Selasa, 10 Juli 2012

 

Sajak Senggama Penyair

foto+profilku+edit.jpg


Penyair itu sedang murung. Ia dilanda kerangkeng bingung: impotensi, tak mau ngaceng lagi padahal begitu ingin dirinya bercinta dengan sajak baru yang menggugah, mendaki keringatan, menuju puncak.

Tiba-tiba ia tersentak. Gema suara dari langit menghampiri mendadak: ”Dapatkan dulu ranjang empukmu. Gantilah namamu jadi empati. Jangan malu bersenggama ala doggy-style dengan gadis montok mulus putih yang punya nama kenyataan sosial.” Begitu nasehat yang ia dengar.

Penyair itu mulai meresapi. Pada sekeping cermin ditatapnya raut wajahnya lekat-lekat, ditumpuk-tumpuk pula gairah jiwanya agar memadat.

Esok harinya ia keluar dari gua lembab, Ia putuskan untuk mengakhiri segala ritual pencarian di jalan sepi, berhenti semedi dan menyudahi kesenangan menyendiri.

Kini penyair itu mulai mengerti selama ini ia duduk membelakangi api: mana bisa ketemu gadis montok mulus putih tapi selalu pasti berjumpa setan bayangan pemujaan dirinya sendiri. Ia lalu turun ke jalan ── ranjang empuk persetubuhannya.

Ketika baru beberapa langkah berjalan, sudut matanya menangkap megah panggung pembiaran: ada pesta perayaan kematian minoritas dan orang pinggiran ── terpidana mati serempak kelojotan di tiang gantungan batang leher mereka berbunyi: ”Krekk..” Dipatahi tali penjerat vonis mati dari ketimpangan ekonomi.

Sang hakim kapitalisme pun berseru puas: ”Mantap! Biarkan kemiskinan jadi Tuhan,” katanya dingin seraya meninggalkan lokasi.

Benak penyair itu merekamnya. Ia memulai proses dokumentasi, kini tergurat bait pertama sajaknya. ”Ya, ampun!” serunya takjub. ”Padahal ini baru foreplay, ya, sayang..”

Gadis montok telanjang mulus putih bernama kenyataan sosial, dengan senyuman manis menggoda itu hanya mengangguk. Rangkulannya makin mengetat saja. Tangan-tangan penyair pun mulai berani meraba-raba.
Tibalah ia di jalan awal tanjakan senggamanya.

Gairahnya mulai naik, napasnya ngos-ngosan tak sabaran, dua gunung autisme politisi dan penguasa, aduhai putingnya kian keras memerah mata si penyair tertumbuk: bengkak kepentingan politik jahat, saling tuding-menuding, mana mau tahu rakyat sekarat.

Makanya supaya tak lupa, penyair pun mencatat, katanya biar mata terus terbuka, agar bisa jelas melihat.

Si gadis montok mulus putih, si realitas sosial menggeliat. Penyair kian bersemangat dan mulai menjilat-jilat,

Empati bintil-bintil lidah jiwanya mencecap ketelanjangan tubuh sosial milik si gadis.

Tak berapa lama kemudian, tampaknya ia sudah tak tahan.

”Saatnya kupunya senjata ditancapkan. Boleh ya, sayang?” pintanya tanpa malu-malu.

Si gadis kembali mengangguk. Lugu tapi bernafsu.

Mereka pun berlayar, tentu tidak lagi di daratan tapi di samudra petualangan seperti tak bertepi, namun tetap saja perahunya menuju pulau bernama klimaks ── penyatuan dunia dalamnya dan kenyataan yang beriak, memuncratkan sperma bait demi bait yang mengalir hingga akhirnya bersemayam di rahim batin dan tak lama berselang lahirlah sajak baru yang menggugah.

”Luarbiasa!” serunya lega impotensinya sembuh. ”Sebuah sajak lahir dari senggamaku di luar sana.”

Penyair itu tersenyum puas.
Share: