Minggu, 30 September 2012

 

Scorpions : Life's Like a River

Life's Like a River

Music by Ulrich Roth, Rudolf Schenker
Lyrics by C. Fortman

As years are passing by
Silence becomes your friend
You see the world in a different way
Don't be afraid of getting old
Life's still full of joy
And the beauty of the past is rejoicing your mind

When days are getting short
And winter comes along
Your life slows down and down
Like a river is getting wide
The worlds have lost their voice
You remember your morning flowing to the endless sea

When days are getting short
And winter comes along
Your life slows down and down
Like a river is getting wide
The worlds have lost their voice
You remember your morning flowing to the endless sea


* Reff:

Life's like a river in the mountain
Life's like a sea without end
Life's like a river in the mountain
Life's like a sea without end

** Back to Reff:

Life's like a river in the mountain
Life's like a sea without end
Life's like a river in the mountain
Life's like a sea without end



Monolog Bebas : Dan Langit Hanya Mau Tahu yang Telah Ditetapkan

Suatu ketika saya bertanya pada langit, yang mencurahkan sedemikian banyak rahmat tepat dari pancuran taman surganya,

"Waktu yang mengalir terus melewati tiga masa ini, saya yang sekarang, saya yang dulu dan saya mungkin belum diketahui nanti. Mestikah riuh di palung kalbu senantiasa bercahaya agung dengan keheninganmu, wahai langit?"

"Saya tak pernah mencemaskan proses menuju tua. Sungguh saya tetap mencermati betapa gunung-gunung yang ingin menjangkaumu itu kini telah terkikis habis. Saya lihat dengan teliti bagaimana cahaya perak menyilaukan mentari yang telah berpindah, menggantikan warna tiap helai rambut. Saya juga telah menyingkirkan dengan perasaan berat keinginan untuk abadi dengan penjara tubuh fisik ini.

Wahai langit, tahukah engkau? Saya memang menyaksikan kuasamu, namun dengan pandangan saya ─ tatapan mimpi mata terbuka. Keberatankah engkau dengan ini? Ya, jujur saja saya akui, wahai langit.. Saya terlalu girang dalam kesementaraan, atau mungkin saya masih belum terbangun dari kegemilangan masa lampau yang melelapkan. Maka, saya pun berani berkata bahwa masih ada tetes madu paling manis dapat dikecap dari hidup yang suatu saat akan meredup ini. Saya masih saja menginginkannya. Sekarang apa pendapatmu, wahai langit? "

"Karena engkau mendiamkan saja pertanyaan saya, maka saya tetap mencari tahu alasanmu yang memangkas cabang-cabang liar waktu, engkau kerdilkan serupa ficus benjamina di tepi jurang, perlahan kurus meranggas sekalipun masih hidup. Apa? Katamu memang semua ada gilirannya? Baiklah, kalau begitu engkau tengah menarik kesimpulan dari argumen yang belum selesai. Benar demikian?

"Nah, sekarang engkau menyangkal dan menganggap masa untuk mengecap kesenangan duniawi memang selalu dipendekkan. Supaya tidak lupa katamu tadi. Sebagai gantinya adalah pongah kedukaan berjalan bangga dengan langkah-langkah besar. Tiap jejak yang menandai kehadirannya serta-merta terhapus oleh salju yang turut membekukan hasrat. Dan saranmu itu? Astaga! Engkau menganjurkan saya mengalaminya demi sebuah pengetahuan tentang daya tahan ruh? Pengorbanan asketisme?! Yang benar saja, wahai langit.."

"Saksikan olehmu, wahai langit.. Saya akan menjalani suatu kehidupan yang lamban dan perlahan melangkai lunglai. Saya akan biarkan diri sendiri mengapung di atas samudra tak bertepi bernama ─ pasrah. Walaupun saya tahu dari namanya saja itu menyiratkan ketiadaan kemauan untuk menang. Apa? Engkau bilang memang begitu saya seharusnya? Untuk tujuan apa ini? Baik, jika untuk mendengar desah terakhir dari dunia yang kelak kehilangan getar suaranya, ketika takdir terkesiap melihat cerah cahaya pagi dan  terhisap sampai menuju samudra tak bertepi dengan gemuruh badainya: lenyap."

"Untuk merayakan kekuasaanmu itu, wahai langit.. Untuk mengakui bahwa saya memang tak akan mampu melawan apa saja yang telah engkau tetapkan, perkenankan saya melantunkan bait-bait ini terakhir kalinya. Tak lain hanya untuk memujamu. Sudilah kiranya engkau mendengarkan:



Jika manusia adalah nyala kehendak,
maka engkau, langit, datang bersama hujanmu.

Padamlah segala yang menggelegak dalam dada!
Dinginlah semua yang awalnya mendidihkan jiwa!

Jika memang segalanya berjalan menurut hukummu,
maka biarkan takdirmu menjadi air sejuk yang mengalir ke dalam relung kalbu.

Seperti sungai mengantar damai dari atas gunung,
turun demi menenangkan penghuni lembah dengan mata air kehidupan.

Dan biarlah setelah itu ia segera bergerak sesuai kodrat alami darimu,

bersemayam dalam keheningan laut maha luas tak bertepi.

Untuk bagian terakhir yang disebut diam,
ketika yang lalu, saat ini dan yang akan tiba melebur satu."
Share: