Frost, Apa Besok Ada Tahun Baru?
Aku : “Frost, kau pernah meramal kelak suatu hari nanti, ini dunia hanya akan tinggal dalam fiksi.”
Robert Frost : “Ya, memang begitulah yang kulihat, San… Dengarkan dan cermati lagi sajakku..
Fire and Ice
Some say the world will end in fire
Some say in ice
From what I’ve tasted of desire
I hold with those who favor fire
But if had to perish twice,
I think I know enough of hate
To say that for destruction ice
Is also great
And would suffice.
Robert Frost : “Bagaimana menurutmu, San? Apa besok ada tahun baru?”
Aku : “Ah, kau menakutiku, Frost. Besok pasti ada tahun baru. Sekalipun kau bilang bahwa ‘dunia akan berakhir dalam kobaran api’.”
Robert Frost : “Hei, tunggu dulu! Kau bilang aku sedang menakut-nakutimu? Ayolah, San…. Buka matamu lebar-lebar. Lihat sekelilingmu. Amati dengan cermat. Orang-orang teramat bernafsu mengejar kepentingan pribadinya. Lihatlah, di negaramu banyak terjadi kerusuhan di daerah-daerah tertentu. Bima, Mesuji dan Papua berdarah-darah. Tidakkah ini cara mempersingkat kehidupan damai di dunia dan cara manusia memusnahkan diri mereka sendiri. Belum lagi betapa banyak persenjataan nuklir yang disimpan bak harta karun paling berharga, sekali pun gunanya tak lain hanya untuk mengobarkan dunia dalam api yang menyala besar.”
Aku : “Aduhai, Frost, penjelasanmu menakuti teramat sangat.”
Robert Frost : “San… Dengarlah… Sekali lagi aku tegaskan padamu. Aku tidak menakutimu, dan aku hanya memaparkan fakta-fakta apa adanya. Prinsipku ini sama dengan prinsip yang dimiliki kekasihmu itu. Aku berkata dan menulis berdasarkan pengamatan dari indra penglihatan dan mata bathiniahku.”
Aku : “Hmm, begitukah? Lalu, jelaskan juga padaku. Kau bilang bahwa dunia juga akan berakhir dalam kebekuan es. Bagaimana pula bisa begitu, Frost?”
Robert Frost : “Ya, ya… Aku memang mengatakan hal itu, San.. Namun, maksudku sebenarnya ingin memberitahukan saja. Syukur-syukur kalau diterima. Kebekuan es yang menghancurkan dunia, sungguh ini terjadi bukan hanya disebabkan melelehnya es di Kutub Utara saja. Dunia akan berakhir dengan kebekuan yang memusnahkan semua penghuninya disebabkan ketidakpedulian, kebekuan hati yang begitu dingin. Coba kau lihat, San.. Banyak orang-orang di sekitarmu hatinya beku mati. Mereka tak peduli ketika saudara-saudara mereka sendiri mati beku karena kedinginan dalam perut yang lapar. Mati terkapar di emperen toko, tubuhnya tergolek di depan gudang-gudang tua, terjarah rumahnya di tanah mereka sendiri akibat penguasa yang mementingkan para pemegang modal butuh lahan untuk perluasan usaha. Dunia akan berakhir dalam beku es hati umat manusia. Itulah maksudku, San…”
Aku : “Baiklah, Frost.. Aku mengerti sekarang tentang ramalanmu itu. Jadi, jalan keluarnya bagaimana, Frost? Setidaknya untuk menunda akhir dunia, setidaknya besok masih ada pesta tahun baru… “
Robert Frost : “O, itu mudah saja, San.. Besok menjelang detik pergantian tahun, ajak saja orang-orang terdekatmu agar tidak mementingkan diri sendiri, tidak lagi memiliki hati sedingin es terhadap sesamanya. Maka, dunia tak akan berakhir dalam kobaran api nafsu serakah dan ketidakpedulian yang beku.”
Aku : “Terima kasih, Frost… Akan kuajak orang-orang terdekatku untuk lebih manusiawi sesuai anjuranmu.. Selamat Menjelang Tahun Baru 2012…”
Kemoceng Cinta
Konax berfilosofi ria pada kekasihnya suatu sore di taman kota.
"Sayang.. Percayalah apa yang kukatakan padamu," rayunya meyakinkan.
"Cinta itu tak pernah pandang bulu. Karena cinta lebih suka membelainya," dengan lagak bak filsuf, ia berkata.
Sebenarnya kekasihnya tak suka dengan kata-kata indah nan tinggi serta pelik. Jadi tampaknya ia menanggapi perkataan Konax yang penuh kandungan makna filosofis itu sekenanya saja. Lalu, ia teringat apa yang dikerjakannya rutin setiap pagi; membersihkan kaca jendela dan perabotan di rumahnya dengan sebuah kemoceng berbulu warna-warni.
"Sayangku.. Kekasihku yang paling tampan.. Kau benar sekali.." ia mulai menanggapi.
"Bila cinta itu suka yang berbulu-bulu, tentunya cinta telah menjadi kemoceng yang suka membelai-belai debu, bukan?"
Konax mengernyitkan dahinya. Ia terdiam. Otaknya berpikir keras, mencerna maksud perkataan kekasihnya itu.