Selasa, 26 April 2016

 

Cerpen Gerson Poyk : Jaket Kenangan

Jaket Kenangan

Oleh GERSON POYK

Cerpen Kompas Minggu, Karya Cerpen, Cerpen Gerson Poyk, Cerpen Jaket Kenangan
ilustrasi I Made Susanta Dwitanaya

Sudah lama aku meninggalkan sebidang tanah kebun yang kubeli beberapa tahun sebelumnya di Denpasar. Dulu, selama tinggal di Bali aku buka usaha garmen sehingga aku bisa membeli kebun itu. Karena anakku berbakat matematika dan di Bali tak ada fakultas matematika aku menjual pabrik garmenku untuk ongkos pindah ke Jakarta.

Turun dari pesawat di Bandara Ngurah Rai aku langsung naik taksi menuju kebunku. Rumput sudah meninggi bercampur semak belukar. Aku langsung melemparkan tas punggungku di bawah sebuah pohon lalu membuka pakaian luar, tinggal celana dalam dan kaos lalu mengeluarkan arit mungil dari tas punggung, lalu mulai mengarit rumput. Ada beberapa pohon jambu yang nampaknya berbuah lebat tetapi habis dipetik anak-anak. Begitu juga empat pohon nangka. Ada empat pohon sawo yang batangnya sudah selebar pinggangku. Dua rumpun bambu kuning, walaupun tumbuh subur orang sering mengambil rebungnya, katanya untuk mengobati penderita sakit kuning atau liver. Dua rumpun bambu betung yang besar, selalu dikeroyok rebungnya untuk sayur. Aku hanya bisa menggeleng kepala dan berkata dalam hati, mesti ada yang jaga…

Aku mengarit sampai sore. Setelah kembali memakai pakaian aku berjalan ke sebuah warung tak jauh untuk memesan teh manis dan makan sore. Pemilik warung punya kamar-kamar kontrak per bulan. Karena sudah terlalu lelah aku mengontrak sebuah kamar untuk sebulan. Sewa kamar itu cukup murah karena dindingnya terdiri dari gedek bambu yang dianyam jarang sehingga kamar itu seperti kelambu raksasa. Angin malam mulai membawa udara dingin musim kemarau sehingga aku harus tidur tanpa membuka pakaian, bahkan harus memakai jaket supaya tidak kedinginan. Soalnya aku lupa membawa selimut dari Jakarta. Aku terbangun jam dua belas malam untuk kencing. Tetangga sebelah kamarku belum tidur rupanya. Ia sibuk memperbaiki sepeda motornya. Kakinya mengentak-ngentak tetapi motornya tak mau hidup. Kadang-kadang memang hidup tetapi mendadak mati lagi. Dientak terus, entak terus puluhan kali tetapi tidak juga mau hidup. Setelah berjam-jam tak hidup juga mesinnya, ia pun mengeluh, “O, Gusti, beginilah kalau jadi manusia. Punya satu istri, dua orang anak. Kalau motor tidak hidup, mau makan apa, besok? Anak masih kecil-kecil. … Mendengar itu aku bangun lalu mengintip ke sebelah. Kamar itu cukup besar. Ada tempat tidur. Tidak jauh dari tempat tidur ada tungku dengan seonggok batang jagung kering. Ada beberapa potong kayu bakar, rak piring, meja kecil, dan di dekat tempat tidur ada lemari pakaian. Suami, istri dan dua anak bercampur dengan tungku yang sudah tentu sangat berasap, rak piring, meja dan sebuah lemari lusuh.

Aku melangkah kembali ke tempat tidur lalu berusaha tidur dengan perasaan prihatin pada nasib tetangga kamarku. Besoknya aku ke kali kecil tak jauh untuk mandi. Sudah lama aku ingin mandi telanjang di kali, seperti pada umumnya lelaki dan perempuan Bali. Rasanya beda jauh dengan mandi di kamar mandi. Waktu aku membungkuk untuk menyiram kepalaku, seolah terdengar seorang perempuan muda yang telah membuka pakaiannya sehingga nampak kulit coklat terang dan halus, seksi, segar, sehat, berada sekitar dua meter di depanku. Aku mandi di sebuah sungai kecil bersama seorang perempuan muda yang dengan sopannya bertelanjang tubuh tak malu-malu minta izin untuk mandi telanjang di depanku. Rasanya seperti disodorkan video porno, tetapi aku menutup mata. Menutup mata… Bukan! Aku menutup hati. Aku bisa menertibkan anjing libido dalam diriku yang menggoyang-goyang ekor. Mungkin karena aku manusia. Kalau aku binatang pada waktu itu sudah tentu aku terkam perempuan telanjang itu! Itu dulu. Masa lampau remaja tinting yang sensual. Kini aku sedang mandi telanjang sendiri. Oh enaknya mandi pagi di sungai yang airnya lewat persawahan yang luas, bersih, sejuk, walau diganggu kenangan mandi di masa muda.

Sehabis mandi aku kembali ke kamarku. Sehabis mengganti pakaian, aku menghampiri tetanggaku itu dan bertanya, “Apanya yang rusak?” Dia menjelaskan apa yang rusak.

“Saya perlu berkeliling dengan sepeda motor. Kalau saya bisa bantu belikan onderdilnya, lalu motornya hidup kembali, bisakah membawa saya bertugas keliling?” Menerima uang dariku ia senang sekali. Menjelang magrib ia kembali dan segera menghidupkan motornya. Hari sudah malam ketika kami keluar dari rumah.

“Kita mampir ke restoran makan malam, yok. Cari restoran yang ada cewek yang bisa berdansa atau ajojing,” kataku. Lalu motor berhenti di sebuah restoran besar yang berisi dua puluh pelayan cantik dan hostes bahenol.

Aku memesan makan malam yang paling enak untuk berdua. Sekaligus bir. Waktu aku makan, aku melihat dia tercenung, hampir tak ingin makan makanan mewah itu. Wajahnya berubah murung seperti bintang film kawakan pemain watak. Aku merasa membawa orang susah ke restoran mewah dan mahal. Ketika kulihat matanya tercenung dan kaku, tak mau makan enak sendiri sedang di rumah istri dan anak belum makan, rasa bersalahku muncul. Mestinya aku membawanya makan di terminal bus, bukan di restoran besar ini. Bagiku menolong orang bukan didorong oleh semacam rasa superior atas orang lain. Atau untuk dipuji dan dihormati. Bukan. Di dalam jiwaku ada semacam imperatif kategoris, semacam perintah dari dalam diri untuk berbuat baik kepada orang lain. Kesadaran ini agak mengurangi penyesalanku, ditambah pula dengan pikiran mengenai bisnis. Nanti, ketika aku meminta ia menjaga bidang tanahku, kemurnian nuraniku akan bercampur dengan maksud keuntungan pribadi, yaitu kebunku akan terjaga dengan baik.

Turis-turis pada datang dan para hostes jadi segar gerak-gerik mereka. Masing-masing mereka menjerat seorang turis, memesan bir, makanan dan berceloteh dalam bahasa Inggris. Inggris Banyuwangi, kedengarannya. Mata tukang ojek nampak berlari-lari kosong. Yang nampak hanya anak istrinya di rumah bukan makanan enak dan bir di depannya. Aku juga kejangkitan tak melihat makanan enak dan bir di depanku. Mata kepalaku jadi buta dan yang hidup adalah mata hati yang memandang anak istrinya semula lewat celah dinding gedek kamarku, kemudian lewat sang suami yang tegang di depan makanan enak, bir dan perempuan-perempuan cantik.

Aku mendesaknya menghabiskan makan dan minuman di depannya. Aku makan dan minum sampai habis dan membayar. Sudah jam dua belas malam. Aku memintanya menuju terminal bus. Di terminal, Bali tak pernah tidur dan aku ingin memuaskan insomniaku di sana. Sampai di terminal aku katakan padanya, “Sekarang aku bayar ongkos ojek tetapi aku minta kita terlibat dengan bisnis begadang. Jam begadang dihitung sampai pagi dan saya akan bayar ongkos begadang.”

“Wah ini bisnis baru,” katanya.

Lalu kami memesan makanan ringan dan kopi kental dan duduk ngobrol sampai pagi. Nampaknya ia kedinginan dan ketika aku memegang pipinya, oh agak panas. Ia demam rupanya. Walaupun pipinya panas, ia berkata bahwa dia kedinginan. Spontan aku membuka jaketku dan menyerahkan padanya. Ia menolak tetapi aku mendesak ia memakainya.

Pulang ke kamar kami, hari sudah siang. Nampaknya ia menyerahkan uangnya kepada istrinya, lalu istrinya keluar meninggalkan anak yang paling kecil yang menangis. Mungkin lapar. Aku bergerak ke warung pemilik kamar kontrakan untuk makan siang.

“Sekarang motornya sudah hidup, ya,” kata ibu pemilik warung.

“Ya, Bu,” jawabku.

“Baguslah, mudah-mudahan, ia bisa membayar utang warung ini,” kata si Ibu warung.

Aku agak kaget. “Berapa, Bu?”

“Banyak!”.

Setelah si Ibu mengatakan jumlahnya aku membuka dompetku lalu membayar utang tukang ojek itu. Walaupun ia menerima, namun ia menasihatiku, “Bapak menolong orang yang salah. Dulu dia pematung yang bagus. Kemudian jadi pemborong. Kekayaannya habis di arena judi adu ayam.”

“O, begitu,” kataku.

Aku meninggalkan warung itu dengan perasaan bahwa aku tak salah. Aku ingin mengatakan pada tukang ojek itu bahwa kebunku memerlukan perawatan. Aku akan memintanya menjaga dan merawatnya, karena kalau tak terawat sekian tahun, pemerintah akan mengambil alih pemilikannya dan buah di kebun itu akan dikuras orang. Sesungguhnya aku punya pengalaman menolong orang yang lapar. Orang yang lapar dan menderita ada macam-macam. Ada yang di waktu lapar keparat, jiwanya jadi busuk. Setiap orang yang memberinya makan adalah musuh. Waktu dia bangkit dari kemiskinan, dia benci pada orang yang memberinya makan waktu ia lapar keparat. Mudah-mudahan tukang ojek itu tak seperti yang baru kukatakan tidak demikian.

Sebelum pulang ke Jakarta aku meminta dia merawat kebunku. Nangka bisa menghasilkan. Pisang, sirsak, jambu pun demikian. “Nanti saya kirim uang bulanan dari Jakarta,” kataku.

“O, tak usah, Pak. Istri saya bisa membuat jajan berbungkus daun pisang di kebun Bapak untuk dijual,” katanya menolak pemberianku. Begitulah, aku meninggalkan dia untuk kembali ke Jakarta.

Tiga tahun kemudian aku kembali ke Bali. Turun dari pesawat aku berjalan kaki keluar dari bandara. Di depan gerbang bandara tiba-tiba aku lihat tukang ojek itu sedang duduk di atas sepeda motornya memakai jaket yang kuhadiahkan. Salah satu kakinya menopang ke pinggir trotoar. Ia menunduk menutup mata. Waktu aku menepuk bahunya, ia tersentak kaget.

“Eh, Bapak, saya seperti merasa Bapak ada di pesawat terbang sehingga saya datang ke gerbang ini, walaupun ini bukan pangkalan ojek. Tepat sekali. Bapak ada di depan saya. Getaran jiwa Bapak kuat sekali,” katanya.

Aku tidak peduli akan sanjungan itu. Ia membonceng aku ke kebunku. Aku kaget melihat sudah ada rumah mungil artistik terbuat dari kayu cemara dan bambu kuning dan bambu betung. Memasuki rumah mungil bambu kuning artistik itu aku kaget sekali karena ada patung dada terbuat dari kayu cemara. Mirip aku! “O, terimakasih,” kataku.

Ia membuka jaket yang dipakainya dan memakaikan ke patungku. “Jaket kenangan!” katanya lalu bergerak cepat ke lemari mengambil uang. “Ini uang hasil penjualan patung, Pak. Maaf, terbuat dari kayu sawo karena pohon sawo dan cemara disambar petir,” katanya.

“Ambil saja uangnya. Eh, patung apa?” tanyaku.

“Ini patungnya,” katanya sambil memperlihatkan selembar foto patung. ”Saya bertemu orang ini dalam diri Anda,” sambungnya.

“Oh, patungnya memakai mahkota duri,” kataku. “Seandainya ia manusia, bukan patung, Anda pengkhianat, karena telah menjualnya, hehe…”




Tentang Penulis : Gerson Poyk - Lahir di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 16 Juni 1931. Sudah menulis puluhan buku dan menerima banyak penghargaan. Tahun 1985 dan 1986, dia menerima Hadiah Adinegoro. Tahun 1989 menerima hadiah sastra ASEAN, SEA Write Award, dan Lifetime Achievement Award dari harian Kompas. Karya-karyanya antara lain Hari-hari Pertama (1968), Sang Guru (1971), Cumbuan Sabana (1979), Giring-giring (1982), Matias Akankari (1975), Oleng-kemoleng & Surat-surat Cinta Rajagukguk (1975), Nostalgia Nusa Tenggara (1976), Jerat(1978), dan Di Bawah Matahari Bali (1982).

Sumber : KOMPAS Kompas Minggu, 24 April 2016
Share: