Senin, 12 Desember 2011

 

Pledoi Cinta Buta

Semua hening. Napas tiap orang yang menghadiri persidangan seperti sengaja ditahan. Bahkan bangku meja, jubah hakim, penuntut umum dan pembela terdakwa yang ada di ruang sidang menjadi senyap seketika. Terdakwa diminta mulai membacakan surat cinta polosnya. Sepucuk surat yang kini menjadi salah satu barang bukti untuk mempengaruhi keputusan majelis hakim. Penentuan vonis setelah melakukan serangkaian persidangan sebelumnya. Mari dengarkan terdakwa mengungkapkan kejujurannya.

Sayang…

Saat kutulis surat ini, kadar cintaku semurni emas 24 karat yang kini menggoda orang-orang untuk menjadikannya investasi. Aku pun tergoda pula, sayangku. Aku menginvestasikan cinta padat murni 24 karat milikku padamu. Akibatnya, aku kesulitan menggoreskan madah indah berkilauan untuk melenakan kau punya hati terayu-rayu.

Hadirin di ruang sidang tampak mengulum senyum mendengarnya. Terdakwa menyapu pandangan ke seantero ruangan, dan ia pun melanjutkan kembali.

Namun…..

Sungguh sebenarnya yang paling kucemaskan tentang hal merayu hatimu, tak lain hanyalah masalah keberanian berkata apa adanya. Jujur bertutur demi pembuktian ketulusanku yang telah jatuh hati padamu sepanjang hari.

Kini hadirin tampak mengangguk-anggukkan kepala. Khusyuk menyimak pembacaan surat cinta apa adanya milik terdakwa, perubahan jelas sekali terlihat pada mereka. Anggukan kekaguman mereka menyerupai burung-burung pelatuk yang sabar dan tekun melubangi batang pohon. Ini tak lain demi menguak apa yang ada di balik ungkapan hati terdakwa yang telah tega menggeplak kepala istrinya dengan sebuah palu. Sebuah ironi tersaji dalam kata-kata terdakwa membuat mereka penasaran. Betapa tidak? Ini hal penting yang berhubungan dengan ironi cinta 24 karat murni.

Sayang…

Aku berdiri di sini karena kecintaanku padamu yang besar sekali. Bahkan bila dibandingkan dengan porsi makanmu, tentu itu masih kalah dan mampu membuatku gusar. Cintaku tetap besar padamu. Biar pun makanmu banyak hingga tak menyisakanku sedikit nasi sekedar mengganjal rengekan cacing di dalam perutku. Kau sudah tahu itu, sayangku. Cintaku utuh padamu ketika melihatmu mulai mengambil nasi jatahku, suamimu. Empat centong semen adalah standar baku yang kau terapkan sekali makan. Bagaimana bisa ada sisa nasi lagi untukku?Lalu, dengan sigap jemari panjang tangan kirimu yang menjuntai dan melambai seperti daun singkong roti, sungguh kau membuatku terkesima, sayangku. Begitu cepat hanya dengan lima sampai enam raupan, kau menyuap mulutmu yang lebar serupa kuda nil menguap, maka tuntas segalanya kau lahap. Aku terpana karena diriku begitu mencintaimu setengah mati setiap hari; akibat menahan perutku yang keroncongan setelah melihat tudung saji, tak sebutir nasi dan sepotong lauk pun tersisa bagiku lagi.

Wah, wah, wah.. Kini hadirin geleng-geleng kepala mendengarnya. Seakan tak terusik dengan decak keheranan orang-orang yang mendegarnya, terdakwa melanjutkan lagi.

Aku masih juga mencintaimu walaupun kau malas mandi berhari-hari. Dan, tadi pagi saat udara dingin mendukung hobimu itu, lagi-lagi kudengar pembenaran sikapmu melalui berisik sebait yel-yel gubahanmu sendiri yang kau nyanyikan berulangkali.

“….♪…♫…♪…. Mandi pagi tidak biasa. Tidak mandi sudah biasa. Pagi-pagi enaknya apa? Tentu enak tiduran saja… ♪….♫….♪….”

Dengan gairah cintaku yang membuncah padamu, bagaimana pun juga aku menipu diriku. Ku anggap senandung sintingmu ─ lagu terindah mengayun-ayun jiwaku.

Kali ini ada beberapa orang di persidangan yang menahan tawa, dan yang lainnya seperti sibuk menghapal lagu baru dari surat cinta si terdakwa. Hakim Ketua pun tak mau ketinggalan. Ia berbisik dengan hakim anggota di sebelah. Ia tengah menanyakan beberapa kata yang terlewat dari sebait lagu itu. Ia tak mau sia-sia mengais sisanya.

Terdakwa menarik napas sejenak. Ia lepaskan perlahan, dan setelah itu dengan tenang ia lanjutkan pula.

Sayangku…

Ketahuilah juga.. Malam hari ketika kau membiarkanku seperti kebo bego akibat menahan hasrat bercinta denganmu. Kau tega menampikku dan tidur terlalu cepat. Keadaan kebo bego diriku pun bertambah jadi. Terutama setelah birahi terpendamku memuncak disemangati oleh alunan nada-nada sumbang dari suara serak tidur ngorokmu. Aku masih saja mencintaimu dengan badan menggigil. Walaupun aku tahu pastilah siapa pun yang mendengar suara ngorok tidurmu bukan saja gemetar hebat badannya. Ia juga akan segera menutup lubang telinga karena serasa mendengar raungan sirine kapal kelas ekonomi di pelabuhan penyeberangan Merak-Bakauheni pulang pergi.

Sungguh betapa besar dan tulus cintaku padamu. Juga saat kau mulai menuangkan imajinasi mimpimu yang tersangkut di langit fantasi. Kau turunkan langsung ke bumi, tepat sekali menuju ke kamar ini di benda itu. Mimpi tidur ngorokmu, aduhai sayangku, kini kau terlihat nyata ─ mengejawantah. Sebentuk peta sembarangan. Lukisan permukaan bumi dan samudera terlingkupi telah hadir di atas bantalmu. Iler yang mengalir lancar keluar melalui mulut terngangamu, aduhai, indah sekali memetakan permukaan bumi lengkap berikut legendanya. Betapa aku telah terpukau, sayangku…

Ihhh… Jorok amat. Para hadirin tak mampu menahan rasa jijik. Terdakwa tenang dan santai saja melihat ini.

Aku masih dalam rengkuh utuh cintaku padamu saat kau mulai menggerutu. Selalu menyumpahi dan mengumpatiku saat rasa iri melihat tetangga kiri-kanan yang pamer mempertontonkan segala yang baru mereka miliki. Gerutuanmu tak mampu meredam cintaku padamu bahkan sewaktu kau mulai mendesakku. Kau paksa aku membelikan segala barang yang harganya membuatku pusing tujuh kali tujuh empat puluh sembilan keliling. Hadiah gerutuanmu senantiasa tertuju padaku. Terutama saat kuberikan gaji bulananku yang pas-pasan, dan seketika gerutuanmu berubah menjadi serangkaian dengung yang membuatku bingung. Betapa tidak? Aku sontak keheranan karena kau yang mengumpatiku bertubi-tubi kini di hadapanku telah menjelma serupa tawon tanah berpantat runcing liar menari-nari. Lalu, umpatan istimewamu berlanjut menjadi saran menuju ke pintu neraka. Kau anjurkan diriku untuk segera melakukan kecurangan. Sedikit korupsi, kau bilang itu adalah improvisasi mengatasi kesulitan sehari-hari, biar bisa senang di atas penderitaan banyak orang yang kucurangi. Kau tegaskan pula korupsi sudah biasa dan lazim begini hari. Herannya aku tak berdaya walau telah kau buat gila seperti ini.

Hadirin terhenyak. Diam seakan-akan meresapi isi surat cinta apa adanya dari terdakwa.

Oh, sayangku…

Biar pun tuntutan dan anjuranmu bisa membuatku terbujur kaku, aku tetap mencintaimu. Bahkan kukira aku telah dibutakan cintaku ini. Itulah diriku yang gelap mencintaimu sehingga dengan menutup mata hatiku, aku telah tega menutus kepalamu dengan palu. Maafkan atas cinta buta yang berhasil membodohiku, sayang.. Alhasil, kini kau terbaring lemah susah payah bangkit dari koma, dan aku di sini gagu menunggu vonis hakim, keputusan yang mengantarku, mendekam di balik jeruji besi ruang sel pengap, tinggal di sana menangisi penyesalanku yang berbuat kalap.

Dariku yang cinta buta padamu..

Hakim ketua diam sejenak. Lalu ia menoleh dan berbisik pada hakim pendampingnya di kiri dan kanan.Tak berselang berapa kemudian, hakim ketua berkata:

Sidang ditunda demi mendengar kesaksian yang menerangkan bahwa cinta manusia pada sesuatu akan mampu membuatnya buta dan tuli.

KOMENTAR DAN TANGGAPAN:

Auda Zaschkya (12 December 2011 01:16:42) : hedehhh,,,, hahahahaah.. emg suka ngorok.. gak iri nengok orang punya apa2 dan da gak mau nti pake maen korupsi. intinya : biar hidup pas2an tp ttp bahagia dg cinta yg di punya

Muhammad Ichsan (12 December 2011 01:18:48) : Alhamdulillah, senangnya dengar Da bisa bahagia dengan cinta.

Auda Zaschkya (12 December 2011 01:30:34) : klo kita bnran sayang sm pasangan kita, pasti ada usaha utk cari uang selain drpd korupsi,,hhihihi..

Andi Metta (12 December 2011 01:39:29) : waduuhhh…sereemm amat punya pasangan kayak gitu…itu mah buta sebuta-butanya…hehehee... isinya dalam bgt nih…bisa jadi renungan..jgn pernah dibutakan oleh cinta…secinta apapun kita padanya… bagus mas kereen dan sedikit menggelitik….

Muhammad Ichsan (12 December 2011 21:34:35) : Mudah-mudahan ini hanya terjadi dalam fiksi saja, Mbak Metta. Terima kasih sudah berkenan mampir dan mengapresiasi.

Erlina Jusup (12 December 2011 04:47:52) : walah! sisi lain sebuah fiksi! jempol!

Muhammad Ichsan (12 December 2011 21:35:28) : Terima kasih sudah berkenan mampir dan mengapresiasi, Mbak Erlina.

Daunilalang (12 December 2011 06:37:47) : wah!

Muhammad Ichsan (12 December 2011 21:36:27) : Terima kasih, sobat Daun Ilalang, yang berkenan datang. salam

Share: