Sabtu, 11 Juli 2015

 

Baju Bulan, Himbauan Kepedulian Sosial Ala Joko Pinurbo

baju bulan puisi joko pinurbo


Tampaknya paradoks adalah bagian yang tak bisa dihindari dalam setiap aspek kehidupan manusia. Demikian kiranya pesan tersirat dari narasi puitik peristiwa lebaran yang paradoksal dalam puisi Baju Bulan karya Joko Pinurbo. Mari kita simak bersama.


Baju Bulan
Oleh JOKO PINURBO


Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin baju baru,
tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang,
sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan.
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam?
Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan
bajunya yang kuno di antara begitu banyak warna-warni
baju buatan.
Bulan mencopot bajunya yang keperakan
mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat
menangis di persimpangan jalan. Bulan sendiri
rela telanjang di langit, atap paling rindang
bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang.


Dalam puisi di atas, penyair Jokpin sedang berkisah tentang kepiluan yang hadir di tengah-tengah malam kemenangan. Tema ini disajikan penyair dengan memanfaatkan teknik pengisahan melalui dua subjek lirik puisi – gadis kecil dan bulan sebagai juru bicaranya.

Melalui subjek lirik ’gadis kecil’, Jokpin ingin mengutarakan pendapatnya bahwa ada kebahagiaan yang masih tetap tak bisa dirasakan oleh sebagian golongan masyarakat (orang-orang miskin) ketika yang lain bersuka-cita merayakan kemeriahan peristiwa budaya lebaran.

Bulan, aku mau Lebaran./ Aku ingin baju baru,/ tapi tak punya uang./ Ibuku entah di mana sekarang,/ sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan./ Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam?/

Penyair mengamati kehadiran sebuah paradoks tajam tentang ketimpangan sosial yang ada di dalam realitas sehari-hari. Pada peristiwa lebaran, yang baginya sebagai ’mitos kemenangan’ di dalam benak kolektif masyarakat, ternyata belum cukup mampu membagikan rata ’kue kebahagian’ bagi setiap insan. Melalui subjek lirik ’gadis kecil’ yang secara simbolik mewakili golongan ’wong cilik’ ini, Jokpin mengemukakan pendapatnya tentang pertentangan antara kesedihan dan kebahagiaan – kesengsaraan belum mau belum menghilang di saat perayaan kemenangan yang gilang-gemilang. Kemiskinan masih tetap menjadi penghalang bagi ’orang tak berpunya’ untuk mengecap kebahagiaan, dan keinginan untuk turut berbahagia walaupun hanya sebentar saja di hari kemenangan terasa sulit diwujudkan – cenderung bagai impian yang melambung tinggi hingga ke bulan.

Bulan, aku mau Lebaran./ Aku ingin baju baru,/ tapi tak punya uang./
....
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam?/


Di lain sisi, Jokpin sebenarnya juga ingin menghimbau ke masyarakat luas tentang kepedulian sosial terhadap sesama. Hal ini secara implisit dikomunikasikan melalui larik-larik berikut:

Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan/
bajunya yang kuno di antara warna-warni baju buatan/
Bulan mencopot bajunya yang keperakan/
mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat/
menangis di persimpangan jalan/

Jika kita memiliki empati sosial yang mau peduli (Bulan yang terharu) semampunya membantu saudara-saudara kita  (memberikan bajunya yang kuno), tanpa mengharap meriahnya warna sanjung puja-puji dari apa yang dilakukan (bajunya yang kuno di antara warna-warni baju buatan), perbuatan baik kita itu sungguh telah memuliakan diri kita sendiri (baju bulan yang keperakan) sekaligus juga membebaskan penderitaan sesama dari kemiskinan (mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat menangis di persimpangan jalan).

Inti dari himbauan penyair yang mahir bermain dengan metafora keseharian yang digalinya dari pengalaman nyata dalam puisinya ini adalah keharmonisan hidup itulah makna sebenarnya yang ditunjuk frasa ’hari kemenangan’, dan ini bisa dicapai melalui kesalehan sosial. Hati yang tulus dan peka terhadap penderitaan sesama (Bulan sendiri rela telanjang di langit) akan menciptakan kedamaian yang meneduhi kehidupan kita sesungguhnya bagaikan langit ’atap paling rindang’ itu.

Akhirnya, paradoks apapun yang menemani kehidupan tiap orang dalam segala kondisi tak lagi bersifat sebagai ironi dramatik. Tentunya hal ini terwujud bila kita tak terlalu mementingkan diri sendiri dan terlelap dalam perayaan arfisial semu semata. Semoga bermanfaat. [M.I]



* ilustrasi dari ludefa
Share: