Minggu, 18 Desember 2011

 

Words're Blown by the Wind. What do They Tell?

SEPERTI ANGIN KAU TAHU

kau tahu aku
walau pun diriku
begitu berbayang di matamu

kau pun tahu
dalam lukisan berdebu
di atas kanvasnya tergambar
bunga waktu menguncup
telah menjadi bingkai hidup

semua yang berseri
geliat cerah mentari
ketika pucuk-pucuk hijau
rakus meminum siraman cahaya kemilau,
dan tiap helai ujung rerumputan bermahkota embun gemerlap
aduhai, terasa hidup dalam tidur yang lelap.

lalu saat mata memandang bayang mengerjap
sirna tak berbekas, lenyap
beku dalam sunyi yang menghisap

kita lalai menduga
luput menjangkau peristiwa
apa yang didapat suatu hari kelak
dan ketika kepedihan menyapa: diri tersedak

diriku, dirimu,
sang aku, engkau
terkesiap

ketika kau tahu
kau telat melihatku
yang selalu tak nampak jelas
telah terbias
dalam pandangan matamu

seperti angin menggerakkan segala
tak pernah ditemukan wujud nyata


──────────────────────────────────────────────────
SEUPIL GAGASAN TENTANG KEPEDIHAN YANG MENCERDASKAN
──────────────────────────────────────────────────

"Salah satu cara yang dapat menyadarkan diri manusia adalah pengalaman pahit."

Mengapa demikian? Mari kita lihat lagi bagaimana diri individu yang mendefinisikan hidup seperti apa adanya berdasarkan penderitaan atau kesulitan yang dialami. Melalui penderitaan yang dilahirkan oleh ibu kandungnya yaitu pengalaman pahit, ada suatu kesadaran penuh tentang eksistensi diri yang berada dalam kondisi tertekan. Ya, sebuah ironi yang dramatis. Benar sekali! Kini tampak serupa demam dangan tubuh panas dingin yang menghasilkan kemauan kuat untuk menelan sebutir pil yang terasa kelat di lidah, namun mampu meredusir rasa sakit. Setidaknya sebagai analgesik sementara waktu seiring kesadaran merekonstruksi ulang langkah-langkah untuk menapaki hari selanjutnya.

Pengalaman pahit mengajak seorang individu untuk mengintrospeksi diri. Aduhai! Ini seperti memungut keping demi keping peristiwa yang menyakitkan untuk ditatap sebagai lukisan mozaik kehidupan dengan mata terpicing. Untuk apa? Tentu untuk melihat kembali bagaimana suatu penderitaan yang mungkin juga berasal dari kelalaian diri, kealpaan akibat kesenangan yang melenakan dan telah menjadi tabir tebal menghalang kejernihan pertimbangan.

Pengalaman pahit menghidangkan jamuan makan bermenu kepedihan yang mewah. Mau tak mau disantap sebab sudah tersaji sedemikian menggiurkan. Saat tertelan dan mulai mengalir ke dalam jiwa, hidangan kepedihan lezat nan mewah tadi menciptakan penyatuan diri. Penyatuan diri yang sadar melihat bahwa suatu penderitaan yang dirasakan telah mulai mengiris-iris hati; akibatnya, seorang individu akan mulai mencari sebab-akibat bagaimana hal ini bisa terjadi. Setidaknya untuk langkah antisipasi kegagalan rencana tindakan yang akan dilaksanakan kelak. Tak dapat disangkal bahwa telah tercipta kemampuan memimpin diri pribadi.

Seperti Angin Kau Tahu adalah representasi sikap manusia dalam melihat diri dan eksistensi ke-maha-jadian, suatu pengejawantahan totalitas kemanusiawian dalam diri tiap individu.

Sang Aku yang berwujud hawa nafsu dalam diri menutup kemampuan untuk menelaah tiap tindakan, serupa kabut yang menabir pandangan akal sehat nan rasional. Hanya kepedihan yang tak terduga mampu menyadarkan. Sehingga upaya berefleksi utuh terlaksana. Sebuah cara untuk melihat kembali apa saja yang pernah dilakukan sampai mengalami penderitaan yang memerihkan jiwa. Di sini Sang Aku telah mengalami sedikit demi sedikit keruntuhan. Lalu, terbuka jalan menuju penemuan kembali fitrah insani.

Pengekangan Sang Aku seringkali dilaksanakan dengan niat untuk mencapai pencerahan, yang mana akan digunakan untuk memahami tentang makna konsepsi kehidupan sebagai gerak dinamis yang penuh kontradiksi namun begitu teratur.


Note: 

Tuhan, karena Kau sudah begitu paham tentang diriku, sudah saatnya aku mempercayai-Mu sepenuh hati. Bagaimana bila aku mendekati-Mu sekarang ini? Aku hanya teringat ucapan-Mu yang mengatakan bahwa ketika seorang hamba berjalan menghampiri-Mu, maka Engkau akan menemuinya dengan berlari. 
Share: