Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu
Oleh INDRA TRANGGONO
ilustrasi Yuswantoro Adi |
Mbah Mahdi selalu menghidangkan kejengkelan kepadaku. Setiap pagi, dia selalu membakar sampah, tepat di belakang rumahku, hingga aku tak pernah sempat menikmati udara bersih dan segar.
“Kenapa dia selalu bakar sampah di belakang rumah kita? Itu pertanyaannya yang paling tepat,” ujar istriku sambil menuangkan teh panas ke cangkir tembikar.
Seperti mendapat kesempatan, istriku yang selalu melarang aku merokok pun nerocos, “Demi Tuhan, segala asap itu berbahaya. Mestinya sampah itu kan ditimbun di dalam lubang. Lebih sehat. Bisa jadi pupuk.”
“Mungkin dia sentimen pada kita?” kataku sambil mengambil bakwan jagung hangat di piring.
Istriku memandangku dengan tatapan aneh, “Selama ini hubungan kita baik-baik aja dengan dia. Bahkan, aku sering kasih pinjaman uang pada istrinya.”
Istriku menyodorkan lombok rawit, langsung kugigit dan kukunyah bersama bakwan. Tapi yang kunikmati bukan rasa gurih, cuma pedas.
“Mungkin dia sengaja meneror kita, biar kita tidak betah tinggal di sini.” Kupindahkan cangkir agar lebih jauh dari tumpukan kertas di mejaku.
“Mengusir kita? Ini kan rumah kita sendiri, mas.”
“Apa pun bisa dilakukan, kalau sudah tidak senang. Bagi dia yang penting kita jadi tidak nyaman. Lalu pergi dari sini.”
“Tapi apa alasannya, mas?”
“Ya, dia tidak senang pada kita.”
“Kenapa dia tidak senang?”
Aku terdiam. Terbayang wajah Mbah Mahdi, lelaki tua yang selalu tersenyum padaku. Tak kutemukan segaris pun guratan kejahatan di wajahnya, atau sepercik kelicikan di matanya.
***
Kukenal lelaki bernama lengkap Imam Mahdi itu, hampir 15 tahun lalu. Dulu, dia pegawai negeri, tapi kini sudah pensiun agak lama. Dia kerja di departemen yang mengurusi agama. Atas kehendak pribadi, Mbah Mahdi rajin turun ke masyarakat untuk memberikan penyuluhan agama ke mana-mana. Dia merasa seperti membawa obor ke ruang-ruang gelap, di kampung-kampung, di terminal-terminal, di pangkalan-pangkalan pelacur jalanan dan para pemabuk. Dengan senyumnya yang selalu mengembang, dia selalu bilang, “Ingat, kiamat sudah dekat. Bertobatlah!”
Tentu, orang-orang tertawa. Tapi Mbah Mahdi tidak tersinggung, apalagi marah. Sejak zaman nabi, orang-orang sesat selalu percaya diri, bahkan sombong, tapi mereka pasti bisa dikalahkan, begitu dia membatin. Karena itu, dada Mbah Mahdi selalu mengembang. Mulut dan hatinya tak henti-henti mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat maka bertobatlah.
“Jalan keselamatan selalu terbuka bagi siapa pun. Tuhan Maha Pengampun. Pulanglah. Tuhan pasti menyelamatkan kamu,” ujar Mbah Mahdi pada seorang perempuan pekerja seks komersial di dekat rel kereta api.
“Kalau saya diselamatkan, saya malah rugi, Mbah. Tak ada pemasukan! Anak-anak saya makan apa?” ujar Perempuan PSK.
Mbah Mahdi menatap PSK itu. Dia bilang, “Masih terbayang jalan Tuhan di matamu.”
“Aku lebih memilih jalan uang,” PSK itu tertawa.
“Tapi jalan Tuhan itu langsung menembus sorga.”
“Sorga? Apa bener Tuhan berkenan menerima orang kotor macam aku?”
“Kalau kamu mau bertobat, apa saja mungkin.”
“Bertobat? Maaf hari ini tidak butuh bertobat. Aku butuh uang untuk berobat. Anak saya sakit,” PSK itu ngeloyor pergi mendatangi lelaki berjaket kulit hitam.
Mbah Mahdi memandang bulan yang ditelan gumpalan awan hitam.
***
Cercaan, ejekan bahkan makian tak pernah menyurutkan semangat Mbah Mahdi untuk selalu mengabarkan bahwa kiamat sudah dekat. Tenaganya justru bertambah berlipat-lipat untuk menyadarkan orang pada jalan keselamatan.
