Penyair Muda
Masa muda telah ia rangkum dan ia masukkan
ke dalam tas gendongnya, dua puluh kilogram beratnya.
Pagi-pagi sekali ia pamit kepada pacarnya:
”Aku akan pergi ke puncak Merapi
mencari batu kata paling murni.
Akan kupersembahkan padamu nanti.”
Menyilangkan tangan di dada, si pacar terpana.
“Tega sekali kau tinggalkan aku
hanya untuk berburu kata-kata.
Kau tak tahu, kata-kata tak bisa menaklukkan hatiku.
Hanya hati kata yang dapat membuat
dadaku berdenyut dan mataku menyala.”
Tanpa cium berangkatlah ia memburu mimpi.
Tertatih, terjungkal ia panjati tebing terjal
dan terus mendaki ke puncak tinggi.
Di bawah sana pacarnya galau menanti:
Akankah ia kembali atau terperosok ke jurang sepi?
Di sebuah Minggu yang hangat pulanglah ia.
Tubuhnya kusut, wajahnya kumal.
Rambutnya yang lurus berubah ikal.
Di bawah pohon mangga ia bertemu pacarnya.
”Mana batu kata paling murni untukku?
Akan kujadikan hiasan kalungku.”
Ditagih janji, ia tertunduk malu.
”Gunungnya keburu meletus
sebelum aku berhasil mencapai puncaknya.
Aku cuma bawa abunya, dua puluh kilogram banyaknya.”
Antara geli dan haru, si pacar teringat abu
yang dibubuhkan di dahinya di sebuah Rabu. Rabu abu.
Ia ambil sejumput abu dari tas gendong kekasihnya,
ia oleskan pada jidatnya seraya berkata,
”Puisi pertama adalah abu.”
Merapat sedikit ia goreskan sebaris ciuman di bibirnya.
”Malam ini kau resmi jadi penyairku,” ucapnya
dan selembar daun mangga jatuh di atas rambutnya.
”Maaf, buah mangganya sudah habis,
tapi aku masih menyimpan kulitnya.”
(2010)
** sumber: Kompas, Minggu, 23 Januari 2011