penghuni kamar tempat laki-laki itu terjebak. Mereka tak berani mendobrak pintu karena perempuan itu mengancam akan membunuh dirinya.
Hampir tak percaya, aku meraih ponselku. Hanya satu kali dering, sebelum terdengar suara Lara di ujung sana. “Apa yang terjadi?” Dia tertawa. Tawa yang benar-benar kering. Kudukku meremang. “Dia akan menikah, Restu.” Lara mengatakan “dia”. Bukan “kami”. Suaranya datar tanpa emosi. “Kamu tak akan bunuh diri, kan?” Tanyaku cepat-cepat. Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi. “Tentu tidak,” sahutnya, “tapi ini malam terakhir kami bersama. Aku hanya ingin Greg mengingatnya baik-baik.”
Lalu dengan rinci dia menceritakan semuanya tanpa tergesa. Makan malam. Greg menyatakan niatnya untuk meninggalkan Lara. Ia bertemu seorang perempuan yang menjungkirbalikkan dunianya. Ia ingin menikahi perempuan itu dan hidup bersamanya hingga akhir zaman. Lara menelan semuanya dengan baik. Ia lalu meminta Greg bercinta dengannya untuk yang terakhir kali. Semacam ucapan selamat tinggal.
Lelaki itu tak bisa menolak. Mungkin tergoda. Mungkin juga iba. Mereka naik ke kamar Lara. Melepaskan baju masing-masing. Berciuman. Lara meminta Greg membuka pintu ke arah balkon. Ia ingin bercinta dengan kota sebagai latar. Greg yang tak curiga menurut. Ia membuka pintu. Lara mendorongnya keluar dan mengunci pintu dari dalam. Lara mengakhiri cerita, lagi-lagi, dengan tawa keringnya.
Aku melongo. Benar-benar tak bisa percaya. “Restu,” lanjutnya dengan nada ceria, “ini benar-benar sempurna!” (*)
Tentang Pengarang :
Avianti Armand tinggal di Jakarta. Buku-bukunya adalah Negeri Para Peri (kumpulan cerita pendek, 2009) dan Perempuan yang Dihapus Namanya (kumpulan puisi, 2010).
(*) Sumber cerpen ini dari Koran Tempo, 30 Januari 2011