Sabtu, 18 Februari 2012

 

Cerpen Martin Aleida : Batu-Asah dari Benua Australia

Pucuk cemara sudah merunduk menyongsong malam. Yang menunggu penjemputan sudah meninggalkan pekarangan dengan puji syukur setinggi langit. Tinggal aku sendiri yang masih mencangkung di pojok sambil terus melotot ke pintu pagar, berharap kalau-kalau ada yang mendekat.

Yang ada cuma angin senja, menerbangkan bau rerumputan bercampur debu, memperberat kecemasanku.

”Mas Koyo,” orang yang sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari pagar kawat berduri, tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak. ”Saya Kiswoyo, masih ada hubungan sedarah dengan Mbak Uci,” katanya menyebutkan nama akrab istriku. Aku merunduk dibuat ucapannya itu. Istri! Bisikku dalam hati. Ada duka di balik kata itu. ”Sudah gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak keberatan, ikut saya saja. Nginap dulu di rumah saya. Tak jauh dari sini,” sambungnya.

Tiga tahun digelandang dari Salemba, ke Cipinang, ke Tangerang, kemudian digiring ke kapal rusak untuk dikucilkan selama sepuluh tahun di Pulau Buru, maka tawaran tadi membuat hatiku tak percaya bahwa orang yang berdiri di depanku itu manusia Bumi. Aku sangsi, beberapa saat curiga, apa maksud orang ini. Bukankah tadi pagi dia sudah melihat bagaimana aku, dan puluhan tahanan politik yang lain, diturunkan dari truk dan diperlakukan tidak lebih berharga dari kawanan kerbau dan kambing yang sedang dihalau ke pejagalan. Kasar gerendel pintu bak truk diempaskan, papannya dibiarkan terbanting berdentam, kawir-kawir ke bawah. Untuk hewan saja disediakan titian turun. Tidak buat kami. Serentetan bentakan keluar dari muncung seorang sersan supaya kami buru-buru melompat dan masuk ke pekarangan markas militer itu.

Kupikir aku sedang ketiban mukjizat. Manusia Bulan yang bernama Kiswoyo itu seperti bimbang merengkuh tanganku. Aih, nasib apa yang menimpa orang buangan seperti aku ini. Gemetar buku-buku jariku menyambutnya. Dibawanya aku ke rumahnya. Tiga belas tahun kota ini kutinggalkan di luar kehendakku. Nasib orang yang baik hati ini mungkin tak banyak berubah. Dia, istri, dan dua anaknya menempati rumah petak, setengah semen, separuh papan.

Agak repot menyambut kedatanganku, Kiswoyo memepetkan kursi tamunya ke sisi dinding yang satu, dan menggelar dipan kayu nangka ke sisi yang lain. Buntalanku kusurukkan ke bawah. Di atas dipan itulah aku menghabiskan satu malam dari hidupku di dunia bebas. Itulah pertama kali, setelah tiga belas tahun yang gulita, aku melewati malam dengan terang bohlam yang redup. Semalaman gelisah. Bukan bohlam itu benar yang membuat aku tak bisa lelap, tetapi hantu tentang sebuah rencana hidup yang terus menumpati otakku. Bagaimana esok, dan keesokan harinya lagi, aku mempertahankan hidup di surga yang bernama dunia bebas ini? Di Buru, aku dan kawan-kawan punya lahan yang kami buka sendiri dengan tangan telanjang. Ya, benar-benar tangan telanjang! Jangankan traktor. Arit pun tak ada. Walau begitu, pulau buangan itu akhirnya bisa berswasembada pangan berkat tangan-tangan kami orang rantai, meskipun yang menikmati adalah tentara yang mengawasi hidup kami dalam pemencilan dan kerja paksa.

Hari kedua, dan ini pastilah berkat Kiswoyo, satu-satunya anakku muncul. Peluk dan air mata merayakan berakhirnya perpisahan paksa antara kami, membanjir tak tertahankan di bendul pintu rumah tumpanganku itu.

”Nduk,” bujukku lembut, ”maukah kau membantuku?” Dia merunduk. ”Bapak harus punya penghasilan. Sebelum kapal membelah ombak Laut Jawa, Bapak sudah punya angan-angan,” kataku pula. ”Besok, bawakanlah batu-asah warisan Eyangmu. Tanya Ibumu. Dia tentu tak lupa. Batu-asah itu diperoleh Eyangmu ketika dia di Australia dan sempat dia bawa ke Digul sebagai orang buangan. Batu itu bermuka dua. Yang sebelah kasar, sebelah lagi licin, halus.”

Hatiku gemas tak tahan menunggu. Baru pada hari kelima putriku itu muncul.

”Kenapa lama sekali, Nduk?”

”Sungguh Ibu tak pernah menyangka Bapak akan pulang. Tiga hari, siang-malam, kami mencari-cari. Begitu ditemukan sudah jadi ganjalan ember di sumur kerekan. Di belakang rumah tetangga,” katanya seraya menyerahkan batu dalam lipatan kertas koran itu ke tanganku. Hatiku biru. Kecupan yang dalam kudaratkan ke dahinya tanda terima kasih. Langkahnya pulang kuiringi kata-kata: ”Sampaikan salam dan rasa syukurku kepada Ibu.”

Kutimang kuelus permukaannya yang halus bak pauh dilayang. Juga sisinya yang kasar seperti bertabur pasir. Aku yakin batu-asah ini akan menyelamatkan napasku. Akan kubebaskan diriku dari ketergantungan pada Kiswoyo. Kulunasi semua makanan, minuman, dipan kayu-nangka, dan segala kerepotan yang menimpa dirinya. Dengan batu-asah warisan itu aku mengelilingi pusat kota, berjalan kaki, dengan langkah gontai seperti layang-layang putus tali teraju. ”Asah gunting! Asah pisau! Batu-asah dari Australia!” Begitulah teriakanku menjajakan. Hari pertama, dua pemilik warung nasi tegal meminta aku membereskan perkakas mereka.

Lancar seperti mimpi dalam membangun hari kebangkitan, sampai hari kedua puluh delapan tak ada hari tanpa asahan. Kalau tidak mempertajam pisau, ya, mengasah gunting. Hari kedua puluh sembilan. Begitu kakiku menikung di perempatan jalan, di wilayah perumahan berpagar tembok tinggi, muncul seorang anak perempuan, berkulit putih, bermata sipit, dalam bimbingan seorang perempuan, yang kuduga adalah pembantu rumah tangga. Mereka menyodorkan sebilah pisau.

”Ini pasti pisau sashimi.”

”Wow… Abang pintar sekari, ya,” sahut anak perempuan itu dengan lidah cadelnya.

Belum selesai kuasah, pembantu itu menimpali: ”Bang, sekalian perbaiki yang rompal, ya.”

”Baik, tapi tak bisa buru-buru. Makan waktu agak lama.”

”Tak apa-apa.”

Begitu pisau yang sudah tajam dan mulus hendak kuserahkan, sebuah sedan berhenti di belakangku. Bergaun putih, seorang nyonya menguakkan pintu.

”Ini Nyonya, pisaunya sudah bagus. Tajam sekali,” pembantu itu pamer kepada tuannya. Sang Nyonya menilik pisau itu, dan katanya: ”Kore wa yoku kireru. Yokatta [Ini tajam sekali. Syukurlah],” katanya berceloteh, kegirangan.

”Sashimi wo kiru tame desu, ne [Untuk memotong sashimi, kan?]?” aku memotong.

”Hai, sashimi no tame desu. Nihongo dekimasu, ne [Ya, untuk sashimi. Bisa bahasa Jepang, ya].”

”Hai, dekimasu,” cepat kusahut.

”Belajar di mana?”

”Di Universitas Waseda, di Jepang.” Alis mata nyonya itu hendak terbang, menjungkit ke atas.

”Ha?!” Dia bergumam. Matanya mau menelan kepalaku. ”Waseda?!” Sang Nyonya memperhatikan ujung kaki sampai ke ubun-ubunku. ”Tunggu, ya….” Tergopoh dia masuk ke rumah, diiringi anak dan pembantu tadi. Sekelebat angin, dia muncul lagi, diantar seorang laki-laki. Pastilah suaminya, pikirku.

Laki-laki berkacamata itu menghampiriku. Pipinya tembem. Matanya memberi kesan seorang peramah, suka bercanda. Sapanya: ”Kamu cuma tukang asah pisau, tapi bisa bahasa Jepang. Apa kamu intelijen mau memata-matai kantor saya? Ini kantor berita Jepang. Dibuka karena diundang pemerintah. Kamu siapa?” Kedua tangannya tetap menyangga pinggang.

”Saya baru pulang dari Pulau Buru. Saya tahanan politik, tapi sudah bebas,” tukasku, lagi-lagi dalam bahasa Jepang.

”Pulau Buru?!” Lantas dia menggiringku ke dalam. Aku dipersilakan duduk di seberang meja kerjanya. Dijangkaunya sebuah file dan meletakkan dua foto di daun meja. ”Kenal?” tanyanya. ”Ini siapa?”

