Rabu, 04 Januari 2012

 

Esei-Esei dari Goenawan Mohamad

Hujan
Oleh : Goenawan Mohamad
Senin, 02 Januari 2012

Anak muda yang marah itu, Mohamed Bouazizi, membakar diri 17 Desember 2010, dan revolusi meletus di Tunisia. Tapi tak tiap orang yang membakar diri untuk menggugat bisa menggerakkan perubahan seperti pedagang kecil di tepi jalan Tunis yang dianiaya kekuasaan itu. Di Kairo, sebulan kemudian, Abdou Abdel-Monaam Hamadah juga mencoba membakar diri, tapi ia—yang tak meninggal—tak pernah disebut sebagai pemicu "Revolusi 25 Januari" yang bergerak dari Alun-alun Tahrir. Empat orang lain menyusul di Aljazair, namun, tragisnya, hanya menimbulkan guncangan kecil.

Revolusi selalu punya pengagum dan epigonnya, tapi tak pernah merupakan fotokopi. Tiruan jarang bisa menggugah. "Sejarah berulang," kata Marx, "pertama kali sebagai tragedi, yang kedua kali sebagai dagelan." Dengan kata lain, tak ada formula yang bisa dipakai berkali-kali, di mana saja.

Paling-paling kita hanya punya satu nama, "revolusi", yang kita terapkan setelah bermula sebuah aksi transformasi politik. Paling-paling kita susun teori yang kita anggap berlaku umum. Tapi sebenarnya tak ada titik tunggal penyebab sebuah revolusi. Tak ada satu garis lurus ke perubahan. Proklamasi 17 Agustus 1945 muncul bukan cuma dari satu awal. Kekuasaan Jepang runtuh, tapi waktu itu sebuah situasi hadir, yang di dalamnya berkecamuk macam-macam anasir yang tak searah dan sejalan. Kemudian Bung Karno, Bung Hatta, dan para pemuda memutuskan untuk memberi bentuk kepada chaos itu. Bersama itu, ada keinginan untuk mempertautkan hal-hal yang bertentangan—misalnya "cara yang seksama" dengan "tempo yang sesingkat-singkatnya".

Hal-hal yang bertentangan itulah yang menyebabkan teori revolusi dibutuhkan, tapi sekaligus diabaikan. "Tanpa satu teori revolusi, tak akan ada gerakan revolusioner," kata Lenin di tahun 1905. Tapi di hari-hari yang menentukan dalam Revolusi Oktober 1917, Lenin tak menerjemahkan sebuah gagasan yang sudah jadi. Ia bertolak dari analisis keadaan konkret dari saat ke saat. Althusser, pemikir Marxis Prancis itu, menyebut Lenin bertindak atas "konjunktur" (kombinasi yang genting antara pelbagai kejadian) di Rusia saat itu.

Kata "konjunktur" agaknya makin harus dianggap penting kini—bukan hanya karena wibawa atau kontroversi Althusser. Saya kira kata itu mengacu ke satu konsep yang merespons apa yang terjadi sejak akhir 1960-an: gerakan revolusioner berbenturan dengan keadaan yang berbeda-beda. Hasilnya tak bisa diprediksi. Dan yang pasti tak semuanya berhasil. Ada yang salah dengan "teori". PKI pernah bersemboyan "Tahu Marxisme dan kenal keadaan", namun akhirnya dengan Althusser kaum Marxis bisa punya semboyan lain: "Biarkan teori Marxis ditentukan keadaan".

Mereka yang ortodoks akan mengecam pandangan Althusser sebagai "revisionis". Tapi bagi pemikir ini, itulah justru semangat "materialisme" yang konsekuen: yakin bahwa bukan ide atau kesadaran yang mewujudkan tindakan dan membuat sejarah. Bagi Althusser, yang menggerakkan sejarah adalah zat (materi) yang juga membentuk tubuh manusia. Tokoh Marxisme Prancis ini telah memisahkan diri dari "materialisme" yang berakar dalam tradisi "rasionalis". Ia menilai—artinya mengkritik—materialisme macam itu, termasuk Marxisme dan Leninisme, sebagai "bentuk idealisme yang tersamar".

Dan ia menyebut "hujan". Hujan, larik air yang berjatuhan tak terhitung, sepenuhnya zat yang saling ketemu dalam curah. Tak dirancang. Gerak dan arahnya tak bisa didalilkan. Maka inilah jenis materialisme yang hendak diperkenalkan Althusser: "materialisme hujan, penyimpangan, ketemu di jalan", matërialisme de la pluie, de la dëviation, de la rencontre.

Di sini agaknya hujan bukan cuma metafor merdu perjalanan manusia dalam sejarah. Bisa dibayangkan jutaan tetes air itu, meskipun hanya "ketemu" (dan bukan "bertemu"), meskipun dianggap menyimpang dari teori apa pun, punya tenaga yang hasilnya tak terduga. Di tanah, hujan adalah air yang membantu hidup tumbuh-tumbuhan, merevitalisasi makhluk, jadi sungai atau banjir yang mengalir. Hujan bisa menggerakkan turbin, merobohkan pohon, mengikis batu, dan merusak bangunan.

Tentu, setidaknya bagi saya, "hujan" Althusser tak persis pas untuk jadi kiasan yang menggambarkan perjuangan manusia. Ia mengabaikan dialektika, ketika manusia dengan kesadaran dan tubuhnya ikut membuat perubahan, tak sekadar hidup sebagai zat yang mengucur mekanistis. Meskipun begitu, Althusser ada benarnya: aksi protes hari-hari ini—kini, setelah Tunisia, Mesir, dan Madrid, juga New York, dan terakhir Moskow—memang mirip "ketemu di jalan". Seperti jutaan titik hujan, tanpa dalil dan teori, orang ramai itu bersama-sama turun ke jalan. Tak ada argumen yang menang yang membuat mereka bersepakat untuk menuntut. Dan, seperti hujan, tak ada arah yang dipasang di hadapan, sebelum mereka berjalan.

Bahwa mereka bersua, mungkin karena imaji menular lewat media yang tak berbatas. Mungkin yang berlangsung hanya penyebaran visualisasi, bukan rasionalisasi. Akhirnya masing-masing akan mengalir ke arah yang muncul di tempat dan di musim yang berbeda.

Tapi tak berarti tak ada yang mempertemukan mereka. Di sini kita tak bisa lebih jauh dengan Althusser. Tindakan Bouazizi sesuatu yang singular, tak terbandingkan. Tapi bahwa ia ditiru, itu karena ia bergaung sebagai variasi atas tema yang universal: pergulatan untuk merdeka, tapi tak cuma merdeka, juga adil. Dan itulah yang membuat laku politik berarti, meskipun terkadang sesudah itu mati. Dan itulah yang membuat laku manusia tak hanya seperti air tercurah, tanpa hasrat.

Dan itu akan berlangsung terus, berabad-abad.

Goenawan Mohamad


Machiavelli, Marx, dan Mungkin

Oleh : Goenawan Mohamad
Senin, 19 Desember 2011

…ide-ide Niccolo Machiavelli… sangat bermanfaat… pendekatannya terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik. Pendekatan ini berbeda sekali dengan fokus Marx dan pengikutnya… yang amat membatasi atau malah menafikan peran individu selaku penyebab perubahan sosial.

—R. William Liddle, "Marx atau Machiavelli: Menuju Demokrasi yang Bermutu di Indonesia dan Amerika", Nurcholish Madjid Memorial Lecture, di Aula Universitas Paramadina, Jakarta, 8 Desember 2011.

Machiavelli adalah kata kotor yang sulit dielakkan. Nama itu selalu dikaitkan dengan kalimat "tujuan menghalalkan cara". Tapi orang Italia ini juga menulis sebuah buku yang selama 500 tahun diperbincangkan, tentang manusia dan politik. Ia bukan pengarang dengan semboyan pendek.

Tapi ia juga bukan filosof dengan teori besar. Ia berangkat dari pengalaman—jalan yang ujungnya kegagalan. Bukunya itu, Il Principe, yang rampung di tahun 1516, ditulisnya di sebuah vila tua tempat ia mengundurkan diri. Setelah kalah.

Tiga tahun sebelumnya, ia, pejabat tinggi Republik Firenze, tergusur karena perang dan politik. Ia kehilangan jabatan, sempat ditahan dan disiksa. Selepas itu, bersama istri dan empat anaknya ia menyingkir ke San Casciano, 15 kilometer di barat daya Firenze.

Dari sini lahir "pamflet" itu: Il Principe, sebuah pedoman kekuasaan. Bila "teori politik" sebelumnya mengajarkan, seorang pemimpin baru mampu menggunakan kekuasaannya bila disertai moral yang benar, Il Principe tidak. Bagi kitab ini, politik adalah kiat untuk membentuk, merebut, mempertahankan, dan memperkuat negara, lo stato. Moralitas dan agama hanya penting sepanjang membantu politik.

Buku itu dilarang Gereja pada 1559. Machiavelli memang tak berharap banyak dari agama. Baginya, agama, dalam hal ini Kristen, hanya mengagungkan manusia yang lembut hati dan kontemplatif, bukan manusia yang bertindak. Padahal dalam politik yang terpenting adalah virtù.

Virtù berarti kejantanan, yang bertaut dengan tindakan: ketegasan, keberanian, kegesitan, kegarangan, kelicikan—semua sikap yang perlu buat berkuasa.

Dengan virtù manusia melawan nasib, Fortuna. Machiavelli mengiaskan Fortuna sebagai "sungai yang destruktif", yang bila marah, membawa banjir. Tapi "sungai" itu, Fortuna, bisa dijinakkan, meskipun tak bisa dilumpuhkan. Dengan bahasa seorang misogynist, Machiavelli mengibaratkan Fortuna seorang perempuan yang perlu dipukul dan dihajar agar bisa "dikendalikan". Dengan virtù.

l l l

Machiavelli hidup di zaman Renaissance yang meyakini manusia sebagai pusat pengukur semesta. Tak mengherankan bila dengan konsep virtù ia dianggap membuka jalan bagi keyakinan yang kemudian jadi ciri dunia modern: manusia sebagai subyek yang tak gentar akan sihir alam. Dengan akalku, aku, subyek, mengatur nasib dan dunia.

Saya kira ide tentang subyek yang solid itulah yang bergema dalam paparan Liddle: ia mengasumsikan pentingnya "individu" dalam pemikiran Machiavelli. Individu, kata Liddle, adalah "aktor mandiri" yang "memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik".

Tapi sebenarnya premis ini tak kuat benar.

l l l

"Individu" sebagai "aktor mandiri" adalah sebuah ilusi. Sejak psikoanalisis Freud, tak mudah lagi orang berbicara tentang "subyek", "aku", sebagai sesuatu yang utuh. "Aku" sesungguhnya ungkapan diri yang didesakkan bahasa, dikondisikan oleh tata simbolik yang dikukuhkan struktur sosial—tapi akhirnya tetap saja diri itu tak bisa transparan sepenuhnya.

Mungkin saja seorang "aktor" politik yang merasa mandiri sebenarnya dikendalikan berhala yang dibangunnya sendiri, baik berupa benda, sistem, tradisi, maupun agama. Sejauh mana ada "kemauan bebas" dalam dirinya, itu masih sebuah persoalan.

Dan dalam hal Machiavelli, saya ragu bahwa ia yakin "kemauan bebas" itu termasuk hakikat manusia. Mungkin ia malah tak yakin ada yang bisa dirumuskan sebagai hakikat manusia. Yang ia saksikan, manusia tak merdeka penuh dari Fortuna. Nasib itulah, tulis Machiavelli, yang memutuskan sebagian yang kita lakukan. Kita hanya bebas mengendalikan sebagiannya lagi.

Sebab itu ia sebenarnya tak memastikan peran individu dalam politik. Risalahnya, yang berjudul Latin De principatibus (bahasa Inggrisnya: principalities), lahir dari keprihatinan membangun keutuhan wilayah dalam satu negara yang kukuh; Machiavelli ingin Italia perkasa. Bila ia menghendaki sesosok individu yang teguh, sang Raja, saya kira itu karena baginya penguasa itu adalah proyeksi lo stato. Maka kita tak melihat bahwa Il Principe sebenarnya meletakkan Raja, seorang individu, hanya alat memperkuat lo stato. Ia harus mengikuti diktat tertentu—misalnya mengabaikan dorongan hatinya sendiri, demi tugas memimpin. Ia terbelah: ia subyek, ia obyek.

Mungkin itu sebabnya dalam bukunya yang lain, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio, Machiavelli tak yakin sang Penguasa sosok yang solid dalam merawat Republik. "Orang banyak (la molitudine)," tulisnya, "lebih arif dan lebih konstan ketimbang Raja." Dalam hal berhati-hati dan menjaga stabilitas, "Rakyat punya pertimbangan yang lebih baik." Maka, "Bukan tanpa alasan jika dikatakan, suara rakyat adalah suara Tuhan." Sebab, kata Machiavelli, "opini yang universal" bisa menghasilkan hal yang mengagumkan.

Bukan berarti Machiavelli seorang demokrat jenis abad ini. Ia tak menegaskan rakyat sebagai penyangga utama kekuasaan Republik. Tapi ia tak juga meletakkan pemimpin sebagai sumber tunggal kekuatan. Pandangannya lahir dari keprihatinan yang terus-menerus tentang kemungkinan seorang Raja gagal menjaga kelanjutan hidup negara. Virtù perlu tegak. Juga hukum. Juga sistem untuk tak bergantung pada satu Pemimpin.

Keprihatinan Machiavelli terbit karena baginya kehidupan politik adalah antagonisme—mirip pandangan Schmitt, Laclau, dan Moufle di abad ke-20. Kekuasaan negara niscaya tumbuh dari benturan. Ketika ia anjurkan sebuah Republik agar merevitalisasi diri dengan "kembali ke dasar awal"-nya, Machiavelli mencontohkan prosedur di Firenze pada 1434-1494: tiap lima tahun dilakukan ripigliare lo stato, seakan-akan negara kembali ditegakkan, dengan membangkitkan rasa jeri (kepada musuh) seperti ketika di awal dulu.

Artinya, bagi Machiavelli, kekuasaan tak datang dengan manis—dan bukan dari sesuatu yang sudah hadir di luar gerak sejarah. Ia tak mengikuti teori Plato. Ia tak anggap Republik dibentuk dari ide.

l l l

Mungkin itu sebabnya Machiavelli pernah dianggap sebagai "pendahulu pendekatan materialisme terhadap sejarah". Dalam Political Thought from Machiavelli to Stalin: Revolutionary Machiavellism (Palgrave Macmillan: 2004), E.A. Rees mengutip kesimpulan itu dari ensiklopedia yang diterbitkan Akademi Komunis di Uni Soviet di tahun 1925-1926. Di sini Machiavelli dirapatkan ke Marx, seperti pernah dicoba pemikir Marxis Italia terkenal itu, Gramsci.

Memang ada titik temu: sebagaimana bagi tiap pandangan sejarah materialistis, bagi Marx dan Machiavelli tak ada kehadiran yang transendental dalam hidup yang mengalir berubah. Tak ada rekayasa dari Langit atau "Aku" di luar proses ruang & waktu. Subyek dan identitas—baik sebagai Raja dengan virtù-nya, sebagai rakyat yang militan untuk kemerdekaannya, maupun proletariat dalam revolusinya—justru baru muncul menegas dalam perjuangan politik.

Tapi titik temu itu tentu tak tepat benar. Marx lebih optimistis; baginya kelak akan lahir dunia baru yang lebih baik. Bagi Machiavelli, corak dunia tak secerah itu.

Dari abad ke-16 yang diguncang-guncang politik, ia memang peka terhadap ketidakajekan. Ia kutip banyak cerita dari sejarawan Livio tentang negara yang terletak genting di antara stabilitas dan kejatuhan—cerminan kondisi manusiawi yang fana.

Marx juga melihat kondisi manusiawi itu sebagai "basis" dari kekuasaan politik yang berganti-ganti. Tapi ia hidup di abad ke-19 yang mempercayai kepastian ilmu; sosialismenya pun disebut "ilmiah". Dengan metode ilmu, Marx melihat sejarah menuju ke akhir yang jelas dan kekal: masyarakat yang tanpa konflik dan pengisapan.

Kini kita tahu ilmu bisa salah dan dunia tak kunjung lepas dari kapitalisme dan krisis-krisisnya. Kini sejarah berjalan tak pasti—dan debar jantung Machiavelli bergema lagi.

Di titik inilah Althusser, filosof terkenal dan anggota setia Partai Komunis Prancis, menulis Machiavel et Nous. Naskahnya terbit pada 1990, setelah ia meninggal. Mikko Lahtinen menguraikan dengan bagus perkembangan pikiran tokoh Marxisme ini dalam Politics and Philosophy: Niccolo Machiavelli and Louis Althusser’s Aleatory Materialism (Koninklijke Brill NV: 2009)—salah satu sumber tulisan saya ini.

Althusser sepakat, Machiavelli adalah "pemikir materialis terbesar dalam sejarah". Tapi pandangan materialisnya terbentuk oleh praxis politik, hasil pergulatan dengan keadaan di suatu saat, mengikuti kaki yang bergerak terus di atas tanah. Ini materialisme tanpa perspektif yang punya arah. Berbeda dengan Marxisme.

Althusser menyebutnya matérialisme aléatoire—dan ia mengadopsinya sebagai pengembangan materialisme Marx. Akar katanya, alea (Latin), berarti dadu. Materialisme ini bertolak dari konsep "materi" yang tak cenderung berbentuk; ia ibarat lempung meleleh yang tak menjurus ke sebuah wujud karya keramik. Dalam sejarah politik, "materi" ala Machiavelli adalah percaturan sosial-politik sehari-hari, dunia kehidupan (Lebenswelt) yang bergerak acak. Tanpa desain. Bentuk akan muncul dari pergeseran "materi" itu sendiri bersama energinya, tapi tak terduga, seperti jatuhnya dadu di ruang kosong. Tak ada rumus dan otoritas yang mengaturnya. Serba-mungkin.

Selama itu, persaingan terus. Tak ada satu subyek politik pun yang bisa mengklaim hak untuk menang. Gelombang yang membentuk dinamika sejarah akan tetap mengempas: perjuangan mereka yang tak masuk hitungan melawan mereka yang menentukan hitungan. Tiap bentuk kekuasaan (juga "demokrasi liberal" kini) tak bisa mengelakkannya. Dan kita tak tahu apa selanjutnya. Mungkin A, mungkin X.

Itulah sejarah demokrasi: cerita tegang untuk memilih satu di antara pelbagai "mungkin". Pilihan itu tak akan "benar" selamanya. Bagi Machiavelli, yang bisa diharapkan memang bukan "benar" yang kekal, tapi "benar" dalam arti efektif: verità effettuale della cosa. Tentu saja tak cukup. Juga dalam zaman yang tak pasti ini, politik demokratisasi hanya akan bersungguh-sungguh bila mengusung "benar" yang universal, dan sebab itu terus berkobar: cita-cita ke arah hidup yang tanpa penindasan. Cita-cita Marx.

Jakarta, 15 Desember 2011
Goenawan Mohamad


Havel

Oleh : Goenawan Mohamad
Senin, 26 Desember 2011

Sastrawan Cekoslovakia (lahir 1936, wafat 2011), Presiden Republik Cekoslovakia (1989-1992), Presiden Republik Cek (1993-2003)

Havel adalah saksi yang langka. Padanya puisi dan kekuasaan bisa bertaut sebentar di abad politik yang gemuruh, abad ke-20. Ya, sebentar—jauh lebih ringkas ketimbang umurnya yang berakhir pekan lalu, pada tahun ke-75.

Pertama-tama, puisi: percakapan yang tumbuh dengan bahasa yang datang dari dalam diri, kalimat-kalimat yang muncul tanpa dijinakkan kamus dan tata yang berlaku. Puisi tak membuat tenteram kekuasaan: yang tak bisa dijinakkan bisa mengacaukan wacana yang dikendalikan oleh kuasa dan doktrin yang merasa benar selamanya. Sejak Havel remaja, di Cekoslovakia, seperti halnya di seluruh Eropa Timur, kuasa itu Partai Komunis.

Di bawah sensornya tumbuh percakapan lain.

Sastrawan Polandia pemenang Nobel, Czeslaw Milosz, yang merasa dicekik doktrin Marxisme-Leninisme negerinya, memperkenalkan istilah "Ketman". Kata ini diambil dari sejarah kekuasaan Islam di Timur Tengah: "Ketman" adalah strategi verbal orang-orang yang takut. Dengan "Ketman" orang hanya mengutarakan pikiran yang dibentuk oleh bahasa resmi—dan dalam kasus Polandia, oleh frasa-frasa yang disusun karena ngeri melanggar akidah Partai. Dengan "Ketman", orang menyensor diri dan memasang topeng kata-kata. Tak jarang, dalam proses ketakutan yang panjang topeng itu menyatu dengan wajah, dan wajah pun berubah.

Havel, yang menulis esai dan lakon, melukiskan situasi itu di atas panggung. Karya pentasnya akrab dengan "teater absurd" ala Ionesco, dramawan Rumania yang lari ke Paris: teater yang menghadirkan "bahasa otomatik"—bahasa yang keluar dari mulut begitu saja tanpa makna, karena makna bukan bagian yang hidup dalam diri mereka. Tokoh lakon Havel, "Pesta Kebun" (Zahradni slavnost, 1963), adalah Hugo Pladek: pecatur muda yang beroleh jabatan penting setelah menyerap bahasa birokratik—dengan 1.000 slogan dan 1.000 klise. Di babak IV, bahasa itu mengubah dirinya. Orang tuanya tak mengenal Hugo lagi.

Selama hidupnya, Havel mencoba melawan situasi yang absurd seperti itu. Ia mengusahakan hidup yang tanpa kalimat palsu.

Mungkin karena ia sejak mula menulis puisi dan belajar dari penyair yang menjauhi petunjuk resmi dan sebab itu disingkirkan. Dalam umur 20-an, pada 1956, di sebuah pertemuan pengarang, Havel yang pemalu itu nekat menyerang doktrin "realisme sosialis" yang meletakkan kesusastraan di bawah komando Partai. Para hadirin kaget, tapi dengan berbisik dan kata yang bercadar mereka mengakui anak muda itu benar.

Berbeda dengan mereka, Havel terbebas dari "Ketman". Ia lepas dari ketakutan di hadapan bahasa resmi. Maka ia bisa membaca apa yang salah di Cekoslovakia, terutama sejak gerakan reformasi (yang terkenal sebagai "Musim Semi Praha" 1968) dihentikan oleh kekuatan militer Uni Soviet. Kecuali seorang mahasiswa filsafat yang memprotes membakar diri, Jan Palach, Cekoslovakia merunduk.

Tapi tak takluk. Havel, waktu itu 32 tahun, mengirim surat ke perdana menteri, menggugat. Ia dipenjarakan. Lakon-lakonnya dilarang dipentaskan.

Tapi ia tak bisa dipisahkan dari Teater Di Balustrada. Di gedung di sisi timur Sungai Vitava, Praha, itu Laterna Magika berpentas. Ruang bawah teater itu kemudian jadi tempat rapat gelap. Di sanalah dibentuk Obcanské Forum, forum yang menyatakan diri mewakili warga yang menentang rezim komunis, lingkaran 200-an orang yang berembuk dengan dukungan ribuan pemuda yang tak sabar.

Di situ, Havel adalah suara moral; ia pemandu.

Akhirnya: kekuasaan datang. Pada 1998, setelah sederet demonstrasi besar, rezim Komunis jatuh. Obcanské Forum menang—tanpa kekerasan: sebuah "Revolusi Beludru" yang mirip lakon romantik Laterna Magika. Memang ada yang "magika" saat itu: sang pemimpin moral bermetamorfosis jadi pemimpin politik. Havel jadi presiden.

Sekian tahun kemudian ia turun. Ditengoknya kembali jalan hidupnya. Dirinya telah terkena "jerat setan", katanya, meski dengan tambahan secercah humor: "Hanya dalam semalam, saya dilontarkan ke dunia dongeng."

Kemudian terbukti bahwa "dunia tak distruktur seperti dongeng". Sang presiden segera dibenturkan dengan sederet keniscayaan. Ia mengutarakannya dengan agak melankolis: "Untuk menapak di jalan nalar, perdamaian dan keadilan, perlu banyak kerja keras, sikap mengabaikan diri, sabar… dan kesediaan untuk disalahpahami."

Ia sering disalahpahami—dan berbuat salah. Havel menunjukkan kebesaran hati yang jarang: ia tak menjebloskan para pejabat Komunis yang dulu menganiaya ke penjara; ia memilih rekonsiliasi. Meski seorang warga Praha berbisik kagum kepada saya, "Ia seperti orang suci," banyak bekas korban rezim lama yang mengecamnya.

Tapi memang Havel tak selalu suci: di bawah kepresidenannya, Cek mendukung serbuan Amerika ke Irak dengan dalih yang bohong.

Sementara itu, kapitalisme mendera. Havel tak tampak gigih melawannya. Mungkin ia naif. Yang jelas, ia—yang keluar dari sel seorang pembangkang dan langsung masuk istana—tak pernah mengalami rumit (dan kotornya) proses politik kepartaian dalam demokrasi. Ia berada di atas partai: bersih, tapi tak punya radar di kaki.

Akhirnya ia tetap di haribaan puisi. Dan itulah posisinya: genting, di antara politik sebagai kiat mencapai yang mungkin dan sebagai hasrat menggapai yang tak mungkin. Tapi Havel tahu impian dan batasnya: "Suara peringatan seorang penyair harus didengarkan… mungkin dengan lebih serius ketimbang suara bankir dan pialang saham. Tapi juga kita tak bisa mengharap dunia—di tangan penyair—akan berubah seketika jadi sebuah sajak."

Goenawan Mohamad


Prabangkara

Oleh : Goenawan Mohamad
Senin, 12 Desember 2011

Dahulu, di Majapahit, seorang pelukis diperintah Raja Brawijaya membuat potret sang Permaisuri. Hasilnya menakjubkan. Ratu Mas Andarawati seakan-akan berpindah ke kertas itu.

Prabangkara memang dikenal sebagai juru sungging yang piawai. Brawijaya menyayangi pemuda tampan dan berbakat itu, yang sebetulnya anak kandungnya sendiri dari seorang janda yang ia tiduri di sebuah perjalanan di luar kota. Ketika Baginda datang melihat hasil karya itu, ia termangu-mangu, kagum.

Tapi sesuatu terjadi.

Brawijaya menemukan satu noktah di lukisan itu. Ia naik darah.

Prabangkara gugup dan mencoba menjelaskan: "Mohon maaf, Paduka, tetesan tinta ini belum sempat hamba hilangkan."

Tapi justru bukan kecerobohan yang membuat Raja marah. Noktah itu persis terletak di tempat yang, dalam keyakinan Baginda, hanya dia yang tahu. Babad Jaka Tingkir menuliskan ungkapan Brawijaya dengan tembang dalam metrum sinom:

jroning kën-nya yayi dëwi

punang as ana cirinya

andheng-andhengira wilis.

(Dalam kain permaisuriku,

'as’-nya ada cirinya,

yakni tahi lalat warna hijau tua).

Raja memakai kata "as", mungkin untuk memperhalus. Kemudian dijelaskan, kata itu berarti "pawadonan" atau "vagina". Sesungguhnya Brawijaya meradang. Prabangkara tak mungkin akan dapat tahu ciri rahasia pada as itu, kecuali—dan inilah kesimpulan Baginda—bila anak muda yang rupawan itu pernah bersebadan dengan sang Permaisuri.

Di sini kita tahu, sebenarnya sang pencerita mengisahkan sesuatu yang mustahil. Bagaimana bisa di gambar itu Raja melihat ada titik di bagian vagina jika karya Prabangkara bukan potret Andarawati yang telanjang?

Tapi umumnya kita memaafkan keanehan penulis babad—dan menduga-duga sesuatu yang tersirat dalam cerita ganjil seperti ini.

Maka baiklah saya teruskan: Brawijaya cemburu dan murka. Ia perintahkan Prabangkara dibunuh.

Penulis Babad Jaka Tingkir menunjukkan, Raja keliru. Dikisahkan Patih Gajah Mada mengingatkan: hukuman itu hanya cetusan amarah; Baginda kelak akan menyesalinya.

Brawijaya mendengar.

Tapi bagi saya ia keliru sejak mula: ia tak mengerti bahwa dalam sebuah karya kreatif, setetes tinta bisa sebuah peristiwa tersendiri, terlepas dari wilayahnya semula. Bak mawar yang terlepas dari tangkainya dan disematkan di baju, terjadi metamorfosis; lahir sesuatu yang baru.

Artinya, tak ada makna yang ditentukan oleh wujud sebelumnya. Pada potret Andarawati, makna noktah itu tak terkait dengan gambar tubuh sang Ratu. Bahkan tak diarahkan si pelukis.

Tapi bisa dikatakan Brawijaya tak 100% salah. Prabangkara diasumsikan hanya memotret. Maka Raja anggap titik hitam itu mengacu ke ciri rahasia Permaisuri. Baginda meletakkan tetesan tinta itu dalam sebuah wilayah tafsir yang ia kuasai. Sebagai raja, Brawijaya memang "teritorial": menguasai wilayah, mendominasi ruang hidup berikut simbol dan artinya. Di situ pula diletakkannya Andarawati: perempuan itu istri, ia milik. Batas pun didirikan; dalam bahasa Jawa, itulah pager ayu.

Tapi cerita Prabangkara justru berlanjut dengan pagar yang tak tampak.

Brawijaya akhirnya tak membunuh pelukis itu. Prabangkara diperintahkan pergi. Sejauh-jauhnya. Sebuah rencana disiapkan Gajah Mada: Prabangkara akan diberangkatkan ke angkasa. Untuk itu dibuat layang-layang dengan lebar hampir 12 meter.

Saya tak tahu apa yang dimaksud dengan "layangan" dalam babad ini. Dikatakan oleh penulisnya, teks ini digubah pada 23 Agustus 1820; mungkin saja imajinasinya bersentuhan dengan kabar tentang balon di Negeri Belanda yang pertama kali dikendarai manusia 16 tahun sebelumnya: 29 September 1804.

Pendek kata, Prabangkara naik. Kendaraan itu dilengkapi kamar, bekal, dan peralatan. Baginda, kata sang Patih, memerintahkan agar anak muda itu "melukis semua isi angkasa".

Tak jelas seriuskah titah itu. Ada kata yang mengesankannya hanya dusta yang halus, ingapuskrama. Babad Jaka Tingkir penuh ambiguitas di sekitar kepergian Prabangkara.

Bisa diartikan, dengan mengirim pemuda itu ke angkasa, Raja menegaskan, Prabangkara tak pantas jadi bagian teritorium apa pun.

Sebaliknya bisa juga diartikan, Brawijaya menebus kesalahannya. Ia tahu Prabangkara bukan seperti dirinya, penguasa yang selalu ingin menegakkan milik dan wilayah. Seorang seniman mencipta, dan ia berada dalam proses "deteritorialisasi".

Tapi ini pun ambigu. Prabangkara diperintah "menggambar seantero isi langit". Melukis saniskara isining gegana mengasumsikan adanya kemampuan panoptik. Di sana, daya melihat semesta adalah tanda kekuasaan.

Melihat memang bisa berarti menguasai, tapi menggambar adalah menghadirkan kembali dunia. Tugas Prabangkara hanya menirukan, bukan melahirkan sesuatu yang baru. Seninya sebuah laku mimetik, untuk dinilai oleh "publik" (dan kekuasaan yang mengendalikan wacana publik), sebagai "persis" atau "tak persis". Bukan kreatif atau tidak.

Bahkan obyek gambarnya diberi batasan oleh Raja dan patihnya: angkasa, bukan as di balik kain; langit jauh, bukan tabu yang dikukuhkan lembaga penguasa nilai-nilai di wilayahnya….

Syahdan, akhirnya, Prabangkara mendarat di dusun Yut-wa-hi, di Cina. Ia jadi anak angkat seorang janda. Ia kemudian sukses sebagai perupa. Ia diterima di Istana Kaisar, bahkan dinikahkan dengan putri Putra Mahkota.

Dan ia tak pulang. Ia tak kembali ke Majapahit, tapi kembali jadi bagian sebuah wilayah. Ia masuk ke kehidupan baru—yang sebenarnya tak baru: istana, takhta, tembok, tabu.

Prabangkara, yang berbakat menirukan apa yang sudah ada, dengan cepat menyesuaikan diri. Jinak. Tak ada lagi dawat muncrat tak terduga, tetesan liar yang jadi peristiwa kreatif tersendiri.

Goenawan Mohamad


Pekik

Oleh : Goenawan Mohamad
Senin, 05 Desember 2011

Ia selintas mirip Ho Chi Minh yang menyamar jadi buruh perkebunan tebu. Kurus. Misainya memanjang tapi tak rimbun. Rambutnya yang lurus rada kacau, gondrong tapi tak berjela. Keriputnya kentara di kulit wajahnya yang gelap terjemur matahari, tapi otot itu tampak masih liat. Matanya sipit, dengan tilikan tajam (lewat kacamata) yang jail. Atau jenaka.

Djoko Pekik, 70 sekian tahun, masih bisa menertawakan nasib dan dirinya. Saya rasa pelukis ini, dengan sikap ironis, sedang berbahagia.

Dan itu sebuah cerita tersendiri.

Siang itu saya berdiri di sebelahnya, di tepi Kali Be­dhog yang mengalir tipis dan lirih di kiri rumahnya. Serumpun bambu tinggi menaungi petak tanah itu, sebagaimana ratusan pohon meneduhkan tanahnya di Desa Sembungan itu. Tenteram. Tadi, ketika kami duduk di bangku, menghadapi gelas kopi manis dan piring pisang rebus, ia serius bertanya: apa sebenarnya nasib baginya? Saya tiba-tiba teringat sebaris sajak saya sendiri: "Tuhan, kenapa kita bisa bahagia?"

Pada tahun 1965, Djoko Pekik ditangkap, bersama ribuan orang yang dianggap mendukung PKI. Bersama sederet pelukis lain, anggota grup Bumi Tarung yang aktif di Yogya, juga hampir semua anggota Lekra, ia disekap. Pekik dikurung di Benteng Vredeburg, bangunan buatan VOC ketika mempertahankan cengkeramannya di wilayah Mataram.

Entah berapa ratus orang ditahan di sana. Bisa saya bayangkan betapa padatnya benteng itu. Hampir tiap hari ada tahanan yang mati, dan tak cuma satu: karena sakit, kelaparan, penyiksaan. Pekik teringat ketika pagi hari para tahanan dijemur, disuruh duduk mencangkung dan menatap ke tanah berjam-jam—sementara ada tentara yang naik dan berjalan menginjak-injak deretan kepala mereka, menendangkan sepatu, memukulkan popor bedil.

Trauma merasuk ke dalam diri Pekik sejak itu; ia gemetar tiap melihat warna hijau, warna seragam militer. Setelah 1972, setelah ia lepas dari tahanan dan punya rumah sendiri, ia lawan traumanya dengan cara seorang pelukis: ia cat semua dinding rumahnya dengan warna hijau. Trauma itu pun hilang.

"Saya ini orang yang beruntung," katanya. Di antara kebrutalan yang disaksikan dan dialaminya, dalam penjara ia masih ketemu tentara yang menunjukkan kebaikan-kebaikan kecil: mengajarinya mengecat topi baja dan kopelrim, membiarkannya makan di dapur sampai hampir mati kekenyangan, tak menyiksanya ketika ia dipergoki lepas sebentar untuk beli gula jawa di pasar dekat Benteng Vredeburg.

Tapi nasib baiknya yang terbesar datang karena Bung Karno. Sekitar awal 1966 Bung Karno, yang tahu penyekapan besar-besaran yang terjadi tapi tak cukup kuasa untuk melepaskan mereka (waktu itu, Soeharto, bukan Sukarno, yang praktis mengendalikan keadaan), diam-diam memanggil Overste Mus Subagyo. Perwira polisi militer yang berkuasa di Yogya ini kemudian bercerita kepada Pekik: Bung Karno berpesan agar para seniman yang ditahan tak dihabisi. "Menghasilkan seniman itu lebih susah dari menghasilkan insinyur, Mus," kata Bung Karno menurut cerita Mus Subagyo kepada Pekik.

Mus Subagyo—kabarnya perwira yang ikut menangkap Ketua PKI D.N. Aidit—menghormati Bung Karno sungguh-sungguh, dan ia tahu Bung Karno benar. Ia laksanakan pesan itu.

Djoko Pekik salah seorang yang diam-diam diselamatkannya. Pelukis itu (waktu itu ia bukan apa-apa) diberi ruangan tersendiri di sebuah rumah di luar Vredeburg. Ia tetap dikurung, tapi punya kesempatan berkarya. Pekik sempat membuat sebuah patung. Ia tampaknya tak pernah melupakan jasa perwira polisi militer itu.

Pada 1969, dalam umur 30, di tahanan, Pekik menikahi Tini Purwaningsih. Perempuan manis yang lebih muda 12 tahun ini dikenalnya ketika ia masih kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia di Gampingan. Tini dulu tinggal di belakang sekolah itu. Pasti ada yang mengikat hati gadis Katolik ini hingga ia mau bersuamikan seorang tahanan "Gestapu", lelaki dari keluarga tani Dusun Kedungwaru di Grobogan yang tak punya apa-apa. Apa pun yang menjadikannya, pernikahan mereka panjang dan tenang. Delapan anak lahir, yang sulung ketika Pekik masih dalam status tahanan.

Ketika ia akhirnya bebas, ia mencari nafkah dengan jadi penjahit. Sesekali melukis dengan bahan seadanya. Hidup amat-amat sulit. Ia berjualan kain dengan naik sepeda ke tempat-tempat jauh. Tapi akhirnya ia "ditemukan": karya-karya cat minyaknya yang sempat ia buat mengejutkan para peminat seni rupa. Salah satunya, Ketika Keretaku Tak Berhenti Lama, dipilih untuk ikut dibawa ke Amerika buat pameran seni Indonesia besar-besaran di tahun 1991.

Hidup Pekik berubah. Ia jadi dikenal, ia jadi makmur. Ia membeli tanah yang luas di Kelurahan Bangunjiwo di Kecamatan Kasihan, Bantul. Saya lihat ada seperangkat gamelan yang dimainkan para niyaga, konon tiap Jumat Kliwon. Teman lamanya, juga teman baru, hampir tiap kali bertandang.

Tapi ia tak lupa, lebih dengan rasa sedih ketimbang sakit hati, bagaimana di hari-hari awal kebebasannya ia tetap disisihkan, juga oleh sesama seniman. Saya kira Reformasi 1998 yang memberinya lebih banyak momen bersyukur tanpa mengucapkannya.

Apa sebenarnya arti nasib?

Siang itu saya berdiri di sebelahnya, memandangi Kali Bedhog yang mengalir lirih. Pekik sedang merencanakan pameran yang unik: membawa karya beberapa pelukis di atas rakit, bersama arus. Ketika ia minta bantuan untuk membersihkan sungai itu, tak disangkanya komandan militer setempat mengirim 150 prajurit. Kemudian datang bekerja beberapa puluh polisi.

"Saya orang yang beruntung," kata Djoko Pekik.

Juga Indonesia, tanah airnya, negeri yang beruntung: teror, trauma, dendam, permusuhan lama, akhirnya bisa juga dilarung, dibawa arus waktu. Entah ke mana.

Goenawan Mohamad


Hewan

Oleh : Goenawan Mohamad
Senin, 14 November 2011

"Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap segala sesuatu…. Hendaklah kalian menajamkan pisau [yang akan dipakai] dan senangkanlah hewan yang akan disembelih"—Hadith.

Di abad ke-21, hewan menghilang. Kita memang melihat kambing dan sapi berderet di pasar tepi jalan. Tapi bahkan di hari raya kurban, orang kota besar tak menemui makhluk hidup itu. Ternak itu hanya komoditas, benda-benda yang muncul dalam nilai tukar. Mereka dengan mudah dibeli dan dikirim ke tempat penyembelihan. Dan dalam pesta makan yang asyik kemudian, ada sesuatu yang dilupakan—sesuatu yang sebenarnya hari itu dikukuhkan kembali: pertalian manusia dengan apa yang hidup dan yang mati.

Pertalian itulah (yang diisyaratkan hadith, hingga kita harus "berbuat baik terhadap segala sesuatu") yang membuat hari raya kurban tak dimaksudkan sebagai hari pembantaian massal. Kematian hewan adalah saat yang khidmat. Ia secara radikal berbeda dengan jam-jam produksi daging di abattoir Amerika, yang sejak pertengahan kedua abad ke-20 didesain Grandin untuk meningkatkan efisiensi dan laba. Di ruang-ruang pembunuhan itu, trauma, kesedihan, dan hal sejenisnya akan dianggap pemborosan.

Di situlah bedanya: hari raya kurban bukan hari yang acuh tak acuh. Di hari itu kita sebenarnya tak hanya mendengar cerita tentang dahsyatnya iman Nabi Ibrahim, tapi juga kesedihan hatinya yang dalam: pengorbanan itu amat besar maknanya karena ada hubungan yang tak tergantikan antara yang akan mengorbankan dan yang akan dikorbankan. Maka di hari kurban, manusia diharapkan peka akan kekejaman yang akan dilakukan dan kesalahan yang bisa terjadi. Dengan pisau yang terhunus, manusia tak pantas berlaku bengis. Nabi pernah menegur seseorang yang sebelum menyembelih menginjakkan kakinya di atas pipi kambing seraya mengasah pisau. Kekejaman tak boleh berkali-kali.

Di rumah jagal modern, kekejaman bisa berkali-kali. Tapi dengan teknologi yang berjarak. Manusia tak akan berbisik buat menyenangkan lembu yang akan dibunuh; nyawa hanya angka. Para operator abattoir tak akan peduli bila yang akan dipotong seekor sapi muda yang kemarin berdiri manis di padang rumput—sapi yang tak tergantikan, sapi yang menitikkan air mata—bukan calon daging yang akan diganti uang.

Kapitalisme, atau sistem apa pun yang mengasingkan hidup dari kehidupan, membuat alam & hewan hanya sebagai cadangan konsumsi yang dihitung. Orang lupa bahwa "ada" berarti "menjadi-dengan-yang-lain". Tiap kali manusia mengkonsumsi sesuatu, sesuatu pun berkorban, sesuatu pun dikorbankan.

Tapi manusia rakus dan hewan diubah. Para satwa diletakkan dalam kotak; "mereka" bukan lagi "kita". Dinding pemisah dibangun, sering secara harfiah.

Dari Jardin des Plantes, Paris, Rilke, sang penyair, melukiskan dinding pemisah itu dalam sajaknya yang menyentuh, Der Panther. Di kebun itu ia lihat seekor macan kumbang menatap ke luar dari kerangkengnya, tapi

Pandangannya, dari balik lintasan jeruji

jadi lelah, tak mampu menangkap

apa pun lagi. Seakan ada ribuan jeruji,

dan di belakang sana: dunia tak ada lagi.

Jardin des Plantes, tempat macan itu disisihkan, dibangun pada 1793. Seperti London Zoo (didirikan pada 1828) ia bagian dari zaman yang makin mendorong "the cultural marginalization of animals" yang digambarkan John Berger: zaman kerakusan, zaman kemajuan. Berger (dalam Why Look at Animals) memandang kebun binatang sebagai "dukungan untuk kekuasaan kolonial modern". Ke Paris dan London satwa negeri jajahan didatangkan sebagai bagian dari jarahan.

Dan penjajahan tak hanya di situ. Hewan dibawa mendekat, tapi dihapus. Imajinasi modern membuatnya hanya makhluk imitasi. Walt Disney menciptakan Donald Duck pada 1934: si bebek berperilaku seperti warga kelas menengah Amerika. Dalam kartun ini manusia adalah template—pola yang sebelumnya sudah tampak dalam The Jungle Book Rudyard Kipling. Kita ingat tokohnya, Mowgli. Anak ini besar bersama serigala di hutan India itu. Tapi di sekitarnya satwa liar yang berbudi atau yang jahat tampil dalam wajah orang: si penyayang atau si pembenci. Di akhir abad ke-19 itu, Kipling membaca sejarah hanya sebagai wacana manusia. Bahkan baginya "manusia" adalah sang pembentuk peradaban, dan peradaban adalah kolonisasi modernitas, tugas orang kulit putih, "the white man's burden".

Tak ada lagi sejarah lain. Dulu ada catatan tentang pertautan satwa dengan manusia. Manusia menamai hewan dan memandang diri sendiri dengan nama itu: "Crazy Horse" di Amerika, "Hayam Wuruk" di Majapahit. Hubungan mimetik itu juga hubungan empatik: hewan adalah liyan, bukan imitasi; ia tak untuk diringkus. Kerbau Si Binuang dalam cerita Cindur Mata punya misterinya sendiri.

Tentu, hewan bisa jadi korban; ia "korban bakaran" dalam tradisi Yahudi dan kurban sembelihan dalam Islam. Ia bisa diperlakukan hanya sebagai alat tukar untuk beroleh sesuatu dari Tuhan. Tapi tak cuma itu. Jika kita ingat yang menggantikan putra Ibrahim adalah seekor domba hidup, bukan benda, kita akan sadar betapa akrab dan ambigunya hubungan sesama makhluk bernyawa.

Avamedhá, upacara raja-raja Hindu, lebih menegaskan ambiguitas itu: antara kekuasaan dan bukan kekuasaan, antara penaklukan dan ketakjuban. Seekor kuda dilepas ke timur laut selama setahun. Bila ia memasuki wilayah yang bermusuhan, daerah itu harus direbut. Ketika kuda itu akhirnya kembali, ia pun dibunuh—dengan upacara pengorbanan yang penuh hormat.

Kekejaman, kekuasaan, pengorbanan: agaknya manusia selalu diingatkan, ia hidup bersama "hewan yang lain". Dalam arti tertentu, ia juga "hewan yang lain".