Di benaknya, selalu terbayang wajah nabi atau orang-orang suci yang tidak pernah menyerah mengabarkan kebaikan. Tak peduli dengan semua akibat, dari diancam, disakiti, bahkan dibunuh. “Masih lumayan, aku kan cuma hidup melarat.” hibur Mbah Mahdi.
Istri dan anak-anaknya, sudah lama risih dengan perilaku Mbah Mahdi. Selain menganggap tindakan itu sia-sia, mereka juga malu.
“Kenapa malu?! Aku tidak mencuri, merampok, meneror atau membunuh!! Kalian pikir aku lebih rendah dari orang-orang nista itu?!” Mbah Mahdi meradang. “Aku sedang menyelamatkan umat manusia! Paham?”
Istri dan anak-anaknya terdiam, tak paham. Ketidakcocokan sikap itu ternyata mendorong Mbah Mahdi menyuruh istri dan anak-anaknya pergi dari rumahnya. “Sejak dulu, nabi dan orang-orang suci selalu sendiri. Selalu kesepian,” ujar Mbah Mahdi sambil memandangi istri dan anak-anaknya berkemas-kemas meninggalkan rumah.
***
Pagi itu, tak seperti biasanya, Mbah Mahdi sudah dandan rapi. Dia tidak mengenakan celana panjang dan jas kebanggaannya, tapi kain putih yang dibebatkan di seluruh badan. Dia juga mengenakan semacam surban di kepalanya. Dua telapak kakinya mengenakan sandal kulit, dengan tali-temali yang diikatkan di bawah lututnya.
Dia mantap berjalan meninggalkan rumah. Di sepanjang jalan, anak-anak kecil mengikutinya. Mereka mengira Mbah Mahdi pengamen keliling yang siap menawarkan cerita, dongeng atau fragmen. Anak-anak itu akhirnya berbelok ke tikungan, karena Mbah Mahdi tidak segera menunjukkan aksinya.
Langkah Mbah Mahdi sampai di sebuah rumah mewah berlantai empat. Ada halaman luas, taman asri, kolam renang dan beberapa gazebo. Beberapa mobil tampak diparkir di situ.
Kedatangannya langsung disergap seorang penjaga keamanan.
“Bapak siapa? Mau apa?!” gertak lelaki kekar itu.
“Saya Mahdi. Imam Mahdi. E, kamu jangan kasar ya! Ingat kiamat sudah dekat. Bertobatlah!”
Lelaki kekar itu langsung meringkus Mbah Mahdi dan menggelandangnya di pos satuan pengaman. “Bapak harus diperiksa. Jangan-jangan membawa bom. Lihat, tas itu. Buka!”
Mbah Mahdi membuka tasnya. Dikeluarkannya dua rantang berisi nasi dan sayur. Juga sebotol air putih.
“Bapak harus pergi dari sini!”
“Saya mau menemui Pak Brosman.”
“Sudah janjian?”
“Tak perlu. Saya tahu juragan Anda itu orang baik. Pasti mau menerima.”
Lelaki kekar itu mengangkat HP-nya, bicara seperlunya. “Bapak dipersilakan masuk, tapi tetap saya awasi. Dan tas itu jangan dibawa. Tuan Brosman tidak suka melihat tas menggelembung macam itu.” Lelaki kekar langsung menyita tas.
Ruangan itu sangat luas, penuh cahaya. Dipandangi lampu-lampu kristal, dinding-dinding yang seolah terbuat dari cahaya. Mbah Mahdi terpukau. Silau.
“Ini bukan rumah lagi, Pak. Tapi kerajaan,” gurau Mbah Mahdi membuka dialog.
Pak Brosman, lelaki bewajah tampan dan berpenampilan dendy itu tersenyum. Dia menawari berbagai minuman. Mbah Mahdi memilih air putih.
“Mungkin Bapak terkejut, menerima kedatangan saya.”
“Oo tidak. Sama sekali tidak. Saya biasa menerima tamu dadakan. Bukankah hidup tak selalu bisa direncanakan?” Pak Brosman tersenyum. Tatapannya membaca sosok Mbah Mahdi. Di matanya, wajah lelaki tua itu bercahaya, seluruh tubuhnya dikelilingi cahaya. Jangan-jangan dia malaikat, pikir Pak Brosman.
Diam-diam Mbah Mahdi pun membaca wajah dan tubuh Pak Brosman. Lelaki tegap, bersih dan serba klimis itu, di mata Mbah Mahdi, tampak seperti monster. Besar dan hitam. Matanya merah. Gigi dan taringnya tampak runcing dan tajam. Monster itu bergerak, mencakar-cakar bumi, menghisap seluruh isi bumi. Perutnya membesar dengan ukuran yang tak bisa dibayangkan.
