Esei Tentang Kepedulian Sastra dan Realitas Kemanusiaan
Suara Karya, Sabtu, 14 Maret 2009
Oleh : Eka Fendri Putra
KEMANUSIAAN kita kenal sebagai sesuatu yang universal.Cita-cita tentang kesejahteraan manusia dikenal oleh seluruh umat manusia di seantero dunia dengan cara masing-masing.
Betapa pun beragam corak pelafalannya, karena konteks setiap kelompok masyarakat banyak memberikan warna, tak pelak lagi, semangat ini meruap dari naluri cinta kepada sesama.
Rasa kemanusiaan itu menyeberangi perbedaan budaya, warna kulit, agama, panutan, keyakinan, menembus batas suku, negara, menyebarangi waktu dan jarak, menembus perbedaan-perbedaan strata ekonomi dan politik, tak terhalangi oleh kekuasaan yang merupakan bagian yang sangat berpengaruh dalam berbagai sengketa dewasa ini.
Sastra sejak awal sudah melihat kemanusiaan sebagai lahan yang sangat kaya dan luas jangkauannya. Sebagai upaya untuk menerobos segala barikade konteks manusia masing-masing pada desa kalapatranya (tempat-waktu-suasananya), sastra telah memilih tema-tema terbaik, seperti kematian, kelahiran, kesakitan, kesedihan, kesenangan, kesangsian, penantian, persengketaan, persaudaraan, cinta, nafsu-nafsu bawah sadar dan sebagainya, yang sangat mendasar dan berserak pada setiap manusia di seluruh jagatraya.
Sastra tertulis yang kemudian membuat bahasa menjadi halangan untuk mencapai manusia secara serentak, tidak sepenuhnya bisa menghalangi penjelajahan sastra sebagai pengembaraan spiritual manusia sejagat.
Dalam waktu-waktu yang tertentu, suara-suara kemanusiaan itu secara estafet meloncat dari satu bahasa ke bahasa yang lain, sehingga cepat atau lambat, seperti air merembes ke seluruh dunia.
Sastra lisan yang kemudian merupakan kelanjutan kalau tidak bisa dikatakan pasukan khusus dari sastra, secara informal menusukkan peluru-peluru kemanusiaan itu, langsung kepada manusia lain dengan bahasa ibunya.
Akhirnya tak berkelebihan kalau dikatakan bahwa sastra adalah jembatan ajaib yang menghubungkan manusia dengan manusia tanpa perlu melalui petugas pabean, apalagi harus menunjukkan paspor.
Sastra menjadi warganegara dunia yang bebas masuk ke mana saja, karena dia kelihatan tetapi tidak nampak seluruhnya. Karena ia adalah imajinasi yang hanya akan tertangkap oleh mata hati yang peka. Ia tidak bertubuh, karena ia adalah sebuah pengalaman spiritual.
Sastra sudah menjadi sebuah jaringan internasional, yang tak terkendali lagi kemampuan menjangkaunya. Tidak terhalang-halangi lagi oleh batas-batas negara dan politik.
Sastra begitu ampuh namun juga begitu halus. Tak ubah seperti seperti yang dilakukan oleh jaringan internet dewasa ini.
Sastra sudah membebaskan manusia dari berbagai batasan, yang semula dibuat untuk melindungi manusia itu sendiri, tetapi yang pada akhirnya menjadi kekuasaan yang merobek kemanusiaan itu sendiri.
Sastra dengan demikian tidak hanya tulisan, bukan hanya buku-buku. Sastra adalah bentuk pengalaman spiritual yang diungkapkan dengan kata-kata yang plastis sehingga memiliki daya magis yang dikemas melalui bentuk-bentuk cerita rekaan atau semi rekaan, sehingga ia merupakan lukisan-lukisan kehidupan yang merupakan cerminan dari kehidupan nyata manusia sehari-hari sehingga penikmatnya menjadi percaya.
Sastra adalah cerita tentang manusia. Atau cerita tentang apa saja yang memberikan kepada manusia sebuah pengalaman spiritual untuk merenungi kehidupan masa lalu, masa kini dan masa datang, untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik, lebuih sempurna, lebih membahagiakan manusia bersama-sama.
Sastra dengan demikian adalah sebuah senjata kemanusiaan yang ditembakkan, sebagai upaya untuk memangkas batas-batas yang memisahkan manusia. Tidak untuk mengatakan bahwa manusia yang satu harus sama rata dengan manusia yang lain, tetapi hanya untuk menyadarkan bahwa manusia yang satu dengan yang lain saling terkait dan tidak mungkin hidup tanpa manusia yang lain.
Bahwa manusia memiliki kemungkinan yang seharusnya sama, namun adalah perjuangan, kegigihan dan kemudian keberuntungan atau nasib baik yang menjadikannya berbeda. Berbeda tidak berarti bermusuhan, tetapi memiliki perjalanan yang tak sama perkembangannya.
Sebagai sebuah senjata, sastra bisa saja dibelokkan untuk menembak yang lain. Sastra bisa menjadi senjata politik dan memihak kepada kebenaran politik.
Sastra juga bisa menjadi prajurit kemiskinan untuk memperjuangkan nasib manusia yang papa agar bangkit dan menjadi seimbang dengan mereka yang gemah-ripah.
Sastra juga bisa menjadi alat perjuangan bagi manusia-manusia yang tertindas untuk menendang kekuasaan yangmenidurinya dengan semena-mena. Tetapi semua itu hanya bagian dari kemungkinan sastra sebagai alat, di tangan manusia yang menciptakannya.
Sastra itu sendiri, betapa pun mudah dibelokkan menjadi berbagai senjata, tetapi ia tetap saja memiliki potensi dasarnya untuk menyentuh perasaan kemanusiaan dengan cinta. Sebab kalau tidak, tidak akan mungkin ia potensial untuk menjadi berbagai tembakan meriam.
Sastra yang memihak kepada kemanusiaan, dalam pergolakan politik, kadangkala terasa aneh. Ia bisa dituduh sebagai sebuah mimpi yang mengingkari sejarah, karena seperti mengingkari konteksnya. Namun sebenarnya, ia bersetia kepada konteks dasarnya sebagai suara dasar kemanusiaan yang berbicara untuk manusia secara umum. Kenyataan ini sering dipertentangkan. Sering membuat sastra menjadi blok-blok yang satu dan yang lain saling tembak menembak. Sehingga bukan saja dunia kekuasaan dan dunia politik serta dunia ekonomi yang berperang, dunia sastra pun ikut berperang.
Bila sudah demikian, para sastrawan pun goncang. Gontok-gontokan. Sastra pun menjadi medan Kurusetra dan para sastrawan saling membunuh, seperti melupakan hakikatnya untuk menuntun manusia kepada kesejahteraan.
Tetapi itulah persoalan kita semua, persoalan seluruh sektor kehidupan kita semua di seluruh dunia. Setiap ciptaan manusia, kalau memiliki potensi luar biasa, akhirnya akan melahirkan kekuasaan. Dan kekuasaan itu kalau tidak bisa dipergunakan dengan baik, akan menciderakan manusia itu sendiri. Karena itu dalam kesempatan ini, saya ingin mengatakan sebuah kalimat, bahwa sastra adalah barang yang sangat canggih dan sekaligus sangat berbahaya, sehingga kita harus benar-benar super hati-hati untuk mempergunakannya untuk menembak. ***
Suara Karya, Sabtu, 14 Maret 2009
Oleh : Eka Fendri Putra
KEMANUSIAAN kita kenal sebagai sesuatu yang universal.Cita-cita tentang kesejahteraan manusia dikenal oleh seluruh umat manusia di seantero dunia dengan cara masing-masing.
Betapa pun beragam corak pelafalannya, karena konteks setiap kelompok masyarakat banyak memberikan warna, tak pelak lagi, semangat ini meruap dari naluri cinta kepada sesama.
Rasa kemanusiaan itu menyeberangi perbedaan budaya, warna kulit, agama, panutan, keyakinan, menembus batas suku, negara, menyebarangi waktu dan jarak, menembus perbedaan-perbedaan strata ekonomi dan politik, tak terhalangi oleh kekuasaan yang merupakan bagian yang sangat berpengaruh dalam berbagai sengketa dewasa ini.
Sastra sejak awal sudah melihat kemanusiaan sebagai lahan yang sangat kaya dan luas jangkauannya. Sebagai upaya untuk menerobos segala barikade konteks manusia masing-masing pada desa kalapatranya (tempat-waktu-suasananya), sastra telah memilih tema-tema terbaik, seperti kematian, kelahiran, kesakitan, kesedihan, kesenangan, kesangsian, penantian, persengketaan, persaudaraan, cinta, nafsu-nafsu bawah sadar dan sebagainya, yang sangat mendasar dan berserak pada setiap manusia di seluruh jagatraya.
Sastra tertulis yang kemudian membuat bahasa menjadi halangan untuk mencapai manusia secara serentak, tidak sepenuhnya bisa menghalangi penjelajahan sastra sebagai pengembaraan spiritual manusia sejagat.
Dalam waktu-waktu yang tertentu, suara-suara kemanusiaan itu secara estafet meloncat dari satu bahasa ke bahasa yang lain, sehingga cepat atau lambat, seperti air merembes ke seluruh dunia.
Sastra lisan yang kemudian merupakan kelanjutan kalau tidak bisa dikatakan pasukan khusus dari sastra, secara informal menusukkan peluru-peluru kemanusiaan itu, langsung kepada manusia lain dengan bahasa ibunya.
Akhirnya tak berkelebihan kalau dikatakan bahwa sastra adalah jembatan ajaib yang menghubungkan manusia dengan manusia tanpa perlu melalui petugas pabean, apalagi harus menunjukkan paspor.
Sastra menjadi warganegara dunia yang bebas masuk ke mana saja, karena dia kelihatan tetapi tidak nampak seluruhnya. Karena ia adalah imajinasi yang hanya akan tertangkap oleh mata hati yang peka. Ia tidak bertubuh, karena ia adalah sebuah pengalaman spiritual.
Sastra sudah menjadi sebuah jaringan internasional, yang tak terkendali lagi kemampuan menjangkaunya. Tidak terhalang-halangi lagi oleh batas-batas negara dan politik.
Sastra begitu ampuh namun juga begitu halus. Tak ubah seperti seperti yang dilakukan oleh jaringan internet dewasa ini.
Sastra sudah membebaskan manusia dari berbagai batasan, yang semula dibuat untuk melindungi manusia itu sendiri, tetapi yang pada akhirnya menjadi kekuasaan yang merobek kemanusiaan itu sendiri.
Sastra dengan demikian tidak hanya tulisan, bukan hanya buku-buku. Sastra adalah bentuk pengalaman spiritual yang diungkapkan dengan kata-kata yang plastis sehingga memiliki daya magis yang dikemas melalui bentuk-bentuk cerita rekaan atau semi rekaan, sehingga ia merupakan lukisan-lukisan kehidupan yang merupakan cerminan dari kehidupan nyata manusia sehari-hari sehingga penikmatnya menjadi percaya.
Sastra adalah cerita tentang manusia. Atau cerita tentang apa saja yang memberikan kepada manusia sebuah pengalaman spiritual untuk merenungi kehidupan masa lalu, masa kini dan masa datang, untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik, lebuih sempurna, lebih membahagiakan manusia bersama-sama.
Sastra dengan demikian adalah sebuah senjata kemanusiaan yang ditembakkan, sebagai upaya untuk memangkas batas-batas yang memisahkan manusia. Tidak untuk mengatakan bahwa manusia yang satu harus sama rata dengan manusia yang lain, tetapi hanya untuk menyadarkan bahwa manusia yang satu dengan yang lain saling terkait dan tidak mungkin hidup tanpa manusia yang lain.
Bahwa manusia memiliki kemungkinan yang seharusnya sama, namun adalah perjuangan, kegigihan dan kemudian keberuntungan atau nasib baik yang menjadikannya berbeda. Berbeda tidak berarti bermusuhan, tetapi memiliki perjalanan yang tak sama perkembangannya.
Sebagai sebuah senjata, sastra bisa saja dibelokkan untuk menembak yang lain. Sastra bisa menjadi senjata politik dan memihak kepada kebenaran politik.
Sastra juga bisa menjadi prajurit kemiskinan untuk memperjuangkan nasib manusia yang papa agar bangkit dan menjadi seimbang dengan mereka yang gemah-ripah.
Sastra juga bisa menjadi alat perjuangan bagi manusia-manusia yang tertindas untuk menendang kekuasaan yangmenidurinya dengan semena-mena. Tetapi semua itu hanya bagian dari kemungkinan sastra sebagai alat, di tangan manusia yang menciptakannya.
Sastra itu sendiri, betapa pun mudah dibelokkan menjadi berbagai senjata, tetapi ia tetap saja memiliki potensi dasarnya untuk menyentuh perasaan kemanusiaan dengan cinta. Sebab kalau tidak, tidak akan mungkin ia potensial untuk menjadi berbagai tembakan meriam.
Sastra yang memihak kepada kemanusiaan, dalam pergolakan politik, kadangkala terasa aneh. Ia bisa dituduh sebagai sebuah mimpi yang mengingkari sejarah, karena seperti mengingkari konteksnya. Namun sebenarnya, ia bersetia kepada konteks dasarnya sebagai suara dasar kemanusiaan yang berbicara untuk manusia secara umum. Kenyataan ini sering dipertentangkan. Sering membuat sastra menjadi blok-blok yang satu dan yang lain saling tembak menembak. Sehingga bukan saja dunia kekuasaan dan dunia politik serta dunia ekonomi yang berperang, dunia sastra pun ikut berperang.
Bila sudah demikian, para sastrawan pun goncang. Gontok-gontokan. Sastra pun menjadi medan Kurusetra dan para sastrawan saling membunuh, seperti melupakan hakikatnya untuk menuntun manusia kepada kesejahteraan.
Tetapi itulah persoalan kita semua, persoalan seluruh sektor kehidupan kita semua di seluruh dunia. Setiap ciptaan manusia, kalau memiliki potensi luar biasa, akhirnya akan melahirkan kekuasaan. Dan kekuasaan itu kalau tidak bisa dipergunakan dengan baik, akan menciderakan manusia itu sendiri. Karena itu dalam kesempatan ini, saya ingin mengatakan sebuah kalimat, bahwa sastra adalah barang yang sangat canggih dan sekaligus sangat berbahaya, sehingga kita harus benar-benar super hati-hati untuk mempergunakannya untuk menembak. ***