Goenawan Mohamad


OWS

Oleh : Goenawan Mohamad
Senin, 24 Oktober 2011

Kapitalisme yang penuh gairah, kapitalisme yang mapan—agaknya itulah yang semula hendak ditampakkan di Taman Zuccotti. Di tengah area seluas 3.000 meter persegi di Distrik Finansial New York itu ada dua buah patung. Yang satu konstruksi merah yang menjulang: Joie de Vivre karya Mark di Suvero; yang lain sebuah pahatan perunggu melukiskan seorang pebisnis yang duduk tenang.

Hari-hari ini tentu saja tak seorang pun mempedulikan keduanya. Sejak tiga pekan lalu taman itu dipadati sekitar 2.000 pemrotes yang mendatangi wilayah itu untuk menggebrak kekuasaan modal: "Occupy Wall Street!". Taman Zuccotti jadi statemen: tak ada joie de vivre dalam kapitalisme, mantap ataupun krisis.

Amerika Serikat, di mana "kapitalisme" bukan kata yang tercela, sedang oleng. Indeks kepercayaan konsumen jatuh ke titik yang belum pernah terjadi selama seperempat abad lebih. Jumlah orang yang punya pekerjaan makin sedikit, dan tentu saja juga pendapatan rata-rata. Di tengah kegalauan itu makin tampak angka-angka yang menimbulkan marah. Statistik resmi pekan lalu menunjukkan, secara kolektif perolehan yang diterima 99% pekerja turun, sementara upah mereka yang berpenghasilan satu juta dolar setahun (hanya sekitar 94 ribu orang) naik sampai 22% dibanding tahun 2009.

Ketimpangan itu bukan hal baru. Tiga tahun yang lalu Lehman Brothers bangkrut. Pasar modal dunia guncang, ribuan orang kehilangan uang, dan kepercayaan kepada industri perbankan guyah: sebuah krisis paling gawat konon selama 80 tahun. Tapi diketahui bahwa CEO perusahaan investasi itu, Richard Fuld, hidup dengan gaji dan kompensasi yang royal (lebih dari US$ 500 juta)—jumlah yang begitu tak pantas yang ia coba sembunyikan.

The Love of Money (judul film dokumenter BBC tentang bangkrutnya Lehman Brothers), akhirnya itulah yang bisa dikatakan tentang zaman ini, ketika "finansialisasi" menyibukkan kapitalisme: bukan lagi berputar di pabrik dan bangunan, tapi di bursa saham, di pertukaran valuta, di permainan bunga dan segala hal yang cair, dan ketika euforia untuk berspekulasi ("speculative excitement", kata Keynes) membubung. Pada saat yang sama, lembaga-lembaga keuangan makin hanya dimiliki segelintir perusahaan.

Walhasil, ini keasyikan yang bukan bagian hidup orang ramai, meskipun risikonya mengorbankan orang ramai. Bahkan, seperti terbukti dari krisis 2008 dan krisis 2011, risiko itu mengenai jutaan manusia di seluruh dunia.

Dengan kata lain, orang ramai adalah multitude yang terasing. Maka atas nama orang ramai Taman Zuccotti diduduki. Sebuah manifesto disusun. "¡Ya basta! Aquí el pueblo manda y el gobierno obedece!" 'Cukup! Di sini rakyat memberi titah dan lembaga-lembaga global tunduk!' Mereka menirukan seruan perlawanan kaum Zapatista di Chiapas, Meksiko.

Tentu saja mereka juga mencoba menirukan orang ramai yang berkumpul di Lapangan Tahrir, Kairo, untuk melawan kediktatoran Mubarak dan "para amarah" yang memprotes keadaan ekonomi di Puerta del Sol, Madrid. "Let us globalise Tahrir Square! Let us globalise Puerta del Sol!" kata mereka.

Ya, mereka secara militan menyerukan keadilan—tapi mereka terbuka seperti Taman Zuccotti. Mereka tak hendak membentuk sebuah himpunan yang intensional, yang menentukan prasyarat bagi orang-orang yang bisa dimasukkan ke dalam himpunan itu. Mereka pasti ingat deklarasi gerilyawan Zapatista yang bangkit sejak 1994. Bendera revolusi yang dikibarkan di Chiapas itu adalah bendera bagi semua kecenderungan, "pikiran yang paling berbeda-beda, jalan perjuangan yang berlain-lainan, tapi hanya dengan satu kerinduan dan satu tujuan: kemerdekaan, demokrasi, keadilan".

Di Taman Zuccotti, "yang berbeda-beda" juga disambut, dengan hasrat untuk sesuatu yang terasa jelas tapi belum terkatakan. Mereka hadir tanpa hierarki, tanpa klasifikasi, tanpa program. Hanya ada yang disebut "majelis umum" yang berembuk untuk memutuskan langkah yang akan diambil atau statemen yang akan diutarakan.

Maka yang berlangsung adalah sejenis anarkisme yang menampik struktur tanpa mesiu dan tinju—yang justru membuat mereka, seperti kaum Zapatista, mendapatkan simpati yang luas. Gema "Occupy Wall ­Street" dengan cepat bergaung di seluruh dunia: terhadap kapitalisme global, lahir internasionalisme baru. Gerakan "OWS" muncul bahkan sampai ke Jakarta.

Tapi memang belum ada tanda bahwa kapitalisme yang sedang oleng kini akan jadi roboh. Ia masih bisa menyedot apa saja dan membuat lupa. Beberapa tahun setelah kaum Zapatista bergerak, dengan pemimpin dan juru bicaranya yang misterius dan memikat, Subcomandante Marcos, dunia tak lagi terkejut tapi terpukau. Maka ke Chiapas datang "turisme revolusioner". Mula-mula orang-orang jauh itu ke sana sebagai dukungan kepada perjuangan, atau membantu penduduk miskin di pedusunan. Kemudian kaum Zapatista sendiri mengundang siapa saja untuk berkunjung. Tentu saja dengan biaya tertentu. Di San Cristóbal ada papan iklan: "Kunjungilah Oventic dan San Andrés, jantung Zapatistas".

Iklan mungkin juga akan muncul tentang Taman Zuccotti: sebuah obyek wisata baru. Tak akan mengejutkan bila popularitas "OWS" akan memudahkan simbol gerakan itu jadi komoditas—sebagaimana wajah Che Guevara jadi desain T-shirt. Memang ajaib dan menjengkelkan bahwa dalam sakitnya kapitalisme sanggup membius orang seraya menyebarkan sinisme: semua bisa dan mau diperdagangkan, juga protes terhadap ketidakadilan.

Kecuali jika kita mengentak "tidak" sepenuhnya.

Tapi tampaknya Taman Zuccotti, didirikan oleh sebuah perusahaan baja dan dimiliki sebuah perusahaan properti, bukan untuk revolusi.

Goenawan Mohamad

Sumber dari SINI
Share: