Kamis, 19 Juli 2012

 

Sastra dan Kegelisahan Pengarang

Marilah kita bayangkan melihat seorang pengarang yang sedang terserang demam. Tubuhnya panas-dingin, menggigil dan teramat gelisah. Ini disebabkan ia berbalik menoleh ke belakang, melihat kembali apa yang telah terjadi di sekitarnya.

Jika ia diamkan saja keadaan yang dialaminya begini rupa, demamnya mungkin bertambah parah dan hanya berpasrah menunggu akhir waktunya. Bahkan, bisa jadi ia pun akan menularkan virus demamnya  dalam bentuk sikap menyerah pada keadaan ini kepada orang banyak di sekitarnya. Tetapi, syukurlah ia tidak melakukan kebodohan tersebut, dan malah bangkit mencari obat penyembuh buat sakitnya itu.

Si pengarang pun mulai menulis karangan sastra untuk mengekspresikan kegusaran yang telah berhasil membuatnya demam. Ia mengobati dirinya sendiri melalui kegiatan kreatifnya mengartikulasikan apa yang dirasa dan dipikirkan melalui mengarang karya sastra. Ia sembuh dan mengalami katarsis.

Setelah staminanya pulih, ia malah menjadi gandrung untuk menulis. Namun, kali ini bukan demi kepentingan penyembuhan dirinya. Ia didorong oleh sebuah visi jauh ke depan dimana ia dapat melihat dirinya dan masyarakatnya hidup bersama dalam rangkulan harmoni. Dengan menggunakan kekuatan imajinasi intellektualnya dan daya gugah bahasa yang berestetika, si pengarang membujuk khalayak pembaca untuk bercermin pada peristiwa yang mengandung anomali, yang pernah menyebabkan harmoni kehidupan bermasyarakat terguncang.

Anomali itu mungkin sebelumnya tak diperhatikan orang banyak, dipandang sebagai hal yang biasa seperti getirnya rasa keadilan bagi orang yang lemah, pedang hukum yang hanya tajam ke bawah, sifat kemaruk demi memenuhi baik kepentingan pribadi maupun kelompok, dan banyak lagi. Pengarang menyajikannya kembali ke dalam tulisan sastra yang dikarangnya dengan maksud menawarkan sebuah solusi yang berbudaya.

Begitulah kiranya ketika kita melihat seorang pengarang yang berpeluh dan bergulat dengan persoalan yang berasal dari lingkungannya, kemudian menjadi virus demam menggelisahkan dirinya hingga ia mencari cara mengatasinya, yakni menulis karangan sastra.

Sehubungan dengan ini untuk menambah wawasan kita, marilah sekarang kita simak sajak dari seorang penyair besar, Muhammad Iqbal. Kita cermati betapa kegelisahannya sebagai pengarang sastra juga berasal dari pengamatannya pada dunia tempatnya berinteraksi dan mengaktualisasikan diri, berikut ini sajaknya:


Penyair Muhammad Iqbal

NYANYIAN BINTANG-BINTANG


Matahari terbenam. Segera hari menjadi gelap, dan bintang-bintang mulai berkelip di langit. Malaikat dari langit berkata kepada bintang-bintang itu,


"Hai bintang-bintang penjaga malam, komunitas kalian yang tersebar di seluruh alam dikenal karena cahayanya. Nyanyikanlah lagu yang dapat membangunkan mereka yang sedang tidur. Cahayamu merupakan panduan bagi gerakan kafilah. Manusia akan memandangmu sebagai cermin nasib. Mungkin saja manusia akan mendengar suaramu."


Bintang-bintang pun memecahkan kesunyian . Seluruh permukaan luas alam semesta pun datang untuk berdenyut dengan nyanyian bintang-bintang. Bintang-bintang bernyanyi,

"Keindahan Tuhan terpantul pada cahaya bintang-bintang seperti halnya keindahan bunga terpantul pada embun. Takut pada hukum yang baru dan berpegang teguh pada tradisi lama, tentu saja, merupakan langkah yang paling sulit dalam kehidupan bangsa-bangsa. Kafilah kehidupan terlalu cepat bergerak dalam kesibukannya, bangsa-bangsa telah hancur. Ada beribu-ribu bintang yang tak terlihat mata, tapi merupakan anggota komunitas gemintang. Suatu saat, mereka yang ada di atas bumi belum memahami apa yang telah kita dapatkan dalam waktu singkat. Seluruh Orde Alam Semesta didasarkan pada saling ketertarikan dan hukum gravitasi. Hal ini tersembunyi dalam kehidupan bintang-bintang."

Dalam sajak karya penyair sufi ini, tersirat pesan yang amat berharga. Iqbal gelisah melihat keadaan masyarakatnya yang gemar saling bermusuhan walaupun berada dalam suatu social equilibrium yang sama. Penyair ini gusar karena manusia menciptakan permusuhan seolah-olah sudah tak saling membutuhkan satu sama lain. Padahal jika manusia bisa menjalin persahabatan atas dasar niat tertarik untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan bersama, tentu tak ada lagi saling baku hantam yang menyebabkan kehancuran.

Sebagai sastrawan, Muhammad Iqbal dengan caranya sendiri (cara khas seorang penyair) menawarkan jalan keluar bagi persoalan yang pelik dimana ia temukan di dalam masyarakatnya. Ia menghimbau, mengajak dan menganjurkan bahwasanya kedamaian dan kesejahteraan dalam kehidupan bersama didasarkan atas sikap yang saling membutuhkan dan membantu satu sama lain demi eksistensi yang langgeng suatu komunitas sosialnya. Iqbal mengambil perumpamaan dengan hukum alam yang rapi dan terorganisir karena diatur oleh gaya saling ketertarikannya, beredar sesuai orbit yang ditetapkan Yang Maha Pencipta, Tuhan Semesta Alam. 

Begitulah kiranya peranan pengarang sastra yang berupaya memberi pencerahan baik bagi dirinya sendiri maupun masyarakatnya. Ia rela menjadi gusar, gelisah dan bergelut dengan persoalan kehidupan yang pelik. Ia selami sampai ke dalam palungnya yang terkelam demi menyibak apa gerangan yang menyebabkan manusia berada dalam ketidakharmonisan.

Terakhir saya hanya berharap semoga tulisan sederhana yang mengungkapkan opini pribadi saya ini bisa memberi manfaat. Salam sastra. (M.I)


Catatan :

1. Sajak Muhammad Iqbal, NYANYIAN BINTANG-BINTANG disadur dari buku MUHAMMAD IQBAL : Allah Pun Tersenyum ── Kisah-kisah Unik, Aforisma, Alegori. Diterbitkan oleh Penerbit NUANSA, Cetakan I , Mei 2005

2. Lukisan potret Penyair Sufi Muhammad Iqbal bersumber dari pakistani tumblr com

Share: