Sabtu, 29 Desember 2012

 

Cerpen Jorge Luis Borges : Emma Zunz



EMMA ZUNZ


Oleh JORGE LUIS BORGES


Pada tanggal 14 Januari 1922, ketika Emma Zunz pulang dari pabrik tekstil Tarbuch dan Loewenthal, di ruang tengah ia mendapatkan sepucuk surat bercap pos Brasilia yang memberitakan kematian ayahnya. Pada pandangan pertama ia terkecoh oleh prangko dan amplopnya, tetapi melihat tulisannya ia menjadi cemas. Sembilan atau sepuluh baris yang acak-acakan hampir tak termuat dalam satu halaman; Emma membaca bahwa Tuan Maier salah minum obat veronal dalam dosis tinggi, dan telah meninggal pada tanggal 3 bulan itu di rumah sakit di Bagé. Seseorang dari wisma tempat kediaman ayahnya telah menandatangani berita itu, seorang bernama Fein atau Fain dari Rio Grande, yang tidak mungkin tahu bahwa ia menulis kepada anak almarhum.

Kertas itu lepas dari tangan Emma. Yang pertama ia sadari ialah rasa sakit dalam perut dan lututnya; setelah itu rasa salah yang tak menentu, rasa gamang, dingin, dan takut; sesudah itu ia ingin keesokan hari sudah tiba. Saat itu juga ia sadar bahwa menginginkan sesuatu adalah sia-sia karena kematian ayahnya satu-satunya yang terjadi di dunia dan akan terjadi terus-menerus tanpa akhir. Ia memungut kertas itu dan pergi ke kamarnya. Diam-diam dimasukkannya dalam laci, seakan ia sudah tahu, entah bagaimana, apa yang akan terjadi. Barangkali samar-samar ia mulai mengetahuinya, dan ia sudah menjiwai dirinya yang akan datang.

Di dalam hari yang semakin gelap sampai berakhirnya hari, Emma menangisi bunuh dirinya Manuel Maier yang pada hari-hari bahagianya dulu bernama Emanuel Zunz. Ia teringat liburan musim panas dalam kemah Indian di dekat Gualeguay; ia mengingat kembali (berusaha mengingat kembali) ibunya, rumah mungil di Lanùs yang dijual, ia terkenang kaca-kaca jendela yang kuning, penjara, aib yang menimpa, ia terkenang pada surat-surat kaleng dengan guntingan koran "penggelapan oleh kasir", ia terkenang lagi (tetapi ini ia tak pernah lupa), bahwa ayahnya pada hari terakhir itu bersumpah padanya bahwa penggelapnya adalah Loewenthal. Loewenthal, Aaron Loewenthal dahulu kepala pabrik dan sekarang pemiliknya. Emma menyimpan rahasia itu sejak 1916. Tidak diceritakannya kepada seorang pun, bahkan kepada Elsa Urstein, teman akrabnya tidak. Barangkali ia takut menodai rahasia itu kalau tak ada orang yang percaya; barangkali ia pikir rahasia itu merupakan ikatan antara dia dengan yang tak ada. Loewenthal tidak tahu bahwa ia tahu; hal yang kecil sekali ini memberi kepadanya rasa kekuasaan.

Malam itu ia tidak tidur dan ketika cahaya pagi menandai segi empat jendela, rencananya sudah pasti. Ia memutuskan bahwa hari itu, yang rasanya tak kunjung lewat, masih akan sama seperti hari-hari biasa. Di pabrik ada desas-desus tentang pemogokan; seperti biasa Emma menyatakan menentang semua bentuk kekerasan. Waktu jam enam pekerjaan usai, ia pergi dengan Elsa ke balai pertemuan wanita yang ada tempat mandi dan tempat senam. Mereka mendaftar; berkali-kali ia harus menyatakan dan mengeja namanya, ia harus menahan diri ketika mendengar lelucon jorok yang menyertai pemeriksaannya. Ia berunding dengan Elsa dan Kronfuss bersaudara yang bungsu mengenai film yang akan ditonton Minggu sore itu. Setelah itu mereka ngobrol tentang pacar-pacar, dan Emma tidak perlu mengatakan apa-apa. Dalam bulan April ia akan berumur 19 tahun, tetapi lelaki masih merupakan sesuatu yang menimbulkan ketakutan yang tak wajar padanya. Sampai di rumah ia memasak sup dengan tepung dan sayuran, lalu cepat makan, dan memaksa diri untuk tidur.

Dengan bekerja dan kesibukan sehari-hari seperti itu, terlewatlah Jumat tanggal 15, hari sebelum hari besar.

Hari Sabtu ia terbangun oleh rasa tak sabar. Bukan keresahan, melainkan rasa tak sabar dan kelegaan yang aneh bahwa akhirnya saatnya telah tiba. Ia tidak perlu lagi mereka-reka kejadian-kejadian dalam angan-angannya; beberapa jam lagi ia akan melakukan tindakan tanpa kerumitan. Di surat kabar La Prensa ia membaca bahwa kapal Nordstjärman dari Malmo malam itu akan bertolak dari Dok 3. Ia menelpon Loewenthal untuk menyampaikan bahwa tanpa sepengetahuan orang lain, ia mau memberitahukan sesuatu tentang pemogokan, dan ia berjanji akan mampir ke kantornya menjelang senja. Suaranya gemetar, pantas juga untuk seorang yang akan mengkhianati teman-temannya. Pagi itu tak ada lagi kejadian istimewa. Emma bekerja sampai jam 12 dan berbincang-bincang dengan Elsa dan Perla Kronfuss mengenai apa yang akan dilakukan waktu jalan-jalan hari Minggu nanti. Setelah makan siang ia beristirahat dan dengan mata tertutup ia mengulang lagi rencana yang sudah ia siapkan. Ia berpikir bahwa tahap terakhir tak akan sengeri tahap pertama dan di situ ia pasti akan mengecap rasa kemenangan dan keadilan. Tiba-tiba ia terkejut bangkit dan menuju laci lemarinya. Ditariknya lacinya; di bawah foto Milton Sills terletak surat dari Fain; di situ tadi malam ditaruhnya. Tak mungkin ada orang yang melihatnya; surat itu dibacanya lalu disobek-sobeknya.

Sulit untuk mengisahkan fakta-fakta sore itu sesuai dengan kejadian sebenarnya, dan barangkali itu tidak pada tempatnya. Salah satu sifat neraka jahanam ialah kegamangannya, satu sifat yang sepertinya meredam kengeriannya, tetapi mungkin mempersangatnya. Bagaimana saya dapat membuat orang percaya pada suatu peristiwa yang hampir tidak dipercaya oleh pelakunya; bagaimana saya dapat menggambarkan kekalutan yang sekarang ditolak dan dikacau-balaukan oleh ingatan Emma? Emma tinggal di daerah Almagro, di Calle Liniers; kita tahu ia sore itu pergi ke pelabuhan. Mungkin ia melihat dirinya digandakan dalam pantulan cermin-cermin di Paseo de Julio yang jorok, dipamerkan untuk umum oleh lampu-lampu, dan ditelanjangi oleh mata yang lapar, tetapi lebih patut kita memperkirakan bahwa mula-mula ia berjalan-jalan tanpa dilihat oleh orang banyak. Ia memasuki dua atau tiga bar, dan mengamati cara pendekatan perempuan-perempuan lain.

Akhirya ia bertemu dengan awak kapal Nordstjärman. Ia tidak memilih salah seorang yang masih amat muda karena takut akan melembutkan hatinya; ia memilih orang lain yang lebih kecil daripada dia sendiri dan gemuk, supaya rasa kejijikannya tetap murni. Emma diantar olehnya ke sebuah pintu lalu ke gang yang gelap, lalu ke tangga yang berbelok, lalu ke serambi, (ada jendelanya yang berkaca seperti rumah di Lanùs), lalu ke gang lagi, dan lalu ke sebuahs pintu yang kemudian ditutup. Perbuatan yang penting tidak mempunyai hubungan waktu, terkadang karena perbuatan semacam itu masa lalu tiba-tiba terputus sebentar dari masa depan, kadang-kadang karena bagian-bagiannya seperti tidak bersinambung.

Apakah selama waktu di luar waktu itu, dalam kekalutan kesadaran yang terputus-putus dan mengerikan itu, Emma Zunz barang sekali ingat almarhum yang menjadi alasan untuk pengorbanan ini? Saya pribadi percaya bahwa ia pernah sekali ingat, dan saaat itu rencananya yang gila itu kandas. Ia berpikir (dan pikiran itu tidak dapat dihalaunya) bahwa ayahnya pernah memperlakukan ibunya dengan cara-cara yang menjijikkan, seperti sekarang dilakukan terhadap dia sendiri. Hal itu menimbulkan kekagetan dalam hatinya, dan langsung ia tenggelam dalam kepusingan. Lelaki itu orang Swedia atau Finlandia dan ia tak dapat berbahasa Spanyol; bagi Emma ia adalah alat, begitu juga sebaliknya, tetapi Emma alat pemuas nafsu, si lelaki alat pemuas keadilan.

Waktu Emma ditinggalkan sendiri, ia tidak segera membuka matanya. Di meja kecil terletak uang yang ditinggalkan lelaki itu. Emma terduduk tegak dan menyobek uang seperti ia menyobek surat tadi. Menyobek uang adalah perbuatan yang menyia-nyiakan, seperti membuang roti; Emma langsung menyesal setelah berbuat. Suatu perbuatan kesombongan, padahal justru pada hari itu.... Ketakutannya tenggelam ditelan kesedihan serta kejijikan tubuhnya. Rasa sedih dan jijik melandanya, tetapi ia bangkit perlahan dan mengenakan bajunya. Di kamar tidak ada lagi warna yang menyilaukan. Sisa cahaya senja memudar. Emma berhasil keluar tanpa terlihat; di sudut jalan ia naik Lacroze yang ke arah barat. Dengan sengaja ia memilih tempat di depan supaya mukanya tidak dikenal orang. Ketika ia berada di tengah hiruk pikuk lalu lintas, barangkali ia lega bahwa apa yang terjadi tidak mengganggu ketentraman dunia. Ia melewati kawasan yang penuh bangunan dan kawasan yang jarang bangunan; semua itu dilihatnya dan langsung dilupakannya, lalu ia turun di salah satu cabang jalan Warnes. Kedengarannya aneh, tetapi keletihannya menjadi sumber kekuatannya, sebab keletihannya itu memaksanya memusatkan pikirannya pada rincian petualangannya dan menyamarkan latar belakang juga sasarannya.

Bagi dunia luar Aaròn Loewenthal adalah orang terpandang; bagi beberapa teman baiknya ia adalah orang kikir. Ia tinggal di tingkat-tingkat teratas pabrik. Karena tempatnya di daerah pinggiran yang sepi, ia takut pencuri; di halaman pabrik ada anjing besar dan di laci meja tulisnya ia menyimpan pistol, semua orang tahu itu. Tahun lalu istrinya meninggal secara mendadak; saat itu mencucurkan air mata yang pantas untuk kejadian semacam itu (istrinya seorang dari keluarga Gauss yang memberinya uang bawaan yang lumayan ketika mereka kawin!). Tetapi kegemarannya yang sebenarnya adalah uang. Ia malu karena ia tahu bahwa ia lebih pandai menyimpannya ketimbang mencarinya. Ia sangat religius; ia percaya bahwa antara Tuhan dan dia ada perjanjian rahasia yang membebaskan dia dari amal baik; sebagai penggantinya ia melakukan sembahyang dan ibadah formal. Kepalanya botak, tubuhnya gendut, pakaiannya hitam tanda berkabung, jenggotnya pirang, kacamatanya berbingkai tebal dan berembun. Di dekat jendela ia menunggu laporan empat mata yang akan disampaikan oleh buruh bernama Zunz.

Ia melihat Emma mendorong pintu pagar (yang sengaja dibukanya sedikit), dan melintasi halaman yang gelap. Dilihatnya Emma mengitari anjing yang diikat, waktu ia menyalak. Bibir Emma terus bergerak, seperti orang yang menderas do’a-do’a, dengan letih ia lagi-lagi mengucapkan kalimat yang akan didengar oleh Loewenthal sebelum ia mati.    

Kejadiannya tidak berlangsung seperti diperkirakan oleh Emma Zunz. Dari pagi sehari sebelumnya, seperti dalam mimpi, berkali-kali ia melihat dirinya membidikkan pistol dengan tangan yang pasti, dan memaksakan pengakuan dosanya yang celaka itu. Ia lalu akan membukakan tipu daya yang akan dilakukannya supaya keadilan Tuhan menang atas keadilan manusia. (Bukan karena ia takut, tetapi karena ia adalah alat Keadilan ia tidak mau dihukum.) Setelah itu satu tembakan pistol di tengah dada Loewenthal akan menghabisi hidupnya. Akan tetapi tidak demikian kejadiannya.

Ketika Emma berdiri di depan Lowenthal ia kurang merasakan dorongan untuk membalas kematian ayahnya, tetapi lebih terdorong untuk menghukumkan penghinaan yang telah dideritanya karena kematian itu. Ia harus membunuhnya setelah mengalami aib yang telah direncanakan dengan begitu sempurna. Lagi pula ia tidak ada waktu untuk kalimat-kalimat yang penuh dramatik. Sambil duduk berhadapan la kemalu-maluan mohon maaf, dan menyebut sebagai alasan pengkhianatannya rasa tanggung jawabnya sebagai pengabdi setia. Ia menyebut beberapa nama, menunjukkan lainnya secara samar-samar, lalu tiba-tiba terdiam seakan-akan tercekam ketakutan. Hasilnya ialah bahwa Loewenthal meninggalkan ruangan untuk mengambil segelas air. Ia heran melihat reaksi Emma yang berlebih, tetapi sikapnya ramah; ketika ia kembali dari kamar makan, Emma sudah mengambil pistol yang berat itu dari lacinya. Dua kali ia menarik picunya. Tubuh yang besar itu rubuh seperti dirobohkan oleh bunyi tembakan dan asap, gelas dengan air jatuh berantakan, mukanya menatap Emma dengan kaget dan marah, mulut di muka itu memakinya dengan kata Spanyol dan Yahudi. Kata-kata makian tidak berhenti; Emma terpaksa menembak lagi. Di halaman anjing yang dirantai mulai menyalak dan segumpal darah merah mengalir dari bibir tengik, menodai jenggot dan pakaiannya. Emma mengucap gugatan yang sudah disiapkannya ("Aku sudah membalas kematian ayahku dan aku tidak akan dapat dihukum…), tetapi ia tidak menyelesaikan kalimatnya karena tuan Loewenthal sudah mati. Ia tidak pernah tahu apa Loewenthal mengerti.

Suara anjing menyalak mengingatkan Emma bahwa ia belum dapat beristirahat. Ia mengacaukan dipan, membuka kancing baju mayat, melepaskan kacamatanya dan menaruhnya di bak kartu. Lalu ia mengangkat telepon dan berulang-ulang mengucapkan apa yang akan diulanginya berkali-kali dengan kata berikut dan dengan kata lain: Ada kejadian yang tidak dapat dibayangkan....Tuan Loewenthal menyuruh saya datang, katanya dalam hubungan dengan pemogokan.... Ia memperkosa saya, saya bunuh dia....

Ceritanya memang sulit dipercaya, tetapi semua mempercayainya karena intinya cocok. Nada Emma Zunz benar, malunya benar, bencinya benar. Benar pula aib yang dideritanya, yang tidak benar hanya kejadiannya, waktunya dan satu atau dua nama diri.


Tentang Pengarang: Jorge Luis Borges (24 Agustus 1899 – 14 Juni 1986) adalah seorang penulis Argentina yang dianggap salah satu tokoh sastra terbesar dari abad 20. Lebih dikenal sebagai penulis cerita pendek dan esai fiktif, Borges juga seorang penyair, kritikus, dan penerjemah. Dia meninggal di Jenewa, Swiss, pada tahun 1986.





Cerpen Jorge Luis Borges : Emma Zunz (PDF)
Share: