Jumat, 16 Desember 2011

 

Kunang – Kunang : Sajak Buah Karya dari Joko Pinurbo

Kunang – Kunang
Oleh : Joko Pinurbo

Ketika kecil ia sering diajak ayahnya bergadang
di bawah pohon cemara di atas bukit,
Ayahnya senang sekali menggendongnya
menyeberangi sungai, menyusuri jalan setapak
yang berkelok-kelok dan menanjak.
Sampai di puncak, mereka membuat unggun api,
Berdiang, menemani malam, menjaring sepi.
Ia sangat girang melihat kunang-kunang berpendaran.
”Kunang-kunang itu artinya apa,Yah?”
”Kunang-kunang itu artinya kenang-kenang.”
Ia terbengong, tidak paham bahwa ayahnya
sedang mengajarinya bermain kata.

Bila sudah terkantuk-kantuk, si ayah segera
mengajaknya pulang, dan sebelum sampai di rumah,
ia terlelap dalam gendongan.
Ayahnya menelentangkannya di atas amben tua,
lalu menaruh seekor kunang-kunang di atas keningnya.

Saat ia pamit pergi ngembara, ayahnya membekalinya
dengan sebutir kenang-kenang dalam botol.
”Pandanglah dengan mesra kenang-kenang ini
saat sedang gelap dan mati kata;
maka kunang-kunang akan datang memberimu cahaya.”

Kini ayahnya sudah ringkih dan renta.
”Aku ingin ke bukit melihat kunang-kunang.
Bisakah kau mengantarku ke sana?”
Malam-malam ia menggendong ayahnya
menyusuri jalan setapak menuju bukit.
”Apakah pohon cemara itu masih ada, Yah?”
tanyanya sambil terengah-engah.
”Masih. Kadang ia menanyakan kau
dan kukatakan saja: Oh, dia sudah jadi pemain kata.”

”Nah, kita sudah sampai, Yah. Mari kita bikin unggun.”
Si ayah tidak menyahut. Pelukannya semakin erat.
”Tunggu, Yah, kunang-kunang sebentar lagi datang.”
Si ayah tidak membalas. Tubuhnya tiba-tiba memberat.
Ia pun mengerti, si ayah tak akan bisa berkata-kata lagi.
Pelan-pelan ia lepaskan ayahnya dari gendongan.
Ketika ia baringkan jasadnya di bawah pohon cemara,
seribu kunang-kunang datang mengerubunginya,
seribu kenang-kenang bertaburan di atas tubuhnya.
“Selamat jalan, Yah. In paradisum deducant te angeli.”

(2010)

** puisi indah karya Joko Pinurbo ini dimuat di Surat Kabar Kompas, Minggu, 23 Januari 2011


──────────────────
APRESIASI SINGKAT
──────────────────

Aku sangat menyukai karya-karya sajak dari penyair Joko Pinurbo. Kesukaan ini bukan tanpa alasan sama sekali. Sajak-sajak buah tangan dingin Joko Pinurbo, yang juga sering dipanggil Jokpin, kaya metafora mudah dicerna, yang memaparkan nilai universal kehidupan.

Sebuah karya sastra yang baik, menurut pendapat pribadiku, mesti mengandung pokok-pokok persoalan kehidupan seperti cinta kasih, ambisi, kebencian, kematian, kesepian, kebahagiaan dan lain sebagainya. Selain itu, sastra yang indah dan bermakna mampu menjembatani tiap orang untuk mengenali, menyimak, mengambil manfaat, mencerahkan dan menghibur baik penikmat sastra mau pun masyarakatnya.

”Kunang-Kunang” yang digubah oleh penyair Joko Pinurbo ini masuk dalam jenis karya yang berbobot dan mengandung nilai universal kehidupan terutama tentang betapa romantis hubungan kasih sayang antara orang tua dan anaknya. Selanjutnya, sajak ini mengilustrasikan betapa syahdu perasaan duka si anak ketika kehilangan sang ayah yang memiliki tempat tersendiri di relung hatinya.

Sajak ini juga melukiskan betapa manusia tak akan pernah bisa menolak datangnya kematian sebagai ketetapan-Nya dalam bentuk ”sesuatu yang telah ditulis jauh sebelum ruh ditiupkan ke dalam badan fana.” Tak peduli apakah itu saat sedang bersenang ingin mengenang nostalgia yang indah di masa lalu, sebagaimana yang dialami si ’aku lirik’ dengan ayahnya, kematian sebagai ketetapan datang tanpa bisa dicegah. Lalu, apa yang terjadi dan dirasakan orang yang ditinggalkan? Tentu saja rasa duka, perih dan lirih begitu tajam menusuk jiwanya.

Ya, akhirnya seseorang yang ditinggal pergi hanya bisa masygul dan menerima dengan ikhlas. Walau pun kenangan indah dari peristiwa-peristiwa tertentu yang dialami bersama tak akan mungkin bisa lekang oleh waktu.

/ Ketika ia baringkan jasadnya di bawah pohon cemara, //
/ seribu kunang-kunang datang mengerubunginya, //
/ seribu kenang-kenang bertaburan di atas tubuhnya. //
/ “Selamat jalan, Yah. In paradisum deducant te angeli.” //



Share: