Timurlank sedang bercermin. Ia sangat sedih melihat bayangan wajahnya yang sangat jelek. Kebetulan ada seorang menteri yang memergokinya.
“Penguasa besar seperti Anda, tuanku, tidak penting punya wajah tampan,” kata si-menteri menjilat.
“Soalnya Tuhan telah mengkaruniakan Anda badan yang kuat, kekayaan yang melimpah ruah, dan kekuasaan yang besar,” tambahnya lagi.
Mendengar itu Timurlank tersenyum girang. Ia lalu menoleh ke arah Nasrudin Hoja yang sedang menangis.
“Kenapa kamu menangis, Nasrudin? Aku yang terkena musibah saja merasa senang, tetapi kamu, kok, malah menangis. Ada apa?” tanya Timurlank dengan heran.
“Maaf, tuan. Musibah yang menimpaku jauh lebih besar daripada musibah yang menimpa Anda. Hanya dengan sekali melihat wajah tuan yang sangat jelek di depan cermin saja Anda merasa gelisah. Lalu bagaimana dengan aku yang tiap siang dan malam harus melihat wajah tuan berkali-kali? Tidakkah ini musibah yang lebih besar dari yang tuan alami?” terang Nasrudin.
“Penguasa besar seperti Anda, tuanku, tidak penting punya wajah tampan,” kata si-menteri menjilat.
“Soalnya Tuhan telah mengkaruniakan Anda badan yang kuat, kekayaan yang melimpah ruah, dan kekuasaan yang besar,” tambahnya lagi.
Mendengar itu Timurlank tersenyum girang. Ia lalu menoleh ke arah Nasrudin Hoja yang sedang menangis.
“Kenapa kamu menangis, Nasrudin? Aku yang terkena musibah saja merasa senang, tetapi kamu, kok, malah menangis. Ada apa?” tanya Timurlank dengan heran.
“Maaf, tuan. Musibah yang menimpaku jauh lebih besar daripada musibah yang menimpa Anda. Hanya dengan sekali melihat wajah tuan yang sangat jelek di depan cermin saja Anda merasa gelisah. Lalu bagaimana dengan aku yang tiap siang dan malam harus melihat wajah tuan berkali-kali? Tidakkah ini musibah yang lebih besar dari yang tuan alami?” terang Nasrudin.