Rabu, 03 Oktober 2012

 

Ketika Misteri Membingkai Puisi

Sewaktu kita mengalami sebuah peristiwa, ada kecenderungan dalam diri kita untuk berupaya memahaminya. Kita berusaha mengerti peristiwa tertentu dengan jalan menyelidiki hukum sebab-akibat dalam rangka mendapat kejelasan: mengapa ini bisa terjadi, bagaimana awal-mula proses terjadinya. Upaya ini lazimnya bertujuan untuk menemukan penjelasan logis pada jalinan antar kejadian yang melatarbelakangi peristiwa itu, sehingga kita dapat menerimanya secara akal sehat atau menyatakannya sebagai “sesuatu yang wajar.” Kita ingin mendapat kesimpulan akhir yang dapat memuaskan rasa penasaran supaya tak lagi mengalami ketegangan (suspense).

Lain cerita ketika berhadapan dengan peristiwa yang menyimpan teka-teki, memancing rasa keheranan, bertentangan dengan pertimbangan akal-sehat atau irrasional, kita pun mengkategorikannya secara khusus dengan pemberian kata sifat misterius.

Misalnya, seseorang yang tak lagi bisa menemukan sepeda motornya berada di tempat parkir keramaian walaupun belumlah terlalu lama ditinggal, hal ini memancing dirinya untuk berseru:

“Aneh! Benar-benar misterius.. Masa belum sampai setengah jam ditinggal, motorku raib!” serunya heran dengan eskpresi nelangsa bercampur lugu tapi cukup tegang. Penuh dirubungi rasa penasaran.

Hahahaha... ini bukan kejadian misterius tapi bisa dikatakan sebagai ”lagi apes.” Soalnya, memang para pencoleng sekarang sudah pada mahir bermain ”sulap”, memindahkan barang orang lain dengan kecepatan waktu yang menakjubkan ke gudang penampungannya sendiri. Tentunya ini sama sekali bukan misteri. Logikanya jelas karena berhubungan dengan penerapan kemampuan yang terlatih, berkali-kali telah dilakoni si pencoleng sehingga mencapai pada tahap ”mahir bermain sulap” secara professional. Alhasil, sepeda motor korbannya yang memiliki massa dan bentuknya yang konkrit itu; hilang tak berbekas dan sungguh tersesat jauh ke dalam alam misteri penuh teka-teki. Hihihihi...

Baiklah, kita kembali serius.

Mungkin contoh tepatnya seperti kejadian yang menimpa seseorang berbadan sehat, setelah diperiksa dengan ilmu kedokteran sama sekali tak ditemukan penyakit; tiba-tiba ia terkulai dan hidupnya langsung berakhir secara dramatis. Orang-orang pun langsung heran, dan diri mereka berada di sebuah wilayah ambang dimana segala sesuatu untuk menjelaskan penyebab kematian orang itu tak bisa ditemukan. Lalu, dengan rasa penasaran yang masih menggelayuti benaknya, mereka berkata: ”Kematiannya benar-benar misteri!”

Ya, demikianlah kiranya tentang beberapa peristiwa dalam kehidupan kita itu ada kekuatan misterius yang sama sekali tak mampu dijangkau oleh nalar. Secara naluriah kita pun dapat mengerti bahwa kekuatan akal-budi ternyata memiliki batas. Namun, apabila kita masih ingin memahami mengapa beberapa peristiwa seperti kematian itu bersifat misterius; maka kita pun berupaya mendapat penjelasannya melalui penglihatan ”mata hati”.

Dalam hal ini Lailatul Kiptiyah, penyair relijius melalui puisinya yang sejuk menjelaskan dengan jernih bahwa sesuatu yang misterius termasuk kematian adalah batas waktu dari keberadaan entitas untuk mengejawantah. Ada kekuatan di luar kemampuan insani untuk menunda dan membatalkan kehadiran hal yang misterius itu; karena memang berada jauh dari jangkauan manusia untuk dijadikan sasaran tembak peluru akal-pikirannya yang tajam namun mesti ia alami. Mari simak puisi beliau ini:


Pada Suatu Musim

Kelak kita serupa daun-daun kering
terpisah dari ranting

Sendiri merebah

berpulang pada tanah



Puisi yang sarat nilai filosofi relijius ini sangat menarik dengan mengambil tema ”hal / sesuatu” yang datang tak disangka-sangka yakni ajal. Kejadian tertentu yang menyajikan nuansa misterius tetapi dikonstruksikan dengan bangunan logika yang dapat dipertanggung-jawabkan, sehingga menjelaskan mengapa ”hal / sesuatu” yang disampaikan oleh aku-lirik puisi bisa terjadi.

Judul puisi ”Pada Suatu Musim” mengandung metafor yang secara tersirat melambangkan pengertian latar waktu yang menjadi ”momentum” peristiwa tak terduga dalam bait pertama dan kedua.

Baris pertama dan kedua dari puisinya berbunyi:

/Kelak kita serupa daun-daun kering//,
/terpisah dari ranting-ranting//

Baris-baris ini mengandung metafor yang secara simbolik menggambarkan proses kehilangan daya hidup seketika. Dan, apabila penyebabnya diketahui sebagai kegagalan sistem fungsional dari unsur-unsur (sistem biologis metabolisme) yang bekerja sama untuk menimbulkan ”energi kehidupan” yang menggerakkan aku-lirik dan aku-publik puisinya (kita – kata ganti orang pertama jamak sengaja dipakai penyair untuk melibatkan khalayak pembaca secara aktif menafsir), tetap saja sifat insidental dari kedatangan peristiwa misterius tema pokok puisi (ajal yang datang tiba-tiba) lebih menonjol melalui citra visual yang terbayang.

Ada sebuah kata yang menimbulkan daya misteri dalam puisi ini, yaitu ”Kelak” dalam baris pertama. Kata ini merujuk pada masa yang akan datang, dan berkonotasi untuk menggambarkan apa pun yang mendadak menghampiri kehidupan seorang manusia, sama sekali belum dapat diduga. Ketika diubah menjadi kalimat lengkap dengan menggabungkan baris keduanya ”Kelak kita serupa daun-daun kering yang terpisah dari ranting”, maka ini cenderung menimbulkan pengertian seperti dalam kalimat-kalimat:

1. Ajal datang tanpa bisa diketahui suatu saat nanti.

2. Kedatangannya yang penuh misteri adalah kepastian perpisahan jasmani dan ruhani.

3. Tubuh jasmani manusia sama sekali tak berdaya bila tanpa ruh yang menggerakkannya.

Penggunaan majas simile dengan ditandai penghubung ”serupa” dalam baris /Kelak kita serupa daun-daun kering// adalah gaya penulisan penyair dalam rangka perlambangan, upaya untuk menyajikan pengertian konseptual tentang gambaran kematian yang akan dialami setiap insan. Ini juga menjadi semacam daya pikat langsung untuk menyedot perhatian pembaca agar terfokus pada apa yang akan disampaikannya.

Frasa ”daun-daun kering” yang ada dalam simile ini melambangkan pengertian yang mengikuti tentang gambaran kesuraman (warna daun-daun kering tanpa butir-butir kloroflas biasanya coklat kehitam-hitaman menimbulkan kesan muram). Frasa ini tampaknya memperkuat efek kesan misterius dari tema pokok puisi: ajal yang mendadak.

Frasa ”terpisah dari ranting” konotasinya memberikan gambaran penetapan waktu datangnya kematian yang sama sekali tak dapat dinalar manusia.

Baris-baris pada bait kedua puisi ini berbunyi:

/Sendiri merebah//
/berpulang pada tanah//

Kita akan mendapati suatu jalan pikiran rasional yang menerangkan tentang konsekuensi / akibat dari sebab yang dinarasikan dalam baris-baris pada bait pertama puisi. Lebih jauh lagi, ada upaya penjelasan bernuansa filosofis tentang eksistensi diri.

Siapakah ”Aku”? Dalam filsafat beraliran eksistensi, ”Aku” menunjuk pada ”diri yang utuh” dengan kesadaran. ”Aku” adalah diri jasmani dan ruhani, mengada karena diadakan dari Yang Lebih Dulu Ada. ”Aku” adalah seorang diri (sendiri) yang mampir di dunia dengan ”batas waktu mengada” (merebah) yang ditentukan-Nya. Tetapi, bisakah ”aku” ada dan mengada tanpa ”aku yang utama / ruh”? Jawabannya tentu saja tak bisa. Karena ”aku yang utama” adalah penggerak ”aku yang jasmani sebagai wadahnya”, dan ketika dikeluarkan sebagai kembalinya ”aku yang utama” kepada  ”Yang Lebih Dulu Ada”, yang menciptakan diri jasmani dan ruhaniku, maka itulah masaku kembali ke asal mula (berpulang pada tanah – ajaran Islam menyatakan bahwa awal mula manusia diciptakan dari segumpal tanah lempung).

Mengenai kata-kata yang memiliki pengertian konotatif ada pada bait kedua ini, yakni ”merebah” dengan rima yang sama dalam bunyi akhir kata ”tanah.” Konotasi kata ”merebah” merujuk pada gambaran peristiwa dramatis kematian yang dialami setiap insan seorang diri (sebab jarang sekali malaikat maut iseng mencabut-cabuti nyawa manusia secara kolektif tanpa perintah Tuhan, dan tentunya seolah-olah menjadi pekerjaan yang terlampau kreatif). Hal ini diperkuat dengan kata pasangannya: sendiri.

Sedangkan konotasi kata ”tanah” merujuk pada pengertian yang menggambarkan tempat kembalinya manusia ke asal-mula. Gambaran tentang ini terang dikemukakan dengan kata pasangannya ”berpulang” yang dihubungkan preposisi ”pada”menuntun arah – berpulang pada tanah.

Setelah kita menggali puisi karya penyair Lailatul Kiptiyah yang sarat nilai filosofi relijius ini, kita pun dapat memahami bahwa suatu pokok persoalan ketika dikemukakan melalui puisi ternyata lebih padat kandungan maknanya. Melalui kontemplasi pemahaman tentang tema pokok yang ingin disajikan kepada khalayak pembaca, penyair sampai pada pematangan konsepsi untuk selanjutnya dituangkan ke dalam karya puisi yang utuh.  Hal penting lainnya berhubungan dengan cara menimbulkan daya gugah puitik ke hadapan pembaca adalah melalui penyajian kesan-kesan misterius sarat ketegangan (suspense), baik dengan upaya cermat pemilihan tema pokok puisi, maupun kepekaan penentuan diksi, pelukisan suasana dengan imaji dramatis yang hidup dan bangunan logika puitik yang runtut. 

Demikian yang bisa saya uraikan. Saya tahu ulasan sederhana ini masihlah dangkal maka kehadiran Anda untuk memberikan tambahan penjelasan melalui kritik dan masukannya; itu sungguh menjadi air sejuk mengalir yang menghapus dahaga penasaran saya yang baru belajar mengapresiasi karya sastra. Salam sastra dan kreativitas dari saya.


* Rujukan:

http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2012/07/12/yang-tertinggal-pada-suatu-musim/
Share: