Sabtu, 08 September 2012

 

Cerpen Kompas : Ini Tentang Yan

Cerpen Farizal Sikumbang, Cerpen Kompas

Cerpen Farizal Sikumbang (Kompas, 25 Juni 2023)


YAN mengumpulkan lalu membakar daun kering serta beberapa sampah plastik yang berserak di jalan depan rumahku. Ketika itu aku sedang membersihkan kendaraan roda duaku yang kotor karena debu. Jarak antara aku dan Yan mungkin hanya dua puluh meter. Tapi Yan tidak mempedulikanku. Yan sibuk membakar tumpukan sampah kecil itu.

Aku tertegun sejenak, memperhatikan penampilan Yan yang mirip penyanyi musik cadas dengan rambut sebahu. Pakaian Yan kotor dan celana jeans biru yang dikenakannya sudah sangat pudar warnanya. Yan mungkin tidak tahu soal musik cadas yang kumaksudkan itu, dan Yan juga sudah tidak mengenaliku. Yan kini sibuk membakar sampah sembari berbicara sendiri. Ini sudah kebiasaaan Yan kurang lebih dua puluh lima tahun yang lalu. Setelah api menyala membakar semua sampah dan asap putih membubung ke atas, Yan pergi begitu saja tanpa melihat ke arahku.

Semasa kecil, Yan sering dipukul oleh ayahnya. Dilempar pakai kayu dan terkadang ditendang sampai terpelanting ke pematang sawah, atau tersandar ke pagar rumah. Yan juga pernah beberapa kali diikat pada pohon manggis tanpa baju di depan rumahnya dan tubuhnya dilecut pakai sapu lidi. Jika Yan sudah dikuasai oleh amarah ayah tirinya itu, tidak satupun orang yang dapat mencegah. Ibunya hanya diam mematung sembari menggigit jari. Dan kami, maksudku, aku dan beberapa teman sebaya Yan, hanya menahan pedih di hati. Malah, terkadang kami yang menjadi sasaran kemarahan ayah Yan. Mengumpati kami sebagai anak-anak kecil yang nakal.

Yan nakal? Ah, mungkin tepatnya usil. Yan sering mengusili orang sehingga mereka marah. Dan biasanya, Yan akan tertawa lebar jika berhasil melakukannya. Seperti ia memenangi sebuah pertandingan olahraga.

Guru Tania, yang mengajar di sekolah dasar pernah melempar Yan dengan sapu lidi kerena keusilannya itu. Ceritanya bermula ketika Yan menyembunyikan pensil teman perempuan kami yang bernama Wati. Wati melapor pada guru Tania jika Yan telah menyembunyikan pensilnya. Dengan rasa kesal guru Tania menyuruh Yan ke depan kelas. Yan ditanyai soal pensil Wati yang hilang. Yan bersikukuh jika ia tidak mengambilnya, tapi Wati tetap menyela jika Yan memang mengambilnya.

“Jika ibu guru tidak percaya, periksalah sakuku ini,”’ ujar Yan penuh akal-akalan.

“Ayo bu guru, periksalah,” tambah Yan lagi.

Guru Tania terpancing juga oleh provokasi Yan. Ia lalu memasukkan tangan kanannya ke saku celana Yan yang bolong. Tiba-tiba guru Tania terpekik. Ia merasa geli. Seperti memegang hewan yang menjijikkan. Yan tertawa. Guru Tania merasa ditipu. Yan dilempar pakai sapu. Seiisi kelas riuh dan ribut setelah tahu jika Yan berbuat usil. Seingatku, prilaku usil yang serupa juga berlanjut di bangku sekolah menengah pertama, Yan mempraktikkannya pada guru perempuan bahasa Inggris. Tapi kali ini Yan benar-benar dihukum berat. Karena dari pukul sembilan sampai pukul satu siang Yan dijemur di tengah lapangan. Yan juga harus membawa orang tuanya ke sekolah esok harinya. Dan ayah tirinya, tentu memukul Yan di rumah. Diikiat di pohon mangga tua yang buahnya sering luruh sendiri.

Ide keusilan lainnya yang Yan lakukan adalah menakuti orang sehabis salat tarawih. Beberapa kali Yan pernah memaksa kami mendukung idenya itu. Tahun itu kampung kami masih sepi. Tepi-tepi jalan desa masih dipenuhi semak atau pohon-pohon besar. Malam hari tidak ada cahaya listrik. Yan itu orangnya pemberani sekali. Ia tidak takut bersembunyi di semak-semak. Lalu ketika seseorang melintas, Yan mengeluarkan suara tertawa kecil mirip hantu. Suaranya terasa seram bagi kami sendiri. Maka tak aneh jika siapa saja yang mendengar akan lari terbirit-birit.

“Kau tidak kasihan pada orang yang kau takuti, Yan,” gugatku suatu hari.

“Tidak. Kau kan tahu, aku selalu memilih siapa saja yang akan aku usili. Aku hanya mengusili mereka yang membuat hatiku kesal,” kata Yan.

Yan memang ada benarnya. Itu pulalah sebabnya Yan sering mengusili ayah tirinya, karena Yan tidak suka. Cerita Yan padaku, ia akan berpura-pura sakit perut jika disuruh ayahnya pergi ke sawah untuk mengalirkan air. Satu sampai dua kali ayahnya percaya, tetapi pada alasan ketiga ia ketahuan jika Yan tidak sakit perut. Ayahnya murka dan melecut Yan.

“Aku benci pada ayah tiriku. Ia hadir di saat usiaku sepuluh tahun seperti monster menakutkan. Aku tidak suka kumisnya yang tebal. Mulutnya busuk beraroma tembakau. Suaranya besar seperti bas speaker. Ia pemalas dan suka memerintah,” kata Yan lagi.

“Yan itu serupa almarhum bapaknya,” ujar Ibu. “Bapaknya itu dulu suka melucu. Pernah menang lomba komedi tingkat kecamatan.”

“Tapi Yan suka usil, tidak ada bakatnya menjadi pelawak,” jawabku.

“Ya, karena dia masih kecil. Apalagi tidak ada yang mengarahkannya. Itu ibunya, cepat sekali kawin lagi. Padahal belum cukup dua tahun ayahnya Yan meninggal,” umpat Ibu.

“Yan sering dipukul, Bu,” kataku lagi.

“Itu karena bapak tirinya tidak bisa mendidik dan mengarahkannya. Bisanya cuma main tangan. Itu ibunya bisa apa. Salah pilih suami,” umpat Ibu lagi.

Di sekolah, Yan bukan anak bodoh. Ia hanya malas pada pelajaran tertentu. Misalnya Yan tidak suka pelajaran matematika. Padahal sebenarnya ia mahir perkalian dan pembagian. Buktinya, jika ia dipaksa disuruh ke depan kelas menyelesaikan soal perkalian atau pembagian, maka dengan mudah Yan melakukannya. Tapi jika guru menerangkan materi pelajaran matematika, Yan akan terlihat seperti tidak peduli. Pelajaran di sekolah yang sangat disukai Yan adalah seni. Kami sangat takjub jika Yan menggambar pemandangan meski hanya menggunakan pensil saja. Yan juga sangat jago menggambar wajah tokoh terkenal. Rasanya ada miripnya. Seperti gambar Presiden Soekarno, Yan menggambarnya sangat mirip dengan yang terpajang di depan kelas kami. Cuma sedikit dagunya yang agak lebih runcing. Tapi apapun bentuk gambar yang Yan lukis, selalu membuat kami terpesona. Di sekolah menengah pertama yang ada di desaku, setiap ada lomba seni kaligrafi, Yan adalah juaranya.

Namun pada masa itu, bagi kebanyakan orangtua di kampung kami, jika anak mereka memiliki hobi mengambar atau melukis, bukanlah dianggap sebagai anak yang memiliki keunggulan. Tapi hanya sinis dan dilabeli sebagai anak usil atau malas, bahkan dianggap sebagai anak yang tidak punya kerjaan. Begitu juga yang dialami Yan. Karena Yan suka merobek buku tulis dan menggambar atau melukis di rumah, Yan sering kena marah oleh ibu dan ayah tirinya.

Yan suka meminjam buku cara membuat karikatur. Yan juga suka meminjam buku cerita anekdot yang memiliki ilustrasi. Yan juga suka meminjam buku cerita silat yang ada gambarnya. Sejak di SMA itu pulalah bakat Yan semakin terasah. Yan mulai meniru-niru cara membuat karikatur. Tokoh di sekolah yang sering Yan jadikan karikaturnya adalah bapak kepala sekolah dan guru matematika. Menurut Yan, kedua orang ini paling tidak dia suka. Bapak kepala sekolah kami itu memang tegas dan sering bersuara keras jika kami membuat kesalahan. Bahkan tak segan-segan ia main tangan dan menendang pakai kaki.

Guru matematika kami juga hampir memiliki karakter yang sama. Yan beberapa kali membuat anatomi tubuh kepala sekolah kami itu. Bentuknya mengundang tawa kami sekelas. Betapa tidak, perut kepala sekolah Yan buat besar seperti bola, sedangkan kepalanya kecil, kedua kakinya juga kecil. Tapi raut wajahnya menyerupai kepala sekolah kami. Terlihat lucu. Apalagi kumis kepala sekolah dibuat lebat dan memanjang seperti aslinya. Kalau bapak guru pelajaran matematika kami, Yan membuatnya malah seperti kebalikannya. Badannya kurus. Tetapi kepalanya seperti bola, dan tentu rautnya sangat identik dengan guru matematika yang memang postur tubuhnya kurus itu.

Suatu hari, aku menemukan Yan termenung di sekolah dengan wajah kusut. Aku berpikir mungkin ia habis bersiteru dengan ayahnya di rumah. Seperti biasa aku mencoba menghibur Yan agar ia tidak bersedih. Tapi sesuatu di luar denganku terjadi.

“Aku tidak akan sekolah lagi di sini,” kata Yan.

Mulanya aku tidak terkejut pada ucapan Yan. Aku berpikir Yan hanya melucu.

“Aku dikeluarkan di sekolah,” tambahnya.

Aku mulai berpikir mungkin kali ini ia serius.

“Ada apa?” tanyaku.

“Aku teledor. Karikatur kepala sekolah mungkin terjatuh dari bukuku. Dan seseorang telah memberikannya pada beliau.”

“Celaka dua belas,” kataku terlonjak.

“Habislah aku,” kata Yan penuh penyesalan.

Setelah kejadian itu, Yan memang tidak lagi bersekolah. Sekolah tidak lagi memberikan toleransi pada Yan. Kepala sekolah kami juga pernah mengungkapkan hal itu pada upacara apel Senin.

Sejak itu Yan putus sekolah, dan ia tidak akan bisa melanjutkan sekolah lagi. Sebab, di kampung kami, hanya ada satu sekolah menengah atas. Memang terdapat sekolah menengah atas di kecamatan lain, tapi sangat jauh. Jaraknya bisa berjam-jam berjalan kaki.

Ketika Yan putus sekolah, ayah tirinya dalam keadaan tidak sehat. Ia sudah sering sakit-sakitan. Ia sebenarnya sudah tidak peduli pada Yan. Lagian, ia pun tidak sanggup lagi memukul Yan. Badan Yan sudah agak besar. Sedangkan badan ayah tirinya mulai mengurus.

Kupikir Yan akan bersedih dan berputus asa berlama-ama karena ia dikeluarkan dari sekolah, tetapi ternyata tidak. Yan malah setelah itu terlihat selalu senang.

“Aku bisa menghasilkan uang dari lukisanku,” ujar Yan memberitahuku suatu hari. “Setiap hari Sabtu, aku ke pasar ibukota kecamatan. Di sana aku menawarkan lukisan wajah. Alhamdulillah, ada peminat. Uangnya lumayan,” tambah Yan sembari memperlihatkan topi barunya yang mirip milik Pak Tino Sidin di acara TVRI di hari minggu yang dulu pernah kami tonton.

“Tapi kau tak lagi membuat karikatur lucu, kan?” tanyaku pula.

“Itulah masalahnya, ada dua orang warga yang memintaku menggambar kondisi kampung mereka yang kotor. Jalan desa dibuat seperti kolam. Nampaknya ada warga yang kecewa pada pembangunan desa mereka,” ujar Yan.

“Kau jangan kerjakan itu.”

“Sudah kuselesaikan. Tawarannya lebih menggiurkan.”

“Celaka.”

“Semoga baik-baik saja,” jawab Yan tersenum.

Pertemuanku dengan Yan tidak sesering sewaktu sekolah dasar dulu. Dalam seminggu mungkin hanya satu kali. Yan lebih sering suka menyendiri dalam menyelesaikan lukisannya. Namun sering kudapat kabar jika Yan kini sering menjadi pembicaraan di kampungku karena lukisannya sangat bagus dan baik.

Namun suatu hari, aku mendapat kabar jika Yan dipukul oleh beberapa pemuda di pasar kecamatan. Desas-desus kabar yang akhirnya kuperoleh berkaitan dengan hasil lukisan Yan.

Yan terluka parah. Katanya Yan dipukul sampai pingsan waktu itu. Sorenya aku bertemu Yan di rumahnya. Kala itu ia sudah siuman tapi tidak bisa diajak bicara. Ibunya bilang Yan hanya diam sehabis pingsan. Berhari-hari berikutnya Yan tetap tidak mau bicara. Beberapa kali aku datang menjenguk Yan, tetapi ia tetap saja diam. ***


Farizal Sikumbang, lahir di Padang 5 April 1974. Tinggal di Banda Aceh. Buku kumpulannya cerpenya yang sudah terbit. Kupu-Kupu Orang Mati (Basabasi 2017) dan Mata Kuning Muda (Basabasi 2022).

Made Wiradana lahir di Denpasar, 27 Oktober 1968. Lulusan Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta. Sejak 1989 telah menggelar pameran bersama, baik di dalam maupun luar negeri. Sedangkan pameran tunggalnya, antara lain Imajinasi Purba (Yogyakarta, 1999), Bentuk-bentuk Purba (The Chedi, Ubud, 2000), dan Eksodus Binatang (Srisasanti Gallery, Jakarta, 2009). Mendapat penghargaan Finalis Philip Morris (1996, 1998, 2000) dan Gold Medal Art Asia Biennale Hong Kong (2017).

Share: