Selasa, 16 Agustus 2016

 

Film The Skin I Live In, Potret Kerumitan Kejiwaan Manusia

review the skin i live in


The Skin I Live In (2011), sebuah film yang berjenre psychological thriller arahan sutradara Pedro Almodovar. Judul asli film ini La Piel Que Habito, menceritakan dunia pengalaman konkret manusia yang kompleks dan ambigu. Betapa pengalaman hidup menyakitkan seperti kehilangan orang-orang terdekat dapat memicu sebuah obsesi, dendam yang tersembunyi, kegamangan dalam konflik identitas diri, dan bahkan perasaan cinta yang ganjil.

review the skin i live in

Di bagian awal, film ini menampilkan sosok perempuan muda cantik, Vera Cruz (Elena Anaya). Ia tinggal dalam sebuah kamar di rumah mewah. Kebutuhan sehari-harinya diantar naik dengan lift khusus dari lantai bawah oleh pembantu yang mengurus rumah itu, Marilia (Marisa Paredes). Vera dalam kesehariannya berlatih yoga, membaca dan berkreasi lain untuk menghilangkan kejenuhan. Siapa sebenarnya Vera yang ruang geraknya amat dibatasi itu?

Adegan selanjutnya terlihat Dr. Robert Ledgard (Antonio Banderas) pulang dari tempat kerjanya. Turun dari mobil, ia langsung ke laboratorium pribadi di basement. Suasana berkesan ilmiah amat terasa. Ruangan steril nan sejuk berdinding kaca tebal transparan, dan tampak alat-alat canggih dunia kedokteran tertata rapi. Robert melakukan riset di sini. Ia seorang dokter ahli bedah plastik.

review the skin i live in


Suatu ketika dalam satu forum ilmuwan, Robert memaparkan orasi ilmiahnya. Ia melakukan penelitian dan menemukan satu jenis kulit sintetis anti panas dan tahan serangan penyakit. Gal nama temuannya itu. Diadopsi dari nama panggilan mendiang istrinya yang tewas terbakar dalam sebuah kecelakaan mobil. Hadirin terpana menyimak penjelasannya. Mereka sangsi apa bisa temuannya digunakan ke tubuh manusia, mengingat terdapat persoalan gen yang cukup pelik. Kulit, jaringan tubuh yang tidak mudah diganti bagai menempelkan prangko. Mereka memahaminya. Presiden dari komunitas ilmuwan dalam forum tersebut juga bertanya-tanya.

Robert meyakinkan itu bisa dilakukan. Metode transgenetik – memindahkan informasi genetik dari jaringan tertentu yang lebih kuat – akan membantu proses transplantasi kulit ke tubuh manusia. Presiden komunitas ilmuwan tak setuju. Baginya tindakan Robert telah melanggar bioethics. Ia mengancam akan melaporkan ini ke dewan ilmuwan. Namun, Robert bersikeras melanjutkan penelitian dengan alasan tersendiri. Pengalaman traumatik merawat istrinya yang luka bakar sulit dilupakan – ini manjadi motivasi utamanya. Ia berpikir kelak temuannya dapat digunakan untuk menolong korban kecelakaan, khususnya untuk korban dengan luka bakar permanen sepertinya istrinya dulu. Tentu saja sang ahli bedah plastik ini harus bereksperimen – setidaknya untuk membuktikan keyakinannya itu.

Sampai batas ini, kita mulai bisa menemukan benang merah antara profesi Robert dan Vera – pasien istimewa di rumah pribadinya. Namun, identitas jelas tentang diri Vera masih samar. Skenario The Skin I Live In agaknya dirancang Almodovar dengan alur cerita yang tidak langsung. Kita harus menghubungkan sendiri bagian demi bagian hingga bisa melihat arah cerita dalam film ini.

Misteri siapa gerangan Vera sedikit terkuak. Sejak dihadirkannya tokoh bernama Vicente (Jan Cornet) terlihat dalam sebuah pesta pernikahan Casilda Efraiz, anak kolega Robert. Dalam satu kesempatan, Vicente berhasil membawa keluar Norma (Blanca Suarez), putri semata wayangnya. Saat itu Vicente sedang mabuk akibat pengaruh obat-obatan. Ia memperkosa Norma di bawah pohon dalam keremangan di halaman kebun rumah tempat pesta. Robert terlambat menyelamatkan putri lugunya. Tetapi, ia sempat melihat Vicente melarikan diri, melaju kencang di atas sepeda motornya.

Akibat peristiwa tragis itu, Norma mengalami trauma. Ia ketakutan bertemu dengan lelaki, sekalipun itu ayahnya sendiri. Robert membawanya ke sebuah lembaga psikoterapi. Malang bagi Norma justru di tempat itulah hidupnya berakhir. Lompat dari jendela di ruang atas perawatannya, ia tewas mengenaskan.

Kehilangan putri kesayangan yang mati tragis, Robert amat marah dan dendam terhadap Vicente. Suatu malam ia mengintainya. Di sebuah ruas jalan membelah hutan sunyi, ia menyerempet Vicente sampai terpental jatuh. Robert lalu bergegas menembaknya dengan senjata pembius, dan menculiknya.  

Vicente lalu disekap dalam ruang bawah tanah di rumah Robert. Ia diperlakukan layaknya tahanan berbahaya. Kurang diberi cukup makan, dan pakaiannya pun dilucuti. Perlakuan kejam ini layak didapatkan si pemerkosa putrinya, pikir Robert. Penderitaan setimpal, harga yang pantas dibayarnya.


review the skin i live in

Marilia, pembantu setia sang dokter, sebenarnya mengetahui. Namun, tak berbuat apapun. Mungkin ia tak mau majikannya berurusan dengan polisi. Barangkali ia juga marah terhadap pemuda itu. Atau, ada alasan khusus lain, hanya ia sendiri yang tahu. Mengapa Marilia bersikap begitu? Benarkah ia cuma seorang pembantu?      

Suspensi agaknya dijaga baik oleh sutradara. Tiap tokoh utama terselubung misteri dalam kepribadiannya. Seperti Robert yang diam-diam akhirnya memutuskan untuk ”mem-vermak” tubuh Vicente dalam sebuah operasi. Bersama rekannya, Fulgencio (Eduard Fernandez), ia merombak total tubuh pasien istimewanya itu. Fulgencio sebelumnya dibohongi. Robert meyakinkan bahwa si pasien dengan sadar memang telah meminta dia untuk mengoperasinya – menjadi perempuan utuh. Vicente lalu diganti kelamin, dipasangi ’onderdil’ pelengkap, dan kulitnya pun berubah halus layaknya kaum hawa.

Semua tahap operasi bedah telah selesai, kini Vicente jelmaan perempuan jadi-jadian bernama Vera. Ia gamang. Ia terperangkap dalam tubuh baru. Ia mengalami shock, tak bisa menerima dirinya sendiri. Namun, ia tak kuasa menolak kenyataan getir ini. Ia hanya tahanan special bagi tuannya – sang ahli bedah plastik yang kelewatan kreatif terhadap tubuhnya. Sekalipun nampak molek, namun ia cantik yang luka. Dalam luka menganganya itu, masih mendidih darah pemberontakan. Kelak Vicente menemukan cara.

review the skin i live in

Kalau Vicente – Vera terlihat amat menderita, sebaliknya Dr. Robert Ledgard merasa amat puas dan bangga dengan hasil kreativitas ilmiahnya. Melihat tubuh menawan Vera sepulang kerja menjadi kebiasaan baru baginya. Itu bagai obat penghilang penat amat mujarab. Apalagi ia cukup lama menyendiri. Bisa jadi Robert telah jatuh hati pula. Bukankah cinta punya caranya sendiri menemukan objeknya? Begitulah realitanya. Vera tahu ia sering diperhatikan. Seketika ia terinspirasi. Mungkin solusi cerdas terbebas dari penjara mewahnya itu, berpura-pura menjadi pendamping hidup bagi Robert. Terkadang kepalsuan dibutuhkan demi mewujudkan keinginan. Baginya ini sepadan.

Cerita dalam film ini mulai memasuki ketegangan. Tokoh Seca (Roberto Alamo) perampok berangasan, adik seibu dengan Robert muncul dalam sebuah adegan. Ia mendapat alamat rumah sang dokter setelah membaca sebuah artikel koran lokal. Tiba di kediaman Robert, ia disambut Marilia yang tersentuh kata-katanya – rindu bertemu ibu. Dipersilakan masuk dan dihidangkan makanan. Ketika Seca hendak mengambil sebotol minuman, di layar monitor dilihatnya seorang perempuan cantik berada dalam satu kamar. Ia bertanya pada Marilia. Ibunya berbohong. Katanya itu hanya tampilan film saja, tidak ada siapa-siapa. Seca bersikeras ingin menemui, tetapi ibunya malah mengusir keluar di bawah ancaman sepucuk pistol. Saat Marilia lengah, ia berhasil merebut senjata dan mengikatnya. Lalu mencari perempuan cantik dalam kamar. Vera merasa amat cemas. Ia tahu ada yang tak beres setelah mendengar suara tembakan. Akhirnya, Seca berhasil merengkuh dan memperkosanya setelah pintu kamar dibuka. Tiba-tiba Robert pulang dan menemukan pembantunya terikat. Ia juga melihat Vera yang sedang digagahi. Ia lalu menembak mati Seca dan membuang mayatnya.

Peristiwa pemerkosaan itu rupanya menjadi jalan pembuka kebebasan Vera. Ia mulai merayu Robert agar mau hidup bersama bagai sepasang kekasih kasmaran. Sang dokter bersedia. Mereka mulai tidur seranjang, mereguk kehangatan di malam dingin. Bagi Vera memang terasa absurd. Namun, ia mesti apik melakoni peran sandiwaranya. Peluang emas akhirnya datang juga menghampiri Vera. Ia segera memanfaatkan dengan cekatan. Di dalam kamar, Robert dan Marilia, ibu kandung sang dokter yang selama ini berpura-pura menjadi pembantu setia, terkulai setelah mereka ditembaknya.
        
Film produksi El Deseo S.A dengan musik yang ditangani Alberto Iglesias ini cukup menarik, bukan? Kita seperti diberi sebuah persepsi mengenai tubuh, konflik identitas diri, absurditas cinta, dan pemahaman soal kehidupan emosional individu yang amat pelik.

Pedro Almodovar bekerja sama dengan produser Agustin Almodovar sepertinya ingin mewacanakan betapa tubuh dipandang amat privat. Tubuh memuat makna tertentu bagi tiap pribadi. Melalui tokoh Vera, tersirat bahwa tubuh seseorang yang berubah secara terpaksa rentan menimbulkan distorsi psikologis. Kegamangan melihat diri sendiri yang ganjil dari biasanya. Siapakah aku dengan tubuh baruku kini? Masihkah dapat kukenali lagi? Penyimpangan prilaku, penuh kepalsuan yang terbungkus keinginan tersembunyi cepat sekali dipicu oleh tubuh yang termodifikasi.

Dalam pada itu, Tokoh Dr. Robert Ledgard seolah hendak mengingatkan kita kembali. Betapa ilmu pengetahuan yang berada dalam jiwa yang sakit, dipengaruhi ambisi dan kebencian sungguh tidak akan pernah memberikan kebaikan. Sebaliknya, ilmu tersebut akan menjadi senjata berbahaya yang membuat orang lain menderita, dan memberikan kesombongan diri semata bagi pemiliknya.  [M.I]


Nonton Online dan Download Film


Share: