Sabtu, 11 Agustus 2012

 

Metafora yang Berlebihan

Tadi siang sepulang kerja saya membaca sebuah anjuran yang tertera pada kain spanduk panjang melintang di atas badan jalan, begini bunyinya:

“Dengan momentum Ramadhan, mari memupuk tali persaudaraan antar umat.”

Mata saya langsung terpana melihatnya. Ini bukan karena tata-letak, penggunaan huruf-huruf hias yang menarik dengan ragam warna mencolok mata dipakai pada spanduk. Saya agak heran bagaimana bisa sebuah anjuran mengarahkan orang banyak “memupuk benda mati : tali”. Lalu, dengan kegiatan pemberian pupuk pada tali tersebut, si penganjur yang menuliskan kata-kata himbauannya itu berharap bahwa kelak tercipta saling pengertian dan membantu di antara orang-orang dalam kelompok yang disebut “umat.”

Hati saya bertanya-tanya: “Apa jenis pupuk yang bisa dipakai supaya seutas tali bisa tumbuh subur dan menjulur panjang? Agar tali itu nantinya akan dapat menghubungkan tiap individu dalam kelompok dengan identitas sosial tertentunya.”

Inilah salah satu contoh penggunaan metafora atau gaya kiasan yang sering memberikan “bias” pada pengertian sebuah kalimat.

Kita tahu bahwa sebuah kata memiliki makna ganda. Pertama, sebuah kata bisa digunakan untuk menerangkan maksud apa adanya, baik itu untuk menunjuk suatu peristiwa, maupun untuk menamakan benda. Kedua, sebuah kata juga memiliki makna kias, suatu pengertian yang melebihi keadaan atau benda yang ditunjuknya. Oleh karena itu, pemilihan kata-kata tertentu untuk dipakai dalam sebuah ujaran (entah itu himbauan, larangan atau petunjuk tertentu) mesti sangat selektif. Hal ini mengingat sebuah kalimat yang ditujukan untuk orang banyak mesti mampu memberikan pengertian yang jelas, seharusnya dapat mengarahkan pikiran masyarakat pada tindakan tertentu yang dikonsepsikan sebelumnya tanpa bunga kata-kata yang tak perlu (termasuk himbauan dalam kalimat pada spanduk yang merupakan komunikasi massa untuk mengajak secara langsung).

Sekarang kita coba menyelidiki apa yang menyebabkan kalimat dalam spanduk tersebut bias.

Dengan momentum Ramadhan, mari memupuk tali persaudaraan antar umat.

Penggunaan klausa Dengan momentum Ramadhan, makna referensialnya saya kira jelas menunjuk pada suatu konsep waktu yang khusus, yakni bulan suci bagi umat Islam dimana saat itu ibadah puasa menjadi ciri utamanya. Selain itu, klausa ini juga mengandung pengertian suatu kondisi yang dialami subyek dalam kelompok, yakni orang banyak yang dihimbau bahwa mereka yang menjalankan ibadah bulan Ramadhan pasti merasakan keistimewaan masa waktu tersebut. Ini bisa kita sebut sebagai makna sampingannya (makna konotatif). Bila kita tulis ulang dengan kata-kata lain yang dikelompokkan dalam satu anak kalimat, maka bunyi klausa tersebut bisa seperti ini:

Kepada masyarakat yang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan, …

Lalu, ketika parafrasa ulang ini kita gabungkan dengan induk kalimatnya yang bernada himbauan, maka pengertian yang cukup ambigu langsung tercipta:

Kepada masyarakat yang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan, mari memupuk tali persaudaraan antar umat.

Kalimat himbauan ini seolah-olah juga mengajak orang banyak untuk mempersiapkan barang-barang tertentu, yakni pupuk dan tali agar dapat melaksanakan kegiatan bersama yang cukup aneh: menebarkan butiran-butiran pupuk pada seutas tali dengan harapan bisa memanjang karena tumbuh subur. Selanjutnya, kegiatan pemupukan pada seutas tali tersebut direncanakan untuk menghubungkan antar individu yang terpisah-pisah, dan disatukan kembali ke dalam kelompok sosial dengan sistem kepercayaannya yang sama sehingga bisa disebut sebagai “umat”. Terkesan aneh, bukan? Bagaimana bisa kegiatan iseng “memupuk seutas tali” bisa menyatukan kembali orang-orang yang terpisah?

Apa penyebab bias pengertian dari kalimat himbauan ini?

1. Frasa, gabungan kata kerja aktif  dan nomina : memupuk tali.

Mengapa frasa ini yang menyebabkan bias kejanggalan makna dalam keseluruhan arti kalimat himbauan tersebut?

Kata “memupuk” adalah kerja transitif dengan modus aktifnya setelah mengalami penambahan awalan me-, kata ini lazimnya adalah kata kerja yang sering dipakai dalam bidang pertanian. Gambaran pengertian yang ditunjuknya adalah kegiatan untuk menyuburkan media tanam dimana tumbuhan tertentu ditanam di atasnya. Jadi, kata kerja “memupuk” sama sekali tak pernah dipakai untuk menunjuk kegiatan pemberian nutrisi bagi benda mati “tali” supaya bisa tumbuh subur. Sekalipun frasa ini bertendensi  metaforikal sebab ditempel dengan nomina kolektif “persaudaraan” (menunjuk kelompok individu yang bersatu karena memiliki hubungan kekerabatan), tetap saja mengandung pengertian bias. Sebab, sebuah kumpulan kata berasal juga dari makna tunggal lugas tiap kata yang dikandung di dalamnya.


2. Kata ajakan “mari”

Kata yang sering digunakan untuk mengajak secara sopan dengan maksud untuk melakukan tindakan tertentu tanpa keberatan hati. Namun, saya kira setiap orang yang waras akan merasa berat untuk melaksanakan sebuah ajakan yang tak masuk akal, yakni memupuk benda mati : tali.

Nah, sekarang menjadi jelas kerancuan dan bias pengertian yang timbul oleh penggunaan gaya kiasan (metafora) berlebihan. Maka dari itu, sebuah kalimat himbauan yang ditujukan kepada publik tidak semestinya dibumbui bunga-bunga kata yang mengaburkan pesan terkandung di dalamnya. Lebih bagus lagi seandainya si pemasang spanduk tadi menulis sebuah kalimat himbauan ringkas dan jelas seperti di bawah ini:

Dengan momentum Ramadhan, mari ciptakan persaudaraan antar umat.

Atau, hilangkan saja kata ajakan “mari” dan kalimat himbauan tersebut diubah menjadi kalimat perintah langsung dengan cara digabungkan:

Ciptakan persaudaraan antar umat dengan momentum Ramadhan.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar