Diri Juga Ingin Pulang
Oleh ZELFENI WIMRA
Ilustrasi Budiono |
:
ALAM beringsut ke pagi. Detak jarum jam dinding seakan menjadi musik yang tekun mengiringi cuaca dingin. Diri baru saja hendak merebahkan badannya di pembaringan, ketika Awis tiba-tiba datang mengetuk dan membuka pintu. Sejak sore, Awis belum sempat beramah-tamah dengan Diri lantaran begitu banyak tamu dan urusan rumah makan yang harus diselesaikannya.
Awis menatap Diri begitu lama. Ia seperti berusaha mencegah matanya yang berkaca-kaca agar tidak meleleh. Mengapa sahabat sekampung halaman dan sangat berjasa padanya itu kini tampak begitu letih seperti kehabisan tenaga?
’’Wis, beri aku pekerjaan,” Diri memohon. Awis ternganga, tak tahu jawaban apa yang mesti diucapkannya pada Diri. Permintaan Diri terasa aneh dan kurang tepat dibicarakan dalam suasana seperti itu. Bukan hanya karena teringat pada jasa-jasa Diri yang besar kepadanya. Tetapi Awis sudah punya rencana: besok ia sekeluarga pulang kampung sekaligus mengajak Diri pulang bersama. Lima hari lagi hari raya akan tiba.
Awis tak mengeluarkan kata-kata sepatah pun. Ia berpikir, lebih baik besok Diri dibawa pulang kampung saja. Anehnya, setelah pagi terang, saat mendatangi kamar tamu di samping rumah makan yang ditempati Diri selama menginap, Awis tak menemukan siapa- siapa. Awis garuk-garuk kepala. Ke mana pula Diri pergi?
***
Keadaan Diri yang aneh itu belum lama diketahui Awis. Dahulu, semasa masih usia dua puluhan, Diri adalah sahabat yang sering membantunya ketika pertama kali merantau ke Pekanbaru. Sebelum mampu membeli tanah di Pasar Pagi, Awis bekerja pada Diri. Membantunya bongkar-muat beras yang diangkut Diri dari kampung. Dari situ Awis mulai menabung, hingga bisa memodali dagangan makanan dan minuman kaki lima. Sedikit demi sedikit dagangan Awis berkembang. Ia akhirnya mampu membeli tanah di Pasar Pagi. Di atas tanah itulah ia dirikan rumah makan Induak Bareh.
Ketika sore itu ia melihat ada seorang lelaki tua tertatih menyandang tas kain, Awis sangat kaget. Seorang tua yang sebagian rambutnya sudah memutih itu tak lain adalah Diri, sahabat yang sangat berjasa padanya. Berpuluh tahun mereka tak bertemu. Sebagai sahabat yang pernah sama-sama susah dengannya, Awis menyambut Diri dengan jamuan istimewa. Kepada Diri diberikan kamar di samping tempat salat yang terletak di belakang rumah makannya. Jika diingat-ingat Awis, jasa Diri baginyamsungguh tak terbalas. Awis tak bisa menamai kedekatannya dengan Diri. Entah sebagai sahabat, kakak, atau guru. Diri yang mengajarkannya bergaul dan berbisnis dengan banyak orang. Diri pula yang nyinyir menyuruhnya menabung.
’’Jadi laki-laki…,’’ pesan Diri kepadanya, ’’harus pandai memaknai kesendirian. Akan ada masanya ketika tidak ada orang yang peduli pada kita. Paling tidak, secarik kafan dan sehelai papan untuk dibawa ke dalam kubur harus dipersiapkan. Jangan sampai ketika ajal menjemput, orang-oang yang tinggal terpaksa berutang dan bersengketa menyelenggarakan jenazah kita….”
Tidak kepada Awis saja. Beberapa orang yang pernah dekat dengan Diri rata-rata sudah menjadi orang sukses. Namun aneh, Awis tak putus dirundung tanya, apa yang terjadi dengan Diri sendiri? Di hari tuanya, ketika usia mulai meninggalkan enam puluh tahun, Diri begitu sendiri, berpindah-pindah menggelandang badan sebatang, tak peduli di mana ia akan mengistirahatkan kelelahan.
***
Barangkali karena pengaruh kebiasaannya sejak muda: selalu berpindah-pindah rantau. Usia belasan tahun Diri sudah pandai mencari nafkah hidupnya sendiri dengan menerima upah sebagai kuli angkut terminal di Pasakabau, Payakumbuh. Kadang-kadang jadi kondektur bus antarkota. Pada usia dua puluhan ia sudah pandai membawa mobil. Ia pun menjadi sopir truk mengangkut beras seorang saudagar.
Berikutnya, terdengar kabar Diri sudah pergi pula merantau ke Kalimantan. Selang beberapa tahun terpental pulang. Di Kalimantan ia terlibat perkelahian dengan preman pasar. Preman itu selalu mengganggunya bekerja sebagai sopir truk perusahaan tambang di pinggiran kota Samarinda. Preman itu ditikamnya hingga tewas. Diri pulang melarikan diri. Beruntung, ketua komplotan preman yang dibunuhnya itu sudah lama meresahkan karyawan perusahaan sehingga ketika tewas terbunuh, tak seorang pun yang menggugat Diri. Cuma saja, untuk menenangkan diri, ia pulang kampung. Ketika itu ibunya masih hidup. Setahun pula lamanya ia di kampung. Menghabiskan hari ia beternak sapi dan berladang tembakau, mengumpulkan segenap modal untuk dibawa ke rantau yang lain lagi.
Modal terkumpul. Diri berangkat lagi. Kali ini ke Bandung. Salah seorang kerabatnya jualan perabotan di sana. Lagi-lagi ia jadi sopir yang bertugas mengantar perabot pesanan pelanggan toko. Pada tahun kedua di sana ia mempersunting seorang gadis Sunda. Dengan istri pertamanya itu, ia punya anak satu, perempuan. Tetapi, malang, rumah tangganya tidak bertahan lama. Diri meninggalkan istri dan anaknya itu untuk sementara waktu. Ibunya dikabarkan sudah sering sakit dan mengharapkan Diri pulang.
Di kepulangannya kali itu, ternyata, ia diminta keluarganya menikah dengan orang kampung. Mamaknya sudah menyiapkan sebuah rencana. Kabar tentang ibu yang sedang sakit itu hanya siasat mamaknya.
’’Punya kemenakan laki-laki seperti memelihara kelapa condong. Akarnya pada kami tapi buahnya jatuh ke ladang orang,” begitu sindiran mamak Diri ketika itu.
Diri seperti tak ada daya untuk menolak. Ia lalui pula kehidupan rumah tangga keduanya itu dengan segala keadaan yang mulai tidak baik bagi batinnya. Di kampungnya, seorang peternak kaya membeli bus angkutan antarkota. Diri diminta jadi sopirnya.
Pernikahan kedua Diri itu pun berusia singkat. Hanya sampai ketika anak laki-lakinya berusia empat tahun. Bus yang biasa dibawanya terpaksa dijual pemiliknya, karena hasil yang didapatkan dari bus itu tak pernah cukup untuk memperbaiki kerusakan dan biaya perawatannya.
Keinginan pergi ke rantau lagi menjadi pangkal sengketa antara ia dan istrinya. Diri tak betah menganggur di kampung. Bekerja jadi petani sudah tidak menggiurkan baginya.
Istri Diri tak mau melepasnya pergi merantau. Biarlah hidup di kampung dalam serba keterbatasan daripada kaya tapi terpisah. Selain alasan itu, istri Diri sudah menaruh curiga pada Diri. Desas-desus tantang Diri yang punya istri di rantau sudah lama menyebar dari mulut ke mulut. Diri ia anggap hanya mencari-cari alasan untuk mencari nafkah. Padahal ia diam-diam mendatangi mantan istri pertamanya. Demikian gunjing demi gunjing bertaburan di kampung.
Kepergian Diri ke rantau dilepas juga oleh istrinya dengan perasaan kesal. Dongkol. Apalagi Diri menghardiknya, ’’Kalau kau tahu aku punya istri di rantau orang, mengapa dulu mau menikah denganku, hah?”
Kali itu Diri memang pergi ke Bandung tapi ia bertekad bukan untuk bertemu dengan istri pertamanya. Setahun di rantau, Diri pulang. Giliran Diri yang pulang dengan dongkol. Ia menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, ketika tahu istrinya hamil. Padahal, selama tak pulang, ia tak pernah bergaul dengan istrinya itu.
Diri memastikan istrinya hamil bukan karena dirinya. Tetapi, jelas, dihamili orang lain. Entah siapa laki-laki lain itu, Diri tidak peduli.
Ia ke Bandung lagi. Ia akan kembali ke istri pertamanya. Tapi apa yang terjadi? Istri pertamanya sudah tidak mau menerimanya lagi. Ke mana saja selama ini? Tidak bertanggung jawab! Tidak berperasaan! Tidak jantan!
Sejak itu, hingga sekarang, Diri seperti kucing jantan yang melanglang ke sana-kemari. Dari rantau ke rantau. Dari rumah adik ke rumah menantu. Dari rumah kerabat ke rumah sahabat. Tak pernah tetap.
***
Diri terpana di halaman sebuah rumah yang pernah sangat dikenalinya. Sejenak ia melihat ke sekeliling. Langit sore itu dikurung mendung. Sesekali angin berpusar menabur derai rinai yang pecah dan daun-daun mahoni bertanggalan dari tampuknya. Ciap-ciap anak ayam yang terpisah dari induknya menyeruak pendengaran ditingkah suara rekaman mengaji yang diputar di masjid. Ia tahu persis, sudah banyak yang berubah di halaman rumah yang dulu pernah ditempatinya itu.
Diri menggigil. Ia menaruh tas berisi pakaiannya di lantai beranda. Ia tanggalkan sandalnya di bawah sebatang pohon jambu. Di situ ada bangku panjang yang sudah berlumut. Pada sisi atas sandal biru yang sudah tipis itu ada cekungan berwarna putih kekuningan, menggambarkan jejak jemari dan tumit Diri. Tak bisa diketahui, sudah berapa lama sandal jepit itu dipakainya. Kalau diperkirakan, sepandai-pandai memakai, usia sandal berbahan karet, biasanya paling lama dua tahun.
Tapi, kepada Awis, sebelum minggat dari rumah makan Induak Bareh itu, ia ceritakan kalau dirinya sudah lebih dua tahun meninggalkan rumah. Maksud Diri, rumah anaknya. Dia pamit pergi pada anak laki-laki sulungnya tak lama setelah cucu ketiganya akikah. Sekarang usia cucunya itu sudah tiga setengah tahun.
Dia kemudian pulang ke rumah anak keduanya yang baru setahun menikah. Istri anak bungsunya itu sedang hamil tua. Dia tinggal pula di sana hingga cucu keempatnya itu lahir. Pun, setelah cucunya akikah, ia pamit pulang. Dia pulang ke rumah adik perempuannya di kampung.
Di rumah sang adik yang satu-satunya perempuan itu, ia tidak tinggal lama. Sekitar enam bulan. Tinggal serumah dengan semenda, selain tidak diadatkan, Diri sendiri merasa tidak nyaman. Ia tak mampu menepis gunjingan orang sekampung tentang dirinya yang gagal menjadi laki-laki. Setelah terusir dari rumah istri, menumpang di rumah adik perempuan.
Seterusnya, sebelum singgah di rumah Awis, berbekal uang puluhan ribu dan beberapa helai pakaian, ia menumpang truk salah seorang kenalannya yang berdagang beras ke Pekanbaru. Kenalannya itu jauh lebih muda darinya. Semasa ia masih menjadi sopir dulu, kenalannya itu sering dibantunya mendapatkanpekerjaan sementara, sekadar belanja seorang bujangan.
Dan kini, setelah lima hari di perjalanan dari rumah Awis, ia benar-benar telah merasa letih. Ia lihat dirinya tak lebih dari kerangka tubuh yang hampir rubuh. Ia perhatikan rumah bergayavSunda itu masih kokoh. Ia bayangkan, dari dalam rumah itu masih ada orang yang mau menerimanya. Bila bukan sebagai suami yang telah lama menghilang, sebagai pengembara yang tersesat pun tak apa. Semalam saja, ia berharap dibolehkan mengistirahatkan lelah badan dan lelah di hatinya. Atau, jika semua kemungkinan itu telah mustahil, ia tetap berharap dibolehkan naik ke atas rumah itu, setidaknya sebagai tamu di hari raya. ***
Padang, 2009-2013
Sumber : Koran Jawa Pos, 11 Agustus 2013