SUTARDJI DAN PUITIKA TIMUR
oleh Abdul Hadi W.M
25 April 2011 jam 21:16
Sutardji adalah penyair Indonesia mutakhir yang paling banyak disorot dan dibicarakan sejak tiga dasawarsa lampau. Kalau bukan disebabkan oleh gebrakan kredo puisi dan sajak-sajaknya, sorotan pasti tertuju pada aksinya di pentas dalam membacakan sajak-sajaknya. Sejauh mengenai sajak-sajaknya, dan kaitan dengan kredo puisinya, tampak kecenderungan umum untuk hanya menyorot segi formal dan struktur lahir dari ungkapan estetiknya.
Struktur batin sajak-sajaknya, pandangannya tentang hakikat puisi dan kata dalam puisi, yang memberi corak tersendiri pada semangat kepenyairannya jarang sekali dibicarakan. Pembahasan berkenaan semangat keruhanian atau asas metafisika yang melapisi sajak-sajaknya di masa lalu dilakukan antara lain oleh Dami N. Toda dan Popo Iskandar. Dami N. Toda mencoba memahami lompatan yang dilakukan Sutardji dalam perpuisian Indonesia melalui wawasan estetik yang diduga melandasi penciptaan sajak-sajak mantranya. Popo Iskandar mengaitkan lompatan estetik yang dilakukan sang penyair dan topografi sajak-sajaknya yang jalin menjalin seperti pantun berkait.
Belakangan Donny Gahral Adian (2007) mencoba meneliti jiwa yang melandasi pembrontakan dan perlawanan Sutardji terhadap konvensi dan norma-norma sastra yang berlaku dalam persajakan Indonesia modern. Meurut Gahral Adian, puisi Sutardji membuat kita berpikir tentang hakikat puisi dan sekaligus merupakan esai panjang tentang puisi. Ia menantang persepsi kita tentang kata dan manusia, bahkan merupakan sebuah esai filsafat tentang bahasa, khususnya kata. Menurutnya lagi Sutardji ingin menghidupkan puisi yang mati suri di bawah bayangan bentuk–bentuk normalitas seperti filsafat, agama, ideology, dan seni, bahkan kebaikan, keindahan, dan lain sebagainya.
Tapi sayang, karena Donny Gahral bertolak dari asumsi posmodernisme yang skeptis terhadap kesanggupan bahasa dalam mengungkapkan makna, suatu hal yang sebenarnya ditolak oleh Sutardji sendiri (2006), maka pendapatnya itu menyisakan banyak pertanyaan baik tentang hakikat puisi maupun tentang peranan kata dalam penuturan puitik. Kecuali itu bahasannya cenderung ahistoris, padahal kredo puisi Sutardji paling mungkin dipahami jika dilihat dalam lingkait atau konteks perkembangan puisi Indonesia modern atau kecenderungan umumnya sejak awal 1950an hingga pertengahan 1960an. Ia menolak kecenderungan menjadikan bahasa dalam penuturan puitik hanya sebatas alat komunikasi, malahan juga menolak pendirian bahwa bahasa merupakan media ekspresi.
Pernyataan Sutardji dalam kredonya 1973 bahwa, ‘Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian’ melainkan ‘Pengertian itu sendiri dan dia bebas’ dapat dipahami dalam lingkait itu. Ia tidak lahir dari sikap skeptip atau sangsi terhadap bahasa, juga bukan dari keyakinan matinya ‘subyek’ (yakni penyair serta kewenangannya menafsirkan kebenaran) dan puisi. Melalui kredonya itu Sutardji menolak teori representasi (mimesis) kaum formalis yang memandang sastra sebagai tiruan kenyataan yang dilontarkan kembali oleh penyair menggunakan sarana imaginasi dan bahasa figurative. Ia juga tidak puas dengan teori ekspressi yang menyatakan bahwa puisi atau seni sekadar luahan perasaan individual sedalam-dalamnya. Apa yang dinyatakan penyair sepenuhnya subyektif, makna dan semangat yang disugestikan dalam sebuah puisi dapat dibagi kepada khalayak pembaca. Melalui proses pembacaan yang intens, bisikan-bisikan halus puisi dapat bergema kembali dan menggetarkan hati orang lain. Apa yang semula tampak subyektif, kini menjadi obyektif dan hidup dalam jiwa pembaca. Ketakhadiran digantikan dengan kehadiran (presence), yang berbeda (difference) berubah menjadi yang tak berbeda. ‘Aku’ penyair berubah menjadi ‘aku’ pembaca.
Pandangan Sutardji dalam hal ini saya kira dekat dengan teori presentasi Gadamer yang berpandapat bahwa puisi adalah penyajian pengalaman estetik penyair secara simbolik. Pendapat Gahral yang lain yang tidak kalah penting untuk dicatat karena tidak produktif bagi pemahaman ‘yang semestinya’. Menurut Gahral lagi, kehadiran kredo dan sajak-sajaknya Sutardji ingin menghidupkan puisi yang mati suri di bawah bayangan bentuk-bentuk normativitas seperti filsafat, agama, ideology, dan seni, bahkan kebaikan, keindahan, dan lain sebagainya. Ia ingin membawa kita melihat bahwa sajak-sajak Sutardji anti-filsafat, anti-agama, anti-ideologi, dan bahkan anti-seni. Dengan mudah pendirian ini dapat ditangkis, karena sajak-sajak Sutardji bukan saja mengandung dimensi religius dan sufistik, tetapi juga kaya dengan renungan falsafah dan hadir pula sebagai ragam seni yang bermutu.
Lagi pula pada hakikatnya, keindahan atau kebenaran sebagai nilai, tidak normatif selama masih menjadi penghuni jiwa dan atau hati nurani. Tetapi begitu dihadirkan menjadi teks, menjadi sukhan atau wacana, ia lantas menjadi normatif dalam arti membentuk normanya sendiri. Pendapat Harry Aveling membenarkan pendirian ini. Menurut Harry Aveling (2007) sebagai penyair Sutardji tidak menghancurkan norma-norma puitika lama. Dia hanya merubah kovensi sastra yang tumbuh dalam sejarah persajakan Indonesia modern dan berusaha meneroka bahasa, bentuk dan makna puisi dengan cara yang berbeda.
Bertolak dari dua pandangan yang berbeda itu, saya ingin menyajikan semacam testimoni terhadap arti kehadiran puisi Sutardji dalam sejarah persajakan Indonesia modern. Testimoni itu perlu saya lakukan karena banyak hal yang dikemukakan oleh dua kritikus yang telah disebutkan menyisakan banyak masalah, yang paling tidak – jika tidak bisa didialogkan, dapat diperdebatkan, asal saja produktif. Testimoni yang akan saya lakukan berhubungan dengan aspek batin puisi Sutardji. Pertanyaan apa hakikat puisi pada dasarnya bertalian dengan pernyataan apa kodrat puisi, dan peranan bahasa/kata dalam penuturan puitik. Selanjutnya pertanyaan tentang apa kodrat dan hakikat puisi bertalian pula dengan jiwa atau semangat tertentu yang mendasari lahirnya penuturan puitik dalam sejarah peradaban manusia.
Untuk menjawab persoalan ini saya akan mempertemukan, pertama-tama puisi Sutardji dengan puitik Hagiwara Sakutaro, penyair Jepang yang wafat pada tahun 1941 dan dipandang sebagai bapak puisi kontemporer (gendaishi) Jepang. Kemudian, oleh karena Sakutaro kurang meneroka hubungan kodrat puisi dengan hakikat bahasa puitik/tujuan penciptaan puisi, maka saya merasa perlu melengkapi pembahasan tentang sajak-sajak Sutardji dengan hermeneutika puitik Abhinavagupta, seorang filosof, mistikus, penyair, dan pendiri Tantrisme Siwa dari Kasymir, India, yang hidup pada abad ke-11 M.
Penyair dan Shiseishin
Karena itu tidak mengherankan jika keduanya tidak terlalu mempedulikan bentuk pengucapan yang teratur dan rapi, kecuali dalam beberapa saja dari puisi mereka. Persamaan lainnya keduanya menekankan pentingnya hakikat puisi, peranan bahasa dan penjelmaannya dalam penuturan puitik. Semua itu bertalian dengan aspek batin sastra, bukan semata dengan aspek lahir dan formal penuturan sebagaimana disangka banyak pengamat atau kritikus. Ada persamaan antara dua penyair yang telah disebutkan itu, di samping tentu saja ada pula perbedaan. Keduanya memiliki koitmen yang besar terhadap sajak-sajak bebas (dimaksudkan oleh Sakutaro sebagai semangat puitik yang dimiliki penyair pada umumnya. yang kerap diartikan sebagai semangat puitik yang dimiliki penyair tertentu. Sedangkan dan hakikat puisi sangat berakar dalam puitika Jepang dan Cina yang berkembang di kalangan penganut Chan Buddhisme atau Zen Buddhisme. Dalam puitika Zen Buddhisme dikenal istilah , yang oleh Makoto Ueda (1983) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai ‘poetic spirit’. Walaupun Sakutaro menimba pengaruh bagi gagasannya dari beberapa filosof dan penyair Barat seperti Plato, Goethe, Schoupenhauer, Nietszche dan Edgar Allan Poe, namun pandangannya tentang Menurut Hagiwara Sakutaro puisi tidak pernah disebut puisi disebabkan bentuk lahirnya, tetapi karena semangat atau kekuatan batin yang menggerakkan hayatnya. Ia menyebut semangat yang tersembunyi di balik pengucapan puitik sebagai.)
Dalam wadah bahasa figuratif yang disebut puisi (Dalam sejarah puitika Cina hal yang sama dikemukakan oleh misalnya Wang Fu Chih, seorang filosof, penyair dan mistikus Chan Buddhisme abad ke-17 yang kesohor. Menurut Wang puisi tidak dapat dikatakan sebagai puisi semata-mata karena rangkaian kata-katanya yang disusun dengan aturan tertentu yang membuatnya berbeda dari prosa. Puisi juga tidak dapat dipandang sebagai perasaan yang disugestikan melalui kata-kata. Dalam puisinya seorang penyair ingin menjelmakan sebuah puisi tidak pernah dapat dijumpai dari ungkapan formalnya, sebab ia memang terletak di suatu tempat di mana tidak ada kata-kata. dapat diartikan sebagai renungan, perasaan, gagasan puitik, pemikiran, atau tanggapan terhadap hidup yang disampaikan dengan cara tertentu (Sui Kit Wong 1978). Di sebalik ungkakan puitik tersembunyi spirit tertentu yang diisyaratkan dan menggerakkan hidupnya sebuah puisi dari dalam. Karena itu makna (Sebagai istilah estetika) yang lahir dan berkembang di lingkungan penganut Zen Buddhisme dan juga puisi Sutardji sendiri. Haiku yang dimaksud ialah seperti berikut:Untuk menunjukkan bahwa apa yang dikatakan Wang Fu Chih itu benar, saya cukup memberi contoh sebuah puisi Jepang:
Meigetsu ya
ike wo megurite
yo-mo-sugara
Bulan terang
di kolam, aku berkeliling
dan malam hilang
Subagio Sastrowardojo 1971)
Yang sederhana puisi ini mampu menghidupkan suasana hening yang memberikan semacam pencerahan. Puisi ini tidak pengertian atau idea apa pun apabila yang dimaksud dengan pengertian atau idea bukan idea puitik atau pengalaman estetik disebabkan tercerahkannya kalbu. Dengan perkataan lain suasana hening dan keriangan rohani dapat dihidupkan melalui citraan alam dan pengalaman lahir. Malam dan juga bulan hilang lenyap dalam kesadaran subyek (penyair) yang tercerahkan.Melalui citra penglihatan.
Sekarang marilah kita simak sajak “Kubur” Sutardji Calzoum Bachri seperti berikut:
di lapangan berlayar kubur-kubur
kau dengar denyarnya
membawa pelabuhan pergi
di luar kubur
orang orang tanpa pelabuhan
melambaikan tangan
para pelaut
tak memberikan lambaian kembali
Dengan serangkaian citra lihatan, penyair membawa pembaca ke suatu dunia atau peristiwa di luar bahasa yang mengatasi kenyataan keseharian. Di dalam berpadu dua dimensi penting dari kehidupan manusia, yaitu kesadaran batin dan dimensi keberadaan (eksistensial) yang kongkrit , yaitu kepiluan dan kesendirian. Kepiluan dan kesendirian yang terbayang dalam sajak ini bukan kepiluan dan kesendirian lahiriah, melainkan kepiluan dan kesendirian spiritual yang membawa seseorang paham makna hidup.
Sering Sutardji menulis sajak seolah bermain-main dengan bahasa begitu bebasnya, tetapi tetap sajaknya menyajikan makna atau pengalaman estetik tertentu. Misalnya sajak berikut ini:
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sesaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
(1973)
Dalam lingkait sejarah persajakan Indonesia modern, sajak Sutardji ini memang terkesan sebagai epskerimental. Pada dasarnya ia berusaha membangkang tertahadap aturan-aturan ketat yang memandang puisi harus ditulis dengan dahi berkerut, penuh tanggungjawab (STA), kata-kata dipilih dengan serius (Chairil Anwar), dan lain-lain. Tetapi betapa pun demikian, jika kita baca rekaman-rekaman puisi lama dari berbagai peradaban, termasuk mantra-mantra Melayu dan Nusantara, apa yang dilakukan Sutardji sebenarnya merupakan pembongkaran dan penggalian kembali khazanah puitika lama yang telah tertimbun dan sengaja ditimbun, misalnya karena dianggap sebagai tradisi lapuk seperti dinyatakan oleh para pencetus Surat Kepercayaan Gelanggang (1949).
Bermain dengan kata-kata, mengutak-atiknya untuk menemukan penuturan puitik yang unik dan memikat, dapat dijumpai dalam khazanah sastra lama. Seorang penyair India atau Sanskerta abad ke-3 M menulis seperti berikut ini:
samesamasamomasassamememassasamasama
yoyatayatayayatiyayatyayatayataya
Bagi pembaca sastra Sanskerta sendiri puisi tersebut terasa menggelikan dan menimbulkan tawa, oleh karena seakan main-main. Memang sajak itu menyimpang dilihat dari sudut gramatika dan konvensi persajakan Sanskerta ketika itu. Tetapi tidak berarti tidak punya makna. Secara agak kreatif sajak tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:
jikakaujauhsatuharirasasatutahun
nanamunjikakaudisinisatutahunrasasatuhari
(metafora). Karena disampaikan melalui bahasa figuratif sastra, yang dalam dirinya penuh nuansa, maka komposisi puitik sebagai bangunan kerohanian yang kompleks dan terstruktur sedemikian rupa merupakan makna yang menurunkan makna-makna (Abdul Hadi W.M. 2004).(perumpamaan, simbol), dan (kias), yang kurang penting dibanding citraan atau image ialah merupakan komponen utamanya. Komponen lain dari ) yang di dalamnya citra atau citraan (Marilah kita kembali pada pokok bahasan kita, yaitu masalah penempatan citraan lihatan dalam kedudukan sentral dalam puitika Timur. Penempatan seperti itu ternyata tidak hanya berkembang dalam kesusastraan Cina dan Jepang, tetapi juga ditemui dalam puitika Arab Persia dan India. Estetikus Arab Persia terkemuka abad ke-11 M Abdul Qahir al-Jurjani juga telah mengatakannya. Menurut al-Jurjani, penuturan puitik berbeda dari penuturan diskursif prosa bukan disebabkan aturan formal cara penulisannya, melainkan disebabkan bangunan batinnya yang dijelmakan dalam bahasa figuratif sastra (
Semangat puitik, kata al-Jurjani, pada hakikatnya berada dalam cara penyair memandang sesuatu yang berbeda dari cara pandang biasa sehingga puisinya selalu tampak segar atau baru. Atau seperti dikatakan penyair Sanskerta abad ke-4 M, “Tujuan penyair menulis bukan hanya untuk menunjukkan bahwa bulan seperti wajah seorang gadis jelita, melainkan untuk menyampaikan dengan cara berbeda dan pesona tertentu” (Brough 1982).
setidak-tidaknya ada delapan yang dapat dikesan: Pertama, puisi berusaha melampaui kenyataan. Di sini semangat puitik secara esensial ialah romantik (baca: adventurir); kedua, puisi senantiasa mencari yang ideal. Di sini semangat puitik secara esensial ialah personal; ketiga, puisi memperbaiki bahasa. Di sini semangat puitik secara esensial bersifat retorik; keempat, puisi mengangkat keindahan setara dengan kebenaran. Di sini semangat puitik secara esensial ialah estetis; kelima, puisi mengeritik kenyataan. Di sini semangat puitik secara esensial menyampaikan hikmah secara halus atau tersirat; keenam, puisi mengangankan dunia yang transendental. Di sini semangat puitik secara esensial ialah metafisik; ketujuh, puisi menuntut bentuk. Di sini semangat puitik secara esensial ialah normative; kedelapan, puisi menuntut kebangsawanan jiwa dan keunikan. Di sini semangat puitik secara esensial mengunggulkan yang spritual di atas yang fisikal.Ciri-ciri dalam bukunya Kembali ke Sakutaro. Untuk memahami apa yang dimaksud semangat puitik kita harus membaca uraiannya tentang cirri-ciri.
Dalam hubungannya dengan sajak Sutardji barangkali yang penting ialah yang pertama, kedua, ketiga, keempat dan keenam.
Rumah Metafisik Penyair
atas kenyataan secara intelektual dengan memasukkan perasaan ke dalamnya dan menggunakan imaginasi. Pandangan tersebut secara tersirat ditolak oleh Sakutaro. Dia memandang hakikat puisi pada umumnya bersifat spiritual, karena ia dihasilkan melalui proses kejiwaan yang berbeda dari penuturan biasa. Penyair terutama sekali menggunakan peralatan intuisi dalam memandang dan menanggapi dunia dan keberadaannya, dan membangun ungkapan puitiknya dengan menggunakan imaginasi. Ciri pertama dari semangat puitik yang diuraikan Sakutaro berkaitan dengan pertanyaan yang sering dilontarkan orang tentang hubungan puisi dengan kenyataan, khususnya kenyataan sosial dan kenyataan keseharian pada umumnya. Kaum realis dan naturalis sangat menekankan hubungan antara puisi/sastra dan kenyataan. Mereka memandang sastra sebagai representasi atau tiruan (yang pertama ini berkaitan dengan ciri keenam, yaitu kecenderungan penyair untuk mengeritik kenyataan keseharian yang cenderung distortif karena tampak putus hubungannya dengan alam metafisik di atasnya di mana ia sebenarnya berakar. Kenyataan lahir dari kehidupan ini sesungguhnya juga bersifat temporal, tidak langgeng. Penyair menginginkan yang kekal atau yang trasendental, artinya yang mengatasi ruang dan waktu atau alam fisik yang merupakan kediamannya. Seperti dikatakan Sakutaro, sifat ungkapan puitik pada dasarnya melambung tinggi mengatasi kenyataan fenomenal dalam ruang dan waktu.
Ciri
Seperti Sutardji, Sakutaro berbeda dari penulis realis atau naturalis yang mencari tempat berteduh bagi kegelisahan jiwanya dalam tatanan kehidupan sosial tertentu yang dicitakan. Penyair sejati menurut Sakutaro mencari tempat berteduh di alam idea atau alam metafisik, sebab hanya di alam seperti itu ia melihat kenyataan dalam kehidupan lebih jernih dan dapat pula mempertanyakan apa hakikat kehidupan sebenarnya. Penyair dilahirkan, bukan dibuat. Demikian keyakinan Sakutaro. Jiwanya ditakdirkan untuk tidak betah dan risau tinggal di alam fisik dan sadar betul bahwa rumah sejati bagi jiwanya tidak berada di alam fisik melainkan di alam metafisik. Pernyataan Sakutaro ini menunjukkan benarnya pandangan Dilthey, ahli hermeneutika Jerman abad ke-19 M, yang berpendapat bahwa sastra, dan khususnya lagi, merupakan ekspresi keruhanian yang berkembang tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi, sebagaimana filsafat dan pemikiran keagamaan.
membuat puisi melambung mengatasi kenyataan, maka pada saat bersamaan ia cenderung kritis terhadap kenyataan. Oleh karena itu tak mengherankan pula apabila penyair lebih memberi tempat pada kenyataan atau pengalaman batin dalam penulisan puisinya dibanding kenyataan atau pengalaman lahir. Dunia yang aktual bagi penyair adalah superficial apabila hanya dicerap secara inderawi, serta tidak utuh apabila tidak menyertakan intuisi atau penglihatan batin. Dengan intuisi, pengalaman yang diperoleh dari kenyataan keseharian yang bertimbun-timbun dan berserak-serak dapat dipadukan menjadi kesatuan yang saling terkait. Sakutaro tiba pada pandangan yang sukar digoyahkan dan sekaligus pandangannya melahirkan banyak pertanyaan yang sukar dijawab. Karena menurut Sakutaro, apabila dalam memandang gejala aktual kehidupan seorang penyair mampu menggunakan intuisinya, maka melalui yang aktual ia akan mampu melihat kenyataan lain yang tidak kalah aktual dalam tatanan kewujudan yang lebih tinggi, yaitu tatanan kewujudan di alam ideaa atau keruhanian. Karena hadir dalam jiwa dan pikirannya secara obyektif dan hidup, gambaran-gambaran tersebut menjadi karib.
Pada hakikatnya bersifat romantik, kata-kata romantik digunakan di sini untuk menerangkan tujuan penyair melahirkan puisi. Menurut Sakutaro, tujuan penyair melahirkan puisi ialah untuk mencapai dan menghadirkan sebuah visi keruhanian yang terabaikan dalam kehidupan normal sehari-hari. Tidak peduli apakah visi yang dicapai dan dihadirkan itu mendatangkan rasa pilu, seperti dijumpai dalam sajak-sajak Sutardji dan Sakutaro sendiri. Ataukah visi itu menerbitkan keriangan spiritual. Puisi menurut Sakutaro adalah ungkapan kerinduan penyair terhadap rumah spiritualnya yang berada di alam metafisik, dan alam ini mengambil tempat bukan di luar diri penyair melainkan di dalam kesadarannya. Kerinduan terhadap rumah spiritualnya itulah yang menyebabkan
Apa yang dikatakan Sakutaro itu terdengar gaungnya dalam sajak Sutardji. Misalnya dalam sajak “Berdarah” yang menggunakan citraan utama kapak seperti berikut:
hari ini aku berdarah. kapak hitam menakik almanakku.
pecahlah rabuku mengalirlah pecahlah seninku mengalirlah
pecahlah selasaku mengalirlah pecahlah jumatku mengalirlah
darah mengalir dalam denyut dalam debar. darah nyerbu dalam
kamus diriku dalam rongga pustakaku. segalanya terdedah untuk
darah segalanya terbuka untuk luka
yang di dalamnya sajak “Berdarah” berada, Sutardji mengatakan: “Kenapa kapak? Imaji kapak memecahkan kemampatan. Sekali orang jatuh dalam kerutinan, itu waktu dia termasuk dalam kemampatan. Batin jadi mampat. Untuk itu dibutuhkan kapak guna memecahkannya sehingga hari-hari akan mengalir dengan deras menantang kita untuk kreatif. Hidup menjadi lebih gairah karena ditantang dan dirangsang untuk kreatif. Setiap saat.” Dalam pengantar antologinya
Sebaliknya dalam sajak “Gajah dan Semut” visi yang dihadirkan berupa keriangan spiritual. Penyair membandingkan antara jiwa yang terbelenggu oleh masalah keseharian dan jiwa yang bebas dari beban dunia melalui citraan simbolik gajah dan semut.
tujuh gajah
cemas
meniti jembut
serambut
tujuh semut
turun gunung
terkekeh
kekeh
Perjalanan kalbu dalam tasawuf dalam sajak “Peminum”. Puisi ini menghadirkan visi keriangan spiritual yang diabaikan dalam kehidupan kita keseharian yang terseok-seok bergelut dengan masalah dunia. Visi semacam itu melahirkan hasrat pentingnya perawatan dan pemeliharaan kehidupan ruhani: Jiwa yang terbebas dari beban dunia dan keseharian digambarkan sebagai seorang peminum yang mendaki gunung mabuk (baca ekstase).
di lereng-lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
di puncak
di puncak gunung mabuk
mereka berhasil memetik bulan
mereka menyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan
Tidak ada yang istimewa dalam sajak ini berkaitan dengan diksi atau pilihan kata-katanya. Dilihat dari sudut kebahasaan, khususnya sintaksis, juga tidak ada yang istimewa. Kekuatan sajak ini sudah pasti terletak pada citra-citra lihatan (imaji visual) yang dibangun sedemikian rupa sehingga mampu menyajikan gambaran yang hidup. Penyair sanggup menghadirkan sebuah dunia yang hidup dalam imaginasi pembacanya. Keriangan spiritual yang dihadirkan memberikan visi tersendiri kepada pembaca yang jiwanya peka, yaitu visi keruhanian yang mendatangkan pencerahan batin. Tak ubahnya seperti haiku Jepang seperti dikutip pada bagian awal esai ini.
antara alam nyata dan alam transcendental atau metafisik. , yaitu alam imaginal yang merupakan badan halus seseorang dan berperan sebagai perantara (menurut Sakutaro mengangankan yang ideal, dan juga oleh karena yang ideal tidak dijumpai dalam kehidupan rutin keseharian, maka tidak mengherankan jika penyair merindukan rumah di alam yang menempati tatanan kewujudan lebih tinggi. Berdasarkan ini puisi dapat dipandang sebagai ekspresi kerinduan penyair pada kampung halamannya yang abadi di alam keruhanian. Dalam psikologi Jung, alam seperti itu disebut alam arketipal, sedangkan Ibn `Arabi (abad ke12 M) menyebutnya sebagai alam misal ( Telah dikemukakan bahwa karena ciri utama dirujuk pada konsep Plato tentang tatanan wujud atau keberadaan di atas tatanan wujud fisik. lebih kerap diartikan sebagai ‘mimpi’. Sedangkan kata-kata ini kemudian dirangkai dengan kata idea. Dalam bahasa Cina atau Mandarin, ideograf yang menunjuk pada kata untuk menyebut kerinduan yang dimaksud dan Ueda menerjemahkannya menjadi nostalgia. Kata-kata Alam seperti itu hanya dapat dibayangkan melalui citraan-citraan kosmologis dan anthromorfis yang dapat menghidupkan persepsi indera sekaligus imaginasi. Hanya dengan itu alam yang diangankan itu dapat dihadirkan, yaitu melalui puisi. Sakutaro menggunakan kata-kata Cina.
Melalui penjelasannya itu kita lantas paham mengapa Sakutaro, seperti juga Sutardji dalam sastra Indonesia modern dan Abdul Qadir al-Jurjani (abad ke-12 M) dalam sastra Arab Persia, menempatkan citraan puitik dalam kedudukan sentral dalam penuturan puitik. Hampir semua sajak Sutardji, seperti sajak Hagiwara Sakutaro, mengandalkan pada citraan puitik dalam mensugestikan rumah metafisik atau rumah spiritual yang mereka rindukan. Pada sajak-sajaknya yang awal tampak bahwa Sutardji baru dalam pencarian, tetapi pada akhirnya toh ia menjumpainya. Ini dapat dilihat dalam sajak yang benar-benar sufistik seperti “Para Peminum” sebagaimana telah ditunjukkan. Begitu pula dalam “Sampai”:Seorang filosof, kata Sakutaro, membangun dunia idea atau yang dicitakan melalui pemikiran diskursif yang cenderung abstrak. Sedangkan penyair membangun dunia yang dimimpikan dengan gambaran tentang obyek-obyek yang dapat diindera dan itu tidak lain adalah citraan puitik (
Hafiz ketemu Tuhan semalam
tapi kini di mana Hafiz
Rumi menari bersama Dia
tapi kini di mana Rumi
Hamzah jumpa Dia di rumah
tapi kini di mana Fansuri
Tardji menggapai Dia di puncak
tapi kini di mana Tardji
kami tak di mana mana
kami mengatas meninggi
kami dekat
Apa yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa dalam perjalanan kepenyairannya Sutardji Calzoum Bachri mulai dengan menentang konvensi dan norma-norma sastra yang berlaku sebelumnya dan berakhir dengan penciptaan kovensi dan norma yang baru. Seninya bukan anti-seni, tetapi menciptakan seni baru yang unik dan berbeda dari sebelumnya. Pembaruan yang ia lakukan bertolak dari yang telah ada dalam kebudayaan bangsanya, namun sebegitu lama diabaikan atau dilupakan oleh penyair Indonesia modern sebelum sang pendekar muncul. Itulah sebabnya dia selalu mengatakan bahwa apa yang dilakukan adalah menggali akar tradisi.
oleh Abdul Hadi W.M
25 April 2011 jam 21:16
Sutardji adalah penyair Indonesia mutakhir yang paling banyak disorot dan dibicarakan sejak tiga dasawarsa lampau. Kalau bukan disebabkan oleh gebrakan kredo puisi dan sajak-sajaknya, sorotan pasti tertuju pada aksinya di pentas dalam membacakan sajak-sajaknya. Sejauh mengenai sajak-sajaknya, dan kaitan dengan kredo puisinya, tampak kecenderungan umum untuk hanya menyorot segi formal dan struktur lahir dari ungkapan estetiknya.
Struktur batin sajak-sajaknya, pandangannya tentang hakikat puisi dan kata dalam puisi, yang memberi corak tersendiri pada semangat kepenyairannya jarang sekali dibicarakan. Pembahasan berkenaan semangat keruhanian atau asas metafisika yang melapisi sajak-sajaknya di masa lalu dilakukan antara lain oleh Dami N. Toda dan Popo Iskandar. Dami N. Toda mencoba memahami lompatan yang dilakukan Sutardji dalam perpuisian Indonesia melalui wawasan estetik yang diduga melandasi penciptaan sajak-sajak mantranya. Popo Iskandar mengaitkan lompatan estetik yang dilakukan sang penyair dan topografi sajak-sajaknya yang jalin menjalin seperti pantun berkait.
Belakangan Donny Gahral Adian (2007) mencoba meneliti jiwa yang melandasi pembrontakan dan perlawanan Sutardji terhadap konvensi dan norma-norma sastra yang berlaku dalam persajakan Indonesia modern. Meurut Gahral Adian, puisi Sutardji membuat kita berpikir tentang hakikat puisi dan sekaligus merupakan esai panjang tentang puisi. Ia menantang persepsi kita tentang kata dan manusia, bahkan merupakan sebuah esai filsafat tentang bahasa, khususnya kata. Menurutnya lagi Sutardji ingin menghidupkan puisi yang mati suri di bawah bayangan bentuk–bentuk normalitas seperti filsafat, agama, ideology, dan seni, bahkan kebaikan, keindahan, dan lain sebagainya.
Tapi sayang, karena Donny Gahral bertolak dari asumsi posmodernisme yang skeptis terhadap kesanggupan bahasa dalam mengungkapkan makna, suatu hal yang sebenarnya ditolak oleh Sutardji sendiri (2006), maka pendapatnya itu menyisakan banyak pertanyaan baik tentang hakikat puisi maupun tentang peranan kata dalam penuturan puitik. Kecuali itu bahasannya cenderung ahistoris, padahal kredo puisi Sutardji paling mungkin dipahami jika dilihat dalam lingkait atau konteks perkembangan puisi Indonesia modern atau kecenderungan umumnya sejak awal 1950an hingga pertengahan 1960an. Ia menolak kecenderungan menjadikan bahasa dalam penuturan puitik hanya sebatas alat komunikasi, malahan juga menolak pendirian bahwa bahasa merupakan media ekspresi.
Pernyataan Sutardji dalam kredonya 1973 bahwa, ‘Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian’ melainkan ‘Pengertian itu sendiri dan dia bebas’ dapat dipahami dalam lingkait itu. Ia tidak lahir dari sikap skeptip atau sangsi terhadap bahasa, juga bukan dari keyakinan matinya ‘subyek’ (yakni penyair serta kewenangannya menafsirkan kebenaran) dan puisi. Melalui kredonya itu Sutardji menolak teori representasi (mimesis) kaum formalis yang memandang sastra sebagai tiruan kenyataan yang dilontarkan kembali oleh penyair menggunakan sarana imaginasi dan bahasa figurative. Ia juga tidak puas dengan teori ekspressi yang menyatakan bahwa puisi atau seni sekadar luahan perasaan individual sedalam-dalamnya. Apa yang dinyatakan penyair sepenuhnya subyektif, makna dan semangat yang disugestikan dalam sebuah puisi dapat dibagi kepada khalayak pembaca. Melalui proses pembacaan yang intens, bisikan-bisikan halus puisi dapat bergema kembali dan menggetarkan hati orang lain. Apa yang semula tampak subyektif, kini menjadi obyektif dan hidup dalam jiwa pembaca. Ketakhadiran digantikan dengan kehadiran (presence), yang berbeda (difference) berubah menjadi yang tak berbeda. ‘Aku’ penyair berubah menjadi ‘aku’ pembaca.
Pandangan Sutardji dalam hal ini saya kira dekat dengan teori presentasi Gadamer yang berpandapat bahwa puisi adalah penyajian pengalaman estetik penyair secara simbolik. Pendapat Gahral yang lain yang tidak kalah penting untuk dicatat karena tidak produktif bagi pemahaman ‘yang semestinya’. Menurut Gahral lagi, kehadiran kredo dan sajak-sajaknya Sutardji ingin menghidupkan puisi yang mati suri di bawah bayangan bentuk-bentuk normativitas seperti filsafat, agama, ideology, dan seni, bahkan kebaikan, keindahan, dan lain sebagainya. Ia ingin membawa kita melihat bahwa sajak-sajak Sutardji anti-filsafat, anti-agama, anti-ideologi, dan bahkan anti-seni. Dengan mudah pendirian ini dapat ditangkis, karena sajak-sajak Sutardji bukan saja mengandung dimensi religius dan sufistik, tetapi juga kaya dengan renungan falsafah dan hadir pula sebagai ragam seni yang bermutu.
Lagi pula pada hakikatnya, keindahan atau kebenaran sebagai nilai, tidak normatif selama masih menjadi penghuni jiwa dan atau hati nurani. Tetapi begitu dihadirkan menjadi teks, menjadi sukhan atau wacana, ia lantas menjadi normatif dalam arti membentuk normanya sendiri. Pendapat Harry Aveling membenarkan pendirian ini. Menurut Harry Aveling (2007) sebagai penyair Sutardji tidak menghancurkan norma-norma puitika lama. Dia hanya merubah kovensi sastra yang tumbuh dalam sejarah persajakan Indonesia modern dan berusaha meneroka bahasa, bentuk dan makna puisi dengan cara yang berbeda.
Bertolak dari dua pandangan yang berbeda itu, saya ingin menyajikan semacam testimoni terhadap arti kehadiran puisi Sutardji dalam sejarah persajakan Indonesia modern. Testimoni itu perlu saya lakukan karena banyak hal yang dikemukakan oleh dua kritikus yang telah disebutkan menyisakan banyak masalah, yang paling tidak – jika tidak bisa didialogkan, dapat diperdebatkan, asal saja produktif. Testimoni yang akan saya lakukan berhubungan dengan aspek batin puisi Sutardji. Pertanyaan apa hakikat puisi pada dasarnya bertalian dengan pernyataan apa kodrat puisi, dan peranan bahasa/kata dalam penuturan puitik. Selanjutnya pertanyaan tentang apa kodrat dan hakikat puisi bertalian pula dengan jiwa atau semangat tertentu yang mendasari lahirnya penuturan puitik dalam sejarah peradaban manusia.
Untuk menjawab persoalan ini saya akan mempertemukan, pertama-tama puisi Sutardji dengan puitik Hagiwara Sakutaro, penyair Jepang yang wafat pada tahun 1941 dan dipandang sebagai bapak puisi kontemporer (gendaishi) Jepang. Kemudian, oleh karena Sakutaro kurang meneroka hubungan kodrat puisi dengan hakikat bahasa puitik/tujuan penciptaan puisi, maka saya merasa perlu melengkapi pembahasan tentang sajak-sajak Sutardji dengan hermeneutika puitik Abhinavagupta, seorang filosof, mistikus, penyair, dan pendiri Tantrisme Siwa dari Kasymir, India, yang hidup pada abad ke-11 M.
Penyair dan Shiseishin
Karena itu tidak mengherankan jika keduanya tidak terlalu mempedulikan bentuk pengucapan yang teratur dan rapi, kecuali dalam beberapa saja dari puisi mereka. Persamaan lainnya keduanya menekankan pentingnya hakikat puisi, peranan bahasa dan penjelmaannya dalam penuturan puitik. Semua itu bertalian dengan aspek batin sastra, bukan semata dengan aspek lahir dan formal penuturan sebagaimana disangka banyak pengamat atau kritikus. Ada persamaan antara dua penyair yang telah disebutkan itu, di samping tentu saja ada pula perbedaan. Keduanya memiliki koitmen yang besar terhadap sajak-sajak bebas (dimaksudkan oleh Sakutaro sebagai semangat puitik yang dimiliki penyair pada umumnya. yang kerap diartikan sebagai semangat puitik yang dimiliki penyair tertentu. Sedangkan dan hakikat puisi sangat berakar dalam puitika Jepang dan Cina yang berkembang di kalangan penganut Chan Buddhisme atau Zen Buddhisme. Dalam puitika Zen Buddhisme dikenal istilah , yang oleh Makoto Ueda (1983) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai ‘poetic spirit’. Walaupun Sakutaro menimba pengaruh bagi gagasannya dari beberapa filosof dan penyair Barat seperti Plato, Goethe, Schoupenhauer, Nietszche dan Edgar Allan Poe, namun pandangannya tentang Menurut Hagiwara Sakutaro puisi tidak pernah disebut puisi disebabkan bentuk lahirnya, tetapi karena semangat atau kekuatan batin yang menggerakkan hayatnya. Ia menyebut semangat yang tersembunyi di balik pengucapan puitik sebagai.)
Dalam wadah bahasa figuratif yang disebut puisi (Dalam sejarah puitika Cina hal yang sama dikemukakan oleh misalnya Wang Fu Chih, seorang filosof, penyair dan mistikus Chan Buddhisme abad ke-17 yang kesohor. Menurut Wang puisi tidak dapat dikatakan sebagai puisi semata-mata karena rangkaian kata-katanya yang disusun dengan aturan tertentu yang membuatnya berbeda dari prosa. Puisi juga tidak dapat dipandang sebagai perasaan yang disugestikan melalui kata-kata. Dalam puisinya seorang penyair ingin menjelmakan sebuah puisi tidak pernah dapat dijumpai dari ungkapan formalnya, sebab ia memang terletak di suatu tempat di mana tidak ada kata-kata. dapat diartikan sebagai renungan, perasaan, gagasan puitik, pemikiran, atau tanggapan terhadap hidup yang disampaikan dengan cara tertentu (Sui Kit Wong 1978). Di sebalik ungkakan puitik tersembunyi spirit tertentu yang diisyaratkan dan menggerakkan hidupnya sebuah puisi dari dalam. Karena itu makna (Sebagai istilah estetika) yang lahir dan berkembang di lingkungan penganut Zen Buddhisme dan juga puisi Sutardji sendiri. Haiku yang dimaksud ialah seperti berikut:Untuk menunjukkan bahwa apa yang dikatakan Wang Fu Chih itu benar, saya cukup memberi contoh sebuah puisi Jepang:
Meigetsu ya
ike wo megurite
yo-mo-sugara
Bulan terang
di kolam, aku berkeliling
dan malam hilang
Subagio Sastrowardojo 1971)
Yang sederhana puisi ini mampu menghidupkan suasana hening yang memberikan semacam pencerahan. Puisi ini tidak pengertian atau idea apa pun apabila yang dimaksud dengan pengertian atau idea bukan idea puitik atau pengalaman estetik disebabkan tercerahkannya kalbu. Dengan perkataan lain suasana hening dan keriangan rohani dapat dihidupkan melalui citraan alam dan pengalaman lahir. Malam dan juga bulan hilang lenyap dalam kesadaran subyek (penyair) yang tercerahkan.Melalui citra penglihatan.
Sekarang marilah kita simak sajak “Kubur” Sutardji Calzoum Bachri seperti berikut:
di lapangan berlayar kubur-kubur
kau dengar denyarnya
membawa pelabuhan pergi
di luar kubur
orang orang tanpa pelabuhan
melambaikan tangan
para pelaut
tak memberikan lambaian kembali
Dengan serangkaian citra lihatan, penyair membawa pembaca ke suatu dunia atau peristiwa di luar bahasa yang mengatasi kenyataan keseharian. Di dalam berpadu dua dimensi penting dari kehidupan manusia, yaitu kesadaran batin dan dimensi keberadaan (eksistensial) yang kongkrit , yaitu kepiluan dan kesendirian. Kepiluan dan kesendirian yang terbayang dalam sajak ini bukan kepiluan dan kesendirian lahiriah, melainkan kepiluan dan kesendirian spiritual yang membawa seseorang paham makna hidup.
Sering Sutardji menulis sajak seolah bermain-main dengan bahasa begitu bebasnya, tetapi tetap sajaknya menyajikan makna atau pengalaman estetik tertentu. Misalnya sajak berikut ini:
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sesaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
(1973)
Dalam lingkait sejarah persajakan Indonesia modern, sajak Sutardji ini memang terkesan sebagai epskerimental. Pada dasarnya ia berusaha membangkang tertahadap aturan-aturan ketat yang memandang puisi harus ditulis dengan dahi berkerut, penuh tanggungjawab (STA), kata-kata dipilih dengan serius (Chairil Anwar), dan lain-lain. Tetapi betapa pun demikian, jika kita baca rekaman-rekaman puisi lama dari berbagai peradaban, termasuk mantra-mantra Melayu dan Nusantara, apa yang dilakukan Sutardji sebenarnya merupakan pembongkaran dan penggalian kembali khazanah puitika lama yang telah tertimbun dan sengaja ditimbun, misalnya karena dianggap sebagai tradisi lapuk seperti dinyatakan oleh para pencetus Surat Kepercayaan Gelanggang (1949).
Bermain dengan kata-kata, mengutak-atiknya untuk menemukan penuturan puitik yang unik dan memikat, dapat dijumpai dalam khazanah sastra lama. Seorang penyair India atau Sanskerta abad ke-3 M menulis seperti berikut ini:
samesamasamomasassamememassasamasama
yoyatayatayayatiyayatyayatayataya
Bagi pembaca sastra Sanskerta sendiri puisi tersebut terasa menggelikan dan menimbulkan tawa, oleh karena seakan main-main. Memang sajak itu menyimpang dilihat dari sudut gramatika dan konvensi persajakan Sanskerta ketika itu. Tetapi tidak berarti tidak punya makna. Secara agak kreatif sajak tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:
jikakaujauhsatuharirasasatutahun
nanamunjikakaudisinisatutahunrasasatuhari
(metafora). Karena disampaikan melalui bahasa figuratif sastra, yang dalam dirinya penuh nuansa, maka komposisi puitik sebagai bangunan kerohanian yang kompleks dan terstruktur sedemikian rupa merupakan makna yang menurunkan makna-makna (Abdul Hadi W.M. 2004).(perumpamaan, simbol), dan (kias), yang kurang penting dibanding citraan atau image ialah merupakan komponen utamanya. Komponen lain dari ) yang di dalamnya citra atau citraan (Marilah kita kembali pada pokok bahasan kita, yaitu masalah penempatan citraan lihatan dalam kedudukan sentral dalam puitika Timur. Penempatan seperti itu ternyata tidak hanya berkembang dalam kesusastraan Cina dan Jepang, tetapi juga ditemui dalam puitika Arab Persia dan India. Estetikus Arab Persia terkemuka abad ke-11 M Abdul Qahir al-Jurjani juga telah mengatakannya. Menurut al-Jurjani, penuturan puitik berbeda dari penuturan diskursif prosa bukan disebabkan aturan formal cara penulisannya, melainkan disebabkan bangunan batinnya yang dijelmakan dalam bahasa figuratif sastra (
Semangat puitik, kata al-Jurjani, pada hakikatnya berada dalam cara penyair memandang sesuatu yang berbeda dari cara pandang biasa sehingga puisinya selalu tampak segar atau baru. Atau seperti dikatakan penyair Sanskerta abad ke-4 M, “Tujuan penyair menulis bukan hanya untuk menunjukkan bahwa bulan seperti wajah seorang gadis jelita, melainkan untuk menyampaikan dengan cara berbeda dan pesona tertentu” (Brough 1982).
setidak-tidaknya ada delapan yang dapat dikesan: Pertama, puisi berusaha melampaui kenyataan. Di sini semangat puitik secara esensial ialah romantik (baca: adventurir); kedua, puisi senantiasa mencari yang ideal. Di sini semangat puitik secara esensial ialah personal; ketiga, puisi memperbaiki bahasa. Di sini semangat puitik secara esensial bersifat retorik; keempat, puisi mengangkat keindahan setara dengan kebenaran. Di sini semangat puitik secara esensial ialah estetis; kelima, puisi mengeritik kenyataan. Di sini semangat puitik secara esensial menyampaikan hikmah secara halus atau tersirat; keenam, puisi mengangankan dunia yang transendental. Di sini semangat puitik secara esensial ialah metafisik; ketujuh, puisi menuntut bentuk. Di sini semangat puitik secara esensial ialah normative; kedelapan, puisi menuntut kebangsawanan jiwa dan keunikan. Di sini semangat puitik secara esensial mengunggulkan yang spritual di atas yang fisikal.Ciri-ciri dalam bukunya Kembali ke Sakutaro. Untuk memahami apa yang dimaksud semangat puitik kita harus membaca uraiannya tentang cirri-ciri.
Dalam hubungannya dengan sajak Sutardji barangkali yang penting ialah yang pertama, kedua, ketiga, keempat dan keenam.
Rumah Metafisik Penyair
atas kenyataan secara intelektual dengan memasukkan perasaan ke dalamnya dan menggunakan imaginasi. Pandangan tersebut secara tersirat ditolak oleh Sakutaro. Dia memandang hakikat puisi pada umumnya bersifat spiritual, karena ia dihasilkan melalui proses kejiwaan yang berbeda dari penuturan biasa. Penyair terutama sekali menggunakan peralatan intuisi dalam memandang dan menanggapi dunia dan keberadaannya, dan membangun ungkapan puitiknya dengan menggunakan imaginasi. Ciri pertama dari semangat puitik yang diuraikan Sakutaro berkaitan dengan pertanyaan yang sering dilontarkan orang tentang hubungan puisi dengan kenyataan, khususnya kenyataan sosial dan kenyataan keseharian pada umumnya. Kaum realis dan naturalis sangat menekankan hubungan antara puisi/sastra dan kenyataan. Mereka memandang sastra sebagai representasi atau tiruan (yang pertama ini berkaitan dengan ciri keenam, yaitu kecenderungan penyair untuk mengeritik kenyataan keseharian yang cenderung distortif karena tampak putus hubungannya dengan alam metafisik di atasnya di mana ia sebenarnya berakar. Kenyataan lahir dari kehidupan ini sesungguhnya juga bersifat temporal, tidak langgeng. Penyair menginginkan yang kekal atau yang trasendental, artinya yang mengatasi ruang dan waktu atau alam fisik yang merupakan kediamannya. Seperti dikatakan Sakutaro, sifat ungkapan puitik pada dasarnya melambung tinggi mengatasi kenyataan fenomenal dalam ruang dan waktu.
Ciri
Seperti Sutardji, Sakutaro berbeda dari penulis realis atau naturalis yang mencari tempat berteduh bagi kegelisahan jiwanya dalam tatanan kehidupan sosial tertentu yang dicitakan. Penyair sejati menurut Sakutaro mencari tempat berteduh di alam idea atau alam metafisik, sebab hanya di alam seperti itu ia melihat kenyataan dalam kehidupan lebih jernih dan dapat pula mempertanyakan apa hakikat kehidupan sebenarnya. Penyair dilahirkan, bukan dibuat. Demikian keyakinan Sakutaro. Jiwanya ditakdirkan untuk tidak betah dan risau tinggal di alam fisik dan sadar betul bahwa rumah sejati bagi jiwanya tidak berada di alam fisik melainkan di alam metafisik. Pernyataan Sakutaro ini menunjukkan benarnya pandangan Dilthey, ahli hermeneutika Jerman abad ke-19 M, yang berpendapat bahwa sastra, dan khususnya lagi, merupakan ekspresi keruhanian yang berkembang tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi, sebagaimana filsafat dan pemikiran keagamaan.
membuat puisi melambung mengatasi kenyataan, maka pada saat bersamaan ia cenderung kritis terhadap kenyataan. Oleh karena itu tak mengherankan pula apabila penyair lebih memberi tempat pada kenyataan atau pengalaman batin dalam penulisan puisinya dibanding kenyataan atau pengalaman lahir. Dunia yang aktual bagi penyair adalah superficial apabila hanya dicerap secara inderawi, serta tidak utuh apabila tidak menyertakan intuisi atau penglihatan batin. Dengan intuisi, pengalaman yang diperoleh dari kenyataan keseharian yang bertimbun-timbun dan berserak-serak dapat dipadukan menjadi kesatuan yang saling terkait. Sakutaro tiba pada pandangan yang sukar digoyahkan dan sekaligus pandangannya melahirkan banyak pertanyaan yang sukar dijawab. Karena menurut Sakutaro, apabila dalam memandang gejala aktual kehidupan seorang penyair mampu menggunakan intuisinya, maka melalui yang aktual ia akan mampu melihat kenyataan lain yang tidak kalah aktual dalam tatanan kewujudan yang lebih tinggi, yaitu tatanan kewujudan di alam ideaa atau keruhanian. Karena hadir dalam jiwa dan pikirannya secara obyektif dan hidup, gambaran-gambaran tersebut menjadi karib.
Pada hakikatnya bersifat romantik, kata-kata romantik digunakan di sini untuk menerangkan tujuan penyair melahirkan puisi. Menurut Sakutaro, tujuan penyair melahirkan puisi ialah untuk mencapai dan menghadirkan sebuah visi keruhanian yang terabaikan dalam kehidupan normal sehari-hari. Tidak peduli apakah visi yang dicapai dan dihadirkan itu mendatangkan rasa pilu, seperti dijumpai dalam sajak-sajak Sutardji dan Sakutaro sendiri. Ataukah visi itu menerbitkan keriangan spiritual. Puisi menurut Sakutaro adalah ungkapan kerinduan penyair terhadap rumah spiritualnya yang berada di alam metafisik, dan alam ini mengambil tempat bukan di luar diri penyair melainkan di dalam kesadarannya. Kerinduan terhadap rumah spiritualnya itulah yang menyebabkan
Apa yang dikatakan Sakutaro itu terdengar gaungnya dalam sajak Sutardji. Misalnya dalam sajak “Berdarah” yang menggunakan citraan utama kapak seperti berikut:
hari ini aku berdarah. kapak hitam menakik almanakku.
pecahlah rabuku mengalirlah pecahlah seninku mengalirlah
pecahlah selasaku mengalirlah pecahlah jumatku mengalirlah
darah mengalir dalam denyut dalam debar. darah nyerbu dalam
kamus diriku dalam rongga pustakaku. segalanya terdedah untuk
darah segalanya terbuka untuk luka
yang di dalamnya sajak “Berdarah” berada, Sutardji mengatakan: “Kenapa kapak? Imaji kapak memecahkan kemampatan. Sekali orang jatuh dalam kerutinan, itu waktu dia termasuk dalam kemampatan. Batin jadi mampat. Untuk itu dibutuhkan kapak guna memecahkannya sehingga hari-hari akan mengalir dengan deras menantang kita untuk kreatif. Hidup menjadi lebih gairah karena ditantang dan dirangsang untuk kreatif. Setiap saat.” Dalam pengantar antologinya
Sebaliknya dalam sajak “Gajah dan Semut” visi yang dihadirkan berupa keriangan spiritual. Penyair membandingkan antara jiwa yang terbelenggu oleh masalah keseharian dan jiwa yang bebas dari beban dunia melalui citraan simbolik gajah dan semut.
tujuh gajah
cemas
meniti jembut
serambut
tujuh semut
turun gunung
terkekeh
kekeh
Perjalanan kalbu dalam tasawuf dalam sajak “Peminum”. Puisi ini menghadirkan visi keriangan spiritual yang diabaikan dalam kehidupan kita keseharian yang terseok-seok bergelut dengan masalah dunia. Visi semacam itu melahirkan hasrat pentingnya perawatan dan pemeliharaan kehidupan ruhani: Jiwa yang terbebas dari beban dunia dan keseharian digambarkan sebagai seorang peminum yang mendaki gunung mabuk (baca ekstase).
di lereng-lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
di puncak
di puncak gunung mabuk
mereka berhasil memetik bulan
mereka menyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan
Tidak ada yang istimewa dalam sajak ini berkaitan dengan diksi atau pilihan kata-katanya. Dilihat dari sudut kebahasaan, khususnya sintaksis, juga tidak ada yang istimewa. Kekuatan sajak ini sudah pasti terletak pada citra-citra lihatan (imaji visual) yang dibangun sedemikian rupa sehingga mampu menyajikan gambaran yang hidup. Penyair sanggup menghadirkan sebuah dunia yang hidup dalam imaginasi pembacanya. Keriangan spiritual yang dihadirkan memberikan visi tersendiri kepada pembaca yang jiwanya peka, yaitu visi keruhanian yang mendatangkan pencerahan batin. Tak ubahnya seperti haiku Jepang seperti dikutip pada bagian awal esai ini.
antara alam nyata dan alam transcendental atau metafisik. , yaitu alam imaginal yang merupakan badan halus seseorang dan berperan sebagai perantara (menurut Sakutaro mengangankan yang ideal, dan juga oleh karena yang ideal tidak dijumpai dalam kehidupan rutin keseharian, maka tidak mengherankan jika penyair merindukan rumah di alam yang menempati tatanan kewujudan lebih tinggi. Berdasarkan ini puisi dapat dipandang sebagai ekspresi kerinduan penyair pada kampung halamannya yang abadi di alam keruhanian. Dalam psikologi Jung, alam seperti itu disebut alam arketipal, sedangkan Ibn `Arabi (abad ke12 M) menyebutnya sebagai alam misal ( Telah dikemukakan bahwa karena ciri utama dirujuk pada konsep Plato tentang tatanan wujud atau keberadaan di atas tatanan wujud fisik. lebih kerap diartikan sebagai ‘mimpi’. Sedangkan kata-kata ini kemudian dirangkai dengan kata idea. Dalam bahasa Cina atau Mandarin, ideograf yang menunjuk pada kata untuk menyebut kerinduan yang dimaksud dan Ueda menerjemahkannya menjadi nostalgia. Kata-kata Alam seperti itu hanya dapat dibayangkan melalui citraan-citraan kosmologis dan anthromorfis yang dapat menghidupkan persepsi indera sekaligus imaginasi. Hanya dengan itu alam yang diangankan itu dapat dihadirkan, yaitu melalui puisi. Sakutaro menggunakan kata-kata Cina.
Melalui penjelasannya itu kita lantas paham mengapa Sakutaro, seperti juga Sutardji dalam sastra Indonesia modern dan Abdul Qadir al-Jurjani (abad ke-12 M) dalam sastra Arab Persia, menempatkan citraan puitik dalam kedudukan sentral dalam penuturan puitik. Hampir semua sajak Sutardji, seperti sajak Hagiwara Sakutaro, mengandalkan pada citraan puitik dalam mensugestikan rumah metafisik atau rumah spiritual yang mereka rindukan. Pada sajak-sajaknya yang awal tampak bahwa Sutardji baru dalam pencarian, tetapi pada akhirnya toh ia menjumpainya. Ini dapat dilihat dalam sajak yang benar-benar sufistik seperti “Para Peminum” sebagaimana telah ditunjukkan. Begitu pula dalam “Sampai”:Seorang filosof, kata Sakutaro, membangun dunia idea atau yang dicitakan melalui pemikiran diskursif yang cenderung abstrak. Sedangkan penyair membangun dunia yang dimimpikan dengan gambaran tentang obyek-obyek yang dapat diindera dan itu tidak lain adalah citraan puitik (
Hafiz ketemu Tuhan semalam
tapi kini di mana Hafiz
Rumi menari bersama Dia
tapi kini di mana Rumi
Hamzah jumpa Dia di rumah
tapi kini di mana Fansuri
Tardji menggapai Dia di puncak
tapi kini di mana Tardji
kami tak di mana mana
kami mengatas meninggi
kami dekat
Apa yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa dalam perjalanan kepenyairannya Sutardji Calzoum Bachri mulai dengan menentang konvensi dan norma-norma sastra yang berlaku sebelumnya dan berakhir dengan penciptaan kovensi dan norma yang baru. Seninya bukan anti-seni, tetapi menciptakan seni baru yang unik dan berbeda dari sebelumnya. Pembaruan yang ia lakukan bertolak dari yang telah ada dalam kebudayaan bangsanya, namun sebegitu lama diabaikan atau dilupakan oleh penyair Indonesia modern sebelum sang pendekar muncul. Itulah sebabnya dia selalu mengatakan bahwa apa yang dilakukan adalah menggali akar tradisi.