“Ada yang aneh dalam diri saya, Pak?” ujar Pak Brosman.
Mbah Mahdi menggeleng. Kembali dia menatap Pak Brosman. Monster itu hendak mencekiknya. Mbah Mahdi melawan sekuat tenaga. Beruntung, dia lolos dari cekikan.
“Bapak hebat. Saya biasa menerima tamu orang-orang suci, tapi mereka tak sanggup bertahan lama di sini,” Pak Brosman menuang wine di gelas.
“Maksud Pak Brosman?”
“Saya tahu kedatangan bapak dan apa maunya bapak. Saya tidak percaya atas apa yang hendak bapak omongkan. Saya tidak percaya hari kiamat sudah dekat, karena saya tidak percaya hari kiamat itu ada. Hidup ini terlalu indah dan mewah untuk dipenggal dengan sebuah kiamat. Paham?!”
Mbah Mahdi tersengat. “Tapi kiamat benar-benar sudah di ambang pintu dunia.”
“Pintu dunia itu di mana? Di benua Amerika? Asia? Timur Tengah? Eropa? Atau Indonesia?”
“Di dalam rongga batin iman kita!”
Brosman tertawa. “Iman kita?”
“Ya, iman kita kepada Tuhan.”
Brosman tersenyum, sinis. “Iman? Saya lebih suka menyebutnya mitos. Dia tak lebih dari kepercayaan yang setiap hari dipupuk agar tumbuh menguat, sehingga orang bisa sedikit tenang bisa bersandar kepadanya. Iman cuma dibutuhkan orang-orang lemah dan kalah, seperti bapak.”
Kata-kata Brosman itu mencabik-cabik jiwa Mbah Mahdi. “Tapi, iman itu ada. Harus ada. Manusia tidak lahir dari rekahan batu. Tapi diciptakan Tuhan. Manusia hidup tak lepas dari kehendak Tuhan. Itulah pentingnya iman.”
“Manusia? Ooo Anda salah alamat. Aku bukan manusia. Atau setidaknya tidak terlalu memikirkannya. Aku eksistensi yang mandiri.”
“Maksud, Pak Brosman?”
“Aku Brosman! Tak penting lagi status. Manusia. Monster. Buaya. Serigala. Ular Piton. Atau tikus! Semua tak penting. Status hanya mengingatkan aku pada sejarah. Dan aku sudah tidak butuh sejarah. Aku hidup sekarang. Selamanya.”
Brosman mengembuskan napasnya kuat-kuat. Mbah Mahdi terpental hingga ke kantor satuan pengamanan. Lelaki kekar itu tertawa. Tubuh Mbah Mahdi diangkatnya, lalu diempaskan. Kepala Mbah Mahdi terbentur pohon besar. Kepalanya berdarah. Mbah Mahdi pingsan.
Beberapa menit, mata Mbah Mahdi pelan-pelan terbuka. Dia tidak lagi melihat kompleks rumah mewah. Semua sudah berubah menjadi hutan yang ditumbuhi pohon, dengan daun-daun yang rimbun. Mata Mbah Mahdi melihat, setiap daun itu memancarkan sinar ungu kehitaman. Mbah Mahdi percaya, sinar itu sinar kegelapan, yang selalu tumbuh dan tumbuh dalam diri manusia.
Sejak saat itu, setiap memandang daun atau benda apa saja yang terserak di tanah, Mbah Mahdi selalu merasakan ada sinar ungu kehitaman yang mengancam dirinya. Dia menyebutnya daun-daun dosa yang terus tumbuh. Memenuhi dunia. Maka, dia pun selalu membakarnya, termasuk daun-daun yang tumbuh di pohon-pohon rumahnya, di belakang rumahku.
Setiap kutatap wajah tua itu, Mbah Mahdi selalu tersenyum. Mungkinkah dia melihat daun-daun dosa itu telah tumbuh lebat dalam diriku? Aku tak tahu. (*)
Tentang Penulis : Indra Tranggono, Penulis esai dan cerpen, tinggal di Yogyakarta. Buku cerpennya yang sudah terbit “Sang Terdakwa” (Yayasan untuk Indonesia, 1999) dan “Iblis Ngambek” (Penerbit Buku Kompas, 2003). Cerpennya telah 10 kali terpilih untuk diterbitkan dalam buku Cerpen Pilihan Kompas. Ia menerima penghargaan Kesetiaan Berkarya Kompas 2015.
Sumber : Kompas, Minggu 10 April 2016