”Profesor Doktor Suprapto, ahli hukum. Pramoedya, sastrawan,” jawabku. ”Yang ini,” lanjutku, ”yang pakai caping ini, saya.” Kacamatanya turun-naik mencocokkan foto dengan tampangku.

”Bahasa Jepang Saudara bagus. Belajar di mana? Di Buru?”

Aku terkekeh. ”Tidak. Di Waseda. Di Universitas Waseda. Saya lulus Master.”

”Lulus dari Waseda? Ujian masuknya saja begitu susah,” katanya menggurui dirinya sendiri. Kuceritakan, aku ikut bertempur di Kalimantan mengusir balatentara pendudukan Jepang tahun 1943. Setelah Republik berdiri, aku memperoleh beasiswa untuk belajar di Jepang. Beberapa tahun aku menetap di Tokyo, menjadi koresponden koran Partai Komunis yang terbit di Jakarta. ”Tak usah lagi saya teruskan cerita ini. Karena jadi wartawan itulah maka saya dibuang ke Buru,” kataku. Dia nyengir.

”Menyesal sekali, saya sudah punya sekretaris merangkap penerjemah,” katanya. Seraya menghela napas dipandanginya aku dari balik kacamata yang melorot di batang hidungnya. ”Tapi, kalau mau, boleh datang tiga hari dalam seminggu,” ucapnya menggenapkan harapanku yang memang menggunung. Nyaris aku melompat waktu dia bilang: ”Besok mulai masuk.”

Belasan tahun dizalimi. Aku hafal sakitnya hati jika kita dilangkahi. Menjadi pemantik kecemburuan aku tak sudi. Tapi, apa yang bisa kuperbuat? Nyatanya, akulah yang diajaknya ke mana-mana. Bukan penerjemah yang sudah bertahun bekerja padanya. Terakhir, dimintanya aku turut ke Laguboti, di bibir Danau Toba, mencari seorang insinyur Batak, yang seorang diri, dengan gajinya, ditambah tabungan istrinya, meneruskan pembangunan Proyek Asahan yang diterbengkalaikan presiden kita yang kedua. Jepang ini menjadi-jadi. Disuruhnya aku masuk setiap hari.

Nasibku semulus batu-asah. Memasuki bulan keenam, aku sudah bisa mengontrak rumah yang layak. Bulan kesembilan. Istriku merengek, minta aku membiayainya menunaikan ibadah haji. Aih…. Inilah kesempatan emas bagiku untuk membayar dosa-dosa sebagai suami yang telah menelantarkannya belasan tahun, sampai-sampai lima tahun terakhir dia terpaksa menikah dengan lelaki lain. Aku tak pernah menyesali keputusannya. Kutimpakan seluruh peruntungan yang buruk itu di kepalaku. Uci bilang, dia rela menikahi lekaki itu karena orang itu berjanji mau mengajaknya ke Mekkah. Bertahun menanti. Janji itu cuma angin gurun. Lantaran malu, barangkali, lelaki itu baik-baik meminta maaf, mohon berpisah.

Kuurus segala kebutuhan dan persyaratan sehingga Uci terdaftar sebagai calon jemaah. Dia sendiri sudah khatam seluruh kalimah ibadah, yang wajib maupun sunah.

Mendekati hari keberangkatannya, menjelang magrib, kupegangi tangannya, erat seperti tiga puluh tahun yang lalu mula pertama aku merengkuhnya. ”Uci, ingat kuplet ketiga lagu kebangsaan Indonesia Raya. Larik pertama berbunyi ’Indonesia tanah yang suci…’. Ya, Indonesia tanah yang suci…. Kalau kau melempar jumroh di Tanah Suci, ingatlah Tanah Air kita ini. Tancapkan di hatimu bahwa batu-batu yang kau hunjamkan itu merajam setan-setan kota maupun desa di tanah suci kita ini, yang tak sempat disingkirkan karena presiden pertama keburu ditumbangkan. Lihatlah, sekarang, di samping setan kapitalis birokat, muncul pula setan banggarong. Mereka pesta-pora, gentayangan bermobil mewah meraung-raung suka-suka di Senayan sana. Pernah di antara mereka, suatu ketika, melintas di jalan bebas hambatan. Sudah tak bayar tol, menebas nyawa orang pula. Rajamlah mereka dengan batu-batumu itu. Rajamlah, sayangku….”

”Kang Mas…,” istriku manis berbisik, semanis tiga puluh tahun yang lalu. Seruan azan mengguntur ke langit. Dia mengecup tanganku.

(Untuk Trikoyo Tri Ramidjo, dari siapa ilham kisah ini bermula)

(*) Cerpen ini dimuat di harian Kompas, Minggu 12 Februari 2012
Share: