Jumat, 10 Mei 2013

 

Menulis Itu Penting

Suatu hari seorang wali murid bercerita pengalaman buruknya pada saya. Dia tampak bersemangat menumpahkan semua kekesalannya akibat kena tilang sewaktu mau mengantar anaknya ke sekolah. Dia mengatakan karena terburu-buru dan takut anaknya telat, dia pun menerobos lampu merah. Tapi, katanya lagi, bukan cuma dia yang melanggar peraturan pagi itu. Ada beberapa pengendara lain yang melakukan hal serupa. Sialnya hanya dia yang disuruh menepi oleh petugas.

“Selamat pagi, Bu..” tuturnya meniru ucapan ramah petugas yang menghentikannya saat itu. “Tahu kesalahannya, Bu?”

“Tahu, Pak! Tapi, masa kami sendiri yang di-stop? Yang dua ngebut tadi itu, kok dibiarin aja, Pak?” katanya dengan perasaan dongkol. Petugas hanya menanggapi dingin, dan langsung mempersilakannya untuk ikut ke pos yang ada di sana. Beberapa menit berselang dia pun keluar dengan bersungut-sungut. Apa pasal? Rupanya pagi itu dia mesti mengeluarkan uang dari dompetnya sebesar 50 ribu. Damai cepat di tempat, begitu menurutnya. Walaupun demikian, sepanjang jalan dia menggerutu. Bahkan kekesalannya itu masih terbawa ke rumah ketika saya berjumpa dengannya di siang hari.

“Karena kami ini orang Cina, Pak! Makanya cuma kami yang disuruh berhenti. Yang dua orang depan kami malah dibiarin aja. Hukum apa itu?!” katanya dengan nada tinggi.

Pengalaman tersebut bukan hal baru. Saya sering berhadapan dengan orang yang merasa didiskriminasi, dirampas hak-haknya.

Lain waktu pernah saya berbicara dengan seseorang yang salah satu anggota keluarganya dipersulit oleh oknum sebuah puskesmas. Waktu itu, ceritanya kepada saya, bapaknya sedang sakit keras, tidak bisa berjalan sama sekali. Dia mau membawa orangtuanya itu ke rumah sakit yang bisa merawat secara intensif. Tapi, menurutnya itu hanya bisa dilakukan jika dia mendapat ”surat rujukan” dari puskesmas terdekat. Prosedur mewajibkan si-pasien (orang yang bersangkutan) yang mau dirujuk ke rumah sakit harus dibawa ke puskesmas tersebut. Baru setelah itu pihak puskesmas bersedia mengeluarkan surat rujukan yang diminta keluarga pasien sebagai ”tiket” ke rumah sakit.

”Adakah faedahnya bila seorang pasien yang tergeletak tak berdaya di rumah dibawa menuju ke puskesmas hanya demi selembar surat rujukan?” tanyanya pada saya ketika itu.

Singkat cerita di puskesmas dia beradu mulut, dan tentu saja selembar ”surat sakti” yang bisa memuluskan niatnya membawa sang bapak yang menderita ke rumah sakit tidak diperolehnya.

Hal-hal menyakitkan seperti ini tentunya menimbulkan perasaan sakit hati yang mengendap, merusak kestabilan emosi orang yang mengalami dan menimbulkan pengalaman traumatis. Para korban ketidak-adilan di masyarakat luas biasanya jarang mampu membela dirinya dengan cara-cara yang baik. Paling yang bisa dilakukan hanya menumpahkan uneg-uneg dengan orang-orang terdekat sehubungan perlakuan tak layak yang diterimanya. Selanjutnya berupaya melupakan kejadian itu sebisa mungkin dengan alasan jika diceritakan atau dikenangnya lagi akan membangkitkan rasa sakit dari lukanya yang lama datang kembali. Seandainya saja orang-orang yang merasa diperlakukan tak adil di kehidupannya itu bisa menulis, mau menuangkan secara runut kronologi peristiwa yang menyebabkan dirinya ”terzalimi” itu; tentunya ada pembelaan diri yang dilakukannya dengan cara-cara yang pantas. Misalnya dengan membuat laporan atau berita langsung yang kini bisa dengan cepat disebar-luaskan melalui internet. Asal apa yang ditulisnya itu bukanlah merupakan ”pemutar-balikkan fakta” dari apa yang sebenarnya terjadi.

Melalui tulisan orang bisa memperoleh dukungan masyarakat luas. Tulisannya bisa jadi diperhatikan pihak-pihak terkait dan dijadikan bahan introspeksi diri untuk perubahan ke arah yang baik. Tulisannya adalah pembelaan diri atas perlakuan tak adil yang dialami dengan cara memaparkan sejelas mungkin fakta-fakta yang ada. Maka, opini publik secara langsung akan tercipta untuk mendukung pembelaan dirinya. Menulis itu penting. Apalagi jika diri kita selalu berhadapan dengan situasi dan kondisi yang ditengarai banyak terjadi penyimpangan, rentan mengalami ketidak-adilan sosial atau bahkan penekanan oleh oknum-oknum yang mendominasi peranan sosial kemasyarakatan.

Karena menulis itu membutuhkan kemahiran, sebaiknya diketahui juga hal-hal berikut ini:

1. Usahakan tulisan Anda jangan terlalu berlebihan

Ceritakan apa adanya. Gambarkan fakta seutuhnya tanpa menambah atau mengurangi. Anda tahu jika sebuah peristiwa yang benar terjadi diceritakan kembali dengan terlalu ”mendramatisir” agar terkesan menarik; sesungguhnya Anda telah menciptakan ”kenyataan semu” dari peristiwa yang dimaksud.

2. Jangan ikuti nasehat Adolf Hitler

”Katakanlah dusta seribu kali maka ia akan jadi kebenaran,” kata pemimpin NAZI berkumis ala Charlie Chaplin itu suatu ketika di hadapan para pengikutnya.

Jika Anda menulis dengan maksud merekayasa peristiwa sebenarnya yang terjadi demi maksud-maksud tertentu, Anda telah menipu dan menyesatkan pembaca. Katakan saja apa yang benar. Ceritakan dengan jujur apa yang dialami langsung di dalam tulisan Anda tanpa sebuah rekayasa informasi. Berdusta alias menipu pembaca Anda itu tidak baik. Anda bukan pengikut Adolf Hitler, kan?

3. Bersikaplah terbuka sehubungan dengan motivasi Anda menulis

Berikan gambaran jelas yang menuturkan mengapa Anda menulis suatu pengalaman tertentu yang dialami. Jangan mengaburkan tulisan Anda  dengan terlalu bermain dalam sudut pandang penafsiran pribadi terhadap peristiwa yang mau diinformasikan kepada publik. Katakan pada pembaca Anda bahwa tulisan Anda bermaksud mengungkapkan kebenaran bukan hal lainnya.

4. Bersandarlah pada catatan lapangan Anda sendiri.

Catat. Rekam dan teliti ulang demi kesesuaian dengan fakta-fakta dari peristiwa aktual yang akan disampaikan pada publik.

5. Jangan membanggakan diri dan berpikiran sempit.

Jika pembaca mengkritik tulisan Anda, berpikirlah terbuka. Kritikan itu bagus untuk perbaikan dan meningkatkan kualitas tulisan Anda kelak. Bersikaplah rendah hati jika Anda menerima pujian, dan jangan terlalu membanggakan diri sendiri karena apa yang Anda tulis cukup menyentuh pembaca. Ketahuilah beberapa menit Anda disanjung puja efeknya membuat lupa diri.

Menulis itu penting – mengungkapkan kebenaran, membangun jalan menuju keadilan dan bisa dimanfaatkan sebagai alat pembelaan diri yang elegan. Karena, terlalu banyak bicara terutama tanpa tahu cara mengungkapkannya secara benar dan dalam pengaruh kondisi emosional kerapkali tak menyelesaikan masalah. Jika pembicaraan langsung hanya bisa mempengaruhi beberapa kepala, menulis bisa mengendalikan ribuan bahkan jutaan kepala melalui opini publik yang tercipta. (M.I)
